Chereads / Mengejar Cinta Guru Tampan / Chapter 19 - Mencium bau-bau sebuah rencana

Chapter 19 - Mencium bau-bau sebuah rencana

Apa Arkan pura-pura tidur?

Kuperhatikan Arkan saat tidur ternyata pulas banget, mungkin aku tadi beneran salah lihat.

"Udah ayo pergi, jangan ganggu orang yang sedang tidur nyenyak." Zain menutup kembali resleting tenda Arkan dan menyeret kasar tanganku.

"Lepasin, sakit tau." Kulepaskan tangan Zain dengan paksa dan pergi meninggalkan Zain sendirian. Aku berjalan menuju tenda, melihat Dini yang sedang tertidur pulas.

Nyenyak banget sih tidurmu, Din.

Bingung juga mau ngapain sekarang, pengen tidur gak bisa, pengen keluar tenda ada Zain. Lebih baik aku kemas-kemas barang aja deh, kan besok sudah waktunya pulang.

Akhirnya aku kemasi semua barang-barang yang aku bawa dari rumah.

Semuanya sudah terkemas dengan rapi, tinggal mencoba kembali untuk tidur.

******

"Bangun... bangun.... ayooo kemasi barang-barang kalian, jangan sampai ada yang tertinggal. Sebentar lagi kita akan pulang. Saya kasih waktu kalian 30 menit untuk kemas-kemas. Jika terlambat akan saya tinggal." Ucap Pak Zain dengan suara lantang.

Beda banget loh jika bicara denganku, suaranya tuh halus lembut.

Semuanya saling kemas, sedangkan aku hanya duduk manis. Karena barang-barangku sudah aku kemas dari semalam. Bingung mau ngapain karena nggak bisa tidur. Akhirnya kemas-kemas barang deh.

Sekarang tinggal enak-enakan, tanpa bingung lari kesana kemari. Hehe

Didalam bis aku tertidur, mata rasanya sangat lengket enggan untuk terbuka.

"Ra, sudah sampai." Terdengar suara Dini sambil menggoncang-goncangkan bahuku.

Aku mengerjapkan mata dan sesekali menguap.

Akhirnya sampai juga disekolah.

Setelah turun, aku dan Dini menuju parkiran untuk mengambil motor.

"Ra, lihat deh." Teriak Dini.

"Ada apa sih. Buruan ambil motornya." Ucapku ikut teriak.

Saat sampai didepanku, Dini berkata "Bannya kempes, Ra."

Aku tepuk pelan jidatku. Baru juga ditinggal sehari. Gimana kalau ditinggal sebulan.

"Bentar, gue ambil pompa dulu diruang Guru." Ucapku sambil meninggalkan Dini diparkiran.

Ternyata disokalah masih banyak para Guru yang belum pulang.

Ada Arkan dan Pak Zain juga.

"Permisi, Pak. Ada pompa nggak?" Tanyaku saat didepan pintu ruang Guru.

"Ada. Tuh, dipojokan." Jawab Pak Zain.

Arkan sama sekali tak bergeming. Dia masih sibuk dengan laptop didepannya tanpa melihatku.

Setelah mengambil pompa aku segera kembali ke parkiran.

"Lo yang pompa ya, Din." Ucapku sambil menyodorkan pompa pada Dini.

Dini mulai memompa.

"Ra, kayaknya ini bocor deh." Ucap Dini yang membuatku membuang napas kasar.

"Sudah bisa?" Tanya seseorang dibelakangku.

Aku membalik badan mengikuri arah suara tadi. Dan ternyata Pak Zain.

"Belum, Pak. Ini kayaknya bocor deh." Jawab Dini sambil memegang ban motor.

"Coba sini saya lihat." Ucap Pak Zain sambil mendekat.

"Iya. Ini bocor nih." Ucap Pak Zain lagi.

"Gimana dong, Ra?" Tanya Dini yang kutanggapi dengan mengendikkan kedua bahuku.

"Kalian ikut mobil saya aja ya. Biar nanti saya antarkan sampai depan rumah kalian." Ucap Pak Zain menawarkan.

"Iya, Pak. Makasih ya, Pak." Ucap Dini antusias. "Ayo, Ra." Dini berjalan dibelakang Pak Zain dengan menyeret tanganku.

Aku nggak bisa berkata. Aku pun nggak bisa menolak. Kalau aku tolak nanti aku dan Dini naik apa?

Didalam mobil Pak Zain aku hanya diam.

Gara-gara Dini lebih memilih duduk dibelakang, jadinya aku yang harus duduk didepan, disebelah Pak Zain.

"Rumah kamu disebelah mana, Ra.? Tanya Pak Zain.

"Aku belum punya rumah, Pak." Jawabku sekenanya. Pak Zain tertawa kecil.

"Maksudnya, tempat tinggal kamu disebelah mana?" Tanyanya lagi.

"Lurus saja, Pak. Nanti kalau waktunya belok saya kasih tau." Ucapku cuek.

Pak Zain hanya mengangguk.

Setelah sampai rumah aku dan Dini segera turun, dan Pak Zain pun juga ikut turun.

"Ini rumah kamu, Ra?" Tanya Pak Zain.

"Bukan, Pak. Ini rumah Nenek saya." Jawabku sambil melangkah menuju rumah.

Kulihat Nenek sedang menuju keluar rumah. Mungkin karena mendengar suara mobil Pak Zain. Jadinya Nenek keluar mengira ada tamu.

"Loh, ada tamu. Kok nggak diajak masuk, Ra?" Tanya Nenek.

"Nenek." Panggil Pak Zain.

Pak Zain kenal dengan Nenek? Kok bisa?

"Loh, Zainal kan?" Tanya Nenek yang diangguki Pak Zain setelah itu mereka saling berpelukan. Udah mirip telebubis.

"Kamu gimana kabarnya?" Tanya Nenek.

"Zain baik, Nek. Nenek sendiri gimana kabarnya?"

"Nenek juga baik."

Berasa jadi obat nyamuk aku disini. Sedangkan Dini sudah masuk kedalam rumah duluan. Aku mau masuk ikut Dini juga nggak enak. Masa tamu malah ditinggalin, kan tadi sudah baik mau ngantarin sampai rumah.

"Nenek kenal sama Pak Zain." Akhirnya aku ikut bicara.

"Kenal dong, kan Zainal ini anak dari teman Papa kamu." Jawab Nenek. "Jadi kamu sekarang jadi guru Zain?" Lanjut Nenek bertanya.

"Iya, Nek. Tapi hanya menjadi guru pendamping di sekolah Amaira." Jawab Zain tersenyum.

Masa tamu dibiarin terus berdiri didepan rumah, nggak kasian apa sama Pak Zain yang dari tadi sudah kelimpungan kayak cacing kepanasan.

"Mari masuk, Pak. Mungkin Nenek lupa mau ngajak masuk. Kasian dari tadi kelimpungan, capek berdiri ya, Pak?" Tanyaku membuat Nenek menyenggol lenganku.

"Oh, iya. Mari masuk. Maaf Nenek lupa, Nenek kira tadi kita sudah ngobrol di ruang tamu." Jawab Nenek sambil menggandeng tangan Zain dan mengajaknya masuk kedalam rumah.

Zain hanya diam dan mengikuti langkah kaki Nenek.

"Pak Zain duduk saja, saya mau masuk kedalam kamar, mau istirahat. Capek." Pamitku pada Pak Zain.

"Loh, tamu kok ditinggal." Protes Nenek yang tak kuhiraukan.

Buru-buru aku masuk kedalam kamar, mengunci pintu kamar, setelah itu mengganti pakaianku.

Tok tok tok

"Ra." Panggil Dini pelan dari luar kamar.

Segera ku buka pintu kamarku untuk membiarkan Dini masuk kedalam.

"Pak Zain masih belum pulang?" Tanya Dini yang hanya kutanggapi dengan gelengan kepala. "Pak Zain kok bisa begitu akrab sama Nenek?" Lanjut Dini bertanya lagi.

"Kata Nenek Pak Zain itu anak dari teman Papa gue." Jawabku sambil membaringkan diri keatas ranjang.

"Kok bisa? Sebebarnya ini memang kebetulan apa sebuah rencana?" Tabya Dini lagi.

"Mana gue tau." Jawabku dengan menghendikkan kedua bahu.

"Perasaan gue nggak enak deh, Ra. Lo nggak ngerasain apa-apa?"

Nih anak kenapa jadi kepo tingkat dewa sih.

Kugelengkan kepalaku sambil menutup kedua mataku.

"Ra, gue serius, gue nyium bau-bau sebuah rencana." Ucap Dini dengan antusias.

"Masa sih? Coba gue lihat hidung lo. Oh.. pantesan lo bisa nyium bau-bau sebuah rencana, orang hidung lo segedeh gaban." Ucapku sambil menertawakannya.

"Apaan sih lo." Dini cemberut sambil mengelus-elus hidungnya, membuatku ingin tertawa sekeras-kerasnya. Lagian mana ada orang bisa nyium bau-bau sebuah rencana. Kalau bisa nyium bau-bau tai kucing aku percaya.

Dini segera keluar dari kamarku dengan menghentakkan kedua kakinya.