"Aisyah kenapa berada di sini?? Apa Dokter Nunik juga disini Syah?"
"Nggak Pi, sebulan yang lalu Dokter Nunik dan suaminya pelgi jauh naik pesawat, kata meleka Aku halus disini belajal ngaji bial dapat boneka lagi, jadi meleka antelin Aku kesini," tuturnya cadel dengan tangan sibuk memegangi sarungnya yang hampir melorot karena kebesaran itu.
Pihu hanya tersenyum mendengar penjelasan temannya yang terdengar lucu itu. Mereka memang seumuran tapi Pihu yang sudah fasih berbicara maupun membaca Al-Qur'an sedang Aisyah masih dengan kalimat-kalimat cadel yang menggemaskan.
Pihu1 menganggukan kepalanya, perbincangan keduanya terhenti ketika Riska memanggil Pihu untuk bertemu Umi dan Abah. Pihu menggandeng tangan Aisyah untuk ikut kedalam bersamanya, indah ketika mereka berdua di pertemukan kembali oleh takdir di tempat suci ini.
"Kemari Sayang," panggil Riska sembari merentangkan tangannya pada Pihu yang sedang bergandengan tangan bersama Aisyah.
"Abah, Umi ... Perkenalkan ini Pihu keponakan saya," ujar Riska sopan memperkenalkan Pihu.
"MasyaAllah, cantik sekali anak mu Lik," gumam Abah pada Pihu yang sedang menyalaminya takdzim, begitu juga Aisyah kecil.
"Betul Abah, ini putri Kak Malik dan Mbak Anjani ... Putri semata wayang mereka," tambah Rudy sembari mengelus pelan kepala Pihu yang terbungkus jilbab merah muda. Kontras dengan kulit putih dan pipi gembulnya.
____
Mobil hitam itu menjauh, meninggalkan Pihu yang masih sesenggukan dalam pelukan Ratih. Dua bulan bersama Riska dan Rudy membuat hati kecilnya mencelos kembali, dia harus merasa kehilangan untuk kesekian kalinya.
Riska terus melambaikan tangannya dari kejauhan hingga mereka tak tampak lagi, matanya yang sembab kembali berkaca-kaca. Riska menepis kasar air mata yang terjatuh dari pelupuknya dengan cepat.
"Sudahlah Sayang, ini demi kebaikan Pihu ... Kita semua menyayanginya dan ingin yang terbaik untuknya," ucap Rudy menenangkan Istrinya.
"Dia akan baik-baik saja," sambungnya kemudian.
Di tempat lain Ratih sedang membantu Pihu menata bajunya ke dalam almari kayu itu. Lemari dengan 5 pintu yang terpisah, masing-masing santriwati memiliki satu pintu. Tepat di sebelah lemari Pihu adalah lemari Aisyah yang sudah terlebih dahulu menetap di tempat ini.
Pihu sedang di kerumuni oleh beberapa santriwati yang sibuk menanyainya ini dan itu. Pihu hanya menjawabnya dengan tersenyum ramah, mereka selalu antusias jika ada anak di bawah umur yang ingin belajar bersama mereka, mereka akan sangat senang membimbing dan membantu.
Ratih hanya menggelengkan kepalanya sembari terus melipat baju-baju Pihu ke dalam lemari di bantu oleh Aisyah. Aisyah akan berbagi kamar dengan Pihu, dan Ratih juga akan satu kamar bersama mereka.
Sebenarnya Ratih adalah putri sulung dari Abah sendiri, namun dia tidak ingin mondok jauh dari rumahnya. Alhasil dia mengaji bersama santri lain disini sembari mengamalkan sedikit ilmu yang sudah Abah ajarkan padanya.
____
Tak terasa dua belas tahun sudah Pihu lewati di pondok pesantren itu, dia tumbuh menjadi gadis yang sangat cantik. Tutur kata yang sopan dan penampilannya yang anggun selalu sukses membuat setiap ikhwan yang menatapnya terpesona.
Di samping kecantikan fisiknya, Pihu adalah santriwati yang berprestasi dan baik hati. Sahabatnya Aisyah pun cukup berprestasi disana, hanya saja sifatnya yang tomboy dan pemberani membuat ikhwan yang ingin mendekatinya harus berfikir dua kali.
"Mbak Pihu, ini untuk acara besok gimana?" Tanya seorang santriwati tiba-tiba.
"Untuk persiapan acara besok insyaAllah sudah sembilan puluh lima persen, sisanya Saya sudah serahkan pada Aisyah, Mbak tinggal tanya sisanya sama Aisyah saja" jawabnya lembut seraya tersenyum hangat.
"Baik Mbak, saya permisi dulu harus menyelesaikan dekorasinya ... Assalamualaikum," ucapnya kemudian berlalu.
"Waalaikumussalam," jawab Pihu menjawab salam.
"Pihu," teriak Aisyah berlari kencang hendak menghampiri Pihu, namun karena kecerobohannya kaki kanannya tersandung oleh sarung yang ia kenakan sendiri.
GUBRAKKK!
"Syahh!" pekik Pihu terkejut seraya menutup mulutnya kaget.
"Aww, sakit ... " Rengeknya sembari memegangi lututnya yang terasa nyeri karena menghantam peping blok.
Baru saja Pihu hendak membantu Aisyah berdiri namun seorang Santriawan memotong langkahnya. Dia mengulurkan tangannya pada Aisyah, namun Aisyah menolaknya mentah-mentah.
Ikhwan dengan kacamata bulat dan kitab di tangannya itu menatap kecewa, namun segera bibirnya tersenyum getir.
"Bukan mahrom!" Teriak Aisyah lantang sembari memutar bola matanya.
Ia bangun dan segera merapikan sarungnya yang sedikit tersingkap, tangannya menepuk-nepuk bagian sarung yang sedikit kotor terkena tanah.
"Kamu bukannya bantu aku Pihu, malah cengengesan," ocehnya ketika melihat Pihu yang tersenyum menatap Aisyah dan Firdaus bergantian.
"Ya tadi aku mau bantuin lho, itu Kang Firdaus main nyelonong aja duluan," ucapnya sembari terkekeh pelan.
"Ishhhh males banget," jawab Aisyah malas, masih menepuk-nepuk ujung sarungnya.
"Syah, kayanya Kang Firdaus itu seneng lho sama kamu," goda Pihu tersenyum jail.
"Kamu itu lho Pihu, Aku mana mau sama Dia. Wong culun begitu ih!" Pekiknya malas.
"Tapi dia itu pinter lho Syah, hafalan kitabnya juga MasyaAllah udah mantep cocok jadi suami kamu."
"Stop. Nanti kalo Nabi Khidir lewat terus omongan kamu di ijabah gusti Allah gimana? Ihhh Aku mah ogah sama orang kaya Dia Pihu," rengeknya ketus dengan mengerucutkan bibirnya sebal.
Sedangkan Pihu hanya terkikik geli, ia menutup mulutnya, bersembunyi dari tatapan membunuh Aisyah yang tengah menatapnya tajam kini.
Perdebatan mereka terhenti, tepat ketika bel tanda berkumpul terdengar nyaring di telinga.
"Males aku nih kalo udah di bel begini," cakap Aisyah kemudian dengan malas.
"Lho emang kenapa?"
"Ya paling ada yang ketauan pacaran di pondok? Malas aku liat mereka di hukum tapi tetep ngulangin kesalahan yang sama lagi." Jawab Aisyah datar. Tangan kirinya menutup mulut, menguap pelan padahal dia sedang tidak mengantuk.
Pihu hanya menggelengkan kepalanya pelan sembari tersenyum, para santriwati mulai berhamburan menuju pelataran asrama putri, sedang para santri putra berkumpul di depan asrama mereka yang memang bersebelahan langsung.
Memang asrama putra dan putri letaknya bersebelahan langsung hanya ada tembok tinggi sebagai pembatas diantara mereka. Namun jika waktu setor hafalan tiba banyak santri putra yang akan melewati asrama putri, karena aula yang tepat berada di depan asrama putri.
Semua Santri tampak sudah berkerumun memenuhi pelataran Pondok Pesantren ini, mulai terdengar bisik dari mereka yang bertanya-tanya mengapa. Tampak dua sosok yang berdiri di tengah lapangan dengan tertunduk malu sembari memakai kalung yang terbuat dari sepotong kardus dan di ikat tali rapia.
wajahnya tampak sembab di balik kerudung besar yang sedang ia kenakan, matanya tak henti menitikkan air mata. sedang seseorang di sebrang sana tampak kalut, hanya tertunduk menahan malu.
Kedua wajah itu semakin tertunduk dalam ketika Abah dan Umi keluar dari majelis, di belakangnya Ustadzah Ratih mengekor dengan raut yang sulit di artikan. Kekecewaan tampak jelas tergambar dalam tatapan mereka walaupun tidak mengintimidasi.
Hening, hanya gemerisik daun yang mendominasi ketika sang angin membelai kasar ranting-ranting dengan gelisah.