Chereads / Senyum untuk Pihu / Chapter 12 - lantunan rindu

Chapter 12 - lantunan rindu

Aisyah menghentikan langkahnya tiba-tiba, Pihu yang sedari tadi mengekor hanya bisa pasrah ketika kakinya tak sengaja menginjak ujung gamis syar'i yang di kenakannya karena ulah Aisyah.

"Ya Allah Syah!" Pekik Pihu terkejut, jika saja lengannya tak segera memegang pundak Aisyah mungkin ia sudah terjatuh ke tanah.

"Pi, Aku lupa!" Pekik Aisyah tak kalah keras sembari menepuk jidatnya pelan.

"Kenapa Syah?"

"Seragaman marawis apa udah Kamu ambil Pi?"

Seketika wajah mereka memucat, saling bertukar pandang. Fikiran mereka sibuk menerka-nerka apa yang akan mereka alami jika penyambutan ini gagal hanya karena kecerobohan mereka.

"Cah ayuk," ucap seorang di belakang, sukses menarik mereka dari lamunan.

"Ini lho seragamnya sudah Mbah selesaikan," sambungnya.

"Alhamdulillah!" Ucap mereka berbarengan, sembari mengelus dada pelan. Mereka saling melempar senyum kemudian terkekeh pelan, Mbah Iyum yang melihat mereka hanya menggeleng sembari tersenyum kecil.

"Makasih banyak ya Mbah, kita gak tau kalo seragamnya gak selesai tepat waktu," ucap Pihu menyalami tangan Mbah Iyum yang masih menenteng kresek hitam.

"Maaf ya Mbah ngerepotin," sambung Aisyah sembari menyelipkan amplop berisi dua lembar uang ratusan ribu.

"Sami-sami cah ayuk, ini Mbah ikhlas bantuin kalian. Itung-itung sedekah sama anak santri, ini ambil saja lagi," jawabnya menyodorkan amplop itu kembali dengan senyum tulus.

"Mohon di terima Mbah, ini walaupun gak seberapa tapi lumayan buat jajan nya Rumi. Tolong diterima ya Mbah," ucap Pihu dengan senyum khas miliknya.

Mbah Iyum hanya tersenyum kemudian mengangguk, lantas pamit undur diri. Mereka dengan segera menyiapkan segala keperluan yang kurang hingga saatnya tiba acara di mulai.

____

Lantunan nasyid terdengar merdu di telinga, suaranya menggema di seluruh penjuru pesantren. Sukses membuat hati siapa saja yang mendengarnya tersentuh.

Pihu dengan suara lembut nya sedang duduk bersimpuh diatas panggung dengan beberapa santriwati yang sudah rapi dengan seragam gamis coklat muda berpadu jilbab hitam yang menutupi kepala mereka.

Tangan lembutnya senantiasa memegang mikrofon dengan anggun, sorot matanya teduh menghadap kebawah. Menunduk malu diantara ratusan hadirin yang sudah duduk dengan nyaman di kursinya.

Tabuhan rebana terdengar angkuh dengan partitur yang

Teratur, kontras dengan suara lembut khas Pihu yang membuat panggung megah itu bersinar. Semua orang terhanyut dalam syahdunya bait demi bait yang seakan merasuk dalam jiwa-jiwa yang haus akan siraman.

Gemuruh tepuk tangan terdengar begitu antusias ketika tepukan rebana terakhir terdengar mengangkasa. Suasana yang semula tampak hening kini terdengar riuh oleh decakan kagum para hadirin yang datang.

Pasalnya, seorang pemuda tampan dengan tatapan sayu itu baru saja keluar dari dalam sebuah mobil persis di sebelah panggung. Beberapa santriwati yang sedari tadi duduk tenang diatas panggung pun tampak mulai gelisah, entah karena suasana yang mulai canggung atau karena pemandangan yang cukup jelas di hadapannya.

Pihu yang duduk di tengah nampak kebingungan dengan apa yang terjadi. Mata bulatnya menatap gusar, posisi duduknya itu sukses menyulitkan Pihu untuk melihat ke sebelah panggung karena beberapa dekorasi yang tertiup angin menghalangi pandangan nya.

Namun beberapa detik kemudian, angin cukup keras bertiup.  Menghembuskan helai-helai kain yang tergantung bebas diatas sana, menampilkan sesosok pemuda tinggi dengan pakaian khas santrinya. Badannya tegap berbalut sarung dan kemeja putih yang senada dengan peci yang sedang ia kenakan.

DEG!!!

Tatapan mereka beradu pandang, sepersekian detik dia tertegun. Alis tebal yang begitu kontras dengan hidung mancung miliknya, namun tak lama Pihu segera memutuskan pandangannya. Ia kembali menunduk dengan hati yang gelisah, tatapannya mulai gusar dan hatinya berdetak tak karuan.

"Astagfirullah," gumam nya pelan menyadarkan diri sendiri.

Suara bariton MC menyadarkan Pihu dari lamunan, ketika ia menyebutkan nama dari seseorang itu dengan bangga. Ya, dia adalah Adam Khairul Anwar. Putra dari Abah dan Umi yang selama ini menimba ilmu di kota yang menyandang julukan Ibu Dunia. Kairo, Mesir. Kota seribu menara.

Adam tampak berjalan pelan dengan menenteng tas hitam di tangannya, menghampiri Abah dan Umi yang saat ini sudah berdiri dari kursi nyamannya. Ia segera meraih tangan Abah dengan takdzim, Abah hanya tersenyum bangga dengan putranya itu sembari menepuk pelan pundak Adam.

Kemudian Dia beralih menatap Umi yang sudah berderai air mata menatapnya. Di raihnya punggung tangan lemah Umi yang sudah tampak menua, dua belas tahun yang lalu uminya masih sangat cantik namun setelah sekian lama waktu mengubah segalanya.

Di ciuminya tangan itu dengan takdzim, ekor matanya sedikit basah dan memerah. namun masih ia tahan agar tidak menetes di hadapan Umi tercinta, ia tentu tidak mau di cap lemah oleh para tamu yang kini menatap mereka antara rasa haru dan bangga.

Lantunan solawat kembali menggema, beriringan rapi dengan tabuhan rebana yang mengangkasa. Terdengar lirih nan merdu, menghiasi suasana haru yang amat syahdu.

____

Satu persatu Santri mulai  naik keatas panggung ketika MC menyebutkan nama mereka bergantian, usai sudah. Kini giliran para santriwati yang sudah siap dengan satu set jubah hitam dan toga yang mereka kenakan.

Setelah beruntun nama-nama yang di sebutkan sesuai abjad, tiba kini giliran Pihu yang harus menappakan kakinya diatas panggung besar itu. Tangannya bergetar hebat ketika namanya dengan lantang diucapkan, bagaimana tidak ketika semua orang di dampingi oleh orang-orang yang sangat mereka sayang sedang ia tidak.

Hanya ada Riska dan Rudy yang setia menemaninya disana. Meskipun begitu tetap saja terasa hampa tanpa ada Bunda. Matanya kembali memanas, terasa perih di tenggorokan menahan tangis. Bagaimana bisa Bunda mengabaikan nya bahkan di hari penting ini?

Pihu melangkah dengan ragu, namun seulas senyum tetap terukir di bibir penuhnya ketika Abah secara langsung menyerahkan ijazah dan beberapa piagam serta medali. Hanya Pihu dan dua santriwati lain yang mendapatkan piagam itu, untuk apresiasi atas prestasi-prestasi yang mereka gaungkan di pondok pesantren ini.

Ia menyalami punggung tangan Abah dengan takdzim, sedikit menundukkan pandangannya. Dibawah sana tampak Riska sudah sesenggukan menatap Pihu nanar, mungkin ia tahu apa yang sedang Pihu rasakan saat ini.

Setelah acara pemberian ijazah berakhir, kini tiba acara persembahan oleh santri dan santriwati yang akan segera meninggalkan pondok ini. Sebagai kenang-kenangan dan bentuk ucapan semangat untuk adik-adik yang masih akan berjuang disini.

Pihu terpilih sebagai perwakilan dari kalangan santriwati, suaranya yang indah sukses membuat teman-temannya berinisiatif untuk mempersembahkan sebuah lagu, untuk Ibu.

Ummi ...

Tsumma Ummil haddi akhir yaumfa'umri

Hubbi min awwil hayaatiw hammuhammi

Illi kattar khoir hadab

Khoir haffi dammi wa'aishfi

Ummi ...

Tsumma Ummil haddi akhir yaumfa'umri

Hubbi min awwil hayaatiw hammuhammi

Illi kattar khoir hadab

Khoir haffi dammi wa'aishfi

A'millaha timtsal

Illi thibbit qolbaha fuqil hayal

A'millaha timtsal

Illi tsirrit  willi ta'bit

Willi rabbit willi syalit hamli kibal

A'millaha timtsal

Illi thibbit qolbaha fuqil hayal

A'millaha timtsal

Illi tsirrit  willi ta'bit

Willi rabbit willi syalit hamli kibal

Ummi ...

Tsumma Ummil haddi akhir yaumfa'umri

Hubbi min awwil hayaatiw hammuhammi

Illi kattar khoir hadab

Khoir haffi dammi wa'aishfi

Artinya:

Ibu

Ohh Ibuku hingga hari terakhir dalam hidupku

Cintanya di hari pertama hidupku dan perhatiannya kepadaku

Banyak sekali kebaikannya mengalir di darahku dan hidup bersamaku

Ibu

Ohh Ibuku hingga hari terakhir dalam hidupku

Cintanya di hari pertama hidupku dan perhatiannya kepadaku

Banyak sekali kebaikannya mengalir di darahku dan hidup bersamaku

Aku beri penghargaan untuknya

Dia yang hatinya begitu mulia tak terkira

Aku beri penghargaan untuknya, Dia yang bersusah payah siang dan malam menjaga dan memikul beban sebesar gunung

Aku beri penghargaan untuknya

Dia yang hatinya begitu mulia tak terkira

Aku beri penghargaan untuknya, Dia yang bersusah payah siang dan malam menjaga dan memikul beban sebesar gunung

Ibu

Ohh Ibuku hingga hari terakhir dalam hidupku

Cintanya di hari pertama hidupku dan perhatiannya kepadaku

Banyak sekali kebaikannya mengalir di darahku dan hidup bersamaku.

____

Suaranya mendayu-dayu, airmata sudah membanjiri wajah anggunnya. Dengan suara bergetar dia melantunkan kerinduannya dalam sebuah lagu, berharap seseorang yang amat sangat ia rindukan segera datang untuk membawanya pulang.

Betapa ia ingin Bunda melihat keberhasilan nya, prestasi-prestasi yang ia capai hanya untuk Bunda. Namun nyatanya Dia masih tetap seorang diri, ia menuruni panggung dengan wajah penuh kesedihan. Semua orang tampak mengusap airmata ketika mendengar suara Pihu yang penuh oleh rasa rindu, tak terkecuali Riska dan Aisyah.

Mereka memeluk Pihu erat bersamaan. Di sebrang sana, sepasang mata sayu menatap mereka pedih.

____