Lembar-lembar Al-Qur'an bergerak mengikuti hembusan angin, Pihu dengan erat memegang Al-Qur'an nya agar lembar yang sedang di muroja'ahnya tak ikut tertutup. Dia duduk dengan anggun sembari matanya terpejam menikmati betapa syahdunya mendalami firmanNya.
Mulutnya senantiasa menggumam ayat demi ayat dengan lancar meski sesekali ia harus mengulang ayat yang hurufnya salah ia lafalkan. Angin malam berhembus tenang, namun sibuk bermain dengan ujung jilbab Pihu. Ia menyenderkan badannya nyaman pada tiang itu, kamarnya yang terletak di lantai dua membuat pemandangan tampak begitu elok.
Bulan bersinar terang, berbaur dengan bintang-bintang yang selalu membersamainya. Dibawah sana para santri tampak larut dalam kesibukkannya masing-masing, sebagian mereka tengah berkutat dengan hafalan yang harus mereka setor esok subuh sedang beberapa lainnya masih nyaman dalam perbincangan.
Suara indah Pihu mencipta keindahan yang tak bisa dijabarkan, hembusan angin membawa suara merdu Pihu pada sang pujangga yang tengah dimabuk cinta. Alunan murottalnya berhasil angin sampaikan pada gendang telinga Adam yang kini tengah bersandar pada kursi santai yang terletak di balkon.
Matanya fokus meneliti keindahan makhluk tuhan satu itu, bibirnya tak henti tersenyum kala netra indah miliknya menyecap setiap lekuk wajah Pihu.
Wajah tampannya seketika menunduk ketika manik coklat milik Pihu terbuka, seketika pandangannya jatuh tepat pada Adam yang kini tengah duduk dibalkon berhadapan dengan kamar Pihu. Adam hanya berpura-pura sibuk memainkan gadgetnya ketika Pihu dengan malu menengadahkan wajahnya, berharap sesuatu yang ia harapkan benar adanya namun nihil.
Sejak sejam yang lalu dia memurojaah hafalannya ia merasa sedang diawasi, ia sangat berharap jika orang itu adalah Adam. Ya, memang tidak dipungkiri jika Pihu condong pada Gus tampannya itu. Ia tahu memang ia tidak pantas merasa demikian, namun apa daya hatinya berkehendak lain meskipun ia tidak memiliki kuasa untuk menunjukkan rasanya itu.
Ia tersenyum kecewa kala Adam tengah asyik bermain handphone dengan senyum merekah di wajahnya.
"Mungkin Mas Adam sedang berkabar dengan calon istrinya," batin Pihu seraya tersenyum kecut.
Ia kembali menundukkan kepalanya dalam-dalam, menghela nafas kasar kemudian bangkit dengan menggenggam Al-Qur'an kesayangannya menuju kamar. Entah mengapa rasanya tiba-tiba sesak ketika membayangkan jika Adam tambatan hatinya sedang memimpikan wanita lain. Sungguh bodoh, fikirnya kala itu.
Adam mengangkat dagunya ragu, matanya membulat kesal ketika mendapati Pihu sudah tidak ditempatnya semula. Ia mengacak rambutnya frustasi mengapa dia begitu bodoh untuk sekedar beradu pandang dengan wanita yang sangat ia kagumi itu. Betapa dia sangat ingin mendekatinya secara langsung namun hukum mencegahnya, ia akan mendekati Pihu setelah mendapat restu Abah, hanya saat itu tiba.
"Mas akan segera memintamu pada Abah Pihu," gumamnya pada diri sendiri menatap tempat dimana Pihu tadi duduk sembari tersenyum, hatinya seketika menghangat ketika mimpi-mimpinya untuk Pihu terbesit dalam benaknya.
____
Pihu sedang termenung, matanya menatap kosong langit-langit kamar tidurnya. Aisyah dan teman-temannya yang lain sudah terlelap sejak tadi hanya dia yang masih terjaga sendirian.
Hatinya selalu gelisah sejak pertemuannya dengan Adam, kini perasaannya selalu gundah ketika fikirannya menerka-nerka apa yang akan terjadi pada perasaannya jika Adam ternyata bukanlah jodohnya.
"Hftt!"
Ia menghela nafas berat membalikkan tubuhnya memeluk bantal, ia tidak boleh lemah pada perasaannya sendiri. Meskipun Adam adalah pria pertama dan satu-satunya yang sukses meluluhkan hatinya pada pandangan pertama namun ia tak boleh lalai, ada Al-Qur'an yang harus senantiasa ia utamakan jangan sampai perasaannya merusak segala mimpi dan tujuannya selama ini.
Ia menutupi badannya dengan selimut dan menutupkan sehelai kain pada matanya agar ia segera bisa tertidur, dan sukses hanya dalam beberapa menit Pihu sudah pulas dengan memeluk boneka kesayangannya nyaman.
____
Waktu menunjukkan tepat pukul tujuh tiga puluh menit, Pihu tengah bersiap untuk pergi ke kampus untuk mulai melakukan rutinitasnya sebagai mahasantri. Setelah ia menunaikan kewajibannya sebagai seorang abdi pondok kini ia harus melanjutkan mimpinya agar bisa mewujudkan cita-cita Bunda.
Ia tersenyum kala melihat pantulan wajahnya di cermin, betapa kini dirinya terlihat persis seperti Bunda, ia membetulkan kembali jilbab pashmina jumbo yang sedari tadi ia kenakan.
Ia keluar dengan tas yang sudah disandingnya di pundak, ia duduk bersandar pada tembok bernuansa putih itu untuk mengenakan sepatu slop kesukaannya. Tak lupa sebelumnya ia kenakan kaus kaki agar auratnya tertutup sempurna, kemudian bergegas menuju jalan raya bersama dengan Aisyah agar mereka tidak ketinggalan bis.
Mereka berjalan dengan menunduk ketika langkah mereka harus melewati aula yang disana para santri putra tengah berkumpul untuk latihan marawis, seketika kumpulan yang awalnya tenang dengan alunan merdu dari rebana yang dimainkan teratur mendadak riuh.
Apalagi jika bukan karena kembang dari pondok pesantren ini yang tengah melewati mereka, seperti mimpi indah bisa bertemu Pihu di pagi yang cerah ini. Pihu yang tampil bak bidadari meskipun hanya mengenakan gamis dan hijab panjang simple tampak begitu menawan, apalagi disana terdapat beberapa Kang Santri yang pernah beberapa kali menitipinya salam semakin membuat suasana ricuh.
Wajah Pihu sudah merah padam menahan malu dengan langkah tergesa sedang Aisyah tampak cuek saja menatap sinis para Kang santri yang membuat ribut itu, namun sepersekian detik kemudian suasana mendadak hening.
Karena mendengar kegaduhan diluar rumahnya Mas Raihan segera keluar dari dalam Rumah. Ya dia adalah kakak dari Adam, dimana dihari yang sama mereka pulang berbarengan. Jika selama dua belas tahun ini Adam menimba ilmu di Kairo, Raihan mengabdikan dirinya di sebuah pondok pesantren di Cirebon.
"Ya Allah kalian ini baru saya tinggal sebentar sudah rame saja ada apa?" Serunya sembari membenahi rambut yang masih meneteskan air, sepertinya baru habis berwudhu lalu mengenakan kembali pecinya.
Sedang yang ditanya hanya terdiam, mereka membeku malu. Pasalnya Mas Raihan memberi mereka waktu untuk berlatih terlebih dahulu sebelum mereka memperlihatkan kepiawaian mereka selagi Mas Raihan mengambil wudhu, namun Pihu menghancurkan konsentrasi mereka semua.
Raihan terdiam ditempatnya ketika menyadari keberadaan Pihu yang tengah menunduk dengan Aisyah, ya memang mereka malah berdiam diri dan menunduk disana karena akan sangat tidak sopan jika pergi memunggungi Gus mereka begitu saja, hati Raihan berdenyut lagi. Dia terpaku melihat gadis yang sama itu masih menunduk seperti pertama dia melihatnya dengan tak sengaja bertabrakan kala itu.
Tanpa sepengetahuan mereka, sepasang mata elang menatap mereka tajam bak hendak memangsa. Adam menatap kesal pemandangan didepannya itu, dia baru saja hendak mengajar marawis setelah Mas Raihan memanggilnya untuk berbagi ilmu bersamanya. Namun apa yang dia lihat malah membuat hatinya memanas.
Bagaimana tidak, pandangan para santri itu dengan sangat lancang menyebut nama wanitanya dengan rayuan, dan lagi kakaknya kini menatap Pihu tak berkedip. Adam mengepalkan tangannya geram, matanya memerah menahan cemburu yang menyesakkan kemudian dengan langkah pasti dia menghampiri.
"Ada apa ini kenapa berisik sekali?" Tanya Adam ketus dengan tatapan menghakimi.
Tidak ada yang berani menyahut perkataanya, hanya Raihan yang seperti baru tersadar dari lamunannya dan buru-buru mengalihkan pandangannya cepat.
"Kalian berdua hendak kemana?" Tanya Adam dingin.
"Anu Mas, mau berangkat kuliah," jawab Pihu jujur dengan sedikit takut.
"Yasudah kenapa masih berdiri saja disini?"
Pihu dan Aisyah tak berani melawan lagi, mereka hanya mengangguk kemudian lekas pergi dengan tetap membungkukkan badannya dan lenyap di balik gerbang besar itu.
"Kamu itu lho jangan galak-galak sama santriwati, ntar kalo malah naksir nyesel lagi," seru Raihan pada adiknya itu seraya menepuk pundak Adam pelan dan segera masuk kedalam aula.
Adam hanya menatap dingin kakaknya itu, entah mengapa dia begitu kesal melihat tatapan Raihan yang tampak begitu penuh, cinta?
"Aishh," ucapnya kesal kemudian kembali kedalam rumah, semua ini membuatnya tak selera untuk melakukan apapun. Yang dia inginkan kini hanya Abah yang segera pulang dari tanah suci agar dia bisa segera menyampaikan keinginannya dan tidak yang akan menatap wanita tambatan hatinya seperti itu lagi.
____