Seberkas cahaya nan terik menyilaukan pandangan Pihu siang itu, ia tengah menunggu bis untuk segera pulang. Aisyah yang subuh tadi mendadak demam membuat Pihu mau tidak mau harus pergi ke kampus sendirian karena ada kelas yang sangat penting hari ini dan mustahil jika salah satu dari mereka tidak mengikutinya.
Ia mendekap sebuah buku besar berjilid coklat dengan sebuah kertas putih di tengahnya, ia bersandar pada tiang besi halte karena kursi panjang yang biasa ia duduki bersama Aisyah untuk menunggu sekarang tampak penuh.
Badannya mulai terasa terbakar, hari yang panas itu harus di lewatinya seorang diri menunggu bis yang entah kapan datangnya.
Bis yang biasa ia gunakan untuk pulang berjalan melewatinya begitu saja, tak menghiraukan lambaian tangannya yang sedari tadi di lambaikannya. Bis itu telah penuh sesak, berjejal bak rumput di keranjang. dengan terpaksa ia harus menunggu bis satunya lagi, walaupun itu akan memakan waktu yang lebih lama karena rutenya yang memutar sebelum melewati jalanan pondok. Ia mengelap keringat yang mulai menetes dari pelipisnya yangs sedikit memerah menahan cuaca panas.
CIIITTTTT
Seseorang pengemudi mendadak memberhentikan mobilnya tepat di hadapan Pihu secara tiba-tiba, sukses membuatnya sedikit terlonjak karena terkejut. Pihu mendadak merasa sekujur tubuh yang sedari tadi seeprti terbakar kini terasa dingin.
Tangannya sedikit bergetar ketika pemilik mobil itu membuka kaca mobil itu menampilkan sosok tampan yang kini tengah menatapnya seraya tersenyum manis.
"Kok sendirian saja Dek? Temennya gak kuliah?"
"Eumm anu Mas, nggak. Aisyah lagi demam," jawabnya bergetar karena gugup dengan tatapan yang terus memandangi sepatu slop yang ia gunakan.
"Yasudah pulang bareng Mas saja, kebetulan Mas juga baru pulang nganter Mbak Ratih." Turun dari dalam mobil Kemudian membuka pintu untuk Pihu yang masih setia menunduk.
"Makasih Mas," ucapnya seraya tersenyum penuh arti.
Adam hanya tersenyum manis menatap wajah anggun Pihu yang tampak memerah, kemudian segera menutup pintu dan kembali duduk di kursinya. Adam menginjak pedal gas dengan kecepatan sedang, membelah kebisingan di tengah hari yang panas itu, namun tidak dengan hati dua orang disana.
Mereka begitu merasa sejuk meski dengan hati yang berdebar-debar karena untuk pertama kalinya hanya duduk berdua, meski keduanya hanya membisu. Tak ada perbincangan, hanya dua insan yang sedang menikmati rasa yang tiba-tiba menjalar di sekujur tubuh mereka. Mata mereka mencerminkan betapa mereka tengah dilanda badai cinta yang teramat besar, namun tembok iman masih melindungi mereka dari segala keburukan.
Hening, hingga Adam memutuskan untuk mengakhiri kebisuan diantara keduanya. Ia tidak bisa menahan diri lagi ketika ia melihat cincin itu tersemat anggun dijari manis milik Pihu.
"Cantik dipake Kamu," ucapnya tersenyum penuh arti meski matanya tetap menatap lurus kedepan.
"Ehh, anu ... Iya Mas cincinnya cantik, Mas pinter milihnya," jawab Pihu gugup seraya tersenyum malu, ditatapnya cincin yang kini melingkari jarinya yang indah itu. Hatinya berdesir, pipinya semakin tampak menggemaskan. Jika saja mereka kini sudah menikah mungkin Adam sudah mencubit pipi gembulnya itu saking gemasnya.
Apalagi ketika Pihu tersipu malu, wajahnya begitu manis membuat Adam ingin memakannya saja.
Pihu tetap menunduk, menghindari kontak mata dengan Adam. Ia tidak akan sanggup, rasanya jantungnya akan copot saja saat ini. Ia membuang wajahnya kesamping, menikmati angin yang kini tengah membelai wajahnya lembut.
"Jadi ...." Ucap Adam menggantung kalimatnya, Pihu hanya menoleh padanya menanti apa yang selanjutnya akan Adam ucapkan namun sang empunya malah berhenti begitu netra mereka bertemu, mencipta debar yang melebihi kadar.
"Ekhem," dehemnya berusaha menetralkan suasana yang berubah canggung.
"Eh," ucap Pihu tersipu malu ketika Adam tampak begitu salah tingkah, ia hanya tersenyum kemudian menundukkan kembali pandangannya.
Mobil itu terus melaju, namun arah mereka berbeda dengan arah pulang. Adam membawa Pihu pada sebuah restoran bergaya timur tengah tak jauh dari taman kota, Pihu hanya menatap bingung Adam yang masih fokus memarkirkan mobilnya di sudut parkiran yang tampak sedikit lengang.
"Lho Mas ko kita kesini?" Tanya Pihu setelah Adam mematikan mobilnya.
"Mas laper Dek, kita makan dulu ya abis itu baru pulang."
"Tapi Pihu takut dimarahi Ustadzah kalo telat pulang,"
" Nggak Dek, Mas sudah izin tadi lagian Mbak Ratih pulang malem sama Mas Ihan. Jadi kamu gausah khawatir," jelasnya seraya tersenyum hangat.
Pihu hanya mengangguk pasrah, turun mengikuti Adam yang sudah turun dan membuka pintu di sebelahnya.
"Ayok,"
"Iya Mas,"
Mereka duduk di sebuah meja yang langsung menghadap pemandangan taman kota yang tampak ramai di kejauhan, Pihu tersenyum menatap beberapa pasangan yang duduk tak jauh dari mereka tengah berfoto bersama. Mereka tampak serasi, nampaknya mereka baru saja menikah.
Adam yang sedari tadi mengamati wajah Pihu mengikuti arah pandangnya. Apa yang ditatap Pihu sehingga senyum manis miliknya itu tercipta, tatapannya jatuh pada objek yang Pihu lihat, ia hanya tersenyum simpul. Memanggil seorang pelayan pria yang segera menghampiri mereka dengan sebuah menu dan menyerahkannya pada Adam.
"Mau makan apa Dek?"
"Apa aja Mas," ucap Pihu yang mulai tampak nyaman disisi Adam seraya tersenyum hangat.
"Hummus nya dua, sama kebab dua ya Mas."
"Oh iya, jus orangenya juga dua."
"Baik Mas," ucap pelayan itu kemudian pergi meninggalkan mereka.
Selang beberapa waktu kemudian ia sudah datang dengan dua mangkuk yang berisi makanan yang asing dimata Pihu. Semacam bubur dan dua porsi kebab, jika kebab Pihu sudah pernah memakannya sewaktu keluar bersama Aisyah. Tak lupa dua gelas jus orange yang tampak segar dengan balok-balok es kecil didalamnya.
"Ayo Dek dimakan," ucap Adam yang melihat Pihu tampak kebingungan.
" Ini namanya Hummus, kacang arab yang di halusin trus dikasih bumbu. Enak kok, coba kamu cicipin," lanjutnya kemudian.
Pihu hanya menurut dan menyuapkan sesendok makanan itu kedalam mulutnya. Meski terasa asing di lidahnya namun rasanya cukup enak hingga Pihu mengambil suapannya untuk kali kedua, Adam hanya menatap gemas Pihu yang sedang menikmati makanannya itu dengan tersenyum bahagia hingga makanannya sendiri tak ia sentuh.
"Dulu Mas waktu di Mesir sering makan ini, sampai-sampai Mas rindu masakan rumah yang dibuat Umi," ucapnya terkekeh pelan mengingat masa-masanya semasa menimba ilmu disana. Namun air muka Pihu seketika berubah muram, ada sedikit air yabg tampak tergenang di mata sendunya.
"Pihu juga rindu tumis kangkung Bunda," ucapnya serak seraya tersenyum palsu.
"Mas tahu, nanti kita cari Bunda ya. Mas janji." Tersenyum penuh arti, seakan menguatkan gadis yang di kasihinya itu.
"Dek,"
"Iya Mas,"
" Jika Mas memintamu pada Abah, apa kamu bersedia menjadi penyempurna iman Mas yang belum kokoh ini?" Ucap Adam serius menatap lekat wajah Pihu yang masih menunduk.
Sontak Pihu mengangkat wajahnya kaget, ia baru saja dibuat terkejut oleh ungkapan Adam yang terdengar begitu tiba-tiba, namun begitu tulus.
DAMN
Mata mereka beradu pandang, ada harapan yang teramat dalam disana Pihu dapat melihatnya dengan jelas. Hatinya mendadak gelisah, jantungnya berpacu dengan cepat hingga wajahnya kini tampak pucat. Ia begitu terkejut dengan semua yang begitu tiba-tiba ini.
Belum lama Adam mengungkapkan perasaannya pada Pihu melalui sebuah surat dan sekarang ia melamarnya secara langsung dengan tiba-tiba seperti ini? Rasanya Pihu ingin menangis dengan semua kebahagiaan ini, sedari dulu ia mendambakan Mas Adam namun disaat bersamaan ia juga dilanda kecemasan yang hebat.
"Dek?"
"Berikan Pihu waktu Mas, Pihu ingin berfikir sejenak." Menundukkan kepalanya dalam-dalam.
"Baiklah tak usah terburu-buru, Mas mengerti. Mas akan selalu menunggu," ucapnya seraya tersenyum hangat, menenangkan Pihu dengan tatapan memabukkan miliknya.
Tatapan mereka kembali bertemu, mencipta desir penuh kerinduan yang begitu dalam. Adam mengedarkan pandangannya, memanggil seorang pelayan dan meminta bon makanannya. Kemudian berlalu meninggalkan restoran itu dan segera kembali ke pondok karena hari yang sudah menjelang asar.
Diatas sana, mentari tak lagi seterik tadi. Warnanya mulai meremang, menambah syahdu suasana sore itu. Sepasang manusia tampak terhanyut dalam fikiran masing-masing, tanpa sepatah katapun, tak bergeming. Menghayati setiap desir yang membuat hati manapun akan luluh lantak atas nama CINTA.
_____