Hari berlalu, minggu berganti, tak terasa tiga minggu sudah semenjak Abah melamar Pihu untuk Raihan putranya. Entah mengapa setiap hari yang Pihu lewati kini terasa hampa, tak lagi semenyenangkan dulu.
Hari ini Pihu akan pergi ke sebuah butik ternama dikota ini, kemarin sore Raihan mengajaknya kesana untuk mencari gaun pengantin yang pas untuk mereka kenakan nanti. Sesungguhnya Pihu sangat malas, kenapa ia harus repot menyiapkan segala sesuatu yang pada hakikatnya itu akan menghancurkannya?
"Ffhhh," ia menarik nafas berat, ditatapnya kembali pantulan wajahnya di cermin yang menempel di dinding kamarnya.
"Siapa kau?" Tanyanya sendiri pada pantulan wajah gadis murung dengan kantung mata yang tebal dan badan yang tampak mengurus di hadapannya.
Kemudian ia hanya terkekeh geli, menertawakan kebodohannya hingga terjebak di ruang fana ini sekarang. Sungguh ia sendiri begitu tertekan dengan segalanya, setiap tatapan kecewa yang Adam lemparkan, setiap kebaikan Raihan dengan berbagai pengertiannya selalu sukses membuat Pihu merasa buruk.
Ia seperti menghianati cintanya sendiri, membohongi segala perasaan yang sesungguhnya telah ia persembahkan hanya untuk Adam seorang. Dan Raihan? Ia bahkan tetap memperlakukannya dengan baik ketika Pihu tak menginginkan hadirnya sama sekali. Seburuk itu ia sekarang, namun apa yang mampu ia perbuat? Hanya mengikuti alurnya saja, bagai jiwa tanpa raga pun sebaliknya. Bagai raga yang berjalan tanpa jiwa, hampa begitu kentara di kedua manik sendu miliknya.
"Pi, Mas Raihan udah nunggu di depan," ucap Aisyah ketika baru saja masuk kedalam kamar mereka dengan sepiring uduk yang baru saja ia beli dari Bu Nati.
"Oh, iya," balasnya singkat sembari mengulum senyum kecil yang tampak begitu teduh.
"Kamu baik?"
"Ya, Aku masih baik-baik saja Syah," ucapnya pelan melirik sahabatnya itu, berusaha terlihat baik-baik saja. Namun Aisyah bukanlah anak kemarin sore yang baru mengenal Pihu sehari, dia bahkan lebih tahu dari pihu jika ia sedang amat terluka hatinya hanya saja ia mencoba untuk tetap baik, sungguh malang.
Aisyah hanya menatap Pihu sendu, di elusnya pundak rapuh miliknya dengan hangat.
"Yaudah gih, hati-hati ya."
"Aku pergi dulu."
"Bye," ucapnya sembari melambaikan tangannya pelan.
Di sebrang sana, Raihan sudah tampak gagah dengan setelan kemeja putih yang dipadukan dengan sarung dan peci yang hampir senada. Sangat tampan, namun sesuatu diatas sana membuat langkah Pihu seketika terhenti.
Ya, disana Adam tengah menatapnya dingin. Tatapannya datar namun terasa begitu menusuk ke relung hati terdalam, oh ia bahkan sulit bernafas sekarang. Adam hanya sekilas memandang jemari tangan pihu yang tengah tertaut, bukan tangan yang menjadi objek tatapannya namun sesuatu yang masih dengan setia melingkar disana. Cincin yang dahulu ia berikan ketika mengungkapkan perasaannya, nahas segala mimpi itu kini telah hancur tak tersisa.
Pihu mengikuti arah tatapan Adam, ia tertegun ketika menyadari bahwa cincin di jari manisnya lah yang membuat Adam menatapnya kian dalam. Ditatapnya wajah Adam lamat dengan tatapan mengiba, hampir saja air matanya menetes namun Adam lekas memutuskan pandangan mereka. Tersenyum sinis kearahnya kemudian kembali masuk kedalam kamar.
TES
Sebutir bening jatuh dari kelopak mata indahnya, mengenai cincin yang masih terpajang anggun di jemari manis disana. Ia menunduk dalam, menikmati perih yang sudah menusuk sedemikian rupa.
Seperti inikah takdir bekerja? Berulang kali ia merasa di tinggalkan, dahulu Ayah kemudian Bunda juga. Lantas sekarang? Cinta pertama dan satu-satunya pun ikut pergi bersama mereka? Rencana macam apa yang sebenarnya sedang kau susun untuk seorang gadis belia yang masih naif untuk memikul kesedihan ini tuhan?
"Dek," seru Raihan dari seberang sana membuat Pihu segera menyadarkan diri dari lamunannya.
"Iya Mas," jawabnya segera setelah menyeka kasar pipi gembul miliknya kemudian menghampiri Raihan dan Mbak Ratih yang sudah menunggu disana.
Ada sesuatu dimata guru sekaligus sahabatnya itu, pedih, begitu kurang lebih. Ternyata Ratih juga menyaksikan betapa rasa sakit itu kini tengah mendera keduanya, tatapan dingin yang Adam lemparkan pada Pihu berhasil membuat batin Ratih mencelos perih seketika.
Bukankah dia yang dulu menjodohkan mereka berdua sampai keduanya memiliki rasa yang sama besarnya? Namun takdir sekali lagi mengecohnya, membuat dua orang yang berarti dalam hidupnya malah merasakan apa yang dahulu ia alami? sungguh ia merasa sangat bersalah sekarang.
Ratih hanya menunduk pasrah, melirik sekilas pada Adam yang ternyata masih mengawasi mereka di sebalik jendela diatas sana. Adam hanya tersenyum kecut, menatap nyalang pada gadis yang kini tengah di gandengannya. Berusaha tersenyum hangat meski nyatanya Adam hanya balas menatapnya dingin, kemudian ia bergegas masuk bersama Pihu kedalam dan duduk berdua di bangku penumpang.
Raihan duduk di kursi depan bersama seorang santri yang menjadi sopir mereka hari ini, sesekali mencuri pandang pada pihu yang masih menunduk tanpa ekspresi. Ada perasaan bersalah di hatinya ketika memandang wajah Pihu, ia seakan berdosa telah meminangnya. Tapi apa? Ia tepis segala prasangka buruknya, mungkin ini hanya perasaan gugup mengingat pernikahan mereka hanya tinggal menghitung hari saja.
____
Mereka sampai di sebuah butik megah nan mewah dengan bangunan cukup luas, ditambah pelayanan beberapa pegawai disana yang menyambut kedatangan mereka dengan hangat menunjukkan bahwa tamu-tamu yang berkunjung kebutik ini kebanyakan adalah orang-orang dengan pangkat sosial cukup tinggi, itu yang dapat ia tangkap. Seperti seorang gadis yang baru saja duduk disana.
Gadis yang ia taksir seumuran dengannya dengan pakaian yang terbilang modis kini tengah duduk diatas sebuah kursi dengan beberapa pelayan toko yang sedang sibuk menawarinya beberapa potongan baju yang terlihat sangat mahal. Tunggu, ia seperti tak asing dengan wajah gadis itu. Apa Pihu pernah bertemu dengannya? tapi kapan?
"Adilla!" Seru Raihan pada gadis itu ketika netranya menangkap sosok gadis cantik berkerudung merah muda itu.
"Mas Raihan? Oh, wow kejutan," timpalnya tak kalah girang ketika tatapannya mengarah pada Raihan yang berjalan didepan, sedangkan Ustadzah Ratih hanya menatapnya sedikit, tak suka?
"Gak nyangka ketemu kamu disini, sama siapa?" Tanya Raihan setelah mereka bersalaman, terlihat sangat akrab.
"Tadi sama Papa kesini, tapi katanya ada meeting sama client makanya Aku nunggu disini," ucapnya terdengar sedikit angkuh.
"Kebiasaan lama kamu ya, kalo gabut pasti senengnya shopping."
"Gakpapa lah Mas, daripada bosen ikut papa bahas apalah itu Dilla gak ngerti," balasnya terkekeh pelan dengan tatapan menggoda Raihan?
"Oyaa, kenalin ini calon istri Mas ... Pihu."
"Ohhh Hii, Aku Adilla," balasnya seraya mengulurkan tangan pada Pihu.
"Pihu." Menyambut lengan Adilla ramah.
"Cuma sepupu jauh kita kok Pi," jelas Mbak Ratih penuh penekanan, netranya menatap sinis pada Adilla yang tampak gugup melihat Ratih, sedangkan Pihu hanya tersenyum canggung.
"Ayok Han, ntar keburu sore ... Mbak ada jadwal ngajar anak-anak abis ashar," ujar Mbak Ratih pada Raihan, menatap sinis Adilla yang tengah tersenyum kecut kearahnya.
"Yaudah Adilla, kita duluan ya mau cari gaun buat akad nanti," ucap Raihan sembari tersenyum.
"Iya Mas, kalo butuh bantuan Adilla ada disini," ujarnya tak tahu malu, bukankan jelas jika Pihu adalah calon istri Raihan? Tapi tetap saja berkata demikian, benar-benar tak tahu malu. Ratih hanya mendelik sebal, kemudian bergegas menyeret Pihu kedalam dan diikuti Raihan dari belakang setelah pamit.
"Kamu suka yang mana Pi?" Tanta Ratih dengan dua gaun pengantin syar'i di kedua tangannya.
"Pihu gimana Mbak saja," ucapnya singkat, sudah menjadi kebiasaan ia akan memanggil Ratih dengan sebutan Mbak ketika diluar pondok ataupun ketika mereka hanya sedang berdua saja, mengingat kedekatan mereka semenjak lama dan Ratih lah yang menyuruh pihu untuk memanggilnya demikian jika mereka sedang berada diluar.
Ia menatap Pihu sebentar kemudian menyerahkan satu gaun yang tampak begitu berbeda dengan gaun lainnya.
Sementara Pihu yang sedang mencoba gaun yang baru saja di pilihkan Ratih untuknya, Raihan mendekati Ratih dengan tatapan yang sulit diartikan.
"Mbak kenapa bersikap begitu pada Adilla?"
"Kenapa? Toh dia gak pantes di perlakukan baik. Kamu lupa apa yang dia lakukan sama kamu dan Adam dahulu ha? Kamu lupa?"
"Udah lah Mbak, gak usah bahas masa lalu. Yang sudah ya sudah ... "
"Apa yang gak usah di bahas Mas?"
"Pihu," ucap mereka berbarengan.
____