"Mbak Pihu ... "
"Iya Mas?" Menatap bola mata Adam yang tampak memukau.
"Jika saya ingin sedikit berbincang apa boleh?"
"Maaf Mas, Saya tidak berani." Menundukan kepalanya sopan.
"Baiklah tak apa, Saya hanya berusaha," ucapnya sedikit terkekeh sembari menggaruk tengkuknya yang tidak gatal.
Pihu segera pamit undur diri, menyusul Aisyah yang sudah hampir sampai di pintu asrama mereka. Pihu hanya menganggukkan kembali kepalanya, mengucapkan terimakasih kemudian berlalu. Adam hanya tersenyum manis menatap punggung Pihu yang semakin menjauh, tampaknya awal kedekatan mereka baru saja dimulai.
Ia melempar kunci mobilnya ke angkasa Kemudian menangkapnya kembali kedalam genggaman, menatap kearah Pihu sekali lagi yang ternyata di ujung sana Pihu juga tengah mengamati kegirangannya. Adam hanya tersipu malu ketika melihatnya, ketika mengetahui Pihu tengah memperhatikannya juga.
Adam hanya tersenyum lebar melihat Pihu yang kini melempar senyuman manis padanya, oh mendadak dada Adam terasa sesak. Seseorang tolong ambilkan tabung oksigen.
Pihu kembali memamerkan deretan gigi putihnya melihat tingkah Adam yang kini berbeda, hangat dan ramah. Ia melihat Adam yang masih mematung disana, kemudian segera memutuskan pandangan mereka dan masuk kedalam asramanya untuk segera merebahkan diri.
Disusul Adam yang segera masuk kedalam rumahnya dengan bibir yang sama sekali belum mengatup, namun dihadapannya sudah disambut antusias oleh seseorang perempuan cantik yang beberapa tahun lebih tua darinya. Ustadzah Ratih sudah tersenyum jahil ketika Adam baru saja menginjakan kakinya ke ruang tamu.
Ustadzah Ratih tampak duduk dengan tumpukan kitab yang baru saja dibelinya dan belum sempat ia bereskan, ketika Adam tiba dengan senyum mencurigakan. Membuat sifat usil Ustadzah Ratih seketika muncul, berniat mengusili adiknya tercinta yang tengah dimabuk asmara itu.
"Kayaknya ada yang baru aja PDKT nih," celetuk Ustadzah Ratih menyindir Adam yang masih gugup karena tertangkap basah senyum-senyum sendiri bak orang gila.
"Siapa?" Tanyanya mengalihkan pembicaraan, berpura-pura tak mengerti apa yang Ustadzah Ratih bicarakan.
"Halah kamu Pikir Mbak gak tahu?"
"Apa si Mbak, Aku gak ngerti," jawabnya asal sembari melangkahkan kakinya cepat menuju kamar, dia ingin menghindar dari berbagai pertanyaan yang pasti akan Mbak Ratih lontarkan. Lebih-lebih jika Mbak Ratih tahu jika Adam tak memberikan cincin yang mereka pesan secara langsung, tapi lewat perantara seorang. Bisa habis dia di cap pengecut.
Adam mengelus dadanya pelan setelah mengetahui jika Mbak Ratih tidak menguntitnya sampai kekamar ini. Ia merebahkan badannya yang tiba-tiba terasa lemas, mungkin karena sedari tadi jantungnya berpacu dua kali lipat lebih cepat menyebabkan oksigen yang masuk kedalam paru-parunya tak teratur.
Ia kembali membayangkan betapa anggunnya Pihu ketika ia tersenyum, betapa menggemaskannya dia ketika sedang tertunduk malu di hadapannya karena tertangkap basah mengamati wajah tampannya ini.
"Aku memang tampan," ucapnya terkikik geli ketika mengingat pertemuan mereka siang tadi, menyenangkan. Andai ia bisa segera menikahi gadis itu, tentu akan lebih banyak waktu yang akan mereka habiskan bersama-sama.
Adam seperti orang yang hilang kewarasannya ketika bayangan wajah Pihu menguasai hati dan pikirannya, bibirnya dengan refleks menyungging senyum paling indah yang ia miliki. Rasanya tak pernah dia merasa sebahagia itu, perasaan ini begitu ajaib.
TOK TOK TOKK
Bunyi pintu diketuk membuyarkan semua yang ada di benaknya, ia menggerutu kesal. Siapa yang mengganggunya disaat seperti ini, ia sedang benar-benar ingin sendirian. Menikmati rasa ajaib yang baru ia rasakan ini, ia berjalan membuka pintu dengan malas.
CEKLEKK
"Kenapa Mas?" Tanyanya malas ketika dia melihat bahwa Raihan lah orang yang tengah berdiri dibalik pintu kamarnya, entah kenapa semenjak ia memergoki Raihan yang selalu mencoba mendekati Pihu Adam selalu kesal berhadapan dengan kakaknya itu.
"Sampean dipanggil ko gak nyahut Dam? Tak kira kamu kenapa makanya Mas samperin."
"Astagfirullah apa iya Mas? Adam kayanya ketiduran tadi, abis nganter gus Rafli ke bandara jadi kecapean," jawab Adam sekenanya sembari tersenyum kecil.
"Wes Alhamdulillah kalo gakpapa, Mas pergi dulu mau ngajar anak-anak paud latihan sholawat, tadinya Mas mau ngajak sampean, tapi gakpapa istirahat aja. Dan ini sekalian Mas mau nyampein kalo Abah sama umi minggu depan insyaAllah sudah bisa pulang." Menepuk pundak Adam pelan seraya tersenyum dan berbalik, pergi menuruni anak tangga satu persatu.
Adam hanya mengangguk, dalam hatinya ia begitu gembira mendengar kepulangan Abah. Namun disisi lain ia berdebar menduga-duga apa respon keluarganya nanti.
"Titip salam buat anak-anak ya Mas!"
"Siap." Mengacungkan jempolnya keudara tanpa menoleh lagi.
____
Pihu tengah bersimpuh sembari menyandarkan punggungnya pada meja di sebelah, setelah mengetahui bahwa nasi goreng semalam adalah pemberian Adam ia segera menaruh curiga pada cincin yang Adam masukkan disana.
Ia segera mencari-cari kresek hitam yang semalam belum sempat ia buang, dan benar saja. Didalam sana terdapat sepucuk surat yang terlipat kecil dibawah sterofom, sontak matanya membulat begitu kertas putih itu ia buka perlahan.
Matanya sedikit menitikkan air mata, entah itu airmata kebahagiaan atau kesedihan. Pasalnya Pihu sudah berjanji akan mengubur perasaannya dalam-dalam, namun sekarang kegundahan malah semakin menyelimuti hatinya.
Setitik air bening jatuh mengenai kertas putih itu, ia sangat bimbang sekarang. Ia tak menyangka jika seseorang yang begitu di kaguminya juga menaruh rasa yang sama padanya, lantas siapa wanita yang ia lihat didalam laptop waktu itu? Mengapa ia tampak begitu akrab dengannya? Apa ia telah salah sangka?
Di tatapnya cincin emas dengan berlian kecil itu dengan senang, hatinya sangat berbunga-bunga saat ini. Ia akan berusaha melupakan segalanya, tidak mungkin jika Adam telah memliki kekasih tapi dia menaruh hati pada Pihu kan? Artinya Adam memang belum memiliki siapapun, fikiran itu sukses membangkitkan kembali perasaannya.
Senyumnya mengembang sempurna kini, ditatapnya berkali-kali cincin yang sudah tersemat dijari manis tangan kanannya.
"Dek, jika memang engkau memiliki perasaan yang sama pada Mas tolong pakai cincin yang sudah Mas berikan.
Mas akan sangat bahagia dan menganggap perasaan Mas terbalaskan, meskipun saat ini kita belum bisa dengan sempurna bersama karena hukum yang telah Allah aturkan. Setidaknya Mas akan sangat bahagia melihatmu menerima Mas dengan sepenuh hati.
Maaf sebelumnya jika Mas tidak sopan mengucap semua ini hanya dengan perantara selembar kertas, bukan karena Mas tidak ingin berbincang dengan mu lebih lama. Mas sangat ingin, sungguh. Namun Mas tidak ingin mengotori perasaan ini dengan cara yang salah.
Semoga takdir bisa dengan segera mempersatukan kita dalam ikatan yang halal, dan segera bisa bersama, untuk saling menyempurnakan."
Begitu kira-kira isi tulisan terbawah surat yang Adam kirimkan, betapa wajah Pihu kini sudah merah seperti kepiting rebus menahan rasa bahagianya. Ia begitu malu membaca ungkapan cinta Adam yang begitu tulus itu, menembus celah sempit hatinya yang selama ini belum pernah terjamah, dan Adam berhasil mengisi ruang kosong itu sekarang.
Pihu tidur dengan nyaman, menyusul Aisyah yang sedari tadi sudah lama menjumpai mimpimya. Rasanya ingin segera besok saja, ia ingin segera Adam melihat jari manisnya dengan cincin yang sudah melingkar manis disana. Tak henti ditatapnya cincin indah itu seraya tersenyum manis hingga kereta kantuk menjemputnya dan segera mengantarnya pada pulau mimpi yang penuh dengan segala keindahan.
____