"Mbak Pihu di cariin Ustadzah," ucap seorang santriwati sedikit tergesa setelah pintu asrama itu terbuka.
Pihu segera menyeka air matanya, membenarkan kerudung yang sedikit kusut karena menangis.
Sedangkan Aisyah belum kembali setelah tadi pergi karena harus mengurus gladi dan segala persiapan untuk esok.
"Ada apa ya Dek, Ustadzah ko manggil Saya?"
"Anu Mbak, Saya juga gak tahu beliau hanya beramanat seperti itu," jawabnya gugup.
"Yasudah Kamu lanjutkan latihannya, Saya akan menemui Ustadzah sekarang," ucap Pihu serak sembari bangkit dari duduknya, membenahi sarung yang sudah panjang sebelah.
"Nggih, permisi Mbak," pamitnya kemudian.
"Iya silakan."
Pihu segera berlalu setelah menatap bayangan wajah pucatnya di cermin sekejap, tersenyum miris dengan wajah di hadapannya kemudian mengusap wajah gusar.
"Ehh mau kemana Pi?" Tanya Aisyah yang baru saja sampai ketika Pihu hendak melangkah keluar.
"Aku di panggil Ustadzah Syah, gak tahu ada apa," jawabnya terdengar lemah.
"Yaudah sana, ntar keburu ditanyain lagi sama Ustadzah,"
"Wes Aku kesana dulu." Melangkah pergi keluar, kemudian melempar senyum hangat pada Aisyah sekejap.
Dari kejauhan gemerlap cahaya menyilaukan mata Pihu yang sedikit membengkak, ia berjalan menunduk sembari menutup bagian atas matanya. Tanpa sadar badannya menubruk seseorang di hadapannya hingga mereka berdua terjerembab ke tanah.
"Astagfirullah!" Pekiknya terkejut.
"Ya Allah, maaf tadi saya gak lihat ... " Ucap pria di hadapan Pihu menggantung kalimatnya.
Netranya jatuh pada manik coklat yang sendu milik Pihu, pelupuk matanya sedikit membengkak namun tetap tampak memukau. Dia tak henti menyelidik kedalam matanya, namun suara Pihu membuyarkan semua.
"Gakpapa Mas, permisi," ucap Pihu tetap menundukkan pandangannya, membuat pria yang sejak tadi mematung terkesiap kaget.
"Ohh iya, eumm ... anu, silakan." Merentangkan tangannya sedikit bawah, memberikan jalan untuk Pihu.
Pihu hanya melewatinya, tetap menunduk dan menghilang di tengah kerumunan para santri. Pria itu hanya tertegun melihat keanggunan Pihu, tatapan sendu gadis itu menyentuh dasar hatinya. Siapa dia?
Dia tersadar dari lamunan sesaatnya, menyunggingkan seulas senyum yang sulit di artikan.
"Astagfirullah, mikir apa sih Aku ini," ucapnya bermonolog sembari menertawakan dirinya sendiri, baru kali ini dia segugup itu melihat seorang wanita. Dia membenarkan peci yang sedang di kenakan nya kemudian menggeleng pelan dan berlalu.
____
"Assalamualaikum Ustadzah," salamnya pada Ustdazah Ratih yang tampak berbincang dengan seseorang pria paruh baya di ruang tamu.
Pihu hanya berdiri di ambang pintu, mengucap salam dengan sopan dan takdzim.
"Waalaikumussalam, Pihu kemari masuk."
Pihu hanya mengangguk kemudian masuk setelah membuka sandal yang ia kenakan, ia hanya berdiri dengan sedikit membungkuk dengan penuh adab menunggu apa yang akan di sampaikan Ustadzah Ratih padanya.
"Pihu, untuk besok apa semuanya sudah siap?" Tanya Ustadzah Ratih dengan senyuman hangat miliknya.
"InsyaAllah sudah Ustadzah, hanya tinggal beberapa sentuhan kecil untuk dekorasi sisanya sudah semua," jawab Pihu terus memandang ke arah kakinya.
"Alhamdulillah kalo gitu, oh iya buat penyambutan nya gimana?"
"Anak-anak marawis InsyaAllah sudah siap .... "
"Lho bukannya Sinta vokalis marawis itu sedang sakit, dia di pulangkan kemarin malam," tanya Ustadzah Ratih sedikit gelisah.
"Anu, Pihu belum tahu kalo Mbak Sinta sakit Ustadzah," cicitnya pelan.
"Wess gakpapa, Kamu saja yang gantikan besok ... Suara Kamu juga gak kalah merdu dari Sinta," tuturnya sembari tersenyum.
Pihu terkejut, dia hanya mampu mengangguk tanpa berani menyela ataupun menolak perintah guru sekaligus temannya itu. Kemudian pamit kembali ke asrama, untuk memastikan tidak ada yang kurang.
Pihu tidak langsung bergabung dengan teman-temannya yang lain yang masih sibuk dengan latihan mereka masing-masing, dia masuk kedalam asrama nya menemui Aisyah yang sedang menyiapkan hiasan pelengkap dekorasi.
Dia duduk dengan gusar membenamkan kepalanya pada bantal berbentuk love itu.
"Kenapa Pi?"
"Hmm," ucap Pihu tanpa menjawab pertanyaan sahabatnya, dia sedang malas untuk semuanya.
Hatinya sedang berantakan, dia terlalu merindukan Bunda.
Aisyah hanya menghela nafas berat, mengerti dengan keadaan hati Pihu kemudian melanjutkan pekerjaannya. Memberikan Pihu waktu agar lebih tenang, dia butuh mengistirahatkan pikiran nya setelah bekerja keras seharian.
Pihu terlelap dengan memeluk boneka lusuh itu, mengenyahkan segala kesusahan hatinya. Aisyah sedari tadi menatapnya iba, mengambil selimut yang dua belas tahun selalu menemani tidur Pihu, kemudian menyelimutinya.
Betapa tidak, Pihu lah satu-satunya teman dan keluarga yang Aisyah miliki sekarang. Hanya Pihu yang senantiasa berada di sisinya dalam situasi apapun, menjadi alasan dia berjuang di Pondok Pesantren ini dengan serius.
Nasib mereka tak jauh berbeda, Pihu malang yang kehilangan Bunda terkasih entah karena alasan apa. Sedang Aisyah? Dia lebih miris, tanpa tahu siapa
orang tua kandungnya.
____
Pihu tersentak dari tidurnya ketika bunyi alarm menggema di seluruh penjuru asrama putri, bertautan saling menyambung satu sama lain. karena memang di setiap asrama memiliki satu atau lebih alarm yang biasa mereka gunakan agar tidak terlambat jika waktu tahajud tiba.
Dia menyesuaikan matanya dengan cahaya lampu, pukul dua tiga puluh menit. Ia segera bangkit mengenakan sandal nya dan berlalu ke kamar mandi.
Memang di Pondok Pesantren ini setiaep santri wajib memiliki dua sandal, satu untuk di tanah dan satu untuk di lantai. Karena untuk menjaga agar kaki tetap suci ketika hendak shalat ataupun setelah berwudhu.
Dia berjalan menyusuri lorong yang tidak begitu panjang, masih hening. Hanya ada beberapa santriwati yang sedang melaksanakan tahajud di majelis ketika ia melewatinya barusan.
Dia menyambar handuk pink yang tergantung dekat rak, mengambil keranjang sabun miliknya dan masuk ke satu bilik yang kosong diantara tujuh pintu lain yang tertutup dengan bunyi guyuran air yang gemericik.
____
Tepat pukul lima dini hari semua santri dan santriwati tampak sudah rapi dengan kostumnya masing-masing, hanya dua santriwati tampak bimbang dengan setelan sarung yang masih setia mereka kenakan.
"Mbak Aisyah ini kita gimana? Kostumnya apa belum selesai?" Tanya seorang santriwati dengan raut wajah gelisah.
"Sabar ya, mungkin sebentar lagi akan diantar kemari," jawab Aisyah menenangkan.
"Lagian kita pentasnya juga bukan pembukaan, tengah hari nanti baru pentas jadi kalian jangan khawatir, Aku cari Mbak Pihu dulu sebentar," lanjutnya kemudian.
Aisyah berjalan diantara kerumunan para santriwati yang sudah rapi dengan pakaian resmi yang akan mereka gunakan saat wisuda. Matanya tak henti mencari keberadaan Pihu, namun yang di cari tak kunjung tampak.
dengan gelisah Aisyah mencari dimana keberadaan sahabatnya itu, hingga netra nya jatuh pada sesosok gadis anggun dengan balutan gamis syar'i yang indah. dia menatap Pihu yang sedang serius membaca sebuah surat di tangannya, matanya tampak membulat dengan pipi yang merona merah.
Aisyah menatapnya heran, matanya menyelidik dengan alis yang terangkat sebelah. kemudian berjalan menghampiri Pihu.
"Kamu lagi apa Pi? aku nyariin kamu kemana-mana taunya disini asikk sendiri," ucapnya Aisyah maen nyerocos dengan wajah sebalnya.
"Ini Syah, tadi aku di panggil anak kecil terus Dia ngasih aku ini. dari siapa ya?"
"Lho emang gak ada namanya?" Tanya Aisyah heran.
"Gak ada Syah, cuma isinya aneh," ucap Pihu polos dengan sedikit menyunggingkan senyum kecil. Aisyah hanya menatapnya heran, kemudian merebut selembar kertas dengan amplop putih itu.
Tawanya kemudian pecah menggelegar, Dia tak bisa menahan tawanya hingga beberapa santri tampak terkejut karena mendengar nya. Aisyah gelagapan ketika menyadari mereka menjadi pusat perhatian di tengah keramaian ini. Dia hanya menutup mulutnya refleks.
"Kamu ini polos banget si Pi? ini namanya surat cinta," ucap Aisyah tersenyum jail, sikutnya menyenggol lengan Pihu pelan.
Wajahnya tak henti tersenyum, pasalnya Pihu memang banyak di sukai banyak santri disini namun belum ada yang berani mengiriminya surat seperti ini. sepertinya orang ini sangat berani.
"Ya Allah, Aku gak tau Syah sumpah. Aku gak ada hubungan kok sama santri sini dem-"
Ucapan Pihu terpotong karena telapak tangan Aisyah menyumpal mulutnya pelan.
"Sssttt kamu ini lho, udah gak usah berisik. Aku tau kok, udah yuk kita kesana aja bentar lagi acaranya mulai," ucap Aisyah sembari menyeret lengan Pihu. senyum mengembang di bibir tipisnya dengan raut wajah yang sulit di artikan.
____