"buat persiapan besok gimana Syah?" Tanya Pihu pada Aisyah yang sedari tadi hanya sibuk menggulung pita merah di tangannya. Sedang yang ditanya hanya diam tak bergeming sedikitpun.
"Syah ... Kamu ini lho, malah sibuk sama begituan buat apa sih?"
"Ini lho, besok kan Mas Adam mau pulang ke Tanah Air makanya Ustadzah Ratih nyuruh aku siapin penyambut gitu," balasnya sembari tetap sibuk pada pita di tangannya.
"Mas Adam? Mas Adam yang di Kairo itu?"
"Lha iya, masa kamu gak tahu?" Jawab Aisyah sok ketus.
"Lali Aku, lagian selama Aku disini gak pernah liat Dia pulang." Membantu Aisyah menggulung pita sebelahnya.
"Ya memang dia gak pernah pulang selama dua belas tahun ini, makanya sekarang pas dia pulang Ustdazah Ratih mau kita buat sambutan yang meriah gitu lho," jelas Aisyah.
"Lah terus, kita mau ngadain apa buat penyambutan nya? Semua acara yang kita susun kan khusus buat pelulusan?"
"Gak tahu, aku belum kepikiran. Ini baru mau bikin hiasan," ucapnya seraya menggaruk tengkuk yang terbungkus jilbab itu.
"Yasalam," timpal Pihu memijit keningnya yang mendadak pusing.
"Ini kan acaranya besok Syah, kenapa gak dari kemarin bilang Aku?"
"Lali Aku hehe," jawab Aisyah tersenyum kecut.
Pihu hanya menggeleng frustasi, ia menatap Aisyah tidak percaya. Kemudian tatapannya menerawang, seolah berfikir bagaimana? Namun sepersekian detik kemudian bola matanya membulat, ia menjetikkan jarinya senang.
"Nah, gimana kalo kita suruh anak-anak marawis buat tampil besok? Mereka kan ga kebagian di acara pelulusan kamu setuju gak?" Ucap Pihu bersemangat.
"Boleh, tapi ada yang kurang," ucapnya ragu.
"Apa Syah?" Tanya Pihu mengerutkan keningnya.
"Anu Pi, kemarin ada anak marawis yang laporan seragamnya hilang."
"Berapa orang?"
"Dua orang."
Pihu termenung menatap hari yang sebentar lagi akan turun hujan, kemudian melirik arloji di pergelangan tangannya. Jarum jam menunjukkan tepat pukul dua lebih dua belas menit.
"Yaudah kita ke pasar lama aja buat minta tolong sama Mbah Iyum supaya di bikinkan seragamnya, semoga bisa selesai sampe besok," tuturnya penuh harap.
"Tapi gerbang bentar lagi di tutup Pi, apa gak bakal kena omel sama Ustadzah kita?"
"Biar aku yang izin nanti, ini juga buat acara besok pasti Ustadzah ngerti ... Wess ayok,"
Sepasang sahabat itu berlalu melewati gerbang setelah mengantongi izin dari Ustadzah Ratih. Mereka berjalan kaki dengan beralas kaki sandal swallow, beruntung hari yang terik itu jalanan kampung cukup teduh dengan pohon rindang di sepanjang jalan itu.
Jarak pasar yang cukup dekat membuat mereka berjalan kaki saja, di ujung jalan sana. Tampak sebuah pasar yang tidak terlalu besar namun masih cukup ramai oleh beberapa penjual yang masih setia menjajakan dagangan nya.
Mereka masuk kedalam sebuah toko kecil dengan banyak baju-baju yang menggantung di depannya. Disana, seorang wanita setengah baya sedang duduk di depan mesin jahit kesayangannya dengan tekun.
"Assalamualaikum Mbah," ucap Pihu ketika memasuki pintu yang terbuka lebar itu.
"Waalaikumussalam, ehhh ada Cah Ayu,"balas si Mbah dari dalam sana seraya tersenyum, memamerkan deretan giginya yang sudah lepas beberapa.
"Silakan masuk Nduk, ada perlu apa sama si Mbah?" Tanyanya ramah.
"Ini Mbah, kita mau kinta tolong di buatkan seragam seperti ini," ucap Pihu sembari menyodorkan plastik yang ia bawa dari pondok.
"Boleh, memang untuk kapan Nduk?"
"Eummm anu Mbah, buat besok apa bisa?" Tanyanya ragu.
"Waduhhh mendadak sekali," jawabnya sedikit terbatuk.
"Iya Mbah, Ustadzah mendadak ngasih taunya,"
"Yasudah akan Mbah usahakan ya Cah Ayu, besok kalo sudah selesai akan di antar Rumi ke pondok," ucapnya dengan tersenyum hangat.
"Baik Mbah, terimakasih," ucap mereka berbarengan sembari menyalami Mbah Iyum bergantian.
"Kita pamit dulu Mbah, takut keburu di tutup gerbangnya," pamit Aisyah kemudian.
"Yaudah hati-hati Cah Ayu," seraknya.
"Assalamualaikum Mbah," ucap mereka sopan sembari membungkukan badan.
"Waalaikumussalam."
____
Malam itu pondok pesantren Al-Hikmah benar-benar gemerlap dalam kilau lampu-lampu yang menerangi seluruh penjuru Al-Hikmah. Tenda dan sebuah panggung megah sudah berdiri gagah di pelataran asrama, di tambah jutaan bintang yang berpendar di langit sana.
Menambah sempurna keindahan yang tersaji malam ini, di sudut sana seorang gadis sedang duduk termenung menatap kesibukan santri-santri yang sedang melakukan gladi untuk esok hari.
Pihu bersandar lelah pada meja kecil itu dengan tangan yang masih setia memegang beberapa lembar kertas susunan acara, seulas senyumnya tampak menawan di wajah lelah nya. Ada kepuasan tersendiri ketika apa yang ia kerjakan dengan tulus berbuah kesuksesan.
Kelap-kelip lampu sorot menyilaukan matanya, disana sudah berdiri Aisyah yang dengan tangan jahilnya mengarahkan lampu sorot tepat ke wajah Pihu. Pihu hanya meringis ketika cahaya itu jatuh tepat di pelupuknya.
"Syah, kamu ini!" Geramnya kesal pada Aisyah yang sedang tertawa puas melihat ekspresi Pihu.
"Ya kamu, orang-orang sibuk gladi kamu malah ngelamun ... Ngelamunin apa sih?" Tanya Aisyah sembari duduk di hadapan Pihu dengan menopang dagunya.
"Aku gak ngelamun Syah, Aku cuma keinget aja waktu kita pertama mondok disini ... "
"Emang kamu masih inget? Aku mah lupa Pi udah lama," ucapnya santai dengan netra yang masih sibuk menjelajah ke setiap sudut. Sesekali ia berteriak, jika ada yang melakukan kesalahan di depan matanya.
"Masih Syah, Aku inget banget pas ketemu Kamu lagi disini," jawabnya pelan dengan tatapan menerawang.
Suasana ini membuat hatinya tak karuan, bayangan Bunda terlintas jelas di fikirannya. Setetes bening terjatuh begitu saja, tanpa ia sadari ia sudah terisak.
"Pihu, kamu kenapa?" Tanya Aisyah panik.
"A ... Akk ... Aku kangen Bunda Syah, Aku rindu di peluk Bunda." tangisnya pecah.
"Dua belas tahun Syah, dua belas tahun ... Besok kita lulus, dan selama itu Aku harus berjuang sendiri tanpa Bunda," lanjutnya semakin terisak.
Aisyah menggandeng lengan Pihu, membawanya turun dari panggung yang penuh dengan kemeriahan dan kemegahan itu. Mereka berjalan masuk ke dalam asrama yang kini tampak kosong di dalam.
"Udah Pi, kamu jangan nangis lagi ... Aku sedih liat kamu kaya gini," ungkap Asiyah dengan mata berkaca-kaca.
"Apa Aku akan terus sendiri Syah? Apa Bunda gak bakal temenin Aku disaat aku wisuda nanti?" Tangisnya semakin menjadi, matanya sudah sembab dan memerah.
"Aku tahu Pi, Aku tahu perasaan kamu," ucap Aisyah memeluk erat sahabatnya itu dengan iba.
"Syah, Aku bakal ketemu Bunda lagi kan?" Tanya Pihu masih sesenggukan.
"Pasti, kamu harus percaya itu. Aku tahu Bunda sayang banget sama Kamu, Kamu harus yakin ya." Mengusap wajah Pihu yang sudah penuh dengan air mata.
Aisyah tahu persis, dua belas tahun yang penuh perjuangan itu Pihu jalani dengan penuh kepedihan di setiap jalan. Meski semua kebutuhan dan keperluan nya sudah terpenuhi oleh Tante Riska dan Om Rudy, tapi kehangatan seorang Bunda?
Setiap malam Pihu akan berceloteh tentang harinya yang berat pada selembar foto yang pernah di berikan Riska, dia melakukannya setiap malam sebelum tidur. Anehnya, Pihu selalu menjadi ceria setelah melakukan itu, bak jutaan semangat yang ia miliki, hanya mengalir dari foto Bunda yang ia bingkai rapi.
Aisyah yang setiap malam melihat kebiasaan Pihu hanya mampu tersenyum getir, hatinya seperti tersayat pilu. Bagaimana mungkin takdir dengan tega memisahkan seorang anak dari Bundanya untuk tenggang waktu yang begitu lama?
Aisyah hanya bisa berpura-pura tidur jika Pihu sedang curhat dengan Bunda, masuk kedalam selimut dan mendengarkan celoteh-celoteh manja Pihu. Pihu yang tampak ceria dari luar, tampak anggun dan menyenangkan ternyata menggenggam luka yang luar biasa dalam.
Aisyah hanya mampu menahan air matanya, bersikap konyol setiap hari agar bisa mengusir rasa kesepian Pihu. Setidaknya, dia bisa membuat Pihu bertahan hingga sekarang.
Dia mengeratkan pelukannya, berusaha menenangkan gejolak kerinduan Pihu yang teramat dalam pada sosok mulia bergelar Bunda.