Riska hanya menatapnya iba, dia tahu jika Pihu tidak pernah sekalipun tidak merindukan Bundanya. Setiap hari yang di pikirannya hanya Bunda dan Bunda saja.
Sudah dua bulan lamanya dia tinggal di kota besar yang penuh dengan kebisingan ini.
Namun tak pernah sekalipun dia berkeinginan keluar bermain atau sekedar berjalan-jalan seperti anak kebanyakan. Dia hanya berdiam diri di kamarnya, bersama boneka cantik yang sudah tampak lusuh itu.
Hingga akhirnya, Riska memutuskan untuk mengirimnya ke sebuah Pondok Pesantren yang terletak agak jauh di luar kota. Setidaknya disana banyak anak-anak seumuran Pihu yang bisa menjadi temannya.
Disana Pihu bisa mulai menyibukkan diri dengan hafalannya. Mungkin dengan begitu, pikiran Pihu akan segera teralihkan dan bisa memulai semuanya lagi dari awal.
Pihu tidak menolak, dia hanya mengangguk saja seperti biasanya. Namun melihatnya begitu malah semakin membuat hati Riska perih, betapa keponakan manisnya itu kini seolah kehilangan jiwanya.
"Sayang apa boneka dan kain ini akan dibawa juga?" Ucap Riska mengalihkan pembicaraan mereka, tangannya mengangkat boneka dan kain lusuh itu.
"Bawa Tante, Pihu gak bisa tidur kalo gak ada mereka," ungkapnya polos menatap boneka beruang cokelat itu. Tangan mungilnya mengelus lembut boneka lusuh itu dengan sayang.
"Ini kenangan Bunda," lanjutnya kemudian.
"Hmmm, yaudah sekarang Pihu bobo ya ... Besok kita harus berangkat pagi." Mengecup kepala Pihu sayang.
"Baik Tante, selamat malam ... "
Riska hanya tersenyum kemudian berlalu pergi setelah menutup pintu besar itu.
"Bunda," lanjut Pihu, menyembunyikan wajahnya di balik kepala boneka, tak butuh waktu lama dia sudah terlelap dalam tidurnya.
____
Pihu turun dari kamarnya dengan tersenyum ramah, di belakangnya mengekor Bi inah dengan dua koper di tangan kanan dan kirinya. Di bawah sana Riska dan Rudy tersenyum hangat di meja makan, menyambut Pihu yang sudah rapi dengan jilbab pink nya, kontras dengan wajah imut Pihu.
Pak Kardi yang melihat Bi Inah kesusahan membawa koper Pihu yang cukup besar segera membantunya, membawanya turun dan segera memasukan koper itu ke dalam mobil yang sedari tadi sudah ia panaskan.
"Ayo Sayang, sarapan dulu ... Bi Inah udah masakin omlet buat kamu lho," ucap Rudy pada Pihu yang masih mematung menatap mereka.
"Kemari Sayang," timpal Riska mengajaknya duduk di sebelah mereka.
Mereka menghabiskan sarapan mereka dengan khidmat, selesai menuntaskan sarapan mereka bertiga segera bersiap untuk mengantar Pihu ke pondok barunya.
Riska sudah siap dengan jilbab besarnya yang di gradasi warna cokelat dan hitam itu, membuat wanita dua puluh lima tahun itu begitu tampak menawan. Rudy sampai menatapnya tak berkedip jika Pihu tidak menegur mereka.
Rudy hanya tergugup malu, menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. Sedang Riska tampak tersipu oleh perlakuan suaminya itu. Pertama kalinya Pihu tersenyum tulus pagi itu, sepertinya Pihu mulai berdamai dengan hidupnya kini.
Riska segera mengajak Pihu masuk kedalam mobil, mereka duduk berdua di kursi kedua. Sedang Rudy duduk bersama Pak Kardi di depan. Mereka sengaja mengajak Pak Kardi karena lokasinya yang lumayan jauh dari kota ini.
Setelah melambaikan tangan pada Bi Inah yang selama dua bulan ini mengurus kebutuhan Pihu, mobil itu segera meluncur. Memecah kesibukan lalu lintas pagi itu.
____
Pihu menatap kakinya yang berbalut sepatu slop dengan sebuah pita kecil, ia menggoyangkan kakinya ragu. Tampak dari wajah polosnya jika ia sedang merasa gugup, bagaimana jika teman-temannya nanti tidak menyukai Pihu? Pikiran itu yang mengusik batinnya.
Riska yang melihat tingkah Pihu demikian hanya tersenyum simpul, dia mengerti apa yang sedang Pihu rasakan. Telapak tangannya mengelus kepala Pihu yang terbungkus jilbab pink itu dengan gemas.
"Jangan khawatir Sayang, disana mereka semua baik-baik kok. Mereka pasti seneng main sama Pihu." Meletakkan telapak kecil itu pada telapak tangannya.
"Bener Tante? Tapi Pihu takut disana sendirian," ucapnya polos.
"Pihu harus yakin, Pihu gak pernah sendirian."
"Setiap bulan Om dan Tante akan menjenguk Pihu kan? Kenapa harus takut, Pihu kan anak pemberani," ucap Rudy menimpali dengan senyuman dari depan sana.
"Pihu sayang Bunda kan?" Tanya Riska ramah.
"Sayang sekali Tante," jawabnya polos.
"Jadi kalo begitu, Pihu harus berani ... Pihu pasti akan menang," ucap Riska bersemangat sembari mengelus tangan kecil Pihu penuh kasih sayang.
Pihu hanya mengangguk kemudian mengalihkan pandangannya kembali ke luar jendela, kesibukan di luar sana membuat kepalanya sakit. Hingga akhirnya dia jatuh tertidur di dalam pangkuan Riska yang sedari tadi terus mengelus kepalanya lembut.
Tiga jam sudah mobil hitam itu meluncur di jalanan yang sangat sibuk, hingga mobil itu berbelok di sebuah jalanan beraspal yang sederhana. Semakin masuk kedalam semakin teduh, pohon-pohon rimbun yang menghijau menghiasi tepi jalanan sepi itu.
Semilir angin terasa menyejukkan di tengah hari yang terik itu, kicau burung terdengar merdu di kejauhan sana. Rumah-rumah warga yang berjejer rapi menambah kesan sejuk di sepanjang jalan nan asri ini.
Di ujung jalan sana, tampak bangunan kokoh berdiri tegap. Bangunan dengan arsitektur klasik itu tampak anggun di bawan sorotan cahaya matahari dengan cat putih berpadu cokelat. Terkesan manis.
Di tambah hilir mudik santri dengan setelan sarung dan tunik di bawah pohon- pohon rindang itu menambah kesan damai tersendiri. Sayup-sayup suara beberapa santriwati yang sedang melakukan simak'an terdengar indah di kejauhan.
"MasyaAllah ... "
Riska tak mampu menahan decak kagumnya dengan pemandangan indah yang tersuguh ini. Sungguh, hatinya kembali merasakan kedamaian yang sudah lama tak ia dapat. Pihu yang sedari tadi pulas tertidur pun mulai tersadar, menatap kagum pada suasana baru yang menenangkan hati ini.
"Apa ini tempatnya Tante?" Tanya gadis kecil itu polos.
"Benar Sayang, apa Pihu suka?"
"Nyaman sekali suasananya, Pihu suka," celoteh nya dengan mata berbinar.
Riska hanya tersenyum senang, dalam hatinya ia bersyukur semoga dengan ini Pihu akan segera melupakan kejadian-kejadian yang menyakitkan baginya.
Mobil berbelok di sebuah pelataran pesantren yang cukup luas dengan beberapa pohon rindang disana. Bangunan dengan dua lantai itu tampak kokoh menampung para santri yang sedang menuntut ilmu di dalamnya.
Mereka segera turun dari mobil, Pihu kecil yang menggemaskan dengan setelan pink itu sukses menjadi sorotan. Beberapa santriwati yang tengah berkutat dengan hafalan mereka menatap ramah pada Pihu, bahkan ada yang langsung menyapanya.
Tampaknya Pihu senang berada disini, suasana tentram ini membuat hatinya tenang. Seulas senyum terbit di bibir kecil Pihu, ketika seorang gadis kecil seumuran nya menghampiri mobil mereka sedikit berlari.
"Aisyah," sapanya pada gadis kecil dengan jilbab merah yang tampak kebesaran itu.
"Pihu!" Pekiknya girang segera memeluk temannya itu dengan erat.