Chereads / Senyum untuk Pihu / Chapter 6 - Perpisahan yang menyakitkan

Chapter 6 - Perpisahan yang menyakitkan

____

Baik Bu, saya akan segera kesana secepatnya."

____

Pihu dengan bersemangat bersenandung ria di boncengan Bundanya, menikmati semilir angin yang menerpa lembut wajahnya. Ia sangat bersemangat sedari pagi ketika tahu Bundanya akan mengajaknya ke kota besar itu lagi, ia sudah tidak sabar.

Anjani hanya sesekali tersenyum melihat kebahagiaan Pihu saat ini. Menikmati kebahagiaan terakhir mereka untuk bersama, tentu saja Pihu tidak tahu jika mereka akan segera berpisah. Entah apa yang akan ia dan Pihu alami, namun apapun itu mereka pasti kuat, bukankah Pihu sudah berjanji untuk menang?

Anjani tersenyum kecut mengingat semua itu, kini perasaannya tidak menentu. Ia tak tahu apa harus menangis atau berbahagia, rasanya semua ini terlalu tidak mungkin untuk di pastikan.

"Bunda apa tempat yang Bunda bilang itu banyak benda-benda yang berkilau seperti yang Mbak Mira miliki?"

"Iya Sayang, tentu saja. Semua yang Pihu inginkan akan terpenuhi," cicitnya pelan.

"Bunda sepertinya akan hujan apa tidak sebaiknya kita pulang saja Bunda? Pihu tidak ingin seperti kemarin, Pihu benci obat,"tuturnya polos menatap langit yang mulai kelabu.

"Tidak sayang, sebentar lagi kita akan sampai."

Angin mulai bergemuruh lagi, riuh terdengar dari kejauhan. Tampak di ujung jalan sana sebuah mobil sudah terparkir rapi menunggu kedatangan mereka.

Anjani hanya tersenyum ketir, bibirnya kelu. Perpisahan ada di depan matanya saat ini.

Setitik bening itu kembali jatuh, dengan berkaca-kaca dia memperlambat laju sepedanya. Menggenggam tangan Pihu kemudian membuat Pihu memeluk pinggangnya erat. Dia ingin merasakan kehangatan Pihu untuk yang terakhir kali.

"Maafkan Bunda Sayang," lirihnya dalam hati.

Semilir angin membelai sepasang ibu dan anak itu, membuat mereka terbuai dalam kerinduan. Waktu terasa di putar dengan cepat oleh sang takdir, mengapa harus secepat ini kita berhenti membersamai? Takdir telah memaksa kita untuk menundukan kepala di hadapannya.

Sepasang suami istri menyambut ramah kedatangan mereka, tunggu bukan kah itu dia? Ya itu memang dia.

Di rogohnya kartu nama yang dahulu pernah ia berikan, benar identitas dan wajah yang sama.

Ia menurunkan Pihu dari boncengan itu, mengambil boneka kesayangannya dari keranjang yang segera di sambut dengan pelukan oleh Pihu. Mereka berjalan bergandengan tangan seakan tidak ingin terpisahkan, namun nyatanya takdir menginginkan perpisahan itu secepatnya.

Dengan riang Pihu berjalan menggenggam erat jemari tangan Bundanya, sesekali tersenyum riang menatap polos wajah cantik sang Bunda dalam balutan jilbab blouse sederhana.

Di punggungnya terdapat sebuah ransel kecil berisi barang-barang kesayangan Pihu dan beberapa yang akan nanti ia butuhkan. Tampak Dokter Nunik dan suaminya juga sudah menunggu kedatangan mereka berdua, ada apa ini?

"Assalamualaikum," ucapnya pelan sembari tersenyum lemah dengan mata yang sembab.

"Waalaikumussalam," jawab mereka dengan berbarengan.

Pasangan suami istri itu mendekat, kemudian gadis dua puluh lima tahun di hadapan mereka memeluk Bunda dengan tulus.

"Lama tidak berjumpa Kakak ipar," ucapnya dengan suara serak, ujung matanya tampak basah.

"Bagaimana kabarmu Dik?" Tanyan Bunda pelan.

"Tidak ada yang baik-baik saja Mbak," balasnya jujur.

Bunda hanya tersenyum getir kemudian menyuruh Pihu untuk menyalami mereka semua.

Pihu tampak begitu asing dengan mereka , namun tak apa Pihu akan dengan mudah menyesuaikan diri dengan keluarga barunya.

"Apa ini dia? Dia sangat cantik, sepertimu kak," ungkapnya sembari mengelus telapak tangan Pihu lembut.

"Bunda mereka siapa?" Tanyanya polos.

"Sayang, mulai saat ini kamu akan pergi bersama mereka. Di sana akan ada istana megah dan banyak benda-benda yang indah, Pihu mau kan?" Ucapnya dengan suara bergetar.

"Tapi Bunda ikut kan?" Tanya Pihu mengedipkan kedua kelopak matanya gemas.

"Tentu Sayang, Bunda akan menyusul setelah memberi makan jagung-jagung kita. Sebelum Bunda datang, Pihu jangan nakal ya. Gaboleh main hujan, Pihu kan gasuka obat,"ucapnya serak menahan tangis.

Suaranya tercekat, tak mampu mengatakan semua ini. Ini sungguh menyesakkan dadanya.

"Tapi Bunda jangan lama-lama, nanti Pihu rindu Bunda bagaimana?" Tatapan polos itu, membuat hatinya semakin tersayat. Air mata nya tak dapat ia bendung lagi, bersimpuh memeluk Pihu dengan erat.

"Bunda gaboleh nangis, Bunda bilang jangan nangis nanti kita kalah Bunda," ucap Pihu sembari mengusap wajah Bunda yang telah berantakan.

"Bunda sayang Pihu, sampai kapanpun itu," bisiknya pelan di telinga Pihu, ia tak henti menciumi pucuk kepala putri semata wayangnya penuh kasih sayang.

Pihu terus melambaikan tangannya pada Bunda tanpa henti, hingga mobil itu hilang di tikungan. Bunda tak henti memandangi jalanan kosong di hadapannya, tangannya masih menggantung di udara. Menggapai harapan kosong, seperti hatinya yang kini amat kosong tanpa Pihu di sampingnya.

Ia bersimpuh lemah di tanah, tatapannya kosong kehilangan pijakan. Beberapa saat ia tersadar dari dirinya sendiri, ia memekik dengan keras memukul-mukul kerasa dadanya yang terasa nyeri.

"Aakhhhhhhh!!!"

Ia berteriak frustasi, mengacak jilbabnya dengan benci. betapa tidak berdayanya ia di hadapan sang takdir. Dengan begitu tega dia merampas semua yang ia cintai, tidak ada lagi.

Ia terus berteriak tanpa ampun, menunjukan betapa hatinya yang kini telah hancur berkeping-keping.

Dokter Nunik memeluknya dengan iba, tak terasa ia ikut menangis di hadapannya. Sungguh memilukan ketika semua yang kita sayangi satu persatu pergi.

Sedang suami dari Dokter Nunik memandang mereka penuh rasa simpati, tampak ia sibuk berbicara dengan seseorang di sebrang sana.

____

Detik berganti detik, menit bertukar menit hari-hari mulai berhamburan silih berganti. Tidak terasa sebulan sudah Pihu tinggal bersama keluarga barunya di kota. Kehidupannya memang serba berkecukupan disini, namun tanpa Bunda di sampingnya semua terasa hampa.

Setiap detiknya dia hanya terus merindukan sosok Bunda di sisinya, untuk menemaninya mengulang hafalan kala magrib, menidurkannya dengan cerita-cerita yang sarat akan makna setiap malam.

Namun kini tidak lagi, dia berbohong padanya. Bunda tidak menyusul atau sekedar menjenguknya kesini, rumah siapa ini? Tempat apa gerangan ini. Rumah semegah istana namun hanya kefanaan saja di dalamnya.

Pihu sangat sedih, ia tidak bermain atau bersuka riang. Hari-harinya hanya berteman boneka lusuh pemberian Bunda, barang-barang yang penuh dengan kehangatan Bunda.

Seperti selimut tipis yang sedang di peluk Pihu kini, ia sesenggukan membayangkan betapa hangatnya pelukan Bunda ketika malam sedang turun hujan.

"Bunda, kenapa Bunda berbohong pada Pihu Bunda!?"

"Bunda bilang hanya akan meninggalkan Pihu ketika Pihu tidak minum obat saja, sekarang Pihu tidak lagi membenci obat-obatan itu Bunda. Tapi kenapa Bunda tetap meninggalkan Pihu sendirian," rintihnya sendu.

Matanya sudah membengkak karena setiap malam harus menangis menanggung kerinduannya pada sang Bunda. Ia terus terisak seorang diri disana, tak ada yang bisa membujuknya untuk berhenti menangis.