Rindu kembali menatap tubuhnya di depan kaca sambil tersenyum-senyum kecil sesekali nampak ia memutar-mutar tubuhnya dan berlenggok ke kanan-ke kiri. Betapa bahagia rasa dalam hatinya sebuah hari yang sangat iya tunggu dan di idam-idamkan akhirnya datang jua.
Dengan gaun indah berwarna putih bermotif batik bergaya sarimpit yang iya kenakan nampak sangat cocok melekat ayu di tubuhnya. Tak lupa sanggul terpasang di atas mahkota rambut panjangnya yang biasa tergerai kini tertata rapi bak permaisuri sebuah kerajaan.
"Hemmm, anak Ibu jadi begitu cantik ya hari ini. Bahagianya yang mau menikah," kata sang ibu menggoda Rindu.
Rindui terus menatap cermin sambil meneliti tubuhnya dari ujung kaki hingga ujung rambut, barangkali ada kekurangan agar bisa langsung ia benahi. Hari ini adalah hari spesial sekali seumur hidup bagi Rindu, iya tak mau ada kesalahan sekecil apapun. Iya ingin tampil begitu cantik dan perfek di depan calon suaminya Rudi.
"Sudah-sudah, wes ayu (sudah cantik), ayo Ndok (sebutan untuk anak cewek dari ibunya dalam bahasa Jawa dari kata Gendok) orang-orang di luar sudah menunggu. Para tamu undangan walimatul Arsy sudah pada hadir, penghulu pun sudah datang. Jangan biarkan Mas Rudi mu menunggu terlalu lama," kata Sang Ibu menuntunnya keluar kamar menuju tempat akad yang terletak di ruang tamu rumahnya.
Disana tergelar rapi tikar rajutan pandan dengan berbagai macam hidangan di atasnya. Di samping hidangan duduklah beberapa tamu undangan.
Di tengah ruangan terdapat meja kecil tempat surat-surat pernikahan dan buku nikah yang masih kosong diletakkan.
Pak Naip dan Pak Penghulu telah hadir duduk di satu sisinya. Sedangkan sisi yang lain duduklah seorang lelaki gagah nan rupawan bernama Rudi Antoko calon suami Rindu yang sangat terpukau melihat kecantikan alami calon istrinya. Saat Rindu keluar dari kamarnya seraya memakai gaun pengantin serba putih bergaya khas suku Jawa dengan sanggul di kepala.
Rindu berjalan perlahan menghampiri Rudi lalu duduk bersimpuh di sampingnya. Membuat mata Rudi begitu takjub dan tak kunjung berkedip melihat Rindu. Seakan Rindu adalah Bidadari turun dari kahyangan mampir ke bumi untuk iya cintai.
"Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh," ucap Pak Penghulu mulai membuka acara.
"Waalaikumsalam warahmatullahi wabarakatuh," jawab para saksi dan undangan yang hadir
"Baik mari kita mulai acara akad nikah ini," kata Pak penghulu seraya mengulurkan tangan pada Rudi. Rudi pun menyambut jabat tangan Pak Penghulu dengan rasa mantab dan tekad bulat.
"Bismillahhirohmanirohim, Saya nikahkan dan kawinkan Rudi Antoko Bin Santoso dengan Rindu Antika Binti Ahmadi dengan seperangkat alat sholat dan uang sebesar sepuluh ribu dibayar tunai," kata Pak Penghulu mendeklarasikan akad nikah Rudi dan Rindu.
"Saya terima nikah dan kawinya Rindu Antika Binti Ahmadi dengan seperangkat alat sholat dan uang sebesar sepuluh ribu dibayar tunai," jawab Rudi menerima ikrar sumpah setia sehidup semati bersama.
"Sah...," teriak Pak Penghulu pada seluruh saksi dan para undangan yang hadir.
Sah.... Sah... Sah....
Allhamdulillah...
Teriak para undangan mengakhiri acara ijab kabul. Menandai awal baru bagi Rudi dan Rindu yang telah sah sebagai pasangan suami istri. Untuk berbagi suka dan duka bersama berbagi keluh-kesah bersama dalam mengarungi ombak samudra hidup di atas biduk perahu yang bernama rumah tangga.
Karena Indonesia masih tengah berada dalam masa pandemi jadi acara hanya diadakan sehari untuk akad sekalian syukuran tumpengan dalam bahasa Jawa. Itu pun tamu undangan dibatasi. Hanya tetangga sekitar rumah Rindu dan beberapa saudara saja dari pihak pengantin pria dan pihak pengantin wanita dengan melaksanakan protokol kesehatan yang ketat.
Nampak tamu yang hadir masih bercakap-cakap ditemani Rudi dan Pak Ahmadi ayah mertuanya, suasana begitu riuh kadang diselingi canda tawa di dalamnya. Tiada lupa hidangan serta bergelas-gelas kopi terhidang di hadapan para tamu undangan.
"Allhamdulillah acara berjalan lancar ya Pak Ahmadi. Cuaca pun sepertinya bersahabat terang-benderang Pak," ucap Pak RT sambil menikmati jajanan yang tersedia di sebuah piring kecil yang terletak di hadapannya.
"Ia Pak RT, Alhamdulillah Gusti Allah memberi rahmatnya sehingga acara berlangsung lancar tanpa kendala sesuatu yang berarti lagi pula ini berkat doa bapak-bapak semua," sahut Pak Ahmad juga tengah menikmati hidangan yang telah iya suguhkan untuk para tamu.
"Nak Rudi sekarang kerja dimana?" tanya Pak RT pada Rudi yang sedari tadi hanya diam menyimak percakapan Pak RT dan Sang Mertua Pak Ahmadi.
"Saya sekarang sedang menggarap sawah Pak RT," jawab Rudi dengan penuh santun.
"Oh iya di desa Nak Rudi sedang tanam apa, sawahnya milik sendiri apa milik orangtua atau Nak Rudi menyewa?" tanya Pak RT sangat antusias dengan memberondong beberapa pertanyaan.
Iya selalu berapi-api jikalau ada anak muda yang mau bekerja sebagai petani meneruskan pekerjaan para orangtuanya terdahulu.
"Pak RT ini loh kalau bertanya suka diborong semua mbok ya satu-satu," kata Pak Ahmadi.
"Hahaha, habis saya sangat senang kalau ada pemuda yang mau bekerja di sawah melestarikan tradisi kita dahulu," ujar Pak RT.
"Sawah yang saya kerjakan milik saya sendiri kok Pak RT. Allhamdulillah tahun lalu ada rezeki untuk saya belikan sawah ya tidak luas Pak tapi saya bersyukur," kata Rudi tersenyum santun pada Pak RT.
"Bohong itu Pak sawah Nak Rudi sangat luas dua hektar," celetuk salah satu undangan yang hadir yang kebetulan pernah ikut membantu menjadi kuli disawah Rudi.
"Wah, wah, wah, ini, ini, berarti sampean (anda) sangat beruntung Pak Ahmadi. Mendapatkan menantu yang sangat sopan dan santun serta rendah hati seperti Nak Rudi," kata Pak RT
"Ah bukan saya yang beruntung Pak RT tapi Rindu yang beruntung mendapatkan suami seperti Nak Rudi sudah ganteng, sopan, rendah hati, sarjana pula," kata Pak Ahmadi memuji menantunya.
"Ah tidak Pak justru saya yang sangat beruntung mendapatkan istri Rindu.
Yang sangat ayu dan sangat patuh pada orangtuanya," kata Rudi kembali merendah dengan sopannya.
"Bisa saja kamu Nak Rudi," kata Pak RT sambil tertawa memukul pundak Rudi dengan niat bercanda.
"Aduh...," Rudi sontak berteriak kesakitan.
"Eh sakit ya maaf, maaf, masak juragan tidak tahan sakit, hahaha...," kata Pak RT menggoda Rudi.
Di dalam kamar Rindu tengah berganti pakaian di temani adik perempuannya Sekar yang tengah mematung memandangi kakaknya dengan tak henti-hentinya memuji kecantikan Rindu.
"Memang cantik," celetuk Sekar.
"Apa sih Dek?" sahut Rindu.
"Hihihi..., Duh senangnya Nyonya Rudi," ujar Sekar menggoda Rindu.
"Adek! kok julit ya sekarang," kata Rindu dengan gaya tolak pinggang melihat kearah Sekar.
"Sebentar-sebentar kak," Sekar memutar-mutar tubuh Rindu.
"Emang Cantik kakak ku ini pantas Mas Rudi termehek-mehek," kata Sekar terus menggoda Rindu.
"Adik....!" teriak Rensi dengan wajah cemberut karena terus di goda oleh Sekar.
"Kenapa, Ada apa Rindu?" kata Ibu Wulan yang baru masuk dari dapur.
"Ini Bu, Sekar menggoda aku terus," kata Rindu mengadu pada Ibu Wulan.
""Sekar!" kata ibu melirik pada Sekar pertanda bahwa Sekar harus menghentikan jailnya pada Rindu.
"Ia Ibu," jawab Sekar terdiam manyun.
"Sekar dengarkan Ibu Nak, Kakak mu sekarang sudah memiliki suami. Jadi kebiasaan mu yang sering merecoki Kakak mu, yaitu sering keluar masuk kamar Kakak mu harus dihentikan sekarang. Sudah ada Mas Rudi kan takutnya nanti Masmu itu risih atau tidak enak hati," ujar Bu Wulan.
"Ah tidak Asyik ah Mas Rudi!" ujar Sekar seraya pergi ngeloyor begitu saja.
"Loh Dek, Sekar," panggil Rindu namun tidak di gubris oleh Sekar tetap pergi keluar kamar.
"Sudah-sudah, Adikmu satu itu memang begitu nanti biar Ibu yang menasihati. Sekar hanya belum dapat menerima kalau Kakak kesayangannya yang cantik satu ini di ambil Mas Rudi," kata Ibu Wulan menenangkan Rindu yang khawatir dengan Sekar yang tengah ngambek.
"Sekarang kalau Rindu sudah selesai berganti baju keluar ya Ndok temani suamimu menemui para tamu," ujar Ibu Wulan.
"Enggeh Ibu..," kata Rindu mulai melepas gaun pernikahannya untuk berganti memakai busana muslim yang telah di belikan Rudi sebagai se serahan pengantin pria tadi pagi.