Chereads / Pendekar Mabuk / Chapter 8 - 001.Pendekar Mabuk - Bocah Tanpa Pusar Eps8

Chapter 8 - 001.Pendekar Mabuk - Bocah Tanpa Pusar Eps8

Episode 8

"GILA Tuak, pergilah secepatnya, aku tak butuh

penonton!" Kata-kata Bidadari Jalang itulah yang

membuat Nagadipa terperanjat. Matanya sempat

terbelalak seketika, dan hanya sekejap. Ia jadi ingat

pesan almarhum gurunya ketika masih hidup.

"Jangan sekali-kali kamu bikin perkara dengan

tokoh tua di rimba persilatan yang bergelar si Gila

Tuak! Hindarilah dia, kapan saja kamu bertemu dengan

Gila Tuak. Orang itu bisa menjadi ganas dari orang yang

paling ganas di bumi ini! Kesaktiannya tak sebanding

denganmu. Aku saja ada di bawahnya. Karena itu, si

Gila Tuak sangat ditakuti oleh tokoh-tokoh dunia

persilatan, sehingga dia dikenal dengan julukan Gila

Tuak. Kerjanya menjagal siapa saja yang bikin perkara

dengannya...."

Nagadipa baru percaya betul dengan pesan

almarhum gurunya itu. Ia telah melihat sendiri

kehebatan Gila Tuak yang mampu menahan pukulan

'Gayung Iblis', bahkan mampu mengembalikannya juga.

Sebab itu, setelah ia mendengar nama Giia Tuak,

nyalinya jadi ciut. Dan pada waktu Bidadari Jalang

berbicara dengan Gila Tuak, diam-diam Nagadipa

segera menghindar dengan berlari cepat bagaikan kilat

menyusuri tepian pantai.

"Kakek, lihat orang itu telah lari!" seru Suto sambil

menarik-narik jubahnya Gila Tuak. Bibir berkumis putih

itu menyunggingkan senyum tipis. Tetapi wajah

Bidadari Jalang menjadi cemberut berang. Ia kecewa

atas kehadiran Gila Tuak, yang membuat lawannya

menjadi ketakutan.

"Aku tidak suka dengan caramu, Gila Tuak!"

"Apa maksudmu?" Gila Tuak berkata dengan santai,

seakan meremehkan kegeraman Bidadari Jalang.

"Kau banyak ikut campur pertarunganku tadi! Kau

pikir aku tidak tahu, kau telah melancarkan pukulan

jarak jauhmu beberapa kali ke arah Nagadipa?!"

Senyum tipis kembali mekar. "Kulakukan demi

menyelamatkan jiwamu," katanya dengan kalem.

"Aku bisa mengatasinya sendiri. Aku tidak perlu

bantuanmu!"

"Kalau kubiarkan saja dia menyerangmu, kau pasti

akan habis dibinasakan oleh Nagadipa. Aku tahu,

kekuatanmu semakin berkurang, Nawang Tresni. Kurasa

itu karena Racun Birahi yang bersarang di dalam

tubuhmu!"

Bidadari Jalang ingin membantah lagi, namun

segera ia menarik napas, karena menyadari kata-kata

itu memang benar. Kekuatannya semakin berkurang, ia

menjadi cepat lemah. Dengan pukulan-pukulan yang

tak begitu tinggi bobot tenaganya saja ia bisa dibuat

limbung. Kalau saja tadi si Gila Tuak tidak ikut campur

secara sembunyi-sembunyi, ia memang sudah habis di

tangan Nagadipa.

Menyadari hai itu, Bidadari Jalang bertambah

cemas. Sekalipun ia sembunyikan kecemasan tersebut

namun Gila Tuak tetap bisa merasakannya. Maka, Gila

Tuak pun berkata, "Sudahlah, lupakan dulu tentang

Nagadipa dan dendamnya. Kita bicara di pondokku

saja. Banyak hal yang perlu kita bicarakan tentang

bocah tanpa pusar ini, juga tentang penyakitmu itu."

Bidadari Jalang menghempaskan napas kuat-kuat.

Wajahnya masih cemberut. Tapi agaknya ia tidak

mempunyai pilihan lain. Kalau saja ia ngotot dan tetap

merebut Suto dari tangan Gila Tuak, jelas ia akan

hancur di tangan saudara seperguruannya. Seandainya

ia tidak dalam keadaan lemah, mungkin ia masih mau

melayani pertarungannya dengan Gila Tuak, walau ia

tahu lelaki itu tak bisa mati begitu saja.

"Baiklah, mari kita tinggalkan tempat ini," kata

Bidadari Jalang dengan wajah masih ketus cemberut. Ia

pun segera melangkah lebih dulu. Tiga langkah

kemudian ia berhenti, memandang Suto yang diam

saja, yang menatap aneh padanya. Sementara itu, Gila

Tuak sendiri tidak segera bergerak. Gila Tuak diam

bagaikan patung. Matanya menatap lurus kepada

Bidadari Jalang dengan kesan aneh pula. Tentu saja hal

itu membuat dahi Bidadari Jalang berkerut.

"Ayo, Suto..., kita pergi sekarang. Kamu mau

digendong aku atau digendong kakek tua itu?" kata

Bidadari Jalang kepada Suto.

Namun bocah itu diam saja. Kedua tangannya

terlipat di dada. Rambutnya yang plontos dibiarkan

tertiup angin malam pada bagian depannya. Jaraknya

berdiri mematung aneh itu ada tiga langkah dari

tempat Gila Tuak berdiri. Tepatnya di samping kanan

agak ke depan dari Gila Tuak.

"Hei, bocah tuli!" sentak Bidadari Jalang dengan

hati dongkol. "Ditanya kok diam saja? Apa kau bisu,

hah?!"

Semakin heran Bidadari Jalang melihat Suto

tersenyum. Sambil tetap berlipat tangan di dada, bocah

itu bergerak lebih menjauhi Gila Tuak. Langkahnya

kalem-kalem saja, seakan acuh tak acuh dengan Gila

Tuak maupun Bidadari Jalang.

"Gila Tuak, ayolah, bawa anak itu ke pondokmu!"

"Berangkatlah dulu," jawab si Gila Tuak dengan

suara datar.

"Tidak bisa. Kau pasti akan menipuku kalau kita

tidak berangkat bersama. Kau akan larikan anak itu ke

tempat lain."

"Berangkatlah dulu dan bawa anak itu."

Semakin datar suara Gila Tuak, semakin pelan

nadanya, semakin curiga pula hati Bidadari Jalang

dibuatnya. Mata perempuan cantik itu cukup tajam

memandang Gila Tuak yang punya pandangan lurus ke

depan. Pandangan mata kakek tua itu bagaikan penuh

beban yang tertahan. Mau tak mau Bidadari Jalang

mendekat kembali dan berkata dengan mata menyipit

ketus.

"Aku tidak butuh kelakarmu saat ini, tahu? Jangan

main-main denganku, Gila Tuak!"

Jawaban yang keluar dari mulut Gila Tuak hanya,

"Pergilah, bawa lari anak itu. Lekas."

"Hei, ada apa kau ini, hah? Kenapa kau tidak segera

bergerak untuk pergi?"

"Jangan banyak tanya. Lekas pergi bersama Suto

Lekas...!" kali ini Gila Tuak gemetar tangannya.

Terlihat oleh Bidadari Jalang tongkat yang dipegang

Gila Tuak juga ikut bergerak-gerak dalam getaran

lembut. Semakin heran dan curiga Bidadari Jalang saat

itu. Bahkan ia pun mendengar dengus napas tertahan

dari hidung Gila Tuak.

"Apa yang terjadi sebenarnya?" bisik Bidadari Jalang

berkesan tegang di dalam hatinya.

"Seseorang telah menahan inti ragaku."

"Apa...?!" Bidadari Jalang tersentak kaget walau tak

harus berucap kata dengan keras.

"Aku tak bisa bergerak," kembali Gila Tuak berkata

dengan suara bisik yang amat pelan.

Kepala Gila Tuak memang bisa bergerak. Ia

memandang ke kiri dan kanan. Kedua tangan itu pun

bisa bergerak bebas. Tetapi kedua kaki si Gila Tuak tak

bisa digerakkan sedikit pun. Diangkat sejengkal pun tak

bisa. Dengus-dengus napas tertahan berat itu

menandakan Gila Tuak sedang berusaha mengangkat

salah satu kakinya. Namun kakinya tetap seperti

tertancap di tanah pasir pantai. Kaki itu bagai ada yang

memegangi dari dalam tanah.

Melihat keadaan si Gila Tuak yang ternyata tidak

main-main itu, Bidadari Jalang semakin tegang dalam

keheranannya. Kemudian ia mencoba menarik tangan

Gila Tuak. Namun tubuh tua itu tidak mampu bergeser

dari tempatnya berpijak. Gila Tuak akhirnya

menghentakkan kedua tangannya dengan satu kekuatan

dalam yang cukup besar. Kekuatan dorong kedua

tangan Itu biasanya dipakai untuk menggeser pintu gua

dari batu besar, atau menumbangkan pohon yang

berukuran sedang-sedang saja. Anehnya, tubuh tua Gila

Tuak tidak mampu terdorong ke belakang. Hanya

meliuk sebentar dan kembali lagi, seperti sebongkah

karet yang tertancap kuat di salah satu dasar lantai.

"Siapa yang mengganggumu begini?" gumam

Bidadari Jalang dengan mata memandang sekeliling,

penuh kecurigaan.

"Entahlah. Aku belum menemukan dari mana asal

kekuatan gaib yang menahanku bergerak ini?"

"Coba gunakan tenaga dalammu untuk melompat

dari tempat ini."

"Sudah kucoba tadi," jawab si Gila Tuak masih

pelan sekali suaranya, "Tapi tak bisa melawan kekuatan

ini. Kepalaku malah terasa sakit akibat tenaga dalam

yang kupakai tertahan kuat-kuat."

Bidadari Jalang memunggungi Gila Tuak, matanya

memandang tajam ke arah semak pantai, ke arah

batang-batang kelapa, ke daerah gundukan karang yang

tadi retak dalam pertarungannya dengan Nagadipa, dan

ke mana saja mata itu menatap tajam. Namun ia tidak

menemukan bayangan sosok siapa pun di sana.

Tiba-tiba Bidadari Jalang menggerakkan kakinya

memutar dan menendang dada Gila Tuak dengan keras.

"Haiaai..!"

Buukk...!

"Uhhg...?!" Gila Tuak mendelik karena terkena

tendangan putar dari kaki Bidadari Jalang. Tendangan

itu biasanya bisa merubuhkan batang pohon. Namun

kali ini tak mampu membuat tubuh tua itu bergeser

dari tempatnya. Bahkan Gila Tuak sedikit meringis

merasakan sakit di dadanya akibat terkena tendangan

keras.

"Monyet Burik!" cacinya dengan dongkol. "Kenapa

kau menyerangku, hah?!"

"Maaf. Maksudku membuatmu supaya tumbang dan

bebas dari kekuatan yang menahan kakimu."

"Iya. Tapi dadaku mau jebol rasanya, Tolol!"

Bidadari Jalang menahan tawa geli jadinya. Ia jadi

iba melihat Gila Tuak jadi terengah-engah akibat

menahan tendangan tadi.

"Aih, gila! Apa-apaan sebenarnya ini?" geram

Bidadari Jalang. Ia masih sesekali memandang

berkeliling mencari sumber kekuatan yang mengganggu

Gila Tuak. Lalu tiba-tiba ia melompat pergi dalam

kecepatan tinggi, yang tak mampu dilihat oleh mata

telanjang. Angin kepergiannya membuat pasir-pasir

pantai menyebar ke mana-mana, termasuk memercik

ke wajah Gila Tuak. Tangan lelaki tua itu buru-buru

meraup wajahnya beberapa kali, membersihkan

jenggotnya yang terkena percikan pasir, dan akhirnya

meludah beberapa kali, karena ada beberapa butir

pasir yang masuk ke mulutnya.

"Setan alas!" katanya memaki dengan suara pelan.

"Cuih, cuih...I"

Gerakan Bidadari Jalang menimbulkan suara mirip

bambu kecil diputar-putarkan dengan menggunakan

tali. Wung... wuung... wung...! Berkeliling di sekitar

semak pantai. Kadang menjauh, kadang melintas di

depan Gila Tuak dan menjauh lagi, lalu mendekat

kembali. Tiba-tiba perempuan berambut panjang itu

sudah berdiri kembali di depan Gila Tuak dengan

jubahnya melambai-lambai tertiup angin.

"Tidak ada siapa pun di sekitar sini, Gila Tuak. Aku

sudah memeriksanya," kata Bidadari Jalang.

Gila Tuak menggeram dengan napas terhempas.

Merasa jengkel sekali dengan keadaannya.

"Kunyuk rembes!" makinya dalam geram. "Siapa

yang berani mempermainkan aku begini sebenarnya?"

Lalu, kedua tangannya terangkat ke atas.

Tongkatnya melintang dan dipegangi dengan kedua

tangan. Tongkat itu bagaikan sesuatu yang keras dan

dipakai untuk mengangkat tubuhnya. Ia seperti orang

bergelayutan di salah satu dahan pohon.

"Hiighh...!" Gila Tuak mengerahkan tenaganya

untuk mengangkat kedua kaki. Hingga wajahnya

memarah, ternyata belum juga berhasil mengangkat

tubuh.

"Terus. Kerahkan terus tenagamu. Kubantu

menggempur bagian bawahnya," kata Bidadari Jalang.

Lalu, tangan kiri bergerak menyentak ke depan. Sebuah

kekuatan tenaga dalam dilancarkan melalui tangan

tersebut, hawa panas terasa menggempur kaki Gila

Tuak. Dan lelaki tua itu pun berteriak kepanasan.

"Waoow...!"

Bidadari Jalang berhenti melakukannya. Tangan

Gila Tuak turun kedua-duanya. Tetapi tongkatnya

masih tinggal di atas. Bagai tergantung pada suatu

tiang gawang. Walau tanpa penyangga, tongkat itu

tetap diam tak bergerak, sehingga menimbulkan

perasaan heran bagi orang yang belum tahu kehebatan

ilmu Gila Tuak.

"Hati-hati, Tolol! Jangan terkena mata kakiku.

Hantam saja tanahnya dan aku akan mengangkat

tubuhku!" sentak Gila Tuak semakin dongkol pada

Bidadari Jalang.

"Baik, baik... I Ayo, lakukan lagi. Angkat tubuhmu

dengan kekuatan penuh dan aku akan mendongkel

tanahnya."

Tongkat yang tetap diam melintang di atas kepala

Gila Tuak itu kembali digunakan sebagai pegangan

kedua tangannya. Lalu, begitu Gila Tuak mengerahkan

tenaga untuk mengangkat tubuhnya, Bidadari Jalang

mengerahkan tenaga jarak jauhnya untuk menghantam

tanah yang dipakai berpijak kedua kaki tua itu.

"Hiaaat...!" teriak Bidadari Jalang dengan kedua

tangan diarahkan ke depan, agak bawah, dan dari

telapak tangan itu keluarlah asap tipis yang menyembur

ke arah tanah sekitar kaki Gila Tuak. Kedua tangan Gila

Tuak sendiri gemetar saat menarik dirinya ke atas.

Tetapi usaha itu agaknya masih juga belum berhasil.

Gila Tuak bagai sebuah gunung yang sukar digeser

sedikit pun.

Mereka saling menghempas napas dengan mata

beradu pandang. Angin malam masih berhembus

mempermainkan jubah kedua tokoh sakti itu. Rembulan

di langit bagai kian terang, sehingga apa saja yang ada

di sekitar mereka dapat terlihat jelas. Termasuk wajah

Suto yang sejak tadi tersenyum-senyum sinis, juga

kelihatan jelas oleh mata Bidadari Jalang.

Terbersit pikiran licik di otak Bidadari Jalang,

"Kularikan saja si Suto itu. Ini adalah kesempatan

menculik si Suto. Dengan keadaan seperti ini, Gila Tuak

tak akan mampu mengejarku. Aku bebas membawa lari

Suto ke mana saja."

Belum sempat Bidadari Jalang melangkah

mendekati Suto, mulut Gila Tuak sudah

menghamburkan kata.

"Bawalah pergi bocah itu, Nawang. Biarkan aku di

sini mengalahkan kekuatan gaib ini sendirian. Yang

penting, selamatkan dulu bocah itu, jangan sampai ada

yang mengganggunya. Bawalah ke tempatmu, atau

kemana saja. Aku pasti bisa mencari jejak kalian

melalui tongkatku ini."

Tak ada jawaban dari Bidadari Jalang. Tetapi hati

perempuan yang rambutnya ikut meriap-riap karena

hembusan angin itu berkata-kata sendirian.

"Wah, percuma saja kalau bocah itu kularikan. Gila

Tuak bisa mencarinya menggunakan tongkatnya.

Rupanya ia telah menyedot sebagian kekuatan kecil

pada bocah itu dan menyimpannya pada tongkatnya.

Tentu saja ke mana saja aku menyembunyikan Suto,

tongkat itu bisa menunjukkan di mana raga Suto

berada. Ah, sial! Sepertinya tak ada kesempatan bagiku

untuk menculik si Suto."

"Nawang, lakukanlah apa yang kukatakan tadi.

Jangan diam saja!"

"Baiklah...!"

Setelah berkata begitu, Bidadari Jalang mendekati

Suto. Langkahnya biasa-biasa saja. Namun, tiba-tiba di

luar dugaan tubuh yang berparas cantik itu tersentak

ke belakang bagai diseruduk tiga ekor banteng. Tubuh

Bidadari Jalang terpental melayang sampai kira-kira

tujuh langkah jauhnya. Tentu,saja hal itu membuat

mata si Gila Tuak terbelalak seketika. Buru-buru ia

menatap Suto dengan mata sedikit menyipit tajam.

"Tak mungkin bocah itu mampu membuat Bidadari

Jalang terpental sebelum menyentuh tubuhnya. Edan!

Kekuatan dari mana yang dimiliki Suto itu?" pikir Gila

Tuak.

Bidadari Jalang bangkit sambil memaki-maki,

"Bocah celeng! Landak bunting kau, ya? Kenapa kau

menyerangku, hah?!"

Perempuan itu melangkah cepat dengan gusarnya.

"Kau ingin membunuhku, ya? Iya...?!"

Tangan perempuan itu bergerak cepat, menampar

wajah Suto. Tapi tiba-tiba gerakan tangan itu mampu

ditangkis cepat oleh tangan kiri Suto. Dan tiba-tiba

tangan kanan Suto menyodok ke depan dalam keadaan

pangkal telapak tangannya terbuka, menghantam ulu

hati Bidadari Jalang. Begg...!

"Uhhg...!" Bidadari Jalang terhempas mundur tiga

langkah dengan menggeloyor, nyaris membentur tubuh

Gila Tuak. Kedua tokoh sakti itu sama-sama semakin

membelalakkan mata. Suto tetap diam dengan berdiri

tegak, bagaikan seorang jagoan yang tidak kenal

mundur setapak pun. Wajahnya masih menampakkan

kesinisan. Sikapnya jelas bermusuhan. Tak ada lagi

sikap bocah dan wajah kanak-kanaknya.

"Babi Dungu!" rutuk Bidadari Jalang. "Anak itu harus

diberi pelajaran biar tidak ngelunjak."

Kemudian tangan kanan Bidadari Jalang

dihentakkan ke depan dalam keadaan kedua jari lurus

dan keras. Cepat-cepat tongkat si Gila Tuak

menghantam tangan itu. Plokk...!

"Auh...!" Bidadari Jalang memekik kesakitan.

Pergelangan tangannya menjadi sedikit memar akibat

pukulan tongkat itu. Padahal Gila Tuak menghantamkan

tongkatnya tidak begitu keras. Cukup pelan namun

cepat. Dan tentu saja tongkat itu dialiri tenaga dalam

dari tubuh Gila Tuak. Barangkali akan hancur jika

pukulan pelan tadi dihantamkan pada sebongkah batu

kali. Bidadari Jalang menatap marah pada Gila Tuak.

Pergelangan tangannya dipegangi. Ia bukan saja merasa

ngilu, tapi juga sekujur tubuh jadi semutan sesaat.

"Mengapa kau menyerangku, Tua Bangka?!"

"Pukulanmu itu akan mematikan Suto. Ingat, dia

hanya seorang bocah," kata Gila Tuak dengan suara

rendah.

"Tapi rupanya dia mempunyai ilmu yang tidak bisa

dianggap enteng! Dua kali dia nyaris membunuhku, Gila

Tuak!"

"Itu bukan kekuatannya."

Bidadari Jalang terdiam seketika. Mau membantah,

namun tak jadi. Ia segera memandang Suto yang masih

berdiri dengan kedua kaki sedikit merenggang. Seakan

ia siap menunggu serangan lagi.

Gila Tuak kembali berkata dengan suara pelan,

"Seseorang telah mengendalikan dia dari suatu tempat.

Jelas orang itu memusuhi aku, karenanya aku dibuatnya

tak bisa bergerak begini. Siapa orang yang telah

mengendalikan bocah itu sebenarnya?"

Bidadari Jalang menghempaskan napas, membuang

sebagian kemarahannya. Lalu, ia berkata dengan suara

pelan juga.

"Bagaimana kalau kupancing dengan serangan,

supaya kau bisa mengetahui, jurus-jurusnya siapa yang

dipakai oleh Suto."

"Hmmm... boleh saja. Tapi awas, jangan sampai

melukai tubuh bocah itu. Kau dan aku akan menderita

kerugian besar jika bocah itu sampai mati atau sakit

karena seranganmu."

"Kucoba untuk hati-hati!" bisik Bidadari Jalang.

Langkah perempuan cantik itu menjauhi si Gila

Tuak. Seakan ia mencari tempat untuk bertarung

dengsn Suto. Ia mengambil jarak tertentu dengan sikap

siap menyerang atau bertahan.

"Siapa kau sebenarnya, hah?" bentak Bidadari

Jalang. Suto hanya diam dan tersenyum sinis. Cukup

lama ia memandangi Bidadari Jalang dengan sorot

pandangan mata seorang lelaki dewasa yang nakal.

Bidadari Jalang menjadi gelisah dipandang nakal

begitu. Namun ia berusaha mengendalikan perasaannya

agar tidak terpancing oleh pandangan nakal Suto.

"Katakan, siapa dirimu sebenarnya?! Karena kami

tahu, kau bukan Suto!"

*

* *