Episode 8
"GILA Tuak, pergilah secepatnya, aku tak butuh
penonton!" Kata-kata Bidadari Jalang itulah yang
membuat Nagadipa terperanjat. Matanya sempat
terbelalak seketika, dan hanya sekejap. Ia jadi ingat
pesan almarhum gurunya ketika masih hidup.
"Jangan sekali-kali kamu bikin perkara dengan
tokoh tua di rimba persilatan yang bergelar si Gila
Tuak! Hindarilah dia, kapan saja kamu bertemu dengan
Gila Tuak. Orang itu bisa menjadi ganas dari orang yang
paling ganas di bumi ini! Kesaktiannya tak sebanding
denganmu. Aku saja ada di bawahnya. Karena itu, si
Gila Tuak sangat ditakuti oleh tokoh-tokoh dunia
persilatan, sehingga dia dikenal dengan julukan Gila
Tuak. Kerjanya menjagal siapa saja yang bikin perkara
dengannya...."
Nagadipa baru percaya betul dengan pesan
almarhum gurunya itu. Ia telah melihat sendiri
kehebatan Gila Tuak yang mampu menahan pukulan
'Gayung Iblis', bahkan mampu mengembalikannya juga.
Sebab itu, setelah ia mendengar nama Giia Tuak,
nyalinya jadi ciut. Dan pada waktu Bidadari Jalang
berbicara dengan Gila Tuak, diam-diam Nagadipa
segera menghindar dengan berlari cepat bagaikan kilat
menyusuri tepian pantai.
"Kakek, lihat orang itu telah lari!" seru Suto sambil
menarik-narik jubahnya Gila Tuak. Bibir berkumis putih
itu menyunggingkan senyum tipis. Tetapi wajah
Bidadari Jalang menjadi cemberut berang. Ia kecewa
atas kehadiran Gila Tuak, yang membuat lawannya
menjadi ketakutan.
"Aku tidak suka dengan caramu, Gila Tuak!"
"Apa maksudmu?" Gila Tuak berkata dengan santai,
seakan meremehkan kegeraman Bidadari Jalang.
"Kau banyak ikut campur pertarunganku tadi! Kau
pikir aku tidak tahu, kau telah melancarkan pukulan
jarak jauhmu beberapa kali ke arah Nagadipa?!"
Senyum tipis kembali mekar. "Kulakukan demi
menyelamatkan jiwamu," katanya dengan kalem.
"Aku bisa mengatasinya sendiri. Aku tidak perlu
bantuanmu!"
"Kalau kubiarkan saja dia menyerangmu, kau pasti
akan habis dibinasakan oleh Nagadipa. Aku tahu,
kekuatanmu semakin berkurang, Nawang Tresni. Kurasa
itu karena Racun Birahi yang bersarang di dalam
tubuhmu!"
Bidadari Jalang ingin membantah lagi, namun
segera ia menarik napas, karena menyadari kata-kata
itu memang benar. Kekuatannya semakin berkurang, ia
menjadi cepat lemah. Dengan pukulan-pukulan yang
tak begitu tinggi bobot tenaganya saja ia bisa dibuat
limbung. Kalau saja tadi si Gila Tuak tidak ikut campur
secara sembunyi-sembunyi, ia memang sudah habis di
tangan Nagadipa.
Menyadari hai itu, Bidadari Jalang bertambah
cemas. Sekalipun ia sembunyikan kecemasan tersebut
namun Gila Tuak tetap bisa merasakannya. Maka, Gila
Tuak pun berkata, "Sudahlah, lupakan dulu tentang
Nagadipa dan dendamnya. Kita bicara di pondokku
saja. Banyak hal yang perlu kita bicarakan tentang
bocah tanpa pusar ini, juga tentang penyakitmu itu."
Bidadari Jalang menghempaskan napas kuat-kuat.
Wajahnya masih cemberut. Tapi agaknya ia tidak
mempunyai pilihan lain. Kalau saja ia ngotot dan tetap
merebut Suto dari tangan Gila Tuak, jelas ia akan
hancur di tangan saudara seperguruannya. Seandainya
ia tidak dalam keadaan lemah, mungkin ia masih mau
melayani pertarungannya dengan Gila Tuak, walau ia
tahu lelaki itu tak bisa mati begitu saja.
"Baiklah, mari kita tinggalkan tempat ini," kata
Bidadari Jalang dengan wajah masih ketus cemberut. Ia
pun segera melangkah lebih dulu. Tiga langkah
kemudian ia berhenti, memandang Suto yang diam
saja, yang menatap aneh padanya. Sementara itu, Gila
Tuak sendiri tidak segera bergerak. Gila Tuak diam
bagaikan patung. Matanya menatap lurus kepada
Bidadari Jalang dengan kesan aneh pula. Tentu saja hal
itu membuat dahi Bidadari Jalang berkerut.
"Ayo, Suto..., kita pergi sekarang. Kamu mau
digendong aku atau digendong kakek tua itu?" kata
Bidadari Jalang kepada Suto.
Namun bocah itu diam saja. Kedua tangannya
terlipat di dada. Rambutnya yang plontos dibiarkan
tertiup angin malam pada bagian depannya. Jaraknya
berdiri mematung aneh itu ada tiga langkah dari
tempat Gila Tuak berdiri. Tepatnya di samping kanan
agak ke depan dari Gila Tuak.
"Hei, bocah tuli!" sentak Bidadari Jalang dengan
hati dongkol. "Ditanya kok diam saja? Apa kau bisu,
hah?!"
Semakin heran Bidadari Jalang melihat Suto
tersenyum. Sambil tetap berlipat tangan di dada, bocah
itu bergerak lebih menjauhi Gila Tuak. Langkahnya
kalem-kalem saja, seakan acuh tak acuh dengan Gila
Tuak maupun Bidadari Jalang.
"Gila Tuak, ayolah, bawa anak itu ke pondokmu!"
"Berangkatlah dulu," jawab si Gila Tuak dengan
suara datar.
"Tidak bisa. Kau pasti akan menipuku kalau kita
tidak berangkat bersama. Kau akan larikan anak itu ke
tempat lain."
"Berangkatlah dulu dan bawa anak itu."
Semakin datar suara Gila Tuak, semakin pelan
nadanya, semakin curiga pula hati Bidadari Jalang
dibuatnya. Mata perempuan cantik itu cukup tajam
memandang Gila Tuak yang punya pandangan lurus ke
depan. Pandangan mata kakek tua itu bagaikan penuh
beban yang tertahan. Mau tak mau Bidadari Jalang
mendekat kembali dan berkata dengan mata menyipit
ketus.
"Aku tidak butuh kelakarmu saat ini, tahu? Jangan
main-main denganku, Gila Tuak!"
Jawaban yang keluar dari mulut Gila Tuak hanya,
"Pergilah, bawa lari anak itu. Lekas."
"Hei, ada apa kau ini, hah? Kenapa kau tidak segera
bergerak untuk pergi?"
"Jangan banyak tanya. Lekas pergi bersama Suto
Lekas...!" kali ini Gila Tuak gemetar tangannya.
Terlihat oleh Bidadari Jalang tongkat yang dipegang
Gila Tuak juga ikut bergerak-gerak dalam getaran
lembut. Semakin heran dan curiga Bidadari Jalang saat
itu. Bahkan ia pun mendengar dengus napas tertahan
dari hidung Gila Tuak.
"Apa yang terjadi sebenarnya?" bisik Bidadari Jalang
berkesan tegang di dalam hatinya.
"Seseorang telah menahan inti ragaku."
"Apa...?!" Bidadari Jalang tersentak kaget walau tak
harus berucap kata dengan keras.
"Aku tak bisa bergerak," kembali Gila Tuak berkata
dengan suara bisik yang amat pelan.
Kepala Gila Tuak memang bisa bergerak. Ia
memandang ke kiri dan kanan. Kedua tangan itu pun
bisa bergerak bebas. Tetapi kedua kaki si Gila Tuak tak
bisa digerakkan sedikit pun. Diangkat sejengkal pun tak
bisa. Dengus-dengus napas tertahan berat itu
menandakan Gila Tuak sedang berusaha mengangkat
salah satu kakinya. Namun kakinya tetap seperti
tertancap di tanah pasir pantai. Kaki itu bagai ada yang
memegangi dari dalam tanah.
Melihat keadaan si Gila Tuak yang ternyata tidak
main-main itu, Bidadari Jalang semakin tegang dalam
keheranannya. Kemudian ia mencoba menarik tangan
Gila Tuak. Namun tubuh tua itu tidak mampu bergeser
dari tempatnya berpijak. Gila Tuak akhirnya
menghentakkan kedua tangannya dengan satu kekuatan
dalam yang cukup besar. Kekuatan dorong kedua
tangan Itu biasanya dipakai untuk menggeser pintu gua
dari batu besar, atau menumbangkan pohon yang
berukuran sedang-sedang saja. Anehnya, tubuh tua Gila
Tuak tidak mampu terdorong ke belakang. Hanya
meliuk sebentar dan kembali lagi, seperti sebongkah
karet yang tertancap kuat di salah satu dasar lantai.
"Siapa yang mengganggumu begini?" gumam
Bidadari Jalang dengan mata memandang sekeliling,
penuh kecurigaan.
"Entahlah. Aku belum menemukan dari mana asal
kekuatan gaib yang menahanku bergerak ini?"
"Coba gunakan tenaga dalammu untuk melompat
dari tempat ini."
"Sudah kucoba tadi," jawab si Gila Tuak masih
pelan sekali suaranya, "Tapi tak bisa melawan kekuatan
ini. Kepalaku malah terasa sakit akibat tenaga dalam
yang kupakai tertahan kuat-kuat."
Bidadari Jalang memunggungi Gila Tuak, matanya
memandang tajam ke arah semak pantai, ke arah
batang-batang kelapa, ke daerah gundukan karang yang
tadi retak dalam pertarungannya dengan Nagadipa, dan
ke mana saja mata itu menatap tajam. Namun ia tidak
menemukan bayangan sosok siapa pun di sana.
Tiba-tiba Bidadari Jalang menggerakkan kakinya
memutar dan menendang dada Gila Tuak dengan keras.
"Haiaai..!"
Buukk...!
"Uhhg...?!" Gila Tuak mendelik karena terkena
tendangan putar dari kaki Bidadari Jalang. Tendangan
itu biasanya bisa merubuhkan batang pohon. Namun
kali ini tak mampu membuat tubuh tua itu bergeser
dari tempatnya. Bahkan Gila Tuak sedikit meringis
merasakan sakit di dadanya akibat terkena tendangan
keras.
"Monyet Burik!" cacinya dengan dongkol. "Kenapa
kau menyerangku, hah?!"
"Maaf. Maksudku membuatmu supaya tumbang dan
bebas dari kekuatan yang menahan kakimu."
"Iya. Tapi dadaku mau jebol rasanya, Tolol!"
Bidadari Jalang menahan tawa geli jadinya. Ia jadi
iba melihat Gila Tuak jadi terengah-engah akibat
menahan tendangan tadi.
"Aih, gila! Apa-apaan sebenarnya ini?" geram
Bidadari Jalang. Ia masih sesekali memandang
berkeliling mencari sumber kekuatan yang mengganggu
Gila Tuak. Lalu tiba-tiba ia melompat pergi dalam
kecepatan tinggi, yang tak mampu dilihat oleh mata
telanjang. Angin kepergiannya membuat pasir-pasir
pantai menyebar ke mana-mana, termasuk memercik
ke wajah Gila Tuak. Tangan lelaki tua itu buru-buru
meraup wajahnya beberapa kali, membersihkan
jenggotnya yang terkena percikan pasir, dan akhirnya
meludah beberapa kali, karena ada beberapa butir
pasir yang masuk ke mulutnya.
"Setan alas!" katanya memaki dengan suara pelan.
"Cuih, cuih...I"
Gerakan Bidadari Jalang menimbulkan suara mirip
bambu kecil diputar-putarkan dengan menggunakan
tali. Wung... wuung... wung...! Berkeliling di sekitar
semak pantai. Kadang menjauh, kadang melintas di
depan Gila Tuak dan menjauh lagi, lalu mendekat
kembali. Tiba-tiba perempuan berambut panjang itu
sudah berdiri kembali di depan Gila Tuak dengan
jubahnya melambai-lambai tertiup angin.
"Tidak ada siapa pun di sekitar sini, Gila Tuak. Aku
sudah memeriksanya," kata Bidadari Jalang.
Gila Tuak menggeram dengan napas terhempas.
Merasa jengkel sekali dengan keadaannya.
"Kunyuk rembes!" makinya dalam geram. "Siapa
yang berani mempermainkan aku begini sebenarnya?"
Lalu, kedua tangannya terangkat ke atas.
Tongkatnya melintang dan dipegangi dengan kedua
tangan. Tongkat itu bagaikan sesuatu yang keras dan
dipakai untuk mengangkat tubuhnya. Ia seperti orang
bergelayutan di salah satu dahan pohon.
"Hiighh...!" Gila Tuak mengerahkan tenaganya
untuk mengangkat kedua kaki. Hingga wajahnya
memarah, ternyata belum juga berhasil mengangkat
tubuh.
"Terus. Kerahkan terus tenagamu. Kubantu
menggempur bagian bawahnya," kata Bidadari Jalang.
Lalu, tangan kiri bergerak menyentak ke depan. Sebuah
kekuatan tenaga dalam dilancarkan melalui tangan
tersebut, hawa panas terasa menggempur kaki Gila
Tuak. Dan lelaki tua itu pun berteriak kepanasan.
"Waoow...!"
Bidadari Jalang berhenti melakukannya. Tangan
Gila Tuak turun kedua-duanya. Tetapi tongkatnya
masih tinggal di atas. Bagai tergantung pada suatu
tiang gawang. Walau tanpa penyangga, tongkat itu
tetap diam tak bergerak, sehingga menimbulkan
perasaan heran bagi orang yang belum tahu kehebatan
ilmu Gila Tuak.
"Hati-hati, Tolol! Jangan terkena mata kakiku.
Hantam saja tanahnya dan aku akan mengangkat
tubuhku!" sentak Gila Tuak semakin dongkol pada
Bidadari Jalang.
"Baik, baik... I Ayo, lakukan lagi. Angkat tubuhmu
dengan kekuatan penuh dan aku akan mendongkel
tanahnya."
Tongkat yang tetap diam melintang di atas kepala
Gila Tuak itu kembali digunakan sebagai pegangan
kedua tangannya. Lalu, begitu Gila Tuak mengerahkan
tenaga untuk mengangkat tubuhnya, Bidadari Jalang
mengerahkan tenaga jarak jauhnya untuk menghantam
tanah yang dipakai berpijak kedua kaki tua itu.
"Hiaaat...!" teriak Bidadari Jalang dengan kedua
tangan diarahkan ke depan, agak bawah, dan dari
telapak tangan itu keluarlah asap tipis yang menyembur
ke arah tanah sekitar kaki Gila Tuak. Kedua tangan Gila
Tuak sendiri gemetar saat menarik dirinya ke atas.
Tetapi usaha itu agaknya masih juga belum berhasil.
Gila Tuak bagai sebuah gunung yang sukar digeser
sedikit pun.
Mereka saling menghempas napas dengan mata
beradu pandang. Angin malam masih berhembus
mempermainkan jubah kedua tokoh sakti itu. Rembulan
di langit bagai kian terang, sehingga apa saja yang ada
di sekitar mereka dapat terlihat jelas. Termasuk wajah
Suto yang sejak tadi tersenyum-senyum sinis, juga
kelihatan jelas oleh mata Bidadari Jalang.
Terbersit pikiran licik di otak Bidadari Jalang,
"Kularikan saja si Suto itu. Ini adalah kesempatan
menculik si Suto. Dengan keadaan seperti ini, Gila Tuak
tak akan mampu mengejarku. Aku bebas membawa lari
Suto ke mana saja."
Belum sempat Bidadari Jalang melangkah
mendekati Suto, mulut Gila Tuak sudah
menghamburkan kata.
"Bawalah pergi bocah itu, Nawang. Biarkan aku di
sini mengalahkan kekuatan gaib ini sendirian. Yang
penting, selamatkan dulu bocah itu, jangan sampai ada
yang mengganggunya. Bawalah ke tempatmu, atau
kemana saja. Aku pasti bisa mencari jejak kalian
melalui tongkatku ini."
Tak ada jawaban dari Bidadari Jalang. Tetapi hati
perempuan yang rambutnya ikut meriap-riap karena
hembusan angin itu berkata-kata sendirian.
"Wah, percuma saja kalau bocah itu kularikan. Gila
Tuak bisa mencarinya menggunakan tongkatnya.
Rupanya ia telah menyedot sebagian kekuatan kecil
pada bocah itu dan menyimpannya pada tongkatnya.
Tentu saja ke mana saja aku menyembunyikan Suto,
tongkat itu bisa menunjukkan di mana raga Suto
berada. Ah, sial! Sepertinya tak ada kesempatan bagiku
untuk menculik si Suto."
"Nawang, lakukanlah apa yang kukatakan tadi.
Jangan diam saja!"
"Baiklah...!"
Setelah berkata begitu, Bidadari Jalang mendekati
Suto. Langkahnya biasa-biasa saja. Namun, tiba-tiba di
luar dugaan tubuh yang berparas cantik itu tersentak
ke belakang bagai diseruduk tiga ekor banteng. Tubuh
Bidadari Jalang terpental melayang sampai kira-kira
tujuh langkah jauhnya. Tentu,saja hal itu membuat
mata si Gila Tuak terbelalak seketika. Buru-buru ia
menatap Suto dengan mata sedikit menyipit tajam.
"Tak mungkin bocah itu mampu membuat Bidadari
Jalang terpental sebelum menyentuh tubuhnya. Edan!
Kekuatan dari mana yang dimiliki Suto itu?" pikir Gila
Tuak.
Bidadari Jalang bangkit sambil memaki-maki,
"Bocah celeng! Landak bunting kau, ya? Kenapa kau
menyerangku, hah?!"
Perempuan itu melangkah cepat dengan gusarnya.
"Kau ingin membunuhku, ya? Iya...?!"
Tangan perempuan itu bergerak cepat, menampar
wajah Suto. Tapi tiba-tiba gerakan tangan itu mampu
ditangkis cepat oleh tangan kiri Suto. Dan tiba-tiba
tangan kanan Suto menyodok ke depan dalam keadaan
pangkal telapak tangannya terbuka, menghantam ulu
hati Bidadari Jalang. Begg...!
"Uhhg...!" Bidadari Jalang terhempas mundur tiga
langkah dengan menggeloyor, nyaris membentur tubuh
Gila Tuak. Kedua tokoh sakti itu sama-sama semakin
membelalakkan mata. Suto tetap diam dengan berdiri
tegak, bagaikan seorang jagoan yang tidak kenal
mundur setapak pun. Wajahnya masih menampakkan
kesinisan. Sikapnya jelas bermusuhan. Tak ada lagi
sikap bocah dan wajah kanak-kanaknya.
"Babi Dungu!" rutuk Bidadari Jalang. "Anak itu harus
diberi pelajaran biar tidak ngelunjak."
Kemudian tangan kanan Bidadari Jalang
dihentakkan ke depan dalam keadaan kedua jari lurus
dan keras. Cepat-cepat tongkat si Gila Tuak
menghantam tangan itu. Plokk...!
"Auh...!" Bidadari Jalang memekik kesakitan.
Pergelangan tangannya menjadi sedikit memar akibat
pukulan tongkat itu. Padahal Gila Tuak menghantamkan
tongkatnya tidak begitu keras. Cukup pelan namun
cepat. Dan tentu saja tongkat itu dialiri tenaga dalam
dari tubuh Gila Tuak. Barangkali akan hancur jika
pukulan pelan tadi dihantamkan pada sebongkah batu
kali. Bidadari Jalang menatap marah pada Gila Tuak.
Pergelangan tangannya dipegangi. Ia bukan saja merasa
ngilu, tapi juga sekujur tubuh jadi semutan sesaat.
"Mengapa kau menyerangku, Tua Bangka?!"
"Pukulanmu itu akan mematikan Suto. Ingat, dia
hanya seorang bocah," kata Gila Tuak dengan suara
rendah.
"Tapi rupanya dia mempunyai ilmu yang tidak bisa
dianggap enteng! Dua kali dia nyaris membunuhku, Gila
Tuak!"
"Itu bukan kekuatannya."
Bidadari Jalang terdiam seketika. Mau membantah,
namun tak jadi. Ia segera memandang Suto yang masih
berdiri dengan kedua kaki sedikit merenggang. Seakan
ia siap menunggu serangan lagi.
Gila Tuak kembali berkata dengan suara pelan,
"Seseorang telah mengendalikan dia dari suatu tempat.
Jelas orang itu memusuhi aku, karenanya aku dibuatnya
tak bisa bergerak begini. Siapa orang yang telah
mengendalikan bocah itu sebenarnya?"
Bidadari Jalang menghempaskan napas, membuang
sebagian kemarahannya. Lalu, ia berkata dengan suara
pelan juga.
"Bagaimana kalau kupancing dengan serangan,
supaya kau bisa mengetahui, jurus-jurusnya siapa yang
dipakai oleh Suto."
"Hmmm... boleh saja. Tapi awas, jangan sampai
melukai tubuh bocah itu. Kau dan aku akan menderita
kerugian besar jika bocah itu sampai mati atau sakit
karena seranganmu."
"Kucoba untuk hati-hati!" bisik Bidadari Jalang.
Langkah perempuan cantik itu menjauhi si Gila
Tuak. Seakan ia mencari tempat untuk bertarung
dengsn Suto. Ia mengambil jarak tertentu dengan sikap
siap menyerang atau bertahan.
"Siapa kau sebenarnya, hah?" bentak Bidadari
Jalang. Suto hanya diam dan tersenyum sinis. Cukup
lama ia memandangi Bidadari Jalang dengan sorot
pandangan mata seorang lelaki dewasa yang nakal.
Bidadari Jalang menjadi gelisah dipandang nakal
begitu. Namun ia berusaha mengendalikan perasaannya
agar tidak terpancing oleh pandangan nakal Suto.
"Katakan, siapa dirimu sebenarnya?! Karena kami
tahu, kau bukan Suto!"
*
* *