Chereads / Pendekar Mabuk / Chapter 12 - 002.Pendekar Mabuk - Pusaka Tuak Setan Eps12

Chapter 12 - 002.Pendekar Mabuk - Pusaka Tuak Setan Eps12

Episode 12

PAGI yang cerah dihiasi dengan deru kaki kuda

yang berlari cepat. Kuda putih itu ditunggangi oleh

seorang perempuan berpakaian serba hitam, berikat

pinggang sabuk lebar warna coklat. Rambutnya yang

panjang disanggul ke atas dan diberi tusuk konde dari

bambu kuning. Tangan kirinya mengenakan gelang

dari logam putih mengkilat, sebagai tanda bahwa ia

adalah orang Perguruan Merpati Wingit.

Tak salah lagi, perempuan yang mampu bergerak

lincah bersama kuda putihnya itu tak lain adalah

Dewi Murka. Rupanya dialah yang mendapat tugas

menemui si Gila Tuak ke Jurang Lindu untuk

menyelesaikan perkara Murbawati. Nyai Guru Betari

Ayu tidak ingin masalah tersebut menjadi berbuntut

panjang. Selama ini hubungannya dengan si Gila Tuak

cukup baik, sekalipun hubungannya dengan Bidadari

Jalang bermusuhan. Tetapi selama ini si Gila Tuak

tidak pernah mau ikut campur urusan pribadi saudara

seperguruannya itu, sehingga permusuhan tersebut

tidak membuat retak hubungan baiknya dengan

Betari Ayu.

Mengingat masalah hadirnya Murbawati menjadi

masalah bagi pelayan setianya Gila Tuak, yaitu

Pujangga Kramat, maka Betari Ayu segera mengutus

Dewi Murka untuk menyelesaikan secara baik-baik.

Bilamana perlu meminta maaf atas kesan buruk yang

dilakukan Murbawati sebagai pencuri kata. Sekalipun

sebenarnya Betari Ayu memahami maksud hati

Murbawati yang terpikat oleh sebentuk ketampanan

seorang pemuda, namun sikapnya yang mengendap-

endap dan bersembunyi itu dianggap salah oleh

Betari Ayu.

Dengan diutusnya Dewi Murka untuk

menyelesaikan masalah dengan pihak Gila Tuak, ini

merupakan kebanggaan yang amat menggembirakan

hati Dewi Murka. Karena, menurutnya tugas ini sudah

merupakan pertanda akan adanya kepercayaan dari

Nyai Guru kepadanya. Tidak menutup kemungkinan

lagi bahwa kelak Dewi Murka lah yang dipercaya

untuk memegang jabatan sebagai Ketua Perguruan

Merpati Wingit, dan berhak pula memiliki Kitab Wedar

Kesuma. Itulah sebabnya Dewi Murka sangat

bersemangat memacu kudanya menuju Jurang Lindu.

Tetapi ketika kuda melewati kaki bukit cadas yang

tak seberapa tinggi itu, mendadak kaki kuda

menyentak ke atas bagian belakangnya. Keras sekali

sentakan itu, sehingga tubuh penunggangnya pun

jatuh terpental ke depan bersama ringkik suara kuda.

Beruntung gerakan naluri Dewi Murka cukup

tajam, sehingga pada waktu ia melayang karena

dibuang oleh kudanya, tubuh langsing itu segera

menguasai keseimbangan. Bersalto satu kali dan

segera mendarat ke tanah dengan kaki tegak berdiri

kokoh berpijak. Kedua tangannya segera mengambil

sikap menunggu serangan berikutnya.

Tapi sampai beberapa saat lamanya Dewi Murka

menunggu dengan mata memandang tajam ke

sekelilingnya, ternyata tidak ada sesuatu yang

tampak mencurigakan yang akan membahayakan

dirinya.

"Aku merasakan ada pukulan dari jarak jauh yang

menghantam pantat kudaku," pikir Dewi Murka

dengan tetap waspada. "Tetapi penyerang gelap itu

tidak segera menyerangku lagi. Apa maksudnya dia

begitu? Siapa dia sebenarnya?"

Sambil bicara dalam hati, Dewi Murka segera

mendekati kudanya yang masih sedikit liar akibat

pukulan gelap tadi. Dewi Murka segera berhasil

memegangi tali kekang kuda dan mengusap-usap

bagian tengah kepala kuda agar sang kuda menjadi

tenang.

"Tenang, tenang...," katanya pelan kepada sang

kuda, "Dia pasti akan menampakkan diri. Tak

mungkin dia membiarkan aku lolos. Kita tunggu saja

di sini sambil beristirahat sebentar, Kliwon!" seraya ia

menyebutkan kudanya.

Kliwon memang menjadi tenang setelah diusap-

usap beberapa kali oleh penunggangnya. Tetapi baru

saja kuda itu tampak tenang, kali ini kaki kuda

menjadi tersentak ke depan dan naik tinggi-tinggi

sambil meringkik beberapa kali. Sentakan kaki depan

kuda hampir saja mengenai wajah Dewi Murka kalau

saja ia tidak segera mundur dengan melompat dua

langkah. Satu hal yang membuat Dewi Murka terkejut

adalah putusnya tali kekang kuda. Tali itu putus

hampir di dekat bagian yang digenggam tangan

kanan Dewi Murka, Putusnya tali itu menimbulkan

asap yang menandakan adanya sebuah pukulan

tenaga dalam berapi yang dilancarkan dari salah satu

sisi. Pukulan itu mengenai tali kuda.

Serentak mata Dewi Murka terbelalak setelah ia

segera menyadari akibat dari pukulan tersebut. la

mengenali pukulan itu.

"Tapak Merpati Murka'.,.!" gumamnya menyebut

nama pukulan jarak jauh tersebut. "Pasti ada orang

Merpati Wingit di sini. Karena pukulan 'Tapak Merpati

Murka' hanya dimiliki orang-orang Perguruan Merpati

Wingit. Hmmm... siapa gerangan orang yang

menggunakan pukulan berbahaya itu untuk

menyerangku. Jelas, ini bukan serangan main-main.

Ini sudah merupakan serangan yang bermaksud

jahat."

Dewi Murka segera memejamkan mata dengan

kedua tangannya saling bertaut di depan dada.

Beberapa saat kemudian, sepertinya ia telah

menemukan sesuatu yang dicarinya. Seketika itu

tangan Dewi Murka menyentak ke depan, tertuju

pada gugusan batu cadas yang ada di lereng bukit.

Sebuah pukulan jarak jauh bertenaga dalam cukup

tinggi dilancarkan.

Wuuugh...! Blaarrr...!

Gugusan batu cadas yang cukup besar itu pecah

karena dihantam pukulan tanpa wujud itu. Dari

gugusan tersebut segera muncul sesosok tubuh

bergerak lincah, melenting tinggi dan bersalto di

udara dua kali. Sosok itu dalam sekilas

menampakkan warna merah dadu, dan segera

mendarat dalam jarak sepuluh tombak dari tempat

Dewi Murka berdiri.

"Oh, kau rupanya?!" Dewi Murka sedikit terperanjat

dan segera mundur satu tindak. la sangat mengenali

penyerang gelapnya itu, yang tak lain adalah

Selendang Kubur.

"Apa maksudmu menyerangku, Selendang

Kubur?!" ketus suara Dewi Murka dengan sikap tetap

siaga menerima pukulan sewaktu-waktu. Matanya

pun memandang tajam berkesan bermusuhan.

Selendang Kubur hanya memandang dengan sinis,

demikian pula senyumnya yang tipis menandakan

senyum kesinisan.

"Serahkan tugas itu kepadaku, Dewi Murka. Guru

telah salah memilih orang untuk melaksanakan tugas

bertemu dengan si Gila Tuak. Guru terpengaruh oleh

kata-katamu yang suka memuji diri sendiri itu."

Dewi Murka memperdengarkan suara tawanya

yang kecil dan berkesan mengejek. Setelah itu ia pun

berkata dengan ketus.

"Guru bukan orang bodoh, ia tidak mungkin

mengutus muridnya yang masih hijau untuk

berurusan dengan tokoh tua itu."

Selendang Kubur menggeram menahan

kemarahannya. la membatin.

"Usianya memang tiga tahun lebih tua dariku, tapi

tidak layak ia mengatakan aku sebagai murid yang

masih hijau. Agaknya mulut perempuan licik ini perlu

diberi pelajaran...!"

Pelan-pelan Selendang Kubur menarik selendang

putihnya sehingga terlepas dari pinggang. Melihat

gerakan seperti itu, Dewi Murka mulai bersiap

mencabut trisulanya dari pinggang, karena lepasnya

selendang putih dari pinggang merupakan tantangan

maut buat dirinya, karena memang begitulah

kebiasaan Selendang Kubur jika hatinya mempunyai

niat bertarung dengan siapa pun.

"Kuperingatkan satu kali lagi, Dewi...,

menyingkirlah dan serahkan tugas itu padaku. Aku

lebih mampu menghadapi sikap si Gila Tuak jika

sewaktu-waktu ia bertindak keras."

"Dugaanmu salah, Selendang Kubur. Si Gila Tuak

tidak akan bertindak keras kepada siapa pun, selama

ia tidak melihat sikap kita berniat kurang ajar

padanya."

"Tapi aku punya rencana sendiri dalam tugas ini!"

ucap Selendang Kubur dengan nada dingin.

Senyum sinis Dewi Murka kembali mekar di sudut

bibirnya yang mungil namun tampak judes itu.

"Aku tahu, ada sesuatu yang membuatmu

penasaran, Selendang Kubur. Rencana tersendiri

yang kau maksudkan itu tak lain ingin melihat dengan

jelas, seperti apa murid si Gila Tuak yang menurut

pengakuan Murbawati sebagai pemuda tampan

memikat hati itu!"

"JahanamI" geram Selendang Kubur. Kemudian

mulutnya terkatup rapat, hatinya berkata, "Dia tahu

jalan pikiranku. Ah, aku harus bisa menutupi niat

kecilku itu. Aku tak boleh kelihatan terlalu penasaran

ingin melihat murid si Gila Tuak yang kata Murbawati

mempunyai daya tarik begitu kuat dan amat

mempesona hati itu. Atau, barangkali di dalam hati

kecil Dewi Murka juga mempunyai niat yang sama

dengan niat hati kecilku ini?"

Dewi Murka sendiri berkata dalam hatinya,

"Celaka. Kurasa dugaanku itu benar. Buktinya

Selendang Kubur tidak membantah tuduhanku.

Rupanya apa yang terpikir dalam otakku, terpikir pula

dalam otaknya. Kabar tentang adanya murid Gila

Tuak itulah yang membuatku lebih bersemangat lagi

menunaikan tugas ini. Aku juga ingin membuktikan

kebenaran kata Murbawati tentang Suto Sinting yang

mempunyai wajah menggetarkan hati setiap

perempuan itu. Aku punya rencana sendiri jika kata-

kata Murbawati itu memang benar. Tapi, ah... sayang

Selendang Kubur ini berdiri sebagai calon penghalang

utamaku. Haruskah aku menyingkirkannya dengan

sebentuk kematian?!"

Sepertinya percakapan batin mereka saling

didengar oleh lawannya, sehingga Selendang Kubur

pun segera berkata,

"Rupanya kita punya maksud yang sama, Dewi.

Maksud pribadi yang terlepas dari urusan perguruan

ini memang ada baiknya kita selesaikan dengan cara

kita sendiri!"

"Apa maumu, Selendang Kubur?! Jangan pikir aku

akan mundur setapak pun menghadapi

kecuranganmu ini!"

"Sangat kebetulan jika kau tak mundur setapak

pun, itu akan memudahkan diriku untuk

membunuhmu dengan cepat, Dewi!"

Dan tiba-tiba sebelum Dewi Murka mengatakan

sesuatu, selendang putih di tangan Selendang Kubur

itu berkelebat cepat menghantam ke arah dada Dewi

Murka. Kibasan selendang itu mempunyai kekuatan

tenaga dalam yang tidak kecil, sehingga Dewi Murka

segera melompat ke kanan menghindarinya. Serta-

merta tubuh Dewi Murka meluncur bagaikan terbang

dengan ujung trisulanya mengarah ke tubuh

Selendang Kubur. Gerakannya begitu cepat, sampai-

sampai Selendang Kubur nyaris tertikam ujung trisula

yang memancarkan udara panas dalam jarak satu

depa di depannya.

"Hiaaat...!" Selendang Kubur melesat naik

bagaikan terbang. Ketinggiannya melebihi tubuh Dewi

Murka yang melayang menembus tempat kosong di

bawahnya. Seketika itu pula kaki Selendang Kubur

dijejakkan ke bawah, tepat mengenai punggung Dewi

Murka dengan kerasnya,

Bukkk...!

"Uuhg...!" Dewi Murka sempat memekik tertahan

dan segera berguling di tanah. Hampir saja tubuhnya

membentur batu runcing ketika dijejali punggungnya

dari atas tadi.

Saat berikutnya, Dewi Murka telah mampu berdiri

dengan kedua kaki sedikit merendah. Trisulanya

terangkat ke atas, sejajar dengan pundak kanannya.

Rasa nyeri di punggung bisa dihilangkan dengan

menahan napas beberapa saat dan

menghembuskannya pelan-pelan. Kini mata Dewi

Murka memandang lebih tajam lagi ke arah

Selendang Kubur. Kemudian ia menyentakkan

trisulanya ke depan. Wuuugh...!

Ujung trisula mengeluarkan gelombang hawa

panas yang diperkirakan dapat membakar selendang

putih itu. Tetapi, Selendang Kubur justru

mengibaskan selendangnya ke depan dengan

melancarkan tenaga dalamnya yang mengandung

gelombang dingin. Akibatnya, kedua pukulan tenaga

dalam yang tersalur melalui senjata masing-masing

itu bertemu di pertengahan jarak dan menimbulkan

bunyi teredam yang cukup jelas. Dubbb...! Blaarrr...!

Suara ledakan pun menyusul. Tabrakan dua

tenaga dalam bergelombang berlawanan itu

mengguncangkan tanah tempat mereka berpijak.

Bebatuan kecil berguguran dari lereng bukit, daun-

daun berjatuhan dari atas pohon, seakan tanah di

sekeliling mereka berdiri mengalami guncangan

gempa yang lumayan keras, kuda pun meringkik

ketakutan.

Tetapi kedua murid Betari Ayu itu sama-sama

berdiri tak bergerak. Mata mereka tetap saling

pandang dan tangan mereka tetap bersikap seperti

tadi. Makin lama semakin terlihat jelas, kedua lutut

mereka sama-sama bergerak ke bawah pelan-pelan.

Beberapa jurus kemudian keduanya sama-sama jatuh

terlutut di tanah. Tubuh mereka mulai kelihatan

sama-sama lemah.

Dari hidung Dewi Murka mengalir darah segar.

Sedikit namun jelas terlihat oleh mata Selendang

Kubur. Sedangkan mata Dewi Murka pun melihat

jelas pula ada nya darah segar yang mengalir dari

mulut Selendang Kubur bagian sudutnya.

Rupanya mereka sama-sama menahan hawa aneh

yang melesat ke segala arah akibat benturan dua

tenaga dalam mereka. Hawa aneh itu menghantam

dada masing-masing dan sempat membuat luka di

bagian dalam tubuh mereka. Sekalipun luka itu tak

seberapa, namun mereka sama-sama sadar jika hal

itu diteruskan akan membuat mereka sama-sama

tewas tanpa hasil. Alias mati konyol.

Namun apakah mereka mau berdamai jika pikiran

mereka diliputi oleh kepentingan pribadi masing-

masing?

*

* *