Episode 12
PAGI yang cerah dihiasi dengan deru kaki kuda
yang berlari cepat. Kuda putih itu ditunggangi oleh
seorang perempuan berpakaian serba hitam, berikat
pinggang sabuk lebar warna coklat. Rambutnya yang
panjang disanggul ke atas dan diberi tusuk konde dari
bambu kuning. Tangan kirinya mengenakan gelang
dari logam putih mengkilat, sebagai tanda bahwa ia
adalah orang Perguruan Merpati Wingit.
Tak salah lagi, perempuan yang mampu bergerak
lincah bersama kuda putihnya itu tak lain adalah
Dewi Murka. Rupanya dialah yang mendapat tugas
menemui si Gila Tuak ke Jurang Lindu untuk
menyelesaikan perkara Murbawati. Nyai Guru Betari
Ayu tidak ingin masalah tersebut menjadi berbuntut
panjang. Selama ini hubungannya dengan si Gila Tuak
cukup baik, sekalipun hubungannya dengan Bidadari
Jalang bermusuhan. Tetapi selama ini si Gila Tuak
tidak pernah mau ikut campur urusan pribadi saudara
seperguruannya itu, sehingga permusuhan tersebut
tidak membuat retak hubungan baiknya dengan
Betari Ayu.
Mengingat masalah hadirnya Murbawati menjadi
masalah bagi pelayan setianya Gila Tuak, yaitu
Pujangga Kramat, maka Betari Ayu segera mengutus
Dewi Murka untuk menyelesaikan secara baik-baik.
Bilamana perlu meminta maaf atas kesan buruk yang
dilakukan Murbawati sebagai pencuri kata. Sekalipun
sebenarnya Betari Ayu memahami maksud hati
Murbawati yang terpikat oleh sebentuk ketampanan
seorang pemuda, namun sikapnya yang mengendap-
endap dan bersembunyi itu dianggap salah oleh
Betari Ayu.
Dengan diutusnya Dewi Murka untuk
menyelesaikan masalah dengan pihak Gila Tuak, ini
merupakan kebanggaan yang amat menggembirakan
hati Dewi Murka. Karena, menurutnya tugas ini sudah
merupakan pertanda akan adanya kepercayaan dari
Nyai Guru kepadanya. Tidak menutup kemungkinan
lagi bahwa kelak Dewi Murka lah yang dipercaya
untuk memegang jabatan sebagai Ketua Perguruan
Merpati Wingit, dan berhak pula memiliki Kitab Wedar
Kesuma. Itulah sebabnya Dewi Murka sangat
bersemangat memacu kudanya menuju Jurang Lindu.
Tetapi ketika kuda melewati kaki bukit cadas yang
tak seberapa tinggi itu, mendadak kaki kuda
menyentak ke atas bagian belakangnya. Keras sekali
sentakan itu, sehingga tubuh penunggangnya pun
jatuh terpental ke depan bersama ringkik suara kuda.
Beruntung gerakan naluri Dewi Murka cukup
tajam, sehingga pada waktu ia melayang karena
dibuang oleh kudanya, tubuh langsing itu segera
menguasai keseimbangan. Bersalto satu kali dan
segera mendarat ke tanah dengan kaki tegak berdiri
kokoh berpijak. Kedua tangannya segera mengambil
sikap menunggu serangan berikutnya.
Tapi sampai beberapa saat lamanya Dewi Murka
menunggu dengan mata memandang tajam ke
sekelilingnya, ternyata tidak ada sesuatu yang
tampak mencurigakan yang akan membahayakan
dirinya.
"Aku merasakan ada pukulan dari jarak jauh yang
menghantam pantat kudaku," pikir Dewi Murka
dengan tetap waspada. "Tetapi penyerang gelap itu
tidak segera menyerangku lagi. Apa maksudnya dia
begitu? Siapa dia sebenarnya?"
Sambil bicara dalam hati, Dewi Murka segera
mendekati kudanya yang masih sedikit liar akibat
pukulan gelap tadi. Dewi Murka segera berhasil
memegangi tali kekang kuda dan mengusap-usap
bagian tengah kepala kuda agar sang kuda menjadi
tenang.
"Tenang, tenang...," katanya pelan kepada sang
kuda, "Dia pasti akan menampakkan diri. Tak
mungkin dia membiarkan aku lolos. Kita tunggu saja
di sini sambil beristirahat sebentar, Kliwon!" seraya ia
menyebutkan kudanya.
Kliwon memang menjadi tenang setelah diusap-
usap beberapa kali oleh penunggangnya. Tetapi baru
saja kuda itu tampak tenang, kali ini kaki kuda
menjadi tersentak ke depan dan naik tinggi-tinggi
sambil meringkik beberapa kali. Sentakan kaki depan
kuda hampir saja mengenai wajah Dewi Murka kalau
saja ia tidak segera mundur dengan melompat dua
langkah. Satu hal yang membuat Dewi Murka terkejut
adalah putusnya tali kekang kuda. Tali itu putus
hampir di dekat bagian yang digenggam tangan
kanan Dewi Murka, Putusnya tali itu menimbulkan
asap yang menandakan adanya sebuah pukulan
tenaga dalam berapi yang dilancarkan dari salah satu
sisi. Pukulan itu mengenai tali kuda.
Serentak mata Dewi Murka terbelalak setelah ia
segera menyadari akibat dari pukulan tersebut. la
mengenali pukulan itu.
"Tapak Merpati Murka'.,.!" gumamnya menyebut
nama pukulan jarak jauh tersebut. "Pasti ada orang
Merpati Wingit di sini. Karena pukulan 'Tapak Merpati
Murka' hanya dimiliki orang-orang Perguruan Merpati
Wingit. Hmmm... siapa gerangan orang yang
menggunakan pukulan berbahaya itu untuk
menyerangku. Jelas, ini bukan serangan main-main.
Ini sudah merupakan serangan yang bermaksud
jahat."
Dewi Murka segera memejamkan mata dengan
kedua tangannya saling bertaut di depan dada.
Beberapa saat kemudian, sepertinya ia telah
menemukan sesuatu yang dicarinya. Seketika itu
tangan Dewi Murka menyentak ke depan, tertuju
pada gugusan batu cadas yang ada di lereng bukit.
Sebuah pukulan jarak jauh bertenaga dalam cukup
tinggi dilancarkan.
Wuuugh...! Blaarrr...!
Gugusan batu cadas yang cukup besar itu pecah
karena dihantam pukulan tanpa wujud itu. Dari
gugusan tersebut segera muncul sesosok tubuh
bergerak lincah, melenting tinggi dan bersalto di
udara dua kali. Sosok itu dalam sekilas
menampakkan warna merah dadu, dan segera
mendarat dalam jarak sepuluh tombak dari tempat
Dewi Murka berdiri.
"Oh, kau rupanya?!" Dewi Murka sedikit terperanjat
dan segera mundur satu tindak. la sangat mengenali
penyerang gelapnya itu, yang tak lain adalah
Selendang Kubur.
"Apa maksudmu menyerangku, Selendang
Kubur?!" ketus suara Dewi Murka dengan sikap tetap
siaga menerima pukulan sewaktu-waktu. Matanya
pun memandang tajam berkesan bermusuhan.
Selendang Kubur hanya memandang dengan sinis,
demikian pula senyumnya yang tipis menandakan
senyum kesinisan.
"Serahkan tugas itu kepadaku, Dewi Murka. Guru
telah salah memilih orang untuk melaksanakan tugas
bertemu dengan si Gila Tuak. Guru terpengaruh oleh
kata-katamu yang suka memuji diri sendiri itu."
Dewi Murka memperdengarkan suara tawanya
yang kecil dan berkesan mengejek. Setelah itu ia pun
berkata dengan ketus.
"Guru bukan orang bodoh, ia tidak mungkin
mengutus muridnya yang masih hijau untuk
berurusan dengan tokoh tua itu."
Selendang Kubur menggeram menahan
kemarahannya. la membatin.
"Usianya memang tiga tahun lebih tua dariku, tapi
tidak layak ia mengatakan aku sebagai murid yang
masih hijau. Agaknya mulut perempuan licik ini perlu
diberi pelajaran...!"
Pelan-pelan Selendang Kubur menarik selendang
putihnya sehingga terlepas dari pinggang. Melihat
gerakan seperti itu, Dewi Murka mulai bersiap
mencabut trisulanya dari pinggang, karena lepasnya
selendang putih dari pinggang merupakan tantangan
maut buat dirinya, karena memang begitulah
kebiasaan Selendang Kubur jika hatinya mempunyai
niat bertarung dengan siapa pun.
"Kuperingatkan satu kali lagi, Dewi...,
menyingkirlah dan serahkan tugas itu padaku. Aku
lebih mampu menghadapi sikap si Gila Tuak jika
sewaktu-waktu ia bertindak keras."
"Dugaanmu salah, Selendang Kubur. Si Gila Tuak
tidak akan bertindak keras kepada siapa pun, selama
ia tidak melihat sikap kita berniat kurang ajar
padanya."
"Tapi aku punya rencana sendiri dalam tugas ini!"
ucap Selendang Kubur dengan nada dingin.
Senyum sinis Dewi Murka kembali mekar di sudut
bibirnya yang mungil namun tampak judes itu.
"Aku tahu, ada sesuatu yang membuatmu
penasaran, Selendang Kubur. Rencana tersendiri
yang kau maksudkan itu tak lain ingin melihat dengan
jelas, seperti apa murid si Gila Tuak yang menurut
pengakuan Murbawati sebagai pemuda tampan
memikat hati itu!"
"JahanamI" geram Selendang Kubur. Kemudian
mulutnya terkatup rapat, hatinya berkata, "Dia tahu
jalan pikiranku. Ah, aku harus bisa menutupi niat
kecilku itu. Aku tak boleh kelihatan terlalu penasaran
ingin melihat murid si Gila Tuak yang kata Murbawati
mempunyai daya tarik begitu kuat dan amat
mempesona hati itu. Atau, barangkali di dalam hati
kecil Dewi Murka juga mempunyai niat yang sama
dengan niat hati kecilku ini?"
Dewi Murka sendiri berkata dalam hatinya,
"Celaka. Kurasa dugaanku itu benar. Buktinya
Selendang Kubur tidak membantah tuduhanku.
Rupanya apa yang terpikir dalam otakku, terpikir pula
dalam otaknya. Kabar tentang adanya murid Gila
Tuak itulah yang membuatku lebih bersemangat lagi
menunaikan tugas ini. Aku juga ingin membuktikan
kebenaran kata Murbawati tentang Suto Sinting yang
mempunyai wajah menggetarkan hati setiap
perempuan itu. Aku punya rencana sendiri jika kata-
kata Murbawati itu memang benar. Tapi, ah... sayang
Selendang Kubur ini berdiri sebagai calon penghalang
utamaku. Haruskah aku menyingkirkannya dengan
sebentuk kematian?!"
Sepertinya percakapan batin mereka saling
didengar oleh lawannya, sehingga Selendang Kubur
pun segera berkata,
"Rupanya kita punya maksud yang sama, Dewi.
Maksud pribadi yang terlepas dari urusan perguruan
ini memang ada baiknya kita selesaikan dengan cara
kita sendiri!"
"Apa maumu, Selendang Kubur?! Jangan pikir aku
akan mundur setapak pun menghadapi
kecuranganmu ini!"
"Sangat kebetulan jika kau tak mundur setapak
pun, itu akan memudahkan diriku untuk
membunuhmu dengan cepat, Dewi!"
Dan tiba-tiba sebelum Dewi Murka mengatakan
sesuatu, selendang putih di tangan Selendang Kubur
itu berkelebat cepat menghantam ke arah dada Dewi
Murka. Kibasan selendang itu mempunyai kekuatan
tenaga dalam yang tidak kecil, sehingga Dewi Murka
segera melompat ke kanan menghindarinya. Serta-
merta tubuh Dewi Murka meluncur bagaikan terbang
dengan ujung trisulanya mengarah ke tubuh
Selendang Kubur. Gerakannya begitu cepat, sampai-
sampai Selendang Kubur nyaris tertikam ujung trisula
yang memancarkan udara panas dalam jarak satu
depa di depannya.
"Hiaaat...!" Selendang Kubur melesat naik
bagaikan terbang. Ketinggiannya melebihi tubuh Dewi
Murka yang melayang menembus tempat kosong di
bawahnya. Seketika itu pula kaki Selendang Kubur
dijejakkan ke bawah, tepat mengenai punggung Dewi
Murka dengan kerasnya,
Bukkk...!
"Uuhg...!" Dewi Murka sempat memekik tertahan
dan segera berguling di tanah. Hampir saja tubuhnya
membentur batu runcing ketika dijejali punggungnya
dari atas tadi.
Saat berikutnya, Dewi Murka telah mampu berdiri
dengan kedua kaki sedikit merendah. Trisulanya
terangkat ke atas, sejajar dengan pundak kanannya.
Rasa nyeri di punggung bisa dihilangkan dengan
menahan napas beberapa saat dan
menghembuskannya pelan-pelan. Kini mata Dewi
Murka memandang lebih tajam lagi ke arah
Selendang Kubur. Kemudian ia menyentakkan
trisulanya ke depan. Wuuugh...!
Ujung trisula mengeluarkan gelombang hawa
panas yang diperkirakan dapat membakar selendang
putih itu. Tetapi, Selendang Kubur justru
mengibaskan selendangnya ke depan dengan
melancarkan tenaga dalamnya yang mengandung
gelombang dingin. Akibatnya, kedua pukulan tenaga
dalam yang tersalur melalui senjata masing-masing
itu bertemu di pertengahan jarak dan menimbulkan
bunyi teredam yang cukup jelas. Dubbb...! Blaarrr...!
Suara ledakan pun menyusul. Tabrakan dua
tenaga dalam bergelombang berlawanan itu
mengguncangkan tanah tempat mereka berpijak.
Bebatuan kecil berguguran dari lereng bukit, daun-
daun berjatuhan dari atas pohon, seakan tanah di
sekeliling mereka berdiri mengalami guncangan
gempa yang lumayan keras, kuda pun meringkik
ketakutan.
Tetapi kedua murid Betari Ayu itu sama-sama
berdiri tak bergerak. Mata mereka tetap saling
pandang dan tangan mereka tetap bersikap seperti
tadi. Makin lama semakin terlihat jelas, kedua lutut
mereka sama-sama bergerak ke bawah pelan-pelan.
Beberapa jurus kemudian keduanya sama-sama jatuh
terlutut di tanah. Tubuh mereka mulai kelihatan
sama-sama lemah.
Dari hidung Dewi Murka mengalir darah segar.
Sedikit namun jelas terlihat oleh mata Selendang
Kubur. Sedangkan mata Dewi Murka pun melihat
jelas pula ada nya darah segar yang mengalir dari
mulut Selendang Kubur bagian sudutnya.
Rupanya mereka sama-sama menahan hawa aneh
yang melesat ke segala arah akibat benturan dua
tenaga dalam mereka. Hawa aneh itu menghantam
dada masing-masing dan sempat membuat luka di
bagian dalam tubuh mereka. Sekalipun luka itu tak
seberapa, namun mereka sama-sama sadar jika hal
itu diteruskan akan membuat mereka sama-sama
tewas tanpa hasil. Alias mati konyol.
Namun apakah mereka mau berdamai jika pikiran
mereka diliputi oleh kepentingan pribadi masing-
masing?
*
* *