Chereads / Pendekar Mabuk / Chapter 16 - 002.Pendekar Mabuk - Pusaka Tuak Setan Eps16

Chapter 16 - 002.Pendekar Mabuk - Pusaka Tuak Setan Eps16

Episode 16

SEKALIPUN tubuhnya kurus kering, namun ketika

sebuah pukulan menghantam punggungnya dengan

keras, orang itu hanya tersentak sedikit. la masih

tegak berdiri tanpa mengeluarkan suara mengaduh

sedikit pun. Hanya saja, beberapa saat kemudian ia

membuka mulutnya, dan mulut itu mengeluarkan

asap. Sepertinya ia sengaja menyentakkan asap

supaya keluar dari dalam tubuhnya. Dan asap itu

adalah asap yang timbul akibat pukulan di

punggungnya tadi.

Sementara itu lawannya yang tadi berhasil

memukul punggung dengan pukulan yang

mengandung tenaga dalam cukup besar, segera

mundur setindak dan berdiri dengan tegar. Matanya

yang memang kecil terkesan sipit itu menatap orang

bertubuh kurus kering dengan tajam. Wajah dingin,

tanpa keramahan sedikit pun. Orang ini mempunyai

tubuh sedikit lebih gemuk dari lawannya. la

mengenakan baju berlengan panjang kombor warna

hitam dengan bagian tepinya dililit kain kuning emas.

Celananya juga hitam dan punya lilitan kain emas. Di

pinggangnya terselip sebuah pedang dengan sarung

pedang warna perak. Sementara di bagian kepalanya

ada kain pengikat berwarna merah tua, membuat

penampilannya kelihatan lebih ganas lagi. Orang ini

mempunyai kumis sedikit tebal dan cambang tipis

yang menambah angker wajahnya, yang berusia

antara empat puluh lima tahun.

Sedangkan orang kurus kering itu bermata cekung,

berjenggot abu-abu dan rambut acak-acakan tanpa

ikat kepala. Pakaiannya serba biru dengan baju

potongan jubah yang tidak pernah dikancingkan

bagian depannya. Dadanya terlihat tipis bertonjolan

tulang iga. Orang ini dalam keadaan basah kuyup,

sepertinya habis terendam air dalam telaga tersebut.

"Siapa mereka itu?! Ada persoalan apa sehingga

mereka bertarung di tepi telaga? Hmmm... sebaiknya

aku tak perlu ikut campur urusan mereka. Lebih baik

aku duduk di balik semak ini sambi! menonton

pertarungan mereka," kata Suto dalam hatinya, la

segera menggeser bumbung tuak dari punggung, lalu

menengadahkan kepala dan menenggak tuak sedikit.

Terdengar orang berpakaian serba hitam itu

berkata kepada lawannya, yang masih tegar berdiri

dengan kedua tangan berkuku panjang siap

menyambut serangan.

"Satu gebrakan lagi kau akan rubuh dan nyawamu

minggat! Kuperingatkan padamu, menyerahlah!

Selagi hatiku baik padamu, cepat serahkan benda itu

dan selamatkan nyawamu dari amukanku!"

Kata-kata itu ditertawakan oleh orang kurus

berpakaian serba biru. Rambutnya yang meriap di

mata kanan dibiarkan saja membuat wajah itu

semakin berkesan bengis dalam usia antara lima

puluh tahunan.

"Kau salah alamat, Datuk Marah Gadai!" katanya,

"Benda yang kau cari itu tidak ada di tanganku."

"Omong kosong! Kau telah menyelam di dalam

telaga itu dan pasti kau telah memperoleh benda itu!"

sentak orang yang disebut Datuk Marah Gadai itu.

Dan sentakan itu kembali ditertawakan orang kurus

yang kali ini berdiri dengan tenang, sambil mengusap-

usap jenggot abu-abunya.

Suto membatin, "O, orang yang berpakaian hitam

itu bernama Datuk Marah Gadai. Hi, hi, hi... lucu.

Mungkin dia kalau sedang marah mempunyai

kebiasaan menggadaikan barang-barangnya,

sehingga dijuluki Datuk Marah Gadai. Hi, hi, hi...!"

Suto cekikikan sendiri di balik persembunyiannya.

Matanya kembali menatap dua tokoh tua yang masih

bersitegang tentang barang yang harus diperebutkan.

Orang kurus kering itu berkata, "Aku memang telah

menyelam di dalam telaga itu, tapi di sana tidak ada

apa-apa. Tidak ada yang kuperoleh dari dasar telaga

kecuali kekecewaan!"

"Puih! Mana ada orang yang mau percaya dengan

mulut kotor murid Malaikat Tanpa Nyawa?!" Datuk

meludah. "Orang paling licik di seantero jagat adalah

kau, Cadaspati! Dan mulut orang licik selalu

menyemburkan kebohongan. Agaknya aku terpaksa

harus memaksamu menyerahkan Pusaka Tuak Setan

dengan menghancurkan mulutmu lebih dulu,

Cadaspati!"

Suto terperanjat begitu mendengar Pusaka Tuak

Setan disebut-sebut oleh Datuk Marah Gadai. Hati

kecilnya berkata,

"Rupanya mereka berebut Pusaka Tuak Setan?

Orang yang basah kuyup itu ternyata murid Malaikat

Tanpa Nyawa, yang bernama Cadaspati. Aku pernah

mendengar kisahnya dari cerita Guru, dan aku ingat

orang kurus itulah yang semasa kecilku menyalurkan

ilmu 'Inti Neraka' ke dalam tubuhku, sehingga

tubuhku seakan menjadi dirinya dan menyerang Bibi

Guru dan Kakek Guru sendiri. Hmmm... sekarang ilmu

'Inti Neraka' itu sudah menjadi milikku. Tiba saatnya

aku membalas perbuatan Cadaspati waktu itu."

Suto bergeser dari tempat persembunyiannya. la

mencari tempat yang lebih leluasa lagi untuk

memandang daerah tepian telaga. Satu-satunya

tempat yang enak untuk bersembunyi adalah di atas

pohon.

Maka, tubuh Suto pun segera melesat dengan

menggunakan ilmu peringan tubuhnya yang cukup

tinggi. Dalam sekali hentakan kaki, tubuh itu telah

hinggap di sebuah dahan dari pohon berdaun lebat.

Kakinya yang mendarat di dahan itu tidak

menimbulkan guncangan sedikit pun pada dedaunan

pohon, tanpa suara dan tanpa hempasan angin

dalam gerakannya.

"Nah, dari sini lebih enak menonton pertarungan

orang-orang bodoh itu," kata Suto dalam hatinya.

"Sebaiknya kupelajari dulu, apakah benar Pusaka

Tuak Setan itu sudah berhasil jatuh di tangan

Cadaspati atau belum. Kubiarkan dulu ia didesak oleh

Datuk Marah Gadai sampai pada pengakuan

terakhirnya. Hmmm... tapi bagaimana kalau ternyata

yang terdesak justru Datuk sendiri? Karena

kelihatannya ilmu yang dimiliki Cadaspati tidak bisa

dianggap ringan oleh Datuk Marah Gadai."

Pada saat itu Datuk Marah Gadai sudah siap

lancarkan pukulan jarak jauhnya. Kedua tangannya

terangkat sampai batas dada. Kemudian tangan itu

saling menyilang dengan gemetar. Telapak tangan

yang mengembang kaku dengan jari-jarinya mengeras

itu mulai kelihatan berasap tipis.

Cadaspati tidak tinggal diam. la mengerahkan

tenaga dalamnya yang membuat setiap kuku

tangannya memercik-mercikkan bunga api. Seperti

ada aliran tenaga yang berlompatan dari kuku yang

satu ke kuku yang satunya lagi.

"Hiaaat...!" Datuk Marah Gadai menjejakkan kaki

ke tanah dan tubuhnya melambung cepat di udara.

"Hiaaah...!" Cadaspati juga menjejakkan kaki ke

tanah dan tubuhnya bagaikan terbang ke arah Datuk

Main Gadai.

Begitu dua tubuh itu bertemu, dengan cepat

mereka saling menghantamkan pukulan masing-

masing.

Plak...! Plak...! Wugh... wuugh...!

"Hugh...!" keduanya sama memekik tertahan.

Tubuh mereka saling terpental ke belakang.

Datuk Marah Gadai hampir saja tersungkur masuk

ke dalam telaga. la jatuh dalam posisi terduduk di

tepian telaga. Namun kakinya segera dihentakkan

hingga ia bangkit kembali. Sementara itu, Cadaspati

setelah mengadu pukulan segera bersalto ke

belakang satu kali dan kakinya mendarat di tanah

dengan rapi tanpa limbung sedikit pun. Matanya yang

cekung itu memantang penuh nafsu membunuh.

Rambutnya yang panjang tersingkap oleh angin

telaga.

Datuk Marah Gadai menggeram ketika melihat

Cadaspati menyeringai bagai mengejek kekuatannya.

"Jahanam kau! Rupanya kau sudah bosan

bernapas. Cadaspati! Tak ada waktu lagi untuk

bermain-main denganmu! Sekaranglah saatnya

kucabut nyawamu! Hiaaat...!"

Datuk Marah Gadai menyentakkan kaki kanannya

ke depan dengan satu tendangan miring. Dari telapak

kakinya berkelebat sinar putih keperakan yang

melesat ke arah Cadaspati. Sinar putih keperakan itu

segera dihindari oleh Cadaspati dengan satu

lompatan ke atas. Dan bersamaan dengan itu,

Cadaspati mengibaskan tangannya bagai merobek

angin. Wuuusss...!

Lima berkas sinar meluncur dari kuku-kuku tangan

kanan Cadaspati. Sinar merah api itu begitu cepat

menerjang tubuh Datuk Marah Gadai. Segera orang

berpakaian hitam itu berguling-guling ke samping dan

akhirnya melesat bangkit dalam satu hentakan

tangan kuat. Kelima sinar merah api itu masuk ke

dalam telaga hingga airnya berguncang hebat.

Sebagian air ada yang muncrat ke tanah tepiannya.

Sisa kekuatan sinar merah api itu membuat

gelombang di permukaan air telaga. Telaga bagai ada

yang mengguncang-guncangnya dari dalam.

Sementara itu, sinar putih perak dari kaki Datuk

Marah Gadai tadi menghantam gugusan batu, yang

membuat gugusan batu itu sirna dalam sekejap.

Tinggal debu halus yang menggunduk sebagai tanda

hancurnya gugusan batu tersebut.

"Rupanya keduanya sama-sama berilmu tinggi,"

pikir Suto dari atas pohon. la meneguk tuaknya

kembali. Tanpa sadar ia sebenarnya sudah dikuasai

oleh keadaan mabuknya. Bahkan tak sengaja ia

melontarkan suara legukan satu kali.

"Huk...!"

Buru-buru Suto menutup mulutnya karena takut

suara cegukannya terdengar oleh kedua tokoh sakt

iitu. Di hati Suto ada rasa waswas karena setelah

suara cegukan satu kali itu, Datuk Marah Gadai mulai

memandang sekelilingnya penuh curiga.

"Celaka!" gumam Suto dalam hati. "Aku tak bisa

meredam suara cegukanku ini!"

Cadaspati sendiri membatin, "Dia mulai lengah.

Dia mencari-cari sesuatu. Sebaiknya aku segera

tinggalkan tempat ini dan tak perlu melayani dia!"

Niat Cadaspati untuk kabur ternyata diketahui oleh

Datuk Marah Gadai. Ketika Cadaspati berbalik

memunggungi lawannya, Datuk Marah Gadai segera

mengirimkan pukulan jarak jauhnya melalui telapak

tangan. Wuuugh...! Beegh...!

"Huggh...!" tubuh Cadaspati melengkung ke

belakang. Punggungnya terkena telak pukulan jarak

jauh Datuk Marah Gadai. la segera berbalik arah

dengan wajah semakin mendendam bengis. "Keparat

kau, Datuk!"

"Mau lari ke mana kau, hah? Jangan lari dulu kau.

Selesaikan dulu urusan kita ini!" Mata cekung yang

memandang bengis itu tiba-tiba berubah menjadi

lunak, sayu dan kebengisannya pun berkurang. Datuk

berkerut dahi karena merasa heran. Ia berkata dalam

hatinya.

"O, rupanya pukulanku tadi telah mengenai titik

kelemahannya. la menjadi lemah dan langkahnya

mulai terhuyung-huyung. Hmmm... sekarang aku tahu

di mana titik kelemahan Cadaspati. Rupanya ada di

bagian punggung! Kalau begitu, kugempur habis

punggungnya!"

Cadaspati memang berdiri dengan oleng.

Langkahnya pun terhuyung limbung. Bahkan

bicaranya bernada mengambang.

"Hei, Datuk... jangan terlalu lama kalau marah,

nanti barang-barangmu habis kau gadaikan, he, he,

he...!"

Datuk diam, menatap dengan curiga dan semakin

merasa aneh melihat sikap Cadaspati.

Kebengisannya menjadi hilang. Cahaya nafsu

membunuh tidak tampak sama sekali dari sorot mata

cekungnya.

Cadaspati mencoba bersandar pada sebatang

pohon. Tapi sandarannya meleset dan ia jatuh

tergagap-gagap. la segera bangkit dan menggerutu

sendiri.

"Siapa yang menaruh pohon tidak pas pada

tempatnya?! Kurang ajar! Hai, Datuk... kau yang

menyingkirkan pohon ini waktu mau kusandari!

Sekarang pindahkan kembali ke tempatnya, biar aku

bisa tepat bersandar di pohon itu. Lekas!"

Datuk Marah Gadai tertawa sinis. "Aku tak

mengerti arah bicaramu, Cadaspati!"

"Tidak perlu pakai arah!" sentaknya dengan suara

mengambang. Matanya semakin sayu, kelopak mata

bagai menggantung. la menuding Datuk dengan

tangan lemas. Katanya lagi.

"Kau... sini! Kau ke sini, Datuk!"

Datuk masih diam, tapi ia membatin, "Hmm... ada

yang tak beres dalam diri Cadaspati. Kurasa bukan

akibat pukulanku tadi. Pasti ada sesuatu yang telah

mengacaukan urusanku dengan Cadaspati."

Dugaan itu memang benar. Suto telah

menyusupkan ilmu 'Inti Neraka' ke dalam diri

Cadaspati. Gerak-gerik dan suaranya berubah

menjadi suara Suto. Hal ini dilakukan oleh Suto

sebagai tindakan balas dendam atas kelakuan

Cadaspati semasa Suto masih kecil (baca serial

Pendekar Mabuk dalam episode: "Bocah Tanpa

Pusar").

Datuk Marah Gadai pun segera membentak,

"Siapa kau sebenarnya, hah?!"

"Apa kau lupa pada tampang gantengku, Datuk?"

Kalau saja kata-kata itu diucapkan oleh Suto

sendiri, mungkin bisa dimaklumi dan memang

pantas. Tetapi, kata-kata itu diucapkan oleh orang

yang sudah cukup umur, berkulit wajah keriput

dengan tulang-tulang pipi bertonjolan, sungguh

ungkapan kata yang lucu jika wajah seperti itu

dikatakan ganteng. Namun Datuk Marah Gadai tidak

mau tertawa lebar-lebar. la hanya tertawa sinis dan

segera berkata kepada Cadaspati.

"Jangan kau campuri urusanku dengan Cadaspati!

Menyingkirlah! Atau kuremukkan kepalamu sekarang

juga, nah?"

"Remukkanlah! Ini bukan kepalaku. He he he...!"

"Jahanam kau! Hiih...!"

Datuk Marah Gadai menghantamkan pukulan

tangan kosongnya ke wajah Cadaspati. Plook...!

"Uts...!" Cadaspati mundur selangkah, ia mendekap

mulutnya. Sedikit bengkak bibir atasnya. Untung saja

pukulan itu pukulan tangan kosong yang tidak

mengandung kekuatan tenaga dalam. Andai saja

Datuk memukulnya dengan mengerahkan tenaga

dalamnya, pasti mulut itu akan hancur berantakan ke

mana-mana giginya.

Cadaspati yang tadi menggeloyor, kali ini segera

mendekat kembali dan berkata sambil menuding-

nuding dengan tangan lemas.

"Kamu jahat! Kamu tidak tahu kebaikan. Aku benci

sama kamu, Datuk. Aku benci sekali!"

"Tutup mulutmu, hiiih...!"

Datuk Marah Gadai menghantam pukulan lagi ke

mulut Cadaspati. Kali ini bertenaga lebih kuat dari

yang pertama. Tetapi, Cadaspati segera menangkis

pukulan itu dengan kelebatan tangan kanannya, lalu

punggung pergelangan tangan kanan itu disodokkan

ke ulu hati Datuk.

Bukkk...!

"Ugh...!" Datuk Marah Gadai tersentak kaget.

Pukulan punggung tangan itu terasa begitu keras

bagai hantaman palu godam. Mata Datuk Marah

Gadai sempat terbeliak lebar. la segera mengeraskan

perut dan menahan napas.

"Kurang ajar! Aku dibuat mainan seenaknya saja!"

geram Datuk Marah Gadai. Segera ia hentakkan

telapak tangan kirinya ke depan. Sebuah pukulan

bertenaga dalam melesat dalam jarak empat langkah

darinya.

Wuuugh...!

"Aaahg...!" Cadaspati terpekik, Pukulan itu

mengenai dadanya. la tersentak ke belakang.

Melayang jauh, antara tujuh langkah. Kemudian

tubuhnya jatuh di bawah pohon. Punggungnya

membentur akar pohon yang bertonjolan keras itu.

Pada saat itu, Suto melepaskan ilmu 'Inti Neraka'

dari tubuh Cadaspati. Kini keadaan Cadaspati

menjadi dirinya sendiri. Dan ia terkejut menyadari

sudah terbaring di bawah pohon dengan dada sakit

dan tulang punggung bagai mau patah.

"Apa yang kualami tadi?" pikir Cadaspati. la

berusaha untuk bangkit. Pelan-pelan ia bangkit dan

menyeringai menahan sakit. Melihat keadaan

Cadaspati mulai rapuh, Datuk Marah Gadai pun

segera memanfaatkan dengan melancarkan pukulan

bertenaga dalam yang lebih besar lagi.

"Hiaaat...!" tangan kanan disentakkan ke depan

dengan otot lengannya mengeras. Pukulan itu

mempunyai gelombang panas yang mampu

membakar kulit pohon.

Cadaspati segera menghadang pukulan itu dengan

sentakkan tangan kirinya. Namun, agaknya kekuatan

tangan itu tidak sebanding, sehingga pukulan hawa

panas itu menerjang telapak tangan kiri Cadaspati.

Tangan itu menjadi memar membiru, berkesan

hangus sampai di bagian ketiak dan dada sebelah

kiri. Tubuh Cadaspati pun terdorong keras hingga

membentur pohon besar di belakangnya.

"Uughh...!" Cadaspati mengaduh tertahan. la

menggeliat bangkit. Tetapi Datuk Marah Gadai segera

mengerahkan tendangan intinya yang mempunyai

kekuatan tenaga dalam mampu meleburkan gugusan

batu tadi.

"Lebih baik matilah kau daripada tetap tak mau

menyerahkan Pusaka Tuak Setan!" seru Datuk Marah

Gadai, lalu kaki kanannya pun dihentakkan

menendang ke depan. Sinar putih keperakan melesat

dari kaki itu, mengarah cepat ke tubuh Cadaspati.

Namun tiba-tiba sekilas sinar biru telah melesat

cepat dan membentur sinar putih keperakan itu.

Benturan itu menimbulkan ledakan hebat yang

mengguncangkan pepohonan di sekitarnya.

Blarrr...!

Datuk Marah Gadai belalakkan mata lebar-lebar.

Makin terkejut lagi ia begitu melihat sosok tua

berambut putih yang muncul dari balik semak

belukar. Sosok orang berambut putih panjang tanpa

ikat kepala itu tahu-tahu sudah berdiri di antara

Cadaspati dan Datuk Marah Gadai. Posisinya lebih

dekat ke Cadaspati.

"He, he, he...," orang tua yang lebih kurus dari

Cadaspati itu tertawa terkekeh-kekeh. Tongkatnya

yang berwarna putih itu digenggam tangan kanan. la

mengenakan celana hitam dan kain putih yang

diselempangkan lewat pundak kiri dan sebagian

melilit di pinggang. Di pinggang itu pun ia

mengenakan sabuk besar dari kulit binatang warna

hitam berbulu.

Dari tempat persembunyiannya Suto membatin,

"Siapa tokoh tua yang baru saja muncul ini?

Sepertinya ia ada di pihak Cadaspati."

"Selamat jumpa lagi, Datuk Marah Gadai. Kali ini

kita jumpa dalam keadaan kau sudah berhasil

melukai adikku, Cadaspati!"

"Aku tidak ada urusan denganmu, Peramal Pikun!

Menyingkirlah. Biar nyawa tuamu tak jadi korban

kemarahanku!"

"He, he, he.... Mana bisa aku menyingkir kalau kau

ingin mencelakai adikku, Datuk?! Bebaskanlah

adikku ini, supaya kita tidak punya persoalan lagi.

Bukankah persoalan kita sepuluh tahun yang lalu

sudah kita selesaikan dengan baik? Apakah kita

harus bikin persoalan baru lagi, Datuk Marah Gadai?"

"Aku membutuhkan benda pusaka yang dibawa

oleh adikmu itu! Tak akan kubiarkan ia melangkah

sejengkal pun sebelum Pusaka Tuak Setan itu

diserahkan kepadaku!"

Orang yang berjuluk Peramal Pikun itu segera

bertanya kepada Cadaspati, "Apakah kau membawa

Pusaka Tuak Setan?"

"Tidak!" jawab Cadaspati sambil berdiri bersandar

di pohon akibat luka pukulan dari Datuk Marah Gadai

tadi.

"Datuk, adikku tidak membawa Pusaka Tuak

Setan. Jadi, tak ada yang bisa diserahkan olehnya

kepadamu!"

"Omong kosong!" sentak Datuk Marah Gadai. Lalu,

ia diam sebentar. Hatinya berkata, "Sebenarnya aku

sudah enggan bentrokan dengan Peramal Pikun ini.

Ilmunya sangat tinggi. Sepuluh tahun yang lalu aku

melawannya gara-gara persoalan perempuan. Hampir

saja aku habis binasa diterjang ilmunya yang tinggi.

Untung waktu itu Rindani segera ketahuan bahwa dia

pun punya lelaki simpanan lainnya, sehingga kami

memutuskan untuk menghentikan perselisihan dan

membiarkan Rindani dengan lelaki simpanannya.

Kalau waktu itu aku dan dia tidak mengambil

keputusan untuk melepaskan Rindani, pasti aku akan

mati di tangannya. Dan sekarang, ilmuku memang

sudah bertambah. Tapi tentunya Peramal Pikun itu

juga semakin tinggi lagi ilmunya. Hmmm... haruskah

aku melawannya lagi?"

"Hei, Datuk..., mengapa diam saja? Apakah

bungkamnya mulutmu sebagai tanda kau

melepaskan adikku? Atau kita teruskan persoalan ini

dengan cara kau menghadapiku lebih dulu?" tantang

Peramal Pikun.

Dari tempat persembunyiannya Suto membatin,

"Tokoh yang satu ini biar tua tapi masih punya nyali

juga. Tapi dilihat dari wajahnya, ia tidak mempunyai

kesan bengis seperti wajah adiknya. Wajah itu malah

berkesan selalu ceria dan tersenyum."

Datuk Marah Gadai berkata dengan suara lantang,

"Aku tidak percaya kalau Cadaspati tidak memiliki

Pusaka Tuak Setan. Aku melihat sendiri ia muncul

dari dalam telaga itu. Pasti dia sudah menemukan

pusaka tersebut!"

"Mengapa kau berkeyakinan begitu, Datuk Marah

Gadai?! Apakah kau belum tahu, bahwa Pusaka Tuak

Setan itu milik si Gila Tuak?"

Diam-diam Suto terkejut mendengar nama gurunya

disebut-sebut. la tetap menutup mulut supaya suara

cegukannya tidak berbunyi.

"Aku memang tahu, pusaka itu milik si Gila Tuak.

Tapi dia sudah tidak mementingkannya lagi!" kata

Datuk Marah Gadai. "Aku mendengar percakapan si

Gila Tuak dengan muridnya, bahwa pusaka itu akan

dihancurkan. Jadi sebelum dihancurkan, aku harus

sudah lebih dulu mencurinya dari tempat kuburan

pusaka itu. Ternyata, adikmulah yang sudah

mendahului langkahku masuk ke dalam telaga ini!"

"He, he, he..., siapa tahu adikku masuk ke dalam

telaga hanya sekadar mandi, sebab bertahun-tahun ia

tak pernah mandi sampai badannya bau terasi!"

"Tidak mungkin! Dia pasti telah memperoleh

Pusaka Tuak Setan! Mungkin disembunyikan di balik

pakaiannya itu!"

Sekali lagi Suto membatin, "Iya. Kurasakan agak

berat waktu ilmu 'Inti Neraka' masuk ke raganya.

Bagian belakang pakaiannya yang mirip jubah itu

sepertinya mempunyai kantong untuk menyimpan

Guci Tuak Setan. Atau mungkinkah benda lain yang

tak berharga yang ada di kantong jubah belakangnya

itu?"

Datuk Marah Gadai mengambil sikap siap

menyerang. Kedua tangannya mulai dinaikkan

sebatas dada. Tapi Peramal Pikun masih tetap tenang

dan cengar-cengir saja.

"Peramal Pikun, terpaksa kau juga perlu kukirim ke

neraka karena membela adikmu yang punya urusan

denganku!"

"Tunggu, tunggu...," Peramal Pikun tetap kalem.

"Bukan soal ke neraka yang kupikirkan, tapi kesia -

siaan pertarungan ini yang kupertimbangkan. Sebab

menurut ramalanku, Pusaka Tuak Setan itu tidak

akan jatuh ke tangan siapa-siapa, kecuali ke tangan

murid tunggalnya si Gila Tuak."

"Ramalanmu semakin tua semakin tak manjur!"

"Manjur atau tidak, tapi kenyataannya si murid Gila

Tuak sudah siap mengambil pusaka itu. Bahkan dia

pun siap berhadapan denganmu, Datuk Marah

Gadai."

"Persetan dengan murid si Gila Tuak. Yang

kubutuhkan Pusaka Tuak Setan yang sudah ada di

tangan adikmu itu!"

"Murid si Gila Tuak tidak bisa dipersetankan,

Datuk. Sekarang pun dia sudah berada di sini."

Datuk Marah Gadai tampak sedikit waswas. la

melirik sekelilingnya.

"Ramalanmu tak ada artinya bagiku. Kau hanya

ingin mengelabuiku, Peramal Pikun. Tak ada orang

lain di sini, kecuali kita bertiga! Jadi, bersiaplah untuk

mati bersama adikmu!"

Kaki Datuk Marah Gadai mulai bergeser

merendah. Tangannya mengeras bagai besi. Kaku.

Peramal Pikun masih kalem, melangkah maju dua

tindak.

"Tunggu dulu, Datuk.... Siapa bilang di sini hanya

ada kita bertiga? Di sini ada empat orang. Ya,

menurut ramalanku di sini ada empat orang, Datuk."

"Mana yang seorang lagi!" sentak Datuk Marah

Gadai dengan suaranya yang besar.

"Ada di atas sana," jawab Peramal Pikun sambil

tangannya seperti menebarkan sesuatu namun

sebetulnya menebarkan tenaga dalam yang melesat

ke dalam tempat Suto bersembunyi. Datuk Marah

Gadai pun terkejut ketika memandang ke atas dan

melihat seorang pemuda bertengger di sana. Pemuda

itu kini melompat turun dengan dua kali salto, karena

ia harus menghindari tenaga dalam yang dilemparkan

oleh Peramal Pikun. Tenaga dalam itu membentur

dahan dan membuat dahan itu berderak, lalu patah

dan jatuh ke tanah.

Tepat pada waktu itu, Suto sudah berada di antara

Datuk Marah Gadai dan Peramal Pikun. Bukan hanya

mata Datuk Marah Gadai yang terperanjat, namun

mata Cadaspati pun ikut terbelalak melihat kehadiran

Suto.

*

* *