Chereads / Pendekar Mabuk / Chapter 22 - 003.Pendekar Mabuk - Darah Asmara Gila Eps22

Chapter 22 - 003.Pendekar Mabuk - Darah Asmara Gila Eps22

Episode 22

GEMURUH ombak di Pantai Karang Saru terdengar

bagai nyanyian pagi. Dinamakan Pantai Karang Saru,

karena di sana ada tebing karang yang memiliki gua

dengan lubang mulut yang memanjang ke atas. Di

samping lubang mulut gua itu ditumbuhi lumut-lumut

hijau kehitaman. Lumut itu tumbuh hanya di tepian

mulut gua, sedang di tempat lain tidak terdapat lumut

sedikit pun. Itulah sebabnya pantai itu dikenal dengan

nama Pantai Karang Saru, alias karang kotor.

Di salah satu celah karang-karang tak jauh dari mulut

gua itu, sebuah perahu telah disembunyikan beberapa

waktu lamanya, dan ditutup dengan belarak pelepah

daun kelapa. Menilik keadaan perahu yang

disembunyikan sebegitu rupa, pastilah seseorang telah

menyiapkan perahu itu untuk suatu keperluan penting.

Sebelum matahari sempat meninggi, belarak daun

kelapa itu disingkirkan oleh sepasang tangan berjari

lentik dan berkulit sawo matang. Tangan itu milik

seorang perempuan berambut lurus yang dililit rantai

emas dengan batu merah delima dibagian keningnya.

Siapa lagi perempuan yang bertahi lalat di dagu

kanannya kalau bukan Peri Malam, murid nenek keriput

yang berjuluk Mawar Hitam.

Gerakan tangan menyingkirkan daun kelapa penutup

perahu itu tampak cepat, menandakan Peri Malam harus

terburu-buru melakukan hal itu. Pandangan matanya

yang sedikit nanar menandakan ada cemas yang

tersimpan di hati Peri Malam.

"Memang sinting pemuda itu," katanya dalam hati.

"Begitu kutatap dia punya mata, jantungku terasa

terhenti sekejap. Pantas jika Selendang Kubur

mempertaruhkan nyawa untuk merebutkan Pusaka Tuak

Setan ini. Rasa-rasanya memang tak rugi mati untuk pria

setampan itu. Bukan hanya tampan saja, tapi juga

mempunyai daya tarik yang bisa bikin hatiku kembali

tertarik pada seorang lelaki. Sejak tadi aku berusaha

melupakannya, tapi tak pernah bisa."

Rupanya itu pula yang membuat hati murid Mawar

Hitam menjadi gelisah. Kecemasan yang hadir

menggelisahkan hati bukan karena rasa takut disusul

oleh Selendang Kubur atau Peramal Pikun, tapi takut

jumpa lagi dengan pemuda berpakaian coklat tampan itu.

Maka, perahu pun segera didorongnya memasuki

perairan laut yang saat itu dalam keadaan surut. Dengan

satu kekuatan dari dalam, Peri Malam berhasil

mendorong perahu itu seperti mendorong sebatang

pelepah daun pisang.

Begitu perahu mulai meluncur di permukaan air laut

yang bergelombang tak terlalu besar itu, Peri Malam

segera lompatkan diri ke dalamnya. Dalam satu kali

sentakan kaki, ia sudah berhasil berada di dalam perahu

dan segera raih kayu pendayung.

Sempat pula Peri Malam membatin, "Kalau debaran

hati ini semakin parah, aku akan minta izin kepada Guru

untuk temui pemuda itu lagi. Kalau tuntutan indah di

jiwaku semakin tinggi, aku akan culik pemuda itu untuk

kubawa lari ke Pulau Hantu. Kurasa Guru akan izinkan

hal itu sebagai hadiah dari keberhasilanku mencarikan

Pusaka Tuak Setan ini untuk beliau."

Peri Malam segera dayungkan perahunya. Cepat-

cepat tangannya mendayung seakan ingin segera sampai

pada sang Guru dan segera mintakan izin rencananya itu.

Dalam waktu singkat perahu itu sudah mencapai

kejauhan, sudah tinggalkan pantai lewat dari lima puluh

tombak. Namun gerakan tangan Peri Malam masih tetap

cepat dalam mendayung, seakan tak mau lambat sedikit

pun.

Untuk hindarkan sorot matahari yang terasa

menyengat kulit, Peri Malam mengambil tempat

membelakangi pantai dalam duduknya. Itu sebabnya

Peri Malam tidak menyadari kalau gerakan perahunya

makin lama semakin mendekati pantai, bukan semakin

menjauh. Ketika Peri Malam tengokkan kepala ke

belakang, ia terperanjat heran melihat perahu bukan

berjalan maju, tapi berjalan mundur.

"Sial! Perahu ini semakin mengikuti alunan ombak.

Terlalu ringannya perahu ini, sampai sang ombak

dengan mudah menahan dayungku dan mengalunkan

perahuku makin ke tepian. Harusnya perahu ini jangan

dibuat dari kayu kapuk randu, biar tak terlalu ringan dan

terlalu mudah dipermainkan ombak!"

Peri Malam ambil satu dayung lagi. Dayung kedua

dimasukkan ke dalam kolong besi di tepian perahu.

Dengan cara begitu, ia dapat dayungkan perahu dengan

gunakan dua dayung kanan-kiri. Gerakannya tambah

dipercepat. Peri Malam kerahkan tenaga buat membawa

pergi perahunya. Tapi perahu bergerak makin dekati

pantai.

"Apakah gerakan dayungku salah?" pikir Peri Malam.

"Kurasa tidak salah. Justru kalau kubalik gerakannya,

perahu ini akan melaju mundur."

Lebih cepat lagi Peri Malam gerakkan tangannya

untuk mendayung, lebih cepat juga perahunya menuju ke

tepian pantai. Sampai satu kejap berikutnya, terdengar

suara, kraakkk...! Dayung kanan membentur batuan

karang di dalam air. Dayung itu menjadi patah. Ini

menandakan bahwa perahu mulai mencapai tempat

dangkal. Peri Malam palingkan wajah ke belakang,

ternyata pasir pantai tinggal beberapa langkah dari

perahunya.

"Konyol!" sentak Peri Malam keras, ia marah pada

perahunya sendiri. Peri Malam segera bangkit dan

melompat turun. Perahunya ditarik ke tepian sambil

menggerutu, "Kurasa aku harus menunggu air pasang

dulu dan arah angin menuju ke barat. Jika arah angin

menuju barat, maka gelombang ombak akan mendorong

perahuku ke arah barat pula."

Perahu kembali dimasukkan di celah bebatuan

karang. Talinya ditambatkan di salah satu bebatuan yang

agak meruncing. Peri Malam pun segera pergi ke bawah

sebuah pohon mahoni yang berdaun rindang. Di sana

ada jajaran batu yang enak untuk duduk dan beristirahat.

"Haus sekali aku," pikirnya sebelum mencapai bawah

pohon rindang itu. Peri Malam dongakkan kepala

memandang buah kelapa hijau yang ada di pucuk pohon.

Kejap berikutnya ia dekati pohon kelapa itu dan dengan

pejamkan mata sejenak, Peri Malam hantamkan

tangannya memakai pangkal pergelangan tangan ke

pohon itu. Duugg...!

Maka satu buah kelapa yang dipilihnya dari bawah itu

meluncur jatuh dari atas pohon. Peri Malam senyumkan

bibirnya sambil memandang jatuhnya buah kelapa itu.

Kejap berikut ia terperanjat karena buah kelapa itu

pecah di udara sebelum mencapai tanah. Praak...! Airnya

muncrat ke mana-mana, serabut dan tempurungnya pun

terpental tak tentu arah.

Cepat-cepat Peri Malam palingkan wajah dengan

mata nanar. Pandangannya menyapu sekeliling sambil ia

membatin,

"Rupanya ada orang usil ingin menggangguku.

Hmm... tahu aku sekarang. Gerakan perahuku yang

mundur ke pantai pasti bukan karena gerakan ombak,

tapi karena ada yang sengaja menariknya dengan

kekuatan tenaga dalam yang cukup tinggi. Bedebah!

Siapa orang yang berani betul mempermainkanku?"

Peri Malam kembali hantam pohon kelapa untuk

memancing persembunyian orang yang memecahkan

kelapa saat buah itu melayang turun. Tapi kali ini buah

kelapa segar itu tidak pecah di udara. Buah kelapa segar

itu tetap meluncur ke bawah dan jatuh ke tanah berpasir.

Bluukkk...!

Peri Malam kerutkan dahinya. Aneh melihat kelapa

tak lagi pecah di udara. Segera ia dekati kelapa itu. Saat

Peri Malam mau ambil kelapa itu, tiba-tiba benda

tersebut bergerak menggelinding dengan cepat. Gerakan

itu diikuti oleh pandangan mata. Ternyata kelapa

tersebut berhenti karena terhadang satu kaki yang cepat

menginjaknya.

Taapp...!

Peri Malam pandangkan matanya mengikuti kaki itu.

Sedikit demi sedikit ia naikkan pandangan mata dari

betis sampai ke paha, naik ke perut, naik ke dada, dan

akhirnya Peri Malam temukan seraut wajah lelaki di

sana.

Melihat wajah pemuda berhidung bangir dan beralis

sedikit tebal itu, Peri Malam segera desiskan suara.

"Dia lagi...!"

Pemuda berpakaian serba hitam dengan ikat pinggang

hitam berukuran besar itu masih sunggingkan

senyumnya yang cukup menawan. Mata pemuda berikat

kepala kuning dan rambut sedikit panjang itu menatap

dengan lembut wajah Peri Malam. Di pinggang pemuda

itu terselip senjata berupa kapak dengan dua mata kanan-

kiri. Kapak itu mempunyai bagian ujung yang runcing

berupa mata tombak. Gagang kapak itu tidak panjang,

kira-kira hanya berukuran dua jengkal tangan dewasa.

Peri Malam kenali kapak itu sebagai pusaka si pemuda

yang konon bernama Kapak Kebo Geni.

"Kita jumpa lagi, Peri Malam," ucap pemuda itu

sambil memungut kelapa yang tadi diinjaknya.

"Rupanya kaulah orangnya yang sejak tadi

menggangguku, Dirgo!"

"Benar. Karena aku ingin bicara denganmu, Peri

Malam."

"Mengapa harus menahanku di pantai ini? Kau bisa

datang ke Pulau Hantu dan bicara denganku di sana,

Dirgo Mukti."

Pemuda itu menggeleng sambil mendekat. Tiga

tindak sebelum sampai di tempat Peri Malam berdiri,

Dirgo Mukti hentikan langkahnya.

"Kalau aku datang ke Pulau Hantu, sama saja aku

melanggar larangan dari guruku. Aku tak berani

melanggar larangan Guru. Jadi aku selalu tunggu

kemunculanmu di Pantai Karang Saru ini. Sebab di

sinilah aku jadi penguasa. Pantai Karang Saru adalah

wilayah kekuasaanku, Peri Malam. Siapa pun orangnya

yang melewati daerah ini harus berurusan denganku, tapi

bukan berarti harus mengadakan pertarungan denganku."

Kalau tidak ingat larangan gurunya juga, Peri Malam

sudah labrak pemuda itu dengan garangnya. Sayang

sekali Mawar Hitam pernah wanti-wanti agar Peri

Malam jauhi Dirgo Mukti yang bergelar Manusia

Sontoloyo itu. Peri Malam tidak boleh bikin bentrokan

dengan Manusia Sontoloyo. Apa alasan sang Guru

mengeluarkan larangan itu, sampai saat terakhir Peri

Malam berangkat, tak pernah ada jawaban yang pasti.

Dirgo Mukti masih sunggingkan senyum manis bagai

seorang lelaki berwajah bersih itu. Buah kelapa hijau

yang segar tetap ada di tangannya. Dengan gerakan

cepat, Dirgo Mukti tusukkan jari telunjuknya ke

permukaan kulit kelapa beraerabut tebal itu. Cruuss...!

Dalam satu sentakan jari menusuk, kelapa itu telah

berlubang dan bisa dipakai untuk mengeluarkan air di

dalam kelapa tersebut. Dirgo Mukti pun segera serahkan

kelapa kepada Peri Malam.

Peri Malam terima kelapa itu dengan wajah sinis dan

hati muak. Kejap berikutnya, Peri Malam menenggak

habis air kelapa muda itu. Saat kepalanya mendongak ke

atas untuk menerima curahan air kelapa, mata Dirgo

Mukti memperhatikan bentuk leher yang tampak halus

dan bersih tanpa luka sedikit pun. Ia tersenyum, ingin

mencium leher Peri Malam. Tapi saat ia bergerak

setindak, Peri Malam segera hentikan gerakan

meminum. Cepat ia memandang Dirgo Mukti dengan

sorot pandangan mata yang tidak bersahabat.

"Cantik sekali kau, Peri Malam!" kata Dirgo Mukti

pelan.

"Aku tak butuh rayuanmu," ketus Peri Malam.

Dirgo Mukti tertawa agak keras. "Suatu saat kau akan

membutuhkannya, Peri Malam. Kau wanita yang punya

gairah. Jadi kapan saja kau bisa punya kebutuhan cinta.

Dan akulah satu-satunya orang yang siap melayani

cintamu nantinya, Peri Malam."

Makin muak hati Peri Malam. Terasa perut mual dan

ingin muntah mendengar ucapan Dirgo Mukti. Dia

sendiri merasa aneh, mengapa dia tak bisa tertarik

dengan pemuda yang cukup tampan dan gagah itu.

Hatinya seperti gunung es yang sulit mencair oleh

rayuan atau sikap Manusia Sontoloyo itu.

Malah ingin rasanya Peri Malam menghajar habis

mulut pemuda itu. Ingin rasanya ia mengadu ilmu dan

kesaktian dengan Dirgo Mukti. Tapi pesan dari gurunya

membuat ia takut melakukan pelanggaran. Pernah ia

mendesak gurunya untuk minta diizinkan menyerang

Dirgo Mukti, tapi sang Guru tetap tidak mengizinkan.

"Apakah Dirgo Mukti lebih sakti dariku, Guru?"

tanya Peri Malam waktu itu. Sang Guru menjawab,

"Mungkin sama kuatnya kau dengan dia. Tapi bukan

itu yang jadi masalah. Jika kau berselisih dengan Dilgo,

maka dunia akan kembali dilanda gegel besal," kata

Mawar Hitam yang cadel.

"Tapi aku muak sekali dengan keusilannya, Guru.

Aku ingin sekali menghajar mulutnya yang selalu bicara

memuakkan!"

"Jangan. Kalau kamu ketemu dia, hindali saja dia.

Jangan sampai kamu teljadi bentlok sama dia."

"Izinkan aku menghajarnya satu kali saja, Guru. Satu

kali saja!"

"Tidak. Ada saatnya kalau toh telpaksa halus bentlok

sama dia. Tapi... sebaiknya jangan. Usahakan jauhi

Dilgo dan jangan ada pelselisihan sama dia!"

Geram hati Peri Malam bila ingat larangan itu. Apa

lagi sekarang Dirgo Mukti semakin usil, mulai berani

mau memegang pundak Peri Malam. Cepat-cepat Peri

Malam kibaskan tangan menampik pergelangan tangan

Dirgo Mukti. Sebenarnya ia bisa menghindari saja, tapi

untuk melampiaskan perasaan dongkolnya yang sudah

lama terpendam, ia sengaja tepiskan tangan Dirgo Mukti

dengan satu sentakan keras. Tulang lengan beradu

dengan pergelangan tangan Dirgo. Trakkk...! Sama-sama

keras bagai dua besi baja saling beradu.

"Jangan coba-coba bertindak lebih konyol lagi,

Dirgo!" sentak Peri Malam dengan mata menatap tajam,

penuh sinar permusuhan.

"Sesungguhnya mulai hari ini kau tak bisa lepas lagi

dariku, Peri Malam," kata Dirgo Mukti dengan mata

menahan kejengkelan hati.

"Apa maksudmu, hah?!" sentak Peri Malam.

"Hari ini juga kau harus kumiliki, Peri Malam. Aku

tak sanggup lagi berjauhan denganmu."

"Cuih...!" Peri Malam meludahi wajah Dirgo Mukti.

Tapi ludah itu sebelum sampai tempatnya sudah

membalik dan mengenai wajah Peri Malam sendiri.

Makin geram kemarahan Peri Malam. Makin merasa

dipermainkan dirinya.

"Hiaaat...!"

Peri Malam hantamkan tinjunya ke arah wajah Dirgo

Mukti. Tapi tubuhnya terpental pada saat kepalan

tinjunya bagai menghantam suatu lapisan yang bisa

memantulkan tenaga.

"Hup...!" Peri Malam cepat ambil sikap melompat,

dalam kejap berikutnya sudah berdiri tegap dalam jarak

lima langkah dari Dirgo Mukti. Ia bungkamkan mulut

untuk sesaat, karena hatinya berkata,

"Dia punya lapisan menolak kekerasan. Pukulanku

belum menyentuh wajahnya, tapi terasa sudah

menyentuh sesuatu yang menahan balik. Hampir saja

tubuhku terjungkal karena pukulan itu. Malu aku kalau

sampai terjungkal akibat tindakanku sendiri. Hmmm...

baiknya kucoba pakai pukulan jarak jauh saja!"

Wuuugh...! Tenaga dalam sedikit besar dilontarkan

dari telapak tangannya. Dan, orang yang diserangnya

hanya tersenyum tipis dengan kedua tangan terlipat di

dada.

Weeeung...!

Pukulan tenaga dalam itu membalik arah. Tubuh Peri

Malam tersentak dan terpelanting hingga berputar dua

kali. Untung ia cepat kendalikan keseimbangan

tubuhnya, hingga dalam kejap berikutnya Peri Malam

telah kembali berdiri tegak menghadap ke arah Dirgo

Mukti. Jaraknya menjadi delapan langkah dari Dirgo

Mukti. Saat itu, Dirgo berkata dengan sedikit berseru.

"Jangan melawan aku, Peri Malam. Kau akan mati

oleh kekuatanmu sendiri. Percayalah!"

"Persetan dengan kata-katamu, Dirgo! Kau telah

mempermainkan aku dan memancing kemarahanku!"

geram Peri Malam yang tambah penasaran itu. Maka,

serta-merta ia lancarkan pukulan tenaga dalamnya lebih

besar lagi.

Wuungh...!

Weuung...!

Cepat sekali pukulan itu memantul balik. Tubuh Peri

Malam terpental hingga dua kakinya terangkat dari

tanah. Tubuh itu melesat ke belakang dan jatuh

membentur bongkahan batu karang.

"Uhhg...!" Peri Malam menyeringai sakit pada

punggungnya. Napas Peri Malam tertahan beberapa saat

untuk menghalau rasa sakit. Setelah itu, napasnya

terhempas lepas.

Peri Malam bangkitkan tubuh dengan hati membatin,

"Tangguh juga gelombang pelapis dirinya itu. Pukulanku

tak mempan mendobraknya. Bangsat! Terhina aku

jadinya diperlakukan seperti ini di depannya! Rupanya

aku harus menggunakan salah satu jurus intiku!"

Saat pemuda itu tertawa bagai mengejek ilmu Peri

Malam, perempuan itu segera angkat kedua tangannya

dengan urat-urat mengeras. Kakinya merenggang ke

samping belakang dengan sedikit merendah. Kemudian,

membalikkan tangannya dengan telapak tangan

menghadap ke mukanya. Tangan itu pun menyentak

keduanya ke arah depan. Dari punggung telapak tangan

itu melesatlah sebuah sinar kuning berbentuk bola

sebesar kelereng. Sinar kuning itu melesat cepat ke arah

Dirgo Mukti. Tapi pemuda, itu tetap diam dan

tersenyum-senyum.

"Hiaaat...!" Peri Malam lompatkan diri, berjungkir

balik di udara, karena pada saat itu bola kuning berpijar-

pijar itu memantul balik ke arahnya. Bentuknya dua kali

lebih besar dari saat meluncur ke arah Dirgo tadi.

Wuuuooss...!

Blaar...! Benda itu menghantam gugusan batu hitam

yang ada di belakang tempat Peri Malam tadi berdiri.

Gugusan batu hitam sebesar kuda duduk itu menjadi

putih seketika. Dan angin laut menaburkan serbuk-

serbuk putih itu sampai akhirnya batu sebesar kuda

bersimpuh itu tinggal tersisa sebesar katak.

"Edan!" geram hati Peri Malam, "Alot sekali pelapis

dirinya itu. Sukar ditembus oleh tenaga intiku. Tapi

bagaimana jika kugunakan jurus 'Seribu Naga'? Apakah

masih tak mampu menembus gelombang pelapis dirinya

itu?"

Dari tempatnya, Dirgo Mukti berseru dengan jelas

sekali, "Peri Malam! Simpanlah tenagamu. Sia-sia kau

menyerangku. Jangan sampai aku bertindak keras dan

membalas kesombonganmu, Peri Malam!"

"Aku sengaja menunggu balasanmu, Dirgo!"

Belum sekejap suara Peri Malam hilang, tiba-tiba

terdengar sebuah ledakan yang menggelegar guncangkan

bumi. Blaarrr...!

Tubuh Dirgo Mukti terjungkal dan berguling-guling

di pasiran. Peri Malam lebarkan mata karena kaget dan

heran, ia merasa belum menyerang lagi, tapi Dirgo

Mukti sudah terjungkal dan itu berarti ada satu kekuatan

tenaga dalam yang cukup dahsyat dan mampu

menembus gelombang pelapis diri Dirgo Mukti.

"Jahanam!" sentak Dirgo mulai tampak

kemarahannya, ia tidak memandangi Peri Malam, tapi

menatap sekeliling dengan bingung. Matanya itu

memancarkan kemarahan yang tak bisa terbendung lagi.

"Siapa yang berani campuri urusanku ini, hah?!"

sentaknya lagi.

Peri Malam juga lirikkan mata ke sekeliling, mencari

penyerang gelap yang sudah pasti berilmu tinggi itu.

Sementara, di sebelah gundukan batu, Dirgo Mukti

berdiri dengan mendekap dada kirinya. Tampak ada

cairah merah yang mengalir dari hidung. Tidak banyak,

namun sempat membuat Peri Malam tersenyum

kegirangan.

"Mampuslah kau, Biadab!" geram Peri Malam kepada

Dirgo Mukti dengan suara tak terdengar, sebab saat itu

Dirgo berseru,

"Siapa yang berani menyerangku, hah?! Keluar kau,

Kunyuk! Tampakkan batang hidungmu, Bangsat!"

Dirgo Mukti benar-benar marah, ia sama saja dibuat

malu di depan perempuan yang sedang ditaksirnya.

Maksud hati unjuk kebolehan ilmunya di depan Peri

Malam, tak tahunya terpental dan berjungkir balik

dengan hidung berdarah. Rasa malu yang amat besar itu

yang membuat Dirgo Mukti benar-benar marah pada

orang yang mengganggunya.

"Kalau kau benar-benar berilmu tinggi, tampakkan

batang hidungmu dan hadapilah aku, Manusia

Sontoloyo!" teriaknya keras. Dirgo Mukti sengaja

salurkan tenaga dalamnya lewat teriakan itu, hingga

batu-batu karang bergetar, Peri Malam tutupkan tangan

ke telinganya.

Kejap berikutnya, dari celah bebatuan karang di

belakang Dirgo Mukti melompatlah sesosok tubuh

berpakaian coklat, berwajah tampan dan menggendong

bumbung tempat tuak. Seketika itu hati Peri Malam

terpekik kaget.

"Oh...?! Rupanya dia! Murid sinting si Gila Tuak!"

*

* *