Episode 22
GEMURUH ombak di Pantai Karang Saru terdengar
bagai nyanyian pagi. Dinamakan Pantai Karang Saru,
karena di sana ada tebing karang yang memiliki gua
dengan lubang mulut yang memanjang ke atas. Di
samping lubang mulut gua itu ditumbuhi lumut-lumut
hijau kehitaman. Lumut itu tumbuh hanya di tepian
mulut gua, sedang di tempat lain tidak terdapat lumut
sedikit pun. Itulah sebabnya pantai itu dikenal dengan
nama Pantai Karang Saru, alias karang kotor.
Di salah satu celah karang-karang tak jauh dari mulut
gua itu, sebuah perahu telah disembunyikan beberapa
waktu lamanya, dan ditutup dengan belarak pelepah
daun kelapa. Menilik keadaan perahu yang
disembunyikan sebegitu rupa, pastilah seseorang telah
menyiapkan perahu itu untuk suatu keperluan penting.
Sebelum matahari sempat meninggi, belarak daun
kelapa itu disingkirkan oleh sepasang tangan berjari
lentik dan berkulit sawo matang. Tangan itu milik
seorang perempuan berambut lurus yang dililit rantai
emas dengan batu merah delima dibagian keningnya.
Siapa lagi perempuan yang bertahi lalat di dagu
kanannya kalau bukan Peri Malam, murid nenek keriput
yang berjuluk Mawar Hitam.
Gerakan tangan menyingkirkan daun kelapa penutup
perahu itu tampak cepat, menandakan Peri Malam harus
terburu-buru melakukan hal itu. Pandangan matanya
yang sedikit nanar menandakan ada cemas yang
tersimpan di hati Peri Malam.
"Memang sinting pemuda itu," katanya dalam hati.
"Begitu kutatap dia punya mata, jantungku terasa
terhenti sekejap. Pantas jika Selendang Kubur
mempertaruhkan nyawa untuk merebutkan Pusaka Tuak
Setan ini. Rasa-rasanya memang tak rugi mati untuk pria
setampan itu. Bukan hanya tampan saja, tapi juga
mempunyai daya tarik yang bisa bikin hatiku kembali
tertarik pada seorang lelaki. Sejak tadi aku berusaha
melupakannya, tapi tak pernah bisa."
Rupanya itu pula yang membuat hati murid Mawar
Hitam menjadi gelisah. Kecemasan yang hadir
menggelisahkan hati bukan karena rasa takut disusul
oleh Selendang Kubur atau Peramal Pikun, tapi takut
jumpa lagi dengan pemuda berpakaian coklat tampan itu.
Maka, perahu pun segera didorongnya memasuki
perairan laut yang saat itu dalam keadaan surut. Dengan
satu kekuatan dari dalam, Peri Malam berhasil
mendorong perahu itu seperti mendorong sebatang
pelepah daun pisang.
Begitu perahu mulai meluncur di permukaan air laut
yang bergelombang tak terlalu besar itu, Peri Malam
segera lompatkan diri ke dalamnya. Dalam satu kali
sentakan kaki, ia sudah berhasil berada di dalam perahu
dan segera raih kayu pendayung.
Sempat pula Peri Malam membatin, "Kalau debaran
hati ini semakin parah, aku akan minta izin kepada Guru
untuk temui pemuda itu lagi. Kalau tuntutan indah di
jiwaku semakin tinggi, aku akan culik pemuda itu untuk
kubawa lari ke Pulau Hantu. Kurasa Guru akan izinkan
hal itu sebagai hadiah dari keberhasilanku mencarikan
Pusaka Tuak Setan ini untuk beliau."
Peri Malam segera dayungkan perahunya. Cepat-
cepat tangannya mendayung seakan ingin segera sampai
pada sang Guru dan segera mintakan izin rencananya itu.
Dalam waktu singkat perahu itu sudah mencapai
kejauhan, sudah tinggalkan pantai lewat dari lima puluh
tombak. Namun gerakan tangan Peri Malam masih tetap
cepat dalam mendayung, seakan tak mau lambat sedikit
pun.
Untuk hindarkan sorot matahari yang terasa
menyengat kulit, Peri Malam mengambil tempat
membelakangi pantai dalam duduknya. Itu sebabnya
Peri Malam tidak menyadari kalau gerakan perahunya
makin lama semakin mendekati pantai, bukan semakin
menjauh. Ketika Peri Malam tengokkan kepala ke
belakang, ia terperanjat heran melihat perahu bukan
berjalan maju, tapi berjalan mundur.
"Sial! Perahu ini semakin mengikuti alunan ombak.
Terlalu ringannya perahu ini, sampai sang ombak
dengan mudah menahan dayungku dan mengalunkan
perahuku makin ke tepian. Harusnya perahu ini jangan
dibuat dari kayu kapuk randu, biar tak terlalu ringan dan
terlalu mudah dipermainkan ombak!"
Peri Malam ambil satu dayung lagi. Dayung kedua
dimasukkan ke dalam kolong besi di tepian perahu.
Dengan cara begitu, ia dapat dayungkan perahu dengan
gunakan dua dayung kanan-kiri. Gerakannya tambah
dipercepat. Peri Malam kerahkan tenaga buat membawa
pergi perahunya. Tapi perahu bergerak makin dekati
pantai.
"Apakah gerakan dayungku salah?" pikir Peri Malam.
"Kurasa tidak salah. Justru kalau kubalik gerakannya,
perahu ini akan melaju mundur."
Lebih cepat lagi Peri Malam gerakkan tangannya
untuk mendayung, lebih cepat juga perahunya menuju ke
tepian pantai. Sampai satu kejap berikutnya, terdengar
suara, kraakkk...! Dayung kanan membentur batuan
karang di dalam air. Dayung itu menjadi patah. Ini
menandakan bahwa perahu mulai mencapai tempat
dangkal. Peri Malam palingkan wajah ke belakang,
ternyata pasir pantai tinggal beberapa langkah dari
perahunya.
"Konyol!" sentak Peri Malam keras, ia marah pada
perahunya sendiri. Peri Malam segera bangkit dan
melompat turun. Perahunya ditarik ke tepian sambil
menggerutu, "Kurasa aku harus menunggu air pasang
dulu dan arah angin menuju ke barat. Jika arah angin
menuju barat, maka gelombang ombak akan mendorong
perahuku ke arah barat pula."
Perahu kembali dimasukkan di celah bebatuan
karang. Talinya ditambatkan di salah satu bebatuan yang
agak meruncing. Peri Malam pun segera pergi ke bawah
sebuah pohon mahoni yang berdaun rindang. Di sana
ada jajaran batu yang enak untuk duduk dan beristirahat.
"Haus sekali aku," pikirnya sebelum mencapai bawah
pohon rindang itu. Peri Malam dongakkan kepala
memandang buah kelapa hijau yang ada di pucuk pohon.
Kejap berikutnya ia dekati pohon kelapa itu dan dengan
pejamkan mata sejenak, Peri Malam hantamkan
tangannya memakai pangkal pergelangan tangan ke
pohon itu. Duugg...!
Maka satu buah kelapa yang dipilihnya dari bawah itu
meluncur jatuh dari atas pohon. Peri Malam senyumkan
bibirnya sambil memandang jatuhnya buah kelapa itu.
Kejap berikut ia terperanjat karena buah kelapa itu
pecah di udara sebelum mencapai tanah. Praak...! Airnya
muncrat ke mana-mana, serabut dan tempurungnya pun
terpental tak tentu arah.
Cepat-cepat Peri Malam palingkan wajah dengan
mata nanar. Pandangannya menyapu sekeliling sambil ia
membatin,
"Rupanya ada orang usil ingin menggangguku.
Hmm... tahu aku sekarang. Gerakan perahuku yang
mundur ke pantai pasti bukan karena gerakan ombak,
tapi karena ada yang sengaja menariknya dengan
kekuatan tenaga dalam yang cukup tinggi. Bedebah!
Siapa orang yang berani betul mempermainkanku?"
Peri Malam kembali hantam pohon kelapa untuk
memancing persembunyian orang yang memecahkan
kelapa saat buah itu melayang turun. Tapi kali ini buah
kelapa segar itu tidak pecah di udara. Buah kelapa segar
itu tetap meluncur ke bawah dan jatuh ke tanah berpasir.
Bluukkk...!
Peri Malam kerutkan dahinya. Aneh melihat kelapa
tak lagi pecah di udara. Segera ia dekati kelapa itu. Saat
Peri Malam mau ambil kelapa itu, tiba-tiba benda
tersebut bergerak menggelinding dengan cepat. Gerakan
itu diikuti oleh pandangan mata. Ternyata kelapa
tersebut berhenti karena terhadang satu kaki yang cepat
menginjaknya.
Taapp...!
Peri Malam pandangkan matanya mengikuti kaki itu.
Sedikit demi sedikit ia naikkan pandangan mata dari
betis sampai ke paha, naik ke perut, naik ke dada, dan
akhirnya Peri Malam temukan seraut wajah lelaki di
sana.
Melihat wajah pemuda berhidung bangir dan beralis
sedikit tebal itu, Peri Malam segera desiskan suara.
"Dia lagi...!"
Pemuda berpakaian serba hitam dengan ikat pinggang
hitam berukuran besar itu masih sunggingkan
senyumnya yang cukup menawan. Mata pemuda berikat
kepala kuning dan rambut sedikit panjang itu menatap
dengan lembut wajah Peri Malam. Di pinggang pemuda
itu terselip senjata berupa kapak dengan dua mata kanan-
kiri. Kapak itu mempunyai bagian ujung yang runcing
berupa mata tombak. Gagang kapak itu tidak panjang,
kira-kira hanya berukuran dua jengkal tangan dewasa.
Peri Malam kenali kapak itu sebagai pusaka si pemuda
yang konon bernama Kapak Kebo Geni.
"Kita jumpa lagi, Peri Malam," ucap pemuda itu
sambil memungut kelapa yang tadi diinjaknya.
"Rupanya kaulah orangnya yang sejak tadi
menggangguku, Dirgo!"
"Benar. Karena aku ingin bicara denganmu, Peri
Malam."
"Mengapa harus menahanku di pantai ini? Kau bisa
datang ke Pulau Hantu dan bicara denganku di sana,
Dirgo Mukti."
Pemuda itu menggeleng sambil mendekat. Tiga
tindak sebelum sampai di tempat Peri Malam berdiri,
Dirgo Mukti hentikan langkahnya.
"Kalau aku datang ke Pulau Hantu, sama saja aku
melanggar larangan dari guruku. Aku tak berani
melanggar larangan Guru. Jadi aku selalu tunggu
kemunculanmu di Pantai Karang Saru ini. Sebab di
sinilah aku jadi penguasa. Pantai Karang Saru adalah
wilayah kekuasaanku, Peri Malam. Siapa pun orangnya
yang melewati daerah ini harus berurusan denganku, tapi
bukan berarti harus mengadakan pertarungan denganku."
Kalau tidak ingat larangan gurunya juga, Peri Malam
sudah labrak pemuda itu dengan garangnya. Sayang
sekali Mawar Hitam pernah wanti-wanti agar Peri
Malam jauhi Dirgo Mukti yang bergelar Manusia
Sontoloyo itu. Peri Malam tidak boleh bikin bentrokan
dengan Manusia Sontoloyo. Apa alasan sang Guru
mengeluarkan larangan itu, sampai saat terakhir Peri
Malam berangkat, tak pernah ada jawaban yang pasti.
Dirgo Mukti masih sunggingkan senyum manis bagai
seorang lelaki berwajah bersih itu. Buah kelapa hijau
yang segar tetap ada di tangannya. Dengan gerakan
cepat, Dirgo Mukti tusukkan jari telunjuknya ke
permukaan kulit kelapa beraerabut tebal itu. Cruuss...!
Dalam satu sentakan jari menusuk, kelapa itu telah
berlubang dan bisa dipakai untuk mengeluarkan air di
dalam kelapa tersebut. Dirgo Mukti pun segera serahkan
kelapa kepada Peri Malam.
Peri Malam terima kelapa itu dengan wajah sinis dan
hati muak. Kejap berikutnya, Peri Malam menenggak
habis air kelapa muda itu. Saat kepalanya mendongak ke
atas untuk menerima curahan air kelapa, mata Dirgo
Mukti memperhatikan bentuk leher yang tampak halus
dan bersih tanpa luka sedikit pun. Ia tersenyum, ingin
mencium leher Peri Malam. Tapi saat ia bergerak
setindak, Peri Malam segera hentikan gerakan
meminum. Cepat ia memandang Dirgo Mukti dengan
sorot pandangan mata yang tidak bersahabat.
"Cantik sekali kau, Peri Malam!" kata Dirgo Mukti
pelan.
"Aku tak butuh rayuanmu," ketus Peri Malam.
Dirgo Mukti tertawa agak keras. "Suatu saat kau akan
membutuhkannya, Peri Malam. Kau wanita yang punya
gairah. Jadi kapan saja kau bisa punya kebutuhan cinta.
Dan akulah satu-satunya orang yang siap melayani
cintamu nantinya, Peri Malam."
Makin muak hati Peri Malam. Terasa perut mual dan
ingin muntah mendengar ucapan Dirgo Mukti. Dia
sendiri merasa aneh, mengapa dia tak bisa tertarik
dengan pemuda yang cukup tampan dan gagah itu.
Hatinya seperti gunung es yang sulit mencair oleh
rayuan atau sikap Manusia Sontoloyo itu.
Malah ingin rasanya Peri Malam menghajar habis
mulut pemuda itu. Ingin rasanya ia mengadu ilmu dan
kesaktian dengan Dirgo Mukti. Tapi pesan dari gurunya
membuat ia takut melakukan pelanggaran. Pernah ia
mendesak gurunya untuk minta diizinkan menyerang
Dirgo Mukti, tapi sang Guru tetap tidak mengizinkan.
"Apakah Dirgo Mukti lebih sakti dariku, Guru?"
tanya Peri Malam waktu itu. Sang Guru menjawab,
"Mungkin sama kuatnya kau dengan dia. Tapi bukan
itu yang jadi masalah. Jika kau berselisih dengan Dilgo,
maka dunia akan kembali dilanda gegel besal," kata
Mawar Hitam yang cadel.
"Tapi aku muak sekali dengan keusilannya, Guru.
Aku ingin sekali menghajar mulutnya yang selalu bicara
memuakkan!"
"Jangan. Kalau kamu ketemu dia, hindali saja dia.
Jangan sampai kamu teljadi bentlok sama dia."
"Izinkan aku menghajarnya satu kali saja, Guru. Satu
kali saja!"
"Tidak. Ada saatnya kalau toh telpaksa halus bentlok
sama dia. Tapi... sebaiknya jangan. Usahakan jauhi
Dilgo dan jangan ada pelselisihan sama dia!"
Geram hati Peri Malam bila ingat larangan itu. Apa
lagi sekarang Dirgo Mukti semakin usil, mulai berani
mau memegang pundak Peri Malam. Cepat-cepat Peri
Malam kibaskan tangan menampik pergelangan tangan
Dirgo Mukti. Sebenarnya ia bisa menghindari saja, tapi
untuk melampiaskan perasaan dongkolnya yang sudah
lama terpendam, ia sengaja tepiskan tangan Dirgo Mukti
dengan satu sentakan keras. Tulang lengan beradu
dengan pergelangan tangan Dirgo. Trakkk...! Sama-sama
keras bagai dua besi baja saling beradu.
"Jangan coba-coba bertindak lebih konyol lagi,
Dirgo!" sentak Peri Malam dengan mata menatap tajam,
penuh sinar permusuhan.
"Sesungguhnya mulai hari ini kau tak bisa lepas lagi
dariku, Peri Malam," kata Dirgo Mukti dengan mata
menahan kejengkelan hati.
"Apa maksudmu, hah?!" sentak Peri Malam.
"Hari ini juga kau harus kumiliki, Peri Malam. Aku
tak sanggup lagi berjauhan denganmu."
"Cuih...!" Peri Malam meludahi wajah Dirgo Mukti.
Tapi ludah itu sebelum sampai tempatnya sudah
membalik dan mengenai wajah Peri Malam sendiri.
Makin geram kemarahan Peri Malam. Makin merasa
dipermainkan dirinya.
"Hiaaat...!"
Peri Malam hantamkan tinjunya ke arah wajah Dirgo
Mukti. Tapi tubuhnya terpental pada saat kepalan
tinjunya bagai menghantam suatu lapisan yang bisa
memantulkan tenaga.
"Hup...!" Peri Malam cepat ambil sikap melompat,
dalam kejap berikutnya sudah berdiri tegap dalam jarak
lima langkah dari Dirgo Mukti. Ia bungkamkan mulut
untuk sesaat, karena hatinya berkata,
"Dia punya lapisan menolak kekerasan. Pukulanku
belum menyentuh wajahnya, tapi terasa sudah
menyentuh sesuatu yang menahan balik. Hampir saja
tubuhku terjungkal karena pukulan itu. Malu aku kalau
sampai terjungkal akibat tindakanku sendiri. Hmmm...
baiknya kucoba pakai pukulan jarak jauh saja!"
Wuuugh...! Tenaga dalam sedikit besar dilontarkan
dari telapak tangannya. Dan, orang yang diserangnya
hanya tersenyum tipis dengan kedua tangan terlipat di
dada.
Weeeung...!
Pukulan tenaga dalam itu membalik arah. Tubuh Peri
Malam tersentak dan terpelanting hingga berputar dua
kali. Untung ia cepat kendalikan keseimbangan
tubuhnya, hingga dalam kejap berikutnya Peri Malam
telah kembali berdiri tegak menghadap ke arah Dirgo
Mukti. Jaraknya menjadi delapan langkah dari Dirgo
Mukti. Saat itu, Dirgo berkata dengan sedikit berseru.
"Jangan melawan aku, Peri Malam. Kau akan mati
oleh kekuatanmu sendiri. Percayalah!"
"Persetan dengan kata-katamu, Dirgo! Kau telah
mempermainkan aku dan memancing kemarahanku!"
geram Peri Malam yang tambah penasaran itu. Maka,
serta-merta ia lancarkan pukulan tenaga dalamnya lebih
besar lagi.
Wuungh...!
Weuung...!
Cepat sekali pukulan itu memantul balik. Tubuh Peri
Malam terpental hingga dua kakinya terangkat dari
tanah. Tubuh itu melesat ke belakang dan jatuh
membentur bongkahan batu karang.
"Uhhg...!" Peri Malam menyeringai sakit pada
punggungnya. Napas Peri Malam tertahan beberapa saat
untuk menghalau rasa sakit. Setelah itu, napasnya
terhempas lepas.
Peri Malam bangkitkan tubuh dengan hati membatin,
"Tangguh juga gelombang pelapis dirinya itu. Pukulanku
tak mempan mendobraknya. Bangsat! Terhina aku
jadinya diperlakukan seperti ini di depannya! Rupanya
aku harus menggunakan salah satu jurus intiku!"
Saat pemuda itu tertawa bagai mengejek ilmu Peri
Malam, perempuan itu segera angkat kedua tangannya
dengan urat-urat mengeras. Kakinya merenggang ke
samping belakang dengan sedikit merendah. Kemudian,
membalikkan tangannya dengan telapak tangan
menghadap ke mukanya. Tangan itu pun menyentak
keduanya ke arah depan. Dari punggung telapak tangan
itu melesatlah sebuah sinar kuning berbentuk bola
sebesar kelereng. Sinar kuning itu melesat cepat ke arah
Dirgo Mukti. Tapi pemuda, itu tetap diam dan
tersenyum-senyum.
"Hiaaat...!" Peri Malam lompatkan diri, berjungkir
balik di udara, karena pada saat itu bola kuning berpijar-
pijar itu memantul balik ke arahnya. Bentuknya dua kali
lebih besar dari saat meluncur ke arah Dirgo tadi.
Wuuuooss...!
Blaar...! Benda itu menghantam gugusan batu hitam
yang ada di belakang tempat Peri Malam tadi berdiri.
Gugusan batu hitam sebesar kuda duduk itu menjadi
putih seketika. Dan angin laut menaburkan serbuk-
serbuk putih itu sampai akhirnya batu sebesar kuda
bersimpuh itu tinggal tersisa sebesar katak.
"Edan!" geram hati Peri Malam, "Alot sekali pelapis
dirinya itu. Sukar ditembus oleh tenaga intiku. Tapi
bagaimana jika kugunakan jurus 'Seribu Naga'? Apakah
masih tak mampu menembus gelombang pelapis dirinya
itu?"
Dari tempatnya, Dirgo Mukti berseru dengan jelas
sekali, "Peri Malam! Simpanlah tenagamu. Sia-sia kau
menyerangku. Jangan sampai aku bertindak keras dan
membalas kesombonganmu, Peri Malam!"
"Aku sengaja menunggu balasanmu, Dirgo!"
Belum sekejap suara Peri Malam hilang, tiba-tiba
terdengar sebuah ledakan yang menggelegar guncangkan
bumi. Blaarrr...!
Tubuh Dirgo Mukti terjungkal dan berguling-guling
di pasiran. Peri Malam lebarkan mata karena kaget dan
heran, ia merasa belum menyerang lagi, tapi Dirgo
Mukti sudah terjungkal dan itu berarti ada satu kekuatan
tenaga dalam yang cukup dahsyat dan mampu
menembus gelombang pelapis diri Dirgo Mukti.
"Jahanam!" sentak Dirgo mulai tampak
kemarahannya, ia tidak memandangi Peri Malam, tapi
menatap sekeliling dengan bingung. Matanya itu
memancarkan kemarahan yang tak bisa terbendung lagi.
"Siapa yang berani campuri urusanku ini, hah?!"
sentaknya lagi.
Peri Malam juga lirikkan mata ke sekeliling, mencari
penyerang gelap yang sudah pasti berilmu tinggi itu.
Sementara, di sebelah gundukan batu, Dirgo Mukti
berdiri dengan mendekap dada kirinya. Tampak ada
cairah merah yang mengalir dari hidung. Tidak banyak,
namun sempat membuat Peri Malam tersenyum
kegirangan.
"Mampuslah kau, Biadab!" geram Peri Malam kepada
Dirgo Mukti dengan suara tak terdengar, sebab saat itu
Dirgo berseru,
"Siapa yang berani menyerangku, hah?! Keluar kau,
Kunyuk! Tampakkan batang hidungmu, Bangsat!"
Dirgo Mukti benar-benar marah, ia sama saja dibuat
malu di depan perempuan yang sedang ditaksirnya.
Maksud hati unjuk kebolehan ilmunya di depan Peri
Malam, tak tahunya terpental dan berjungkir balik
dengan hidung berdarah. Rasa malu yang amat besar itu
yang membuat Dirgo Mukti benar-benar marah pada
orang yang mengganggunya.
"Kalau kau benar-benar berilmu tinggi, tampakkan
batang hidungmu dan hadapilah aku, Manusia
Sontoloyo!" teriaknya keras. Dirgo Mukti sengaja
salurkan tenaga dalamnya lewat teriakan itu, hingga
batu-batu karang bergetar, Peri Malam tutupkan tangan
ke telinganya.
Kejap berikutnya, dari celah bebatuan karang di
belakang Dirgo Mukti melompatlah sesosok tubuh
berpakaian coklat, berwajah tampan dan menggendong
bumbung tempat tuak. Seketika itu hati Peri Malam
terpekik kaget.
"Oh...?! Rupanya dia! Murid sinting si Gila Tuak!"
*
* *