Episode 27
SEMILIR angin menghembus ke permukaan telaga.
Air telaga bergerak-gerak bagai digelitik jemari
perawan. Telaga yang tidak begitu luas itu dikelilingi
oleh pepohonan rindang berbatang tinggi. Teduh sekali
suasana di sekeliling telaga.
Tiba-tiba tanpa angin tanpa badai, air telaga
berkecipak dan muncrat ke atas. Sesosok tubuh melesat
keluar dari kedalaman telaga. Tubuh itu segera
bersalto ke depan dan kejap berikutnya sepasang kaki
kekarnya telah menapak tanah. Jliggg...!
Napas orang itu terhempas. Sebagian air ikut
menyembur keluar dari mulutnya. Matanya yang kecil
tapi tajam itu menatap sekeliling dengan penuh
waspada. Orang berpakaian hitam dengan alis kuning
emas pada tepiannya itu segera kibaskan kepala.
Rambut dan sekujur tubuhnya yang basah siratkan air
ke kanan-kiri. Ikat kepalanya dilepas dan diperas.
Melihat dari bentuk kumisnya yang sedikit tebal
dengan cambang tipis, sebuah pedang sarung perak
berukir yang tetap tersemat di pinggang kirinya, ia
cukup dikenal di rimba persilatan. Para tokoh
mengenalnya dengan nama: Datuk Marah Gadai. Ia
tergolong salah satu dari sekian tokoh sakti yang punya
hasrat untuk menguasai rimba persilatan di seluruh
tanah Jawa. Ia punya harapan untuk menjadi penguasa
tanah Jawa, hingga tak segan-segan turunkan tangan
dan cabutkan pedang untuk membunuh siapa pun yang
menjadi penghalangnya.
Datuk Marah Gadai memandangi air telaga dengan
perasaan dongkol. Matanya yang berkesan bengis itu
semakin tampak bengis, karena sebuah perasaan
kecewa yang dikarenakan oleh sesuatu hal semakin
menggerogoti jiwanya. Datuk Marah Gadai menggeram
dalam keraguan bertindak.
"Kutinggalkan telaga keparat ini, atau kucoba sekali
lagi menyelam dan mencari di dasar telaga. Bila perlu
kuangkat semua tanah yang ada di dasar telaga ini!"
Belum sampai Datuk Marah Gadai putuskan
langkah, tiba-tiba ia mendengar suara tawa terkekeh
dari atas pohon. Cepat-cepat Datuk Marah Gadai
palingkan wajah lemparkan pandangan ke atas.
"Turun kau, Monyet!" sentak Datuk Marah Gadai
dengan kasar.
"Tak perlu kau suruh aku turun, aku memang sudah
berniat turun sendiri. Karena kaulah orang yang kucari-
cari beberapa waktu ini dan ternyata kutemukan di
sini! He, he, he...!"
Orang di atas pohon itu segera melompat turun.
Tubuhnya yang kurus kering bagaikan kipas dihembus
angin. Rambutnya yang putih panjang meriap panjang
bagaikan serabut akar kering melayang ke mana-mana.
Orang yang bercelana hitam, berkain putih penutup
dada, dan menggenggam tongkat kayu putih itu tak lain
adalah Peramal Pikun dengan nama asli Renggono. Dia
adalah kakak dari Cadaspati, murid Malaikat Tanpa
Nyawa, yang tempo hari telah dibunuh oleh Datuk
Marah Gadai. (Baca serial Pendekar Mabuk dalam
episode: "Darah Asmara Gila").
Tokoh tua yang lebih banyak cengengesan itu
memang mempunyai kesaktian melebihi adiknya, tapi
ia tidak termasuk sebagai murid Malaikat Tanpa Nyawa.
Bahkan dulu ia pernah bentrok dengan Malaikat Tanpa
Nyawa, dan ia segera kabur karena sang adik membela
gurunya. Namun sebagai seorang kakak, Peramal Pikun
tak bisa tinggal diam melihat kematian adiknya di
tangan Datuk Marah Gadai. Untuk itulah ia merasa
gembira karena bisa bertemu dengan pembunuh
adiknya di tepi Telaga Manik Intan.
Peramal Pikun hentikan tawanya sejenak.
Pandangan matanya menjadi lebih tajam. Kata-katanya
terasa sedingin es.
"Kau yang membunuh Cadaspati, adikku!"
"Benar!" jawab Datuk Marah Gadai bersikap
menantang. "Apakah kau ingin menyusulnya? Aku
bersedia membantumu!"
"Kau yang akan kususulkan ke sana untuk meminta
maaf padanya!"
Datuk Marah Gadai sunggingkan senyum tipis dan
sinis, pertanda meremehkan gertakan Peramal Pikun.
"Rupanya biar tua kau masih punya nyali juga,
Peramal Pikun! Seharusnya kau bisa bayangkan, adikmu
yang terhitung lebih muda dan lebih lincah darimu itu
bisa kubunuh tanpa ampun lagi, apalagi kamu yang
sudah tua renta tinggal tulang terbungkus kulit? Sama
saja aku melawan ranting kering yang sudah waktunya
rengas!"
Peramal Pikun menyipitkan pandangan matanya.
Tangan kanannya yang menggenggam tongkat meremas
kuat. Kejap berikutnya ia sentakkan kepala tongkat ke
depan, kaki merendah terbentang, tangan terangkat ke
atas.
Wuuugh....!
Sebuah gumpalan tenaga dalam dilancarkan melalui
kepala tongkatnya. Tenaga dalam itu melesat ke dada
Datuk, tapi dengan cepat tangan kanan Datuk terangkat
di depan dada dengan dua jari mengeras berdiri dan
punggung tangan itu menghadap ke arah depan. Dari
punggung tangan itu keluar gelombang tenaga
penangkis, sehingga di depan mereka terdengar suara
seperti dua benda empuk beradu.
Beggh...!
Kedua tubuh masih sama-sama tegak. Hanya kain
dan rambut Peramal Pikun yang tersibak bagai
dihembus angin balik. Sementara itu, Datuk Marah
Gadai sunggingkan senyum karena ia pun merasa sedikit
terdorong oleh benturan tenaga dalam itu.
Peramal Pikun mengendurkan urat-urat tangannya
dan kembali bersikap seperti tadi. Tongkatnya
ditapakkan ke tanah. Seakan apa yang dilakukan tadi
hanya untuk menguji kesigapan lawannya.
Sang lawan pun menurunkan tangan dan berdiri
dalam sikap tenang seperti semula. Datuk Marah Gadai
melangkah ke samping dua tindak. Sengaja ia berdiri
bersandar pohon supaya timbul kesan menganggap
enteng kehadiran Peramal Pikun.
"Kalau kau menuntut kematian adikmu itu kuanggap
tuntutan yang wajar. Tapi aku sangsi, apa kamu bisa
mengungguli ilmuku, Peramal Pikun?"
Merasa diremehkan, Peramal Pikun sentakkan
tongkatnya ke tanah.
Duggg...!
Tak diduga-duga tubuh Datuk Marah Gadai
tersentak ke atas dan nyaris jatuh ke tanah. Rupanya
Peramal Pikun salurkan tenaga dalamnya melalui
tongkat, dan tenaga dalam itu melesak masuk ke
tanah, lalu menyentak ke atas, membuat tubuh Datuk
Marah Gadai tersentak naik. Ada separo tombak tinggi
sentakan itu. Kalau saja Datuk Marah Gadai tidak bisa
cepat kuasai keseimbangan, ia akan jatuh terduduk di
tanah. Untung ia segera kuasai keseimbangan tubuhnya
yang sedikit gemuk itu, sehingga ia hanya terhuyung-
huyung dan berhasil berpegangan batang pohon.
"Datuk Marah Gadai!" kata Peramal Pikun dengan
tegas. "Perlu kau ketahui, kehadiranku menemui dirimu
bukan hanya menuntut balas atas kematian adikku, tapi
juga ingin merebut Pusaka Tuak Setan yang kau ambil
dari Cadaspati, adikku itu."
"Pusaka apa yang bisa diperoleh adikmu itu?! Tidak
ada pusaka apa-apa yang bisa diperolehnya, karena
adikmu itu sebenarnya manusia tanpa isi, tak punya
ilmu apa-apa, sehingga tak bisa memperoleh pusaka
apa pun! Menyesal juga aku telah bersusah payah
mengejarnya, buang-buang waktu saja, dan ternyata
Pusaka Tuak Setan memang tidak ada padanya."
"Hmmm... begitukah pengakuanmu, Datuk Marah
Gadai? Jika memang Cadaspati tidak memegang pusaka
itu, tentunya kau sekarang telah memegangnya! Aku
lihat sendiri kau muncul dari kedalaman telaga!"
"Ya. Memang aku muncul dari kedalaman telaga ini.
Lantas apa maksudmu?"
"Tentunya kau yakin jika Pusaka Tuak Setan itu
masih ada di dasar telaga, dan kau segera memburunya
setelah kau bunuh adikku itu. Tentunya juga kau
sekarang sudah mendapatkannya, Marah Gadai!"
Tawa Datuk Marah Gadai terlepas keras. Pada saat
yang sama, Peramal Pikun berkata dalam hatinya.
"Pasti dia sudah dapatkan pusaka itu. Kalau dia
tidak memperoleh Pusaka Tuak Setan dari Cadaspati,
tak mungkin dia menyelam di dalam telaga dalam
keadaan tanpa melepas pakaian. Sengaja dia menyelam
dengan berpakaian lengkap, karena keadaan itu bisa
dimanfaatkan olehnya untuk menyembunyikan Pusaka
Tuak Setan di balik baju atau pinggangnya itu."
Datuk Marah Gadai hentikan tawa. Tapi bibirnya
masih sunggingkan sisa senyum sinisnya, sambil ia
perdengarkan suaranya yang sedikit besar itu.
"Lucu sekali buatku. Dulu, sangkaku Cadaspati
membawa Pusaka Tuak Setan dari dasar telaga, sebab
aku lihat dia muncul dari kedalaman telaga. Lalu aku
kejar dia sampai akhirnya kubunuh, dan ternyata dia
tidak pegang pusaka itu. Sekarang, aku muncul dari
dasar telaga tanpa membawa pusaka itu, tapi disangka
berhasil memperoleh pusaka itu. Tentunya kau tidak
percaya jika kukatakan bahwa aku tidak memperoleh
benda apa pun di dalam dasar telagaiItu! Satu pasir pun
tidak kubawa naik ke permukaan ini, Peramal Pikun.
Harap kau mau percaya agar tak terjadi salah duga
yang berakibat buruk, seperti nasib adikmu itu!"
Peramal Pikun membatin, "Apa benar dia tidak
dapatkan pusaka itu? Jika benar, lantas ke mana
perginya pusaka itu? Siapa yang sudah berhasil
membawanya pergi? Atau... masih ada di dalam telaga
ini?"
Sejurus setelah keduanya sama-sama diam, Datuk
Marah Gadai kembali perdengarkan suaranya,
"Peramal Pikun, kurasa kau tak perlu curiga
padaku. Pusaku itu memang tidak ada. Mungkin juga
yang namanya Pusaka Tuak Setan hanya merupakan
kabar bohong saja. Pusaka itu tidak pernah ada dari
dulu sampai sekarang. Jadi, tak ada guna kita
bersitegang memperebutkannya. Dan, aku tak bisa
terlalu lama tinggal di sini, karena aku punya banyak
urusan di tempat lain. Aku harus segera pergi!"
"Tunggu!" cegah Peramal Pikun sambil melangkah
satu tindak.
"Urusan kita belum beres, Marah Gadai!"
"Sudah kukatakan, Tuak Setan itu tidak ada!"
"Barangkali benar. Tapi urusan soal kematian
adikku belum selesai. Kau harus menebusnya dengan
nyawa pula, Marah Gadai!"
"Aku tidak tega jika harus meremukkan tulang-
tulang tuamu, Renggono!" kata Datuk Marah Gadai
menyebutkan nama asli Peramal Pikun. Tetapi agaknya
orang berkumis putih dan beralis tebal putih itu tidak
mau membiarkan lawannya pergi begitu saja.
Saat Datuk Marah Gadai balikkan badan dan siap
melangkah, Peramal Pikun segera kibaskan tongkatnya
ke arah depan, dari kanan ke kiri. Wuuung...! Bunyi
kibasannya mirip suara gasing.
Datuk Marah Gadai segera balikkan badan untuk
menangkis pukulan tenaga dalam itu. Tapi ia telat
bergerak. Tenaga dalam tanpa bentuk itu telah
menghantam bagian punggungnya. Bugg...! Tubuh
orang berpakaian basah itu terjungkal ke depan tanpa
ampun lagi. Pakaian yang basah menjadi kotor karena
tanah. Peramal Pikun melihat adanya peluang emas
untuk membunuh Datuk Marah Gadai. Maka, ujung
tongkatnya yang bawah disentakkan ke depan dengan
mengerahkan tenaga dalamnya. Zuuut...!
Crasss...!
Ujung tongkat itu keluarkan cahaya merah yang
membentuk seperti lempengan logam bundar. Sinar
merah itu melesat cepat ke arah Datuk Marah Gadai.
Melihat kelebatan sinar merah, Datuk Marah Gadai
tak punya kesempatan untuk menangkisnya, ia hanya
tolakkan kaki kanannya ke tanah, dan tubuhnya
melesat naik dengan ringan dalam keadaan masih
berbaring. Tubuh yang terangkat bagaikan terbang itu
selamat dari sasaran sinar merah. Tetapi sinar itu
menghantam bagian bawah pohon, memotong batang
pohon itu bagaikan gergaji yang luar biasa tajamnya.
Brukkk...! Pohon itu pun tumbang dengan potongan
rapi bak irisan kue lapis. Datuk Marah Gadai sempat
terhenyak melihat potongan serapi itu. Segera ia
sigapkan diri kembali dan palingkan wajah ke arah
Peramal Pikun.
"Bersyukurlah kau bisa selamat dari jurus 'Kepak
Garuda'-ku. Andai tidak, tubuhmu akan terpotong
seperti pohon itu, Marah Gadai!"
Datuk Marah Gadai menggeram sambil genggamkan
dua tangannya kuat-kuat. Matanya menatap bengis
tanpa senyum sedikit pun.
"Tua pikun bikin penyakit kau ini, Renggono!
Jangan merasa bangga dengan jurus mainanmu seperti
itu. Coba kau terima jurus 'Tapak Dewa'-ku ini, hiat...!"
Kaki kanan Datuk Marah Gadai menendang ke
depan dalam satu sentakan keras. Dari telapak kaki itu
keluar sinar putih keperakan yang dulu nyaris
melenyapkan nyawa Cadaspati di telaga itu juga.
Peramal Pikun pernah melihat kehebatan jurus 'Tapak
Dewa' itu. Ia tidak menghindar, karena ia mempunyai
jurus tandingan sendiri.
Maka ketika sinar putih keperakan itu melesat ke
arahnya, Peramal Pikun sentakkan jari tengah dari
tangan kanannya. Jari yang menyentak ke depan itu
keluarkan nyala pijar api merah juga, dan menghantam
sinar putih keperakan itu. Duarrr...!
Benturan dua tenaga dalam dahsyat itu timbulkan
dentuman yang sempat membuat permukaan air telaga
berguncang. Tubuh Datuk Marah Gadai terpental ke
belakang, membentur batang pohon yang tadi
tumbang. Sementara itu, tubuh Peramal Pikun hanya
terdorong ke belakang, dua langkah jaraknya.
Datuk Marah Gadai cepat bangkitkan diri. Satu kaki
sentakkan ke tanah dan tubuhnya melesat bagai
terbang disertai pekik kemarahan. "Hiaaaaat...!"
Melihat Datuk Marah Gadai melompat ke arahnya,
Peramal Pikun tak mau tinggal diam, sehingga ia pun
sentakkan tumit sedikit dan tubuhnya melayang
terbang menyongsong lawan. Mereka beradu pukulan
tenaga dalam di udara.
Plak plak plak...! Begg...!
Telapak tangan Datuk Marah Gadai berhasil
menghantam dada Peramal Pikun. Tak ayal lagi tubuh
kurus kering itu tersentak ke belakang dan jatuh
berguling-guling.
Darah keluar dari mulut Peramal Pikun. Kain putih
yang menyilang dari pundak ke pinggang itu tampak
hitam, terbakar oleh pukulan telapak tangan Datuk
Marah Gadai. Bekas pukulan itu masih mengepulkan
asap tipis dan menyebarkan bau hangus sebuah kain.
Datuk Marah Gadai sendiri masih berdiri tegak
tanpa luka. Ia memandang lawannya dengan senyum
sinis meremehkan. Jarak mereka antara tujuh langkah,
tanpa penghalang benda apa pun.
Pada saat itu, tongkat Peramal Pikun tergeletak di
tanah akibat lepas dari pegangannya saat beradu
pukulan di udara tadi.
Melihat tongkat ada di dekat kaki kanan, keadaan
tubuh masih separo berbaring, secepatnya Peramal
Pikun jejakkan kakinya ke kepala tongkat. Dalam satu
jejakan kaki, tongkat itu melesat sendiri menuju arah
lawan. Wuuugh...!
Trak... trak...! Dua tangan Datuk Marah Gadai
sentakkan ke atas dari bawah tongkat yang hampir
mengenai dadanya. Sentakan keras tangan itu membuat
tongkat membalik dan terlempar kuat, hingga melayang
tinggi sampai akhirnya jatuh tepat di depan mata
Peramal Pikun.
Jlubh...! Tongkat itu jatuh dalam keadaan berdiri
dan menancap di tanah. Bagian kepala tongkat tetap
menghadap ke atas. Dengan sigap Peramal Pikun yang
sudah terluka itu menangkap tongkat dan berusaha
untuk bangkitkan badan.
Tetapi Datuk Marah Gadai tak mau diam saja. Ia
segera sentakkan kakinya lagi bagai menendang udara
kosong, dan jurus 'Tapak Dewa' kembali dilancarkan ke
arah Peramal Pikun. Sinar putih keperakan itu melesat
cepat menghantam Peramal Pikun, Wuuush...!
Seperti dalam kisah Pusaka Tuak Setan, jurus maut
'Tapak Dewa' itu pernah ditendangkan ke arah
Cadaspati. Tapi waktu itu Cadaspati bisa menghindar,
dan yang menjadi sasaran adalah batu di belakangnya.
Batu itu lenyap begitu saja ketika terhantam sinar
putih keperakan. Batu itu tiba-tiba berubah menjadi
bubuk hitam yang lembut sekali.
Begitu pula saat sinar putih keperakan itu
menerjang tubuh Peramal Pikun, tiba-tiba tubuh itu
lenyap. Bekasnya tak ada, bahkan tongkatnya pun ikut
lenyap. Tapi batu besar yang semula dipakai sandaran
tubuh Peramal Pikun ikut lenyap. Hilangnya batu Itu
meninggalkan bekas bubuk hitam yang menggunduk
kecil di tanah.
Datuk Marah Gadai heran dan membatin, "Aneh.
Mengapa lenyapnya tubuh Peramal Pikun tidak
meninggalkan bekas apa pun, kecuali bekas darahnya
yang tadi keluar dari mulut? Mestinya tubuh itu pun
meninggalkan bekas debu seperti batu tersebut."
Ketika Datuk Marah Gadai palingkan wajah ke
seberang telaga, ternyata tubuh Peramal Pikun ada di
sana, bersandar pada sebatang pohon. Orang itu masih
dalam keadaan duduk dan menahan sakit di dadanya.
"Setan! Cepat sekali ia berpindah tempat sejauh
itu?" pikir Datuk Marah Gadai. Kemudian ia pun serukan
kata,
"Jangan harap kau bisa lolos dari seranganku,
Renggono!"
Tanpa menghampiri lawannya, Datuk Marah Gadai
kembali lancarkan tendangan mautnya yang dinamakan
jurus 'Tapak Dewa'. Sinar putih keperakan kembali
meluncur cepat melebihi anak panah ke arah Peramal
Pikun yang keadaannya semakin parah. Wuuush...!
Pohon yang dipakai sandaran Peramal Pikun itu ikut
lenyap seketika karena dihantam sinar putih
keperakan. Pohon itu tinggalkan sisa serbuk putih
kehijauan yang menggunduk di tanah. Tapi tubuh
Peramal Pikun lenyap tanpa bekas lagi.
Datuk Marah Gadai melebarkan matanya mencari
ke kanan-kiri, ternyata dia temukan tubuh lawannya
sedang terbaring di atas tanah, di depan dua gugusan
batu cadas. Tongkatnya masih tergenggam di tangan
kanan. Wajahnya makin pucat pasi.
"Hebat sekali dia. Bisa menghilang bagaikan
siluman!" ucap batin Datuk Marah Gadai dengan nada
heran. "Padahal keadaannya separah itu, tapi ia masih
bisa menghindari pukulanku dengan melesat cepat tak
terlihat oleh mataku. Agaknya, orang tua renta itu
tidak bisa ditumbangkan semudah menumbangkan
adiknya. Kalau kugunakan pedangku, pastilah dia tak
akan bisa berkutik lagi. Tapi, haruskah aku
menggunakan pusaka Pedang Lidah Iblis ini untuk
urusan seperti ini? Ah, tidak! Cukup dengan pukulanku
yang melukai bagian dalamnya, tua renta itu akan mati
sendiri. Karena pukulan itu tidak akan mudah terobati!
Sebaiknya kutinggalkan saja dia, supaya aku tidak boros
tenaga!"
Tanpa tinggalkan pesan dan pamit. Datuk Marah
Gadai sentakkan kakinya dan melesat pergi dari Telaga
Manik Intan. Kepergiannya itu hanya bisa dilihat saja
oleh Peramal Pikun, tak dapat lagi ia cegah kepergian
musuhnya karena luka dalamnya terasa semakin parah.
Peramal Pikun hanya bisa bicara dalam hatinya.
"Tukang gadai itu minggat begitu saja! Setan! Aku
tak bisa mencegahnya. Pukulan tenaga dalamnya ini
sungguh luar biasa tingginya. Hampir saja aku tak kuat
menahan. Kalau saja jurus 'Tapak Dewa'-nya tadi
mengenaiku, habis sudah riwayatku di telaga ini. Hanya
saja... siapa orang yang telah memindahkan tubuhku
dari tempat satu ke tempat yang lain? Pastilah dia
orang berilmu tinggi, sampai gerakannya tak bisa
terlihat oleh mataku sendiri!"
*
* *