Chereads / Pendekar Mabuk / Chapter 27 - 004.Pendekar Mabuk - Perawan Sesat Eps27

Chapter 27 - 004.Pendekar Mabuk - Perawan Sesat Eps27

Episode 27

SEMILIR angin menghembus ke permukaan telaga.

Air telaga bergerak-gerak bagai digelitik jemari

perawan. Telaga yang tidak begitu luas itu dikelilingi

oleh pepohonan rindang berbatang tinggi. Teduh sekali

suasana di sekeliling telaga.

Tiba-tiba tanpa angin tanpa badai, air telaga

berkecipak dan muncrat ke atas. Sesosok tubuh melesat

keluar dari kedalaman telaga. Tubuh itu segera

bersalto ke depan dan kejap berikutnya sepasang kaki

kekarnya telah menapak tanah. Jliggg...!

Napas orang itu terhempas. Sebagian air ikut

menyembur keluar dari mulutnya. Matanya yang kecil

tapi tajam itu menatap sekeliling dengan penuh

waspada. Orang berpakaian hitam dengan alis kuning

emas pada tepiannya itu segera kibaskan kepala.

Rambut dan sekujur tubuhnya yang basah siratkan air

ke kanan-kiri. Ikat kepalanya dilepas dan diperas.

Melihat dari bentuk kumisnya yang sedikit tebal

dengan cambang tipis, sebuah pedang sarung perak

berukir yang tetap tersemat di pinggang kirinya, ia

cukup dikenal di rimba persilatan. Para tokoh

mengenalnya dengan nama: Datuk Marah Gadai. Ia

tergolong salah satu dari sekian tokoh sakti yang punya

hasrat untuk menguasai rimba persilatan di seluruh

tanah Jawa. Ia punya harapan untuk menjadi penguasa

tanah Jawa, hingga tak segan-segan turunkan tangan

dan cabutkan pedang untuk membunuh siapa pun yang

menjadi penghalangnya.

Datuk Marah Gadai memandangi air telaga dengan

perasaan dongkol. Matanya yang berkesan bengis itu

semakin tampak bengis, karena sebuah perasaan

kecewa yang dikarenakan oleh sesuatu hal semakin

menggerogoti jiwanya. Datuk Marah Gadai menggeram

dalam keraguan bertindak.

"Kutinggalkan telaga keparat ini, atau kucoba sekali

lagi menyelam dan mencari di dasar telaga. Bila perlu

kuangkat semua tanah yang ada di dasar telaga ini!"

Belum sampai Datuk Marah Gadai putuskan

langkah, tiba-tiba ia mendengar suara tawa terkekeh

dari atas pohon. Cepat-cepat Datuk Marah Gadai

palingkan wajah lemparkan pandangan ke atas.

"Turun kau, Monyet!" sentak Datuk Marah Gadai

dengan kasar.

"Tak perlu kau suruh aku turun, aku memang sudah

berniat turun sendiri. Karena kaulah orang yang kucari-

cari beberapa waktu ini dan ternyata kutemukan di

sini! He, he, he...!"

Orang di atas pohon itu segera melompat turun.

Tubuhnya yang kurus kering bagaikan kipas dihembus

angin. Rambutnya yang putih panjang meriap panjang

bagaikan serabut akar kering melayang ke mana-mana.

Orang yang bercelana hitam, berkain putih penutup

dada, dan menggenggam tongkat kayu putih itu tak lain

adalah Peramal Pikun dengan nama asli Renggono. Dia

adalah kakak dari Cadaspati, murid Malaikat Tanpa

Nyawa, yang tempo hari telah dibunuh oleh Datuk

Marah Gadai. (Baca serial Pendekar Mabuk dalam

episode: "Darah Asmara Gila").

Tokoh tua yang lebih banyak cengengesan itu

memang mempunyai kesaktian melebihi adiknya, tapi

ia tidak termasuk sebagai murid Malaikat Tanpa Nyawa.

Bahkan dulu ia pernah bentrok dengan Malaikat Tanpa

Nyawa, dan ia segera kabur karena sang adik membela

gurunya. Namun sebagai seorang kakak, Peramal Pikun

tak bisa tinggal diam melihat kematian adiknya di

tangan Datuk Marah Gadai. Untuk itulah ia merasa

gembira karena bisa bertemu dengan pembunuh

adiknya di tepi Telaga Manik Intan.

Peramal Pikun hentikan tawanya sejenak.

Pandangan matanya menjadi lebih tajam. Kata-katanya

terasa sedingin es.

"Kau yang membunuh Cadaspati, adikku!"

"Benar!" jawab Datuk Marah Gadai bersikap

menantang. "Apakah kau ingin menyusulnya? Aku

bersedia membantumu!"

"Kau yang akan kususulkan ke sana untuk meminta

maaf padanya!"

Datuk Marah Gadai sunggingkan senyum tipis dan

sinis, pertanda meremehkan gertakan Peramal Pikun.

"Rupanya biar tua kau masih punya nyali juga,

Peramal Pikun! Seharusnya kau bisa bayangkan, adikmu

yang terhitung lebih muda dan lebih lincah darimu itu

bisa kubunuh tanpa ampun lagi, apalagi kamu yang

sudah tua renta tinggal tulang terbungkus kulit? Sama

saja aku melawan ranting kering yang sudah waktunya

rengas!"

Peramal Pikun menyipitkan pandangan matanya.

Tangan kanannya yang menggenggam tongkat meremas

kuat. Kejap berikutnya ia sentakkan kepala tongkat ke

depan, kaki merendah terbentang, tangan terangkat ke

atas.

Wuuugh....!

Sebuah gumpalan tenaga dalam dilancarkan melalui

kepala tongkatnya. Tenaga dalam itu melesat ke dada

Datuk, tapi dengan cepat tangan kanan Datuk terangkat

di depan dada dengan dua jari mengeras berdiri dan

punggung tangan itu menghadap ke arah depan. Dari

punggung tangan itu keluar gelombang tenaga

penangkis, sehingga di depan mereka terdengar suara

seperti dua benda empuk beradu.

Beggh...!

Kedua tubuh masih sama-sama tegak. Hanya kain

dan rambut Peramal Pikun yang tersibak bagai

dihembus angin balik. Sementara itu, Datuk Marah

Gadai sunggingkan senyum karena ia pun merasa sedikit

terdorong oleh benturan tenaga dalam itu.

Peramal Pikun mengendurkan urat-urat tangannya

dan kembali bersikap seperti tadi. Tongkatnya

ditapakkan ke tanah. Seakan apa yang dilakukan tadi

hanya untuk menguji kesigapan lawannya.

Sang lawan pun menurunkan tangan dan berdiri

dalam sikap tenang seperti semula. Datuk Marah Gadai

melangkah ke samping dua tindak. Sengaja ia berdiri

bersandar pohon supaya timbul kesan menganggap

enteng kehadiran Peramal Pikun.

"Kalau kau menuntut kematian adikmu itu kuanggap

tuntutan yang wajar. Tapi aku sangsi, apa kamu bisa

mengungguli ilmuku, Peramal Pikun?"

Merasa diremehkan, Peramal Pikun sentakkan

tongkatnya ke tanah.

Duggg...!

Tak diduga-duga tubuh Datuk Marah Gadai

tersentak ke atas dan nyaris jatuh ke tanah. Rupanya

Peramal Pikun salurkan tenaga dalamnya melalui

tongkat, dan tenaga dalam itu melesak masuk ke

tanah, lalu menyentak ke atas, membuat tubuh Datuk

Marah Gadai tersentak naik. Ada separo tombak tinggi

sentakan itu. Kalau saja Datuk Marah Gadai tidak bisa

cepat kuasai keseimbangan, ia akan jatuh terduduk di

tanah. Untung ia segera kuasai keseimbangan tubuhnya

yang sedikit gemuk itu, sehingga ia hanya terhuyung-

huyung dan berhasil berpegangan batang pohon.

"Datuk Marah Gadai!" kata Peramal Pikun dengan

tegas. "Perlu kau ketahui, kehadiranku menemui dirimu

bukan hanya menuntut balas atas kematian adikku, tapi

juga ingin merebut Pusaka Tuak Setan yang kau ambil

dari Cadaspati, adikku itu."

"Pusaka apa yang bisa diperoleh adikmu itu?! Tidak

ada pusaka apa-apa yang bisa diperolehnya, karena

adikmu itu sebenarnya manusia tanpa isi, tak punya

ilmu apa-apa, sehingga tak bisa memperoleh pusaka

apa pun! Menyesal juga aku telah bersusah payah

mengejarnya, buang-buang waktu saja, dan ternyata

Pusaka Tuak Setan memang tidak ada padanya."

"Hmmm... begitukah pengakuanmu, Datuk Marah

Gadai? Jika memang Cadaspati tidak memegang pusaka

itu, tentunya kau sekarang telah memegangnya! Aku

lihat sendiri kau muncul dari kedalaman telaga!"

"Ya. Memang aku muncul dari kedalaman telaga ini.

Lantas apa maksudmu?"

"Tentunya kau yakin jika Pusaka Tuak Setan itu

masih ada di dasar telaga, dan kau segera memburunya

setelah kau bunuh adikku itu. Tentunya juga kau

sekarang sudah mendapatkannya, Marah Gadai!"

Tawa Datuk Marah Gadai terlepas keras. Pada saat

yang sama, Peramal Pikun berkata dalam hatinya.

"Pasti dia sudah dapatkan pusaka itu. Kalau dia

tidak memperoleh Pusaka Tuak Setan dari Cadaspati,

tak mungkin dia menyelam di dalam telaga dalam

keadaan tanpa melepas pakaian. Sengaja dia menyelam

dengan berpakaian lengkap, karena keadaan itu bisa

dimanfaatkan olehnya untuk menyembunyikan Pusaka

Tuak Setan di balik baju atau pinggangnya itu."

Datuk Marah Gadai hentikan tawa. Tapi bibirnya

masih sunggingkan sisa senyum sinisnya, sambil ia

perdengarkan suaranya yang sedikit besar itu.

"Lucu sekali buatku. Dulu, sangkaku Cadaspati

membawa Pusaka Tuak Setan dari dasar telaga, sebab

aku lihat dia muncul dari kedalaman telaga. Lalu aku

kejar dia sampai akhirnya kubunuh, dan ternyata dia

tidak pegang pusaka itu. Sekarang, aku muncul dari

dasar telaga tanpa membawa pusaka itu, tapi disangka

berhasil memperoleh pusaka itu. Tentunya kau tidak

percaya jika kukatakan bahwa aku tidak memperoleh

benda apa pun di dalam dasar telagaiItu! Satu pasir pun

tidak kubawa naik ke permukaan ini, Peramal Pikun.

Harap kau mau percaya agar tak terjadi salah duga

yang berakibat buruk, seperti nasib adikmu itu!"

Peramal Pikun membatin, "Apa benar dia tidak

dapatkan pusaka itu? Jika benar, lantas ke mana

perginya pusaka itu? Siapa yang sudah berhasil

membawanya pergi? Atau... masih ada di dalam telaga

ini?"

Sejurus setelah keduanya sama-sama diam, Datuk

Marah Gadai kembali perdengarkan suaranya,

"Peramal Pikun, kurasa kau tak perlu curiga

padaku. Pusaku itu memang tidak ada. Mungkin juga

yang namanya Pusaka Tuak Setan hanya merupakan

kabar bohong saja. Pusaka itu tidak pernah ada dari

dulu sampai sekarang. Jadi, tak ada guna kita

bersitegang memperebutkannya. Dan, aku tak bisa

terlalu lama tinggal di sini, karena aku punya banyak

urusan di tempat lain. Aku harus segera pergi!"

"Tunggu!" cegah Peramal Pikun sambil melangkah

satu tindak.

"Urusan kita belum beres, Marah Gadai!"

"Sudah kukatakan, Tuak Setan itu tidak ada!"

"Barangkali benar. Tapi urusan soal kematian

adikku belum selesai. Kau harus menebusnya dengan

nyawa pula, Marah Gadai!"

"Aku tidak tega jika harus meremukkan tulang-

tulang tuamu, Renggono!" kata Datuk Marah Gadai

menyebutkan nama asli Peramal Pikun. Tetapi agaknya

orang berkumis putih dan beralis tebal putih itu tidak

mau membiarkan lawannya pergi begitu saja.

Saat Datuk Marah Gadai balikkan badan dan siap

melangkah, Peramal Pikun segera kibaskan tongkatnya

ke arah depan, dari kanan ke kiri. Wuuung...! Bunyi

kibasannya mirip suara gasing.

Datuk Marah Gadai segera balikkan badan untuk

menangkis pukulan tenaga dalam itu. Tapi ia telat

bergerak. Tenaga dalam tanpa bentuk itu telah

menghantam bagian punggungnya. Bugg...! Tubuh

orang berpakaian basah itu terjungkal ke depan tanpa

ampun lagi. Pakaian yang basah menjadi kotor karena

tanah. Peramal Pikun melihat adanya peluang emas

untuk membunuh Datuk Marah Gadai. Maka, ujung

tongkatnya yang bawah disentakkan ke depan dengan

mengerahkan tenaga dalamnya. Zuuut...!

Crasss...!

Ujung tongkat itu keluarkan cahaya merah yang

membentuk seperti lempengan logam bundar. Sinar

merah itu melesat cepat ke arah Datuk Marah Gadai.

Melihat kelebatan sinar merah, Datuk Marah Gadai

tak punya kesempatan untuk menangkisnya, ia hanya

tolakkan kaki kanannya ke tanah, dan tubuhnya

melesat naik dengan ringan dalam keadaan masih

berbaring. Tubuh yang terangkat bagaikan terbang itu

selamat dari sasaran sinar merah. Tetapi sinar itu

menghantam bagian bawah pohon, memotong batang

pohon itu bagaikan gergaji yang luar biasa tajamnya.

Brukkk...! Pohon itu pun tumbang dengan potongan

rapi bak irisan kue lapis. Datuk Marah Gadai sempat

terhenyak melihat potongan serapi itu. Segera ia

sigapkan diri kembali dan palingkan wajah ke arah

Peramal Pikun.

"Bersyukurlah kau bisa selamat dari jurus 'Kepak

Garuda'-ku. Andai tidak, tubuhmu akan terpotong

seperti pohon itu, Marah Gadai!"

Datuk Marah Gadai menggeram sambil genggamkan

dua tangannya kuat-kuat. Matanya menatap bengis

tanpa senyum sedikit pun.

"Tua pikun bikin penyakit kau ini, Renggono!

Jangan merasa bangga dengan jurus mainanmu seperti

itu. Coba kau terima jurus 'Tapak Dewa'-ku ini, hiat...!"

Kaki kanan Datuk Marah Gadai menendang ke

depan dalam satu sentakan keras. Dari telapak kaki itu

keluar sinar putih keperakan yang dulu nyaris

melenyapkan nyawa Cadaspati di telaga itu juga.

Peramal Pikun pernah melihat kehebatan jurus 'Tapak

Dewa' itu. Ia tidak menghindar, karena ia mempunyai

jurus tandingan sendiri.

Maka ketika sinar putih keperakan itu melesat ke

arahnya, Peramal Pikun sentakkan jari tengah dari

tangan kanannya. Jari yang menyentak ke depan itu

keluarkan nyala pijar api merah juga, dan menghantam

sinar putih keperakan itu. Duarrr...!

Benturan dua tenaga dalam dahsyat itu timbulkan

dentuman yang sempat membuat permukaan air telaga

berguncang. Tubuh Datuk Marah Gadai terpental ke

belakang, membentur batang pohon yang tadi

tumbang. Sementara itu, tubuh Peramal Pikun hanya

terdorong ke belakang, dua langkah jaraknya.

Datuk Marah Gadai cepat bangkitkan diri. Satu kaki

sentakkan ke tanah dan tubuhnya melesat bagai

terbang disertai pekik kemarahan. "Hiaaaaat...!"

Melihat Datuk Marah Gadai melompat ke arahnya,

Peramal Pikun tak mau tinggal diam, sehingga ia pun

sentakkan tumit sedikit dan tubuhnya melayang

terbang menyongsong lawan. Mereka beradu pukulan

tenaga dalam di udara.

Plak plak plak...! Begg...!

Telapak tangan Datuk Marah Gadai berhasil

menghantam dada Peramal Pikun. Tak ayal lagi tubuh

kurus kering itu tersentak ke belakang dan jatuh

berguling-guling.

Darah keluar dari mulut Peramal Pikun. Kain putih

yang menyilang dari pundak ke pinggang itu tampak

hitam, terbakar oleh pukulan telapak tangan Datuk

Marah Gadai. Bekas pukulan itu masih mengepulkan

asap tipis dan menyebarkan bau hangus sebuah kain.

Datuk Marah Gadai sendiri masih berdiri tegak

tanpa luka. Ia memandang lawannya dengan senyum

sinis meremehkan. Jarak mereka antara tujuh langkah,

tanpa penghalang benda apa pun.

Pada saat itu, tongkat Peramal Pikun tergeletak di

tanah akibat lepas dari pegangannya saat beradu

pukulan di udara tadi.

Melihat tongkat ada di dekat kaki kanan, keadaan

tubuh masih separo berbaring, secepatnya Peramal

Pikun jejakkan kakinya ke kepala tongkat. Dalam satu

jejakan kaki, tongkat itu melesat sendiri menuju arah

lawan. Wuuugh...!

Trak... trak...! Dua tangan Datuk Marah Gadai

sentakkan ke atas dari bawah tongkat yang hampir

mengenai dadanya. Sentakan keras tangan itu membuat

tongkat membalik dan terlempar kuat, hingga melayang

tinggi sampai akhirnya jatuh tepat di depan mata

Peramal Pikun.

Jlubh...! Tongkat itu jatuh dalam keadaan berdiri

dan menancap di tanah. Bagian kepala tongkat tetap

menghadap ke atas. Dengan sigap Peramal Pikun yang

sudah terluka itu menangkap tongkat dan berusaha

untuk bangkitkan badan.

Tetapi Datuk Marah Gadai tak mau diam saja. Ia

segera sentakkan kakinya lagi bagai menendang udara

kosong, dan jurus 'Tapak Dewa' kembali dilancarkan ke

arah Peramal Pikun. Sinar putih keperakan itu melesat

cepat menghantam Peramal Pikun, Wuuush...!

Seperti dalam kisah Pusaka Tuak Setan, jurus maut

'Tapak Dewa' itu pernah ditendangkan ke arah

Cadaspati. Tapi waktu itu Cadaspati bisa menghindar,

dan yang menjadi sasaran adalah batu di belakangnya.

Batu itu lenyap begitu saja ketika terhantam sinar

putih keperakan. Batu itu tiba-tiba berubah menjadi

bubuk hitam yang lembut sekali.

Begitu pula saat sinar putih keperakan itu

menerjang tubuh Peramal Pikun, tiba-tiba tubuh itu

lenyap. Bekasnya tak ada, bahkan tongkatnya pun ikut

lenyap. Tapi batu besar yang semula dipakai sandaran

tubuh Peramal Pikun ikut lenyap. Hilangnya batu Itu

meninggalkan bekas bubuk hitam yang menggunduk

kecil di tanah.

Datuk Marah Gadai heran dan membatin, "Aneh.

Mengapa lenyapnya tubuh Peramal Pikun tidak

meninggalkan bekas apa pun, kecuali bekas darahnya

yang tadi keluar dari mulut? Mestinya tubuh itu pun

meninggalkan bekas debu seperti batu tersebut."

Ketika Datuk Marah Gadai palingkan wajah ke

seberang telaga, ternyata tubuh Peramal Pikun ada di

sana, bersandar pada sebatang pohon. Orang itu masih

dalam keadaan duduk dan menahan sakit di dadanya.

"Setan! Cepat sekali ia berpindah tempat sejauh

itu?" pikir Datuk Marah Gadai. Kemudian ia pun serukan

kata,

"Jangan harap kau bisa lolos dari seranganku,

Renggono!"

Tanpa menghampiri lawannya, Datuk Marah Gadai

kembali lancarkan tendangan mautnya yang dinamakan

jurus 'Tapak Dewa'. Sinar putih keperakan kembali

meluncur cepat melebihi anak panah ke arah Peramal

Pikun yang keadaannya semakin parah. Wuuush...!

Pohon yang dipakai sandaran Peramal Pikun itu ikut

lenyap seketika karena dihantam sinar putih

keperakan. Pohon itu tinggalkan sisa serbuk putih

kehijauan yang menggunduk di tanah. Tapi tubuh

Peramal Pikun lenyap tanpa bekas lagi.

Datuk Marah Gadai melebarkan matanya mencari

ke kanan-kiri, ternyata dia temukan tubuh lawannya

sedang terbaring di atas tanah, di depan dua gugusan

batu cadas. Tongkatnya masih tergenggam di tangan

kanan. Wajahnya makin pucat pasi.

"Hebat sekali dia. Bisa menghilang bagaikan

siluman!" ucap batin Datuk Marah Gadai dengan nada

heran. "Padahal keadaannya separah itu, tapi ia masih

bisa menghindari pukulanku dengan melesat cepat tak

terlihat oleh mataku. Agaknya, orang tua renta itu

tidak bisa ditumbangkan semudah menumbangkan

adiknya. Kalau kugunakan pedangku, pastilah dia tak

akan bisa berkutik lagi. Tapi, haruskah aku

menggunakan pusaka Pedang Lidah Iblis ini untuk

urusan seperti ini? Ah, tidak! Cukup dengan pukulanku

yang melukai bagian dalamnya, tua renta itu akan mati

sendiri. Karena pukulan itu tidak akan mudah terobati!

Sebaiknya kutinggalkan saja dia, supaya aku tidak boros

tenaga!"

Tanpa tinggalkan pesan dan pamit. Datuk Marah

Gadai sentakkan kakinya dan melesat pergi dari Telaga

Manik Intan. Kepergiannya itu hanya bisa dilihat saja

oleh Peramal Pikun, tak dapat lagi ia cegah kepergian

musuhnya karena luka dalamnya terasa semakin parah.

Peramal Pikun hanya bisa bicara dalam hatinya.

"Tukang gadai itu minggat begitu saja! Setan! Aku

tak bisa mencegahnya. Pukulan tenaga dalamnya ini

sungguh luar biasa tingginya. Hampir saja aku tak kuat

menahan. Kalau saja jurus 'Tapak Dewa'-nya tadi

mengenaiku, habis sudah riwayatku di telaga ini. Hanya

saja... siapa orang yang telah memindahkan tubuhku

dari tempat satu ke tempat yang lain? Pastilah dia

orang berilmu tinggi, sampai gerakannya tak bisa

terlihat oleh mataku sendiri!"

*

* *