Chereads / Pendekar Mabuk / Chapter 28 - 004.Pendekar Mabuk - Perawan Sesat Eps28

Chapter 28 - 004.Pendekar Mabuk - Perawan Sesat Eps28

Episode 28

TAMAN Perguruan Merpati Wingit dibangun dengan

berbagai keindahan, kenyamanan, dan keanehan.

Selain air mancur yang muncrat ke atas tapi tak pernah

kembali ke kolamnya, juga terdapat sebuah ayunan

bertiang gawang. Ayunan itu mempunyai kursi tempat

duduk untuk dua orang dengan punggung kursi terbuat

dari bahan kayu berukir yang mempunyai bantalan

empuk. Ayunan itu mempunyai atap tak terlalu lebar.

Yang menjadi keanehan dari ayunan tersebut adalah

tempat duduk itu tidak mempunyai tali atau besi

pengait. Kursi itu bagaikan mengambang di udara, tapi

bisa diayunkan maju mundur.

Di atas ayunan itu, duduklah seorang pemuda

bercelana putih dan berbaju coklat tanpa lengan.

Rambutnya riap-riapan dibiarkan begitu saja. Pemuda

tampan yang selalu berada tak jauh dari bumbung

bambu tempat menyimpan tuaknya itu tak lain adalah

murid sinting si Gila Tuak, yaitu Suto Sinting!

Kala itu Suto duduk di ayunan aneh dengan ke dua

mata lurus memandang ke setangkai mawar ungu, tapi

jelas pikirannya tidak berada di ujung kuncup-kuncup

bunga mawar itu. Suto masih tak habis pikir mengapa

orang-orang Perguruan Merpati Wangit itu bersikap

begitu baik padanya, namun juga begitu bodoh

tindakannya.

Sejak Suto dirawat di Perguruan Merpati Wingit

akibat tubuhnya mengepulkan asap dan berkelejotan

bagaikan terbakar itu, ternyata banyak kejadian bodoh

yang dilakukan oleh murid-murid Merpati Wingit, yang

pada umumnya perempuan itu.

Seperti dikisahkan dalam episode : "Darah Asmara

Gila", tubuh Suto menjadi seperti terbakar saat cairan

dari Tuak Setan itu tertelan masuk ke dalam mulutnya,

ia terkapar di atas bukit itu, ditinggalkan oleh

lawannya si Mawar Hitam dari Pulau Hantu, sedangkan

Peri Malam yang waktu itu membela Suto dan

menyerang gurunya sendiri, dalam keadaan parah

akibat pukulan sang Guru.

Pada saat itulah Nyai Guru Betari Ayu datang dan

terkejut melihat keadaan Suto yang mirip sedang

sekarat itu. Betari Ayu datang bersama Murbawati,

muridnya, kemudian segera membawa lari tubuh yang

berasap itu ke Perguruan Merpati Wingit, tempat Betari

Ayu duduk sebagai Guru dan ketua perguruan tersebut.

Enam hari lamanya Suto dalam perawatan Betari

Ayu, demikian pula Peri Malam. Mereka dirawat

berbeda kamar, sebab Betari Ayu selalu

mengistimewakan Suto dalam segala hal. Peri Malam

yang sudah dianggap murid murtad oleh Mawar Hitam

itu dirawat di dalam ruang penyembuhan, sedangkan

Suto dirawat di dalam kamar pribadi Betari Ayu, yang

tentu saja jauh labih bersih, lebih indah, dan lebih

wangi dari ruang-ruang lainnya.

Sebenarnya bagi Suto sendiri, tak perlu ia harus

dirawat sedemikian khususnya. Karena Gila Tuak

gurunya, pernah jelaskan bahwa siapa pun orangnya

yang pernah telan Tuak Setan, tubuhnya akan menjadi

seperti terbakar dan lemas tak berdaya selama satu

hari penuh. Hari berikutnya orang itu akan sehat

kembali dengan mempunyai satu kekuatan dalam maha

dahsyat. Dan untuk pengendapan Tuak Setan di dalam

tubuh orang yang meminumnya itu dibutuhkan waktu

satu hari penuh.

Tetapi, Nyai Betari Ayu tidak mengetahui hal itu. Ia

menyalurkan hawa murninya ke dalam tubuh Suto,

sebab sangkanya Suto terluka dalam karena suatu

pertarungan hebat. Tak disadari oleh Betari Ayu yang

ada di dalam raga Suto itu menjadi lebih besar dan

punya kekuatan tersendiri, yaitu membentuk

gelombang tenaga yang dapat memancarkan daya pikat

luar biasa lewat sorotan matanya. Daya pikat itu hanya

berlaku untuk lawan jenisnya.

Selama dua hari Suto selalu mendapat saluran hawa

murni dari Nyai Betari Ayu. Sekalipun Suto sudah

merasa enak badannya, tapi Nyai Betari Ayu masih

tetap mendesak Suto untuk tetap beristirahat dan

jangan banyak bergerak.

Empat hari lamanya Suto selalu berada di kamar

pribadi Nyai Betari Ayu. Selama empat hari itu pula

sudah lima orang murid perempuan di situ yang

minggat karena mereka begitu terpikat melihat

ketampanan Suto, tak terkuasai amukan birahi dan

cintanya, akhirnya mereka pergi satu persatu, beda

waktu dan beda tempat, tanpa kesepakatan.

Betari Ayu sendiri hampir saja larut dalam

kepicikan otaknya dan ingin pergi dari perguruan yang

dipimpinnya. Karena selama tiga hari ia berada di

dalam kamar bersama Suto, namun Suto tidak mau

memberikan sebentuk kemesraan yang diharapkan

hatinya dan dituntut jiwanya. Pada hari ketiga itu,

Nyai Betari Ayu sempat berkata,

"Rasa-rasanya aku juga ingin pergi karena tak kuat

lagi menahan rasa sakit yang menyiksa hati."

"Apa yang membuat hatimu sakit dan tersiksa,

Nyai?"

"Sebentuk keinginan yang tak tersampaikan."

"Apa keinginanmu itu, Nyai?"

Lama sekali Betari Ayu yang memang ayu itu

terdiam dan tundukkan wajahnya. Suto memandangi

dengan satu keheranan yang tidak dimengerti. Bahkan

keheranannya itu kian bertambah besar setelah

mengetahui Nyai Betari Ayu itu teteskan air mata.

Perempuan itu bagaikan tak mau ingat lagi

kedudukannya, kewibawaannya dan kharismanya

sebagai guru yang sangat dihormati dan ditakuti di

perguruan tersebut. Perempuan itu menangis nyata-

nyata di depan tamu istimewanya itu. Tak terpikir lagi

rasa malu, tak terpikir lagi akan jatuh harga dirinya,

Nyai letari Ayu ucapkan kata di sela tangisnya,

"Aku ingin bercumbu denganmu, Suto...."

Betari Ayu seperti bukan orang sakti lagi. Nyai

Betari Ayu seperti bukan seorang Guru yang bijak dan

berkharisma lagi. Ia seperti tidak punya harga diri lagi.

Ia menangis setelah mengucapkan kata itu sambil

menciumi telapak tangan Suto yang sejak tadi

digenggam dan diremas-remasnya.

Kala itu, Suto Sinting ucapkan kata lembut, "Nyai,

aku tidak ingin memberikan kehangatan tubuhku

kepada perempuan siapa pun juga. Karena guruku

pernah bilang, setitik air yang tersembur keluar dari

kemesraanku, akan menghasilkan darah pendekar yang

sukar dicari tandingannya. Jadi aku tidak berani

sembarangan memberikan setitik air kemesraan kepada

perempuan yang belum jelas kedudukannya di dalam

hatiku."

"Ya. Aku percaya. Semua ini memang kelemahanku.

Aku tidak bisa bertahan lagi. Hasratku ingin bercinta

denganmu begitu besarnya, sehingga menutup

kesabaranku, menutup kewibawaanku, menutup

perasaan maluku, dan yang lebih parah, melemahkan

jiwaku serta meracuni sukmaku!"

"Nyai, maafkan aku," ucap Suto sambil usapkan

tangan ke rambut Nyai Betari Ayu dengan lembut

sekali. Air mata Betari Ayu kian deras, kian gemetar

tubuhnya, kian berdebar hatinya dan detak jantung

terasa kian cepat mendobrak dada. Pada saat-saat

seperti ini, Nyai Betari Ayu merasa cemas, ingat bahwa

dirinya sedang mengidap penyakit laknat yang

ditimbulkan akibat pukulan 'Renggangpati' dari

lawannya.

Pukulan 'Renggangpati' itu membuat sesak

pernapasan jika Betari Ayu sedang dilanda birahi, dan

membuat tubuhnya bisa kejang-kejang. Pukulan

'Renggangpati' itu mengakibatkan penyumbatan pada

saluran jantung dan paru-paru.

Tapi anehnya, sejak bibirnya pernah dikecup oleh

Suto Sinting yang mempunyai bau aroma tuak (Baca

serial Pendekar Mabuk dalam episode: "Darah Asmara

Gila"), sesak napas dan kejang-kejang tak pernah lagi

dialaminya. Betari Ayu tak tahu, bahwa saat bibirnya

dikecup oleh Suto, pemuda itu merasakan adanya

penyakit yang melanda diri perempuan cantik itu.

Pemuda itu segera salurkan kekuatan dalamnya untuk

penyembuhan melalui sisa aroma tuak dalam mulutnya.

Pemuda tampan itu pun tak pernah mengatakan hal itu,

hingga sering membuat Betari Ayu terheran-heran

kepada dirinya sendiri.

Cemas akan penyakit Renggangpati itu tetap saja

ada, tetapi Betari Ayu tidak bisa menghilangkan

perasaan ingin bercumbu dengan Pendekar Mabuk yang

punya daya pikat begitu tinggi itu. Hanya tangis lembut

yang bisa dilakukan oleh Betari Ayu. Hanya meremas-

remas jemari tangan Suto yang bisa diresapi oleh Betari

Ayu. Tak ayal lagi hal itu timbulkan iba di hati Suto.

"Besok, atau lusa, atau malam nanti..., kalau aku

tak mampu lagi bertahan dari tuntutan gairah ini,

biarkan aku pergi seperti murid-muridku itu, Suto,"

tutur Betari Ayu begitu lirih dan mengharukan.

"Jangan, Nyai," bisik Suto yang menempelkan

mulutnya di sekitar telinga dan pelipis Betari Ayu.

"Jangan lakukan kebodohan hanya karena nafsu birahi.

Kau orang terhormat, kau orang bijak, kau punya sikap

dan watak yang dibutuhkan oleh manusia-manusia lain,

agar bumi ini tidak dikuasai oleh orang-orang bersifat

angkara murka, yang bergolongan hitam, yang sesat

dan tidak tahu kehidupan manusiawi."

Betari Ayu bisikkan kata di sela isak tangis, "Lebih

baik aku bertarung dengan tokoh sakti yang berilmu

tinggi, daripada harus bertarung melawan nafsu

sendiri, Suto."

"Ya. Memang lawan terberat adalah nafsu diri

sendiri. Tetapi seseorang tidak bisa mencapai

kesempurnaan dalam pertarungan ini. Setiap orang

hanya bisa diwajibkan melawan nafsu pribadinya,

karena memang itulah syarat yang dibutuhkan agar

layak dikatakan atau dijuluki sebagai pendekar sejati.

Dia harus bisa mengalahkan lawan terberatnya jika

ingin disebut oleh dirinya sebagai pendekar sejati,

Nyai."

"Aku mengerti, Suto. Aku mengerti. Tapi hanya bisa

mengerti, tak mampu lagi menjalani, Suto!" Tangis itu

semakin mengisak haru. Tangan Suto kini semakin

sering diremas-remasnya, juga diciumnya.

"Nyai, agaknya tak ada jalan lain untuk

menyelamatkan dirimu agar tidak pergi."

Terdongak wajah Betari Ayu. Genangan air matanya

ditembus oleh sinar mata yang berbinar-binar penuh

harap. Bibirnya yang lembut dan sangat menawan itu

berucap kata,

"Kau mau menuruti keinginanku, Suto?"

"Ya."

"Oh...!" cepat sekali Betari Ayu memeluk tubuh

Suto. Tangisnya terisak di sana. Terpeluk erat tubuhnya

oleh tangan pemuda tampan itu. Terdengar pula

sebuah bisikan lembut di telinganya.

"Akan kuberikan kemesraan yang kau harapkan,

tapi dengan caraku sendiri, Nyai...!"

"Terserah caramu, Suto. Malu tak malu, aku

memang pasrah padamu. Biarlah rendah kau pandang

diriku ini, yang penting aku tetap bisa membimbing

murid-muridku seterusnya...!"

Suto sunggingkan senyum. Betari Ayu menerima

senyuman itu dengan jiwa bagaikan terbang dari

raganya. Indah sekali rasa yang ada di dalam hati.

Betari Ayu sangat menyukainya.

"Kita duduk di lantai, Nyai."

Betari Ayu anggukkan kepalanya, lalu turun dari

pembaringan mengikuti Suto. Sejenak terdengar suara,

klik... klik...! Pintu-pintu dikunci oleh Betari Ayu dari

jarak jauh. Suto tahu hal itu, sebuah cara mengunci

pintu dari jarak jauh yang hanya dilakukan oleh orang-

orang berilmu tinggi. Lalu, Suto ucapkan kata,

"Duduklah bersila di sana, saya duduk di sini, Nyai."

"Perlukah kubuka sanggul rambutku?"

"Tidak perlu."

"Pakaianku?"

'Tidak perlu," jawab Suto lembut. "Kita akan

bercumbu dalam bayangan, Nyai. Tapi nikmatnya

melebihi kenyataan."

Betari Ayu desiskan tawa malu namun penuh

kegembiraan, ia segera duduk bersila. Badannya tegak,

sama seperti badan Suto yang duduk bersila tanpa jarak

di depan Betari Ayu. Kedua lutut Suto saling

bersentuhan erat dengan lutut Betari Ayu.

Suto angkatkan kedua tangan sebatas dada dengan

telapak tangan terbuka, ia suruhkan demikian pula

pada Betari Ayu. Lalu, kedua telapak tangan saling

bertemu. Jemari mereka saling menelusup dan

menggenggamlah tangan mereka.

"Pejamkan mata, Nyai. Kosongkan pikiran agar aku

bisa masuk dalam pikiranmu," ucap Suto lirih sekali.

Betari Ayu lakukan perintah. Lama ia pejamkan

mata dan kosongkan pikiran. Makin lama makin terasa

dirinya disentuh hangat oleh jemari Suto. Terasa saat

itu Suto menciumi wajahnya dengan lembut. Kedua

bibir itu saling berpagut mesra. Betari Ayu merasa

menerima lumatan bibir Suto yang cukup hangat dan

nikmat. Kemudian ia pun merasa dirayapi oleh ciuman

mesra Suto di sekujur tubuhnya. Sampai akhirnya ia

merasa dibaringkan oleh Suto dan dipeluk erat-erat

dalam satu irama cinta yang menggelora.

Dalam sikap masih duduk berhadapan dan lutut

bersentuhan, Betari Ayu tak sadar ucapkan kata

mendesah,

"Oh, Suto..!"

Betari Ayu tak sadar lontarkan ratapannya. Betari

Ayu tak sadar gigitkan bibirnya sendiri. Betari Ayu tak

lagi mampu bertahan, maka menjeritlah ia sekeras-

kerasnya.

Lalu malam dibiarkan melenggang dalam sepi.

Betari Ayu mulai buka matanya pelan, tepat pada

saat itu Suto pun buka matanya sedikit-sedikit. Kedua

mata yang seolah-olah selesai melakukan pelayaran

cinta itu sama-sama memandang lembut. Betari Ayu

tersenyum, seolah memberi tanda bahwa ia telah

mencapai kepuasan dari kencan mesra dalam

bayangan.

Napas Suto tetap tenang dan teratur, ia seperti

tidak melakukan satu gerakan pun. Tetapi napas Nyai

Betari Ayu terengah-engah. Sekujur tubuhnya basah

oleh keringat yang tercurah ruah.

Ketika tangan yang saling genggam itu terlepaskan,

Betari Ayu usapkan tangan menyapu keringatnya. Ia

tertawa malu, namun segera hamburkan diri memeluk

Suto. Ia bisikkan kata di telinga Suto.

"Aku lega. Aku puas, Suto. Aku... aku seperti telah

menerima apa yang kuharapkan darimu. Indah sekali,

Suto. Aku menyukainya walau itu dalam bayanganku.

Aku ingin mengulangnya entah nanti atau esok pagi."

"Tak bisa terlalu sering bercumbu dalam bayangan,

Nyai. Karena kekuatan yang kusalurkan lewat detak

nadi kita itu, dua kali lipat besarnya dengan

kekuatanku bertarung melawan musuh yang tangguh.

Aku tak berani melakukannya terlalu sering, Nyai.

Karena hal itu akan cepat membuat kekuatanku

semakin berkurang."

"Oh, kalau begitu kau memang harus istirahat Suto.

Tapi, tentunya esok malam kekuatanmu sudah kembali

pulih, Suto," sambil Betari Ayu sunggingkan senyum dan

lirikkan mata yang punya makna tersendiri. Suto hanya

tertawa kecil. Dicubitnya pipi Betari Ayu, dan

perempuan itu tidak mengelak, melainkan justru

bersandar rebah di dada Suto.

Bayangan itu sempat melintas di pikiran Suto.

Duduknya di atas bangku ayunan masih tetap tenang.

Hatinya membatin,

"Nyai Betari Ayu. memang cantik, lembut, dan

menggairahkan. Tapi sayang ia bukan Dyah

Sariningrum. Mengapa yang hadir dalam ingatanku

hanya wajah Dyah Sariningrum, bukan wajah Nyai

Betari Ayu. Rasa rinduku begitu besar, ingin segera

dapat menemukan wanita idaman hatiku yang sering

hadir dalam mimpi itu. Tapi di mana aku harus

temukan dia? Kalau kutanyakan pada Nyai Betari Ayu

apakah pertanyaan itu tidak menyinggung hatinya dan

melukai cintanya? Aku tahu, Nyai Betari Ayu cinta sama

aku. Tapi Nyai tidak memaksaku untu membalas. Dia

hanya memohon padaku agar aku tidak melarang

dirinya untuk tetap mencintaiku sepanjang masa. Ah,

perempuan itu sungguh aneh, namun menyenangkan

sekali sikapnya."

Kala ia duduk di ayunan itu, adalah hari ketujuh ia

berada di lingkungan Perguruan Merpati Wingit.

Mestinya siang itu ia baringkan tubuh di atas ranjang

berlapis kain lembut. Tapi ia lebih suka duduk

merenungi perjalanan hidupnya di taman yang berkesan

teduh dan damai itu.

Kejap berikutnya, mata Suto melirik ke arah

serambi, dan di sana tampak seorang perempuan ayu

berjubah kuning sutera mendekatinya. Perempuan ayu

itu tak lain adalah Nyai Betari Ayu sendiri. Langkahnya

agak cepat, menandakan ada sesuatu yang amat

penting untuk segera dibicarakan.

"Suto," sapa Nyai Betari Ayu dengan nada cemas

tersembunyi.

"Ada apa, Nyai?"

"Seorang lagi muridku telah pergi, baru saja tadi!"

"Oh...," Suto hanya mengeluh dengan sikap turut

prihatin atas langkah picik yang diambil oleh sang

murid.

Betari Ayu ucapkan kata lagi, "Muridku yang pergi

tadi, mengatakan kepada temannya bahwa ia ingin

sekali berdekatan denganmu. Sebagai bukti gairahnya

begitu besar padamu, ia tunjukkan dengan minggat dari

perguruan."

"Kalau begitu, aku harus cepat pergi dari sini, Nyai.

Jangan kau tahan lagi diriku, supaya muridmu tak pergi

seluruhnya, gara-gara kehadiranku di sini."

"Haruskah begitu, Suto?"

"Ya. Dan..., bagaimana dengan Peri Malam? Apakah

dia sudah sembuh dari luka dalamnya?"

"Sudah. Dan dia sudah pergi tanpa pamit kemarin

sore."

"Dia pergi tanpa pamit? Tanpa berterima kasih

padamu?"

"Dia bahkan menantangku ingin mengadakan

pertarungan pribadi di suatu tempat. Dia akan kembali

untuk menentukan waktunya. Karena dia cemburu

padaku, melihat kau berada dalam perawatanku dan

tidur di kamar pribadiku. Dia cemburu, Suto!"

*

* *