Episode 28
TAMAN Perguruan Merpati Wingit dibangun dengan
berbagai keindahan, kenyamanan, dan keanehan.
Selain air mancur yang muncrat ke atas tapi tak pernah
kembali ke kolamnya, juga terdapat sebuah ayunan
bertiang gawang. Ayunan itu mempunyai kursi tempat
duduk untuk dua orang dengan punggung kursi terbuat
dari bahan kayu berukir yang mempunyai bantalan
empuk. Ayunan itu mempunyai atap tak terlalu lebar.
Yang menjadi keanehan dari ayunan tersebut adalah
tempat duduk itu tidak mempunyai tali atau besi
pengait. Kursi itu bagaikan mengambang di udara, tapi
bisa diayunkan maju mundur.
Di atas ayunan itu, duduklah seorang pemuda
bercelana putih dan berbaju coklat tanpa lengan.
Rambutnya riap-riapan dibiarkan begitu saja. Pemuda
tampan yang selalu berada tak jauh dari bumbung
bambu tempat menyimpan tuaknya itu tak lain adalah
murid sinting si Gila Tuak, yaitu Suto Sinting!
Kala itu Suto duduk di ayunan aneh dengan ke dua
mata lurus memandang ke setangkai mawar ungu, tapi
jelas pikirannya tidak berada di ujung kuncup-kuncup
bunga mawar itu. Suto masih tak habis pikir mengapa
orang-orang Perguruan Merpati Wangit itu bersikap
begitu baik padanya, namun juga begitu bodoh
tindakannya.
Sejak Suto dirawat di Perguruan Merpati Wingit
akibat tubuhnya mengepulkan asap dan berkelejotan
bagaikan terbakar itu, ternyata banyak kejadian bodoh
yang dilakukan oleh murid-murid Merpati Wingit, yang
pada umumnya perempuan itu.
Seperti dikisahkan dalam episode : "Darah Asmara
Gila", tubuh Suto menjadi seperti terbakar saat cairan
dari Tuak Setan itu tertelan masuk ke dalam mulutnya,
ia terkapar di atas bukit itu, ditinggalkan oleh
lawannya si Mawar Hitam dari Pulau Hantu, sedangkan
Peri Malam yang waktu itu membela Suto dan
menyerang gurunya sendiri, dalam keadaan parah
akibat pukulan sang Guru.
Pada saat itulah Nyai Guru Betari Ayu datang dan
terkejut melihat keadaan Suto yang mirip sedang
sekarat itu. Betari Ayu datang bersama Murbawati,
muridnya, kemudian segera membawa lari tubuh yang
berasap itu ke Perguruan Merpati Wingit, tempat Betari
Ayu duduk sebagai Guru dan ketua perguruan tersebut.
Enam hari lamanya Suto dalam perawatan Betari
Ayu, demikian pula Peri Malam. Mereka dirawat
berbeda kamar, sebab Betari Ayu selalu
mengistimewakan Suto dalam segala hal. Peri Malam
yang sudah dianggap murid murtad oleh Mawar Hitam
itu dirawat di dalam ruang penyembuhan, sedangkan
Suto dirawat di dalam kamar pribadi Betari Ayu, yang
tentu saja jauh labih bersih, lebih indah, dan lebih
wangi dari ruang-ruang lainnya.
Sebenarnya bagi Suto sendiri, tak perlu ia harus
dirawat sedemikian khususnya. Karena Gila Tuak
gurunya, pernah jelaskan bahwa siapa pun orangnya
yang pernah telan Tuak Setan, tubuhnya akan menjadi
seperti terbakar dan lemas tak berdaya selama satu
hari penuh. Hari berikutnya orang itu akan sehat
kembali dengan mempunyai satu kekuatan dalam maha
dahsyat. Dan untuk pengendapan Tuak Setan di dalam
tubuh orang yang meminumnya itu dibutuhkan waktu
satu hari penuh.
Tetapi, Nyai Betari Ayu tidak mengetahui hal itu. Ia
menyalurkan hawa murninya ke dalam tubuh Suto,
sebab sangkanya Suto terluka dalam karena suatu
pertarungan hebat. Tak disadari oleh Betari Ayu yang
ada di dalam raga Suto itu menjadi lebih besar dan
punya kekuatan tersendiri, yaitu membentuk
gelombang tenaga yang dapat memancarkan daya pikat
luar biasa lewat sorotan matanya. Daya pikat itu hanya
berlaku untuk lawan jenisnya.
Selama dua hari Suto selalu mendapat saluran hawa
murni dari Nyai Betari Ayu. Sekalipun Suto sudah
merasa enak badannya, tapi Nyai Betari Ayu masih
tetap mendesak Suto untuk tetap beristirahat dan
jangan banyak bergerak.
Empat hari lamanya Suto selalu berada di kamar
pribadi Nyai Betari Ayu. Selama empat hari itu pula
sudah lima orang murid perempuan di situ yang
minggat karena mereka begitu terpikat melihat
ketampanan Suto, tak terkuasai amukan birahi dan
cintanya, akhirnya mereka pergi satu persatu, beda
waktu dan beda tempat, tanpa kesepakatan.
Betari Ayu sendiri hampir saja larut dalam
kepicikan otaknya dan ingin pergi dari perguruan yang
dipimpinnya. Karena selama tiga hari ia berada di
dalam kamar bersama Suto, namun Suto tidak mau
memberikan sebentuk kemesraan yang diharapkan
hatinya dan dituntut jiwanya. Pada hari ketiga itu,
Nyai Betari Ayu sempat berkata,
"Rasa-rasanya aku juga ingin pergi karena tak kuat
lagi menahan rasa sakit yang menyiksa hati."
"Apa yang membuat hatimu sakit dan tersiksa,
Nyai?"
"Sebentuk keinginan yang tak tersampaikan."
"Apa keinginanmu itu, Nyai?"
Lama sekali Betari Ayu yang memang ayu itu
terdiam dan tundukkan wajahnya. Suto memandangi
dengan satu keheranan yang tidak dimengerti. Bahkan
keheranannya itu kian bertambah besar setelah
mengetahui Nyai Betari Ayu itu teteskan air mata.
Perempuan itu bagaikan tak mau ingat lagi
kedudukannya, kewibawaannya dan kharismanya
sebagai guru yang sangat dihormati dan ditakuti di
perguruan tersebut. Perempuan itu menangis nyata-
nyata di depan tamu istimewanya itu. Tak terpikir lagi
rasa malu, tak terpikir lagi akan jatuh harga dirinya,
Nyai letari Ayu ucapkan kata di sela tangisnya,
"Aku ingin bercumbu denganmu, Suto...."
Betari Ayu seperti bukan orang sakti lagi. Nyai
Betari Ayu seperti bukan seorang Guru yang bijak dan
berkharisma lagi. Ia seperti tidak punya harga diri lagi.
Ia menangis setelah mengucapkan kata itu sambil
menciumi telapak tangan Suto yang sejak tadi
digenggam dan diremas-remasnya.
Kala itu, Suto Sinting ucapkan kata lembut, "Nyai,
aku tidak ingin memberikan kehangatan tubuhku
kepada perempuan siapa pun juga. Karena guruku
pernah bilang, setitik air yang tersembur keluar dari
kemesraanku, akan menghasilkan darah pendekar yang
sukar dicari tandingannya. Jadi aku tidak berani
sembarangan memberikan setitik air kemesraan kepada
perempuan yang belum jelas kedudukannya di dalam
hatiku."
"Ya. Aku percaya. Semua ini memang kelemahanku.
Aku tidak bisa bertahan lagi. Hasratku ingin bercinta
denganmu begitu besarnya, sehingga menutup
kesabaranku, menutup kewibawaanku, menutup
perasaan maluku, dan yang lebih parah, melemahkan
jiwaku serta meracuni sukmaku!"
"Nyai, maafkan aku," ucap Suto sambil usapkan
tangan ke rambut Nyai Betari Ayu dengan lembut
sekali. Air mata Betari Ayu kian deras, kian gemetar
tubuhnya, kian berdebar hatinya dan detak jantung
terasa kian cepat mendobrak dada. Pada saat-saat
seperti ini, Nyai Betari Ayu merasa cemas, ingat bahwa
dirinya sedang mengidap penyakit laknat yang
ditimbulkan akibat pukulan 'Renggangpati' dari
lawannya.
Pukulan 'Renggangpati' itu membuat sesak
pernapasan jika Betari Ayu sedang dilanda birahi, dan
membuat tubuhnya bisa kejang-kejang. Pukulan
'Renggangpati' itu mengakibatkan penyumbatan pada
saluran jantung dan paru-paru.
Tapi anehnya, sejak bibirnya pernah dikecup oleh
Suto Sinting yang mempunyai bau aroma tuak (Baca
serial Pendekar Mabuk dalam episode: "Darah Asmara
Gila"), sesak napas dan kejang-kejang tak pernah lagi
dialaminya. Betari Ayu tak tahu, bahwa saat bibirnya
dikecup oleh Suto, pemuda itu merasakan adanya
penyakit yang melanda diri perempuan cantik itu.
Pemuda itu segera salurkan kekuatan dalamnya untuk
penyembuhan melalui sisa aroma tuak dalam mulutnya.
Pemuda tampan itu pun tak pernah mengatakan hal itu,
hingga sering membuat Betari Ayu terheran-heran
kepada dirinya sendiri.
Cemas akan penyakit Renggangpati itu tetap saja
ada, tetapi Betari Ayu tidak bisa menghilangkan
perasaan ingin bercumbu dengan Pendekar Mabuk yang
punya daya pikat begitu tinggi itu. Hanya tangis lembut
yang bisa dilakukan oleh Betari Ayu. Hanya meremas-
remas jemari tangan Suto yang bisa diresapi oleh Betari
Ayu. Tak ayal lagi hal itu timbulkan iba di hati Suto.
"Besok, atau lusa, atau malam nanti..., kalau aku
tak mampu lagi bertahan dari tuntutan gairah ini,
biarkan aku pergi seperti murid-muridku itu, Suto,"
tutur Betari Ayu begitu lirih dan mengharukan.
"Jangan, Nyai," bisik Suto yang menempelkan
mulutnya di sekitar telinga dan pelipis Betari Ayu.
"Jangan lakukan kebodohan hanya karena nafsu birahi.
Kau orang terhormat, kau orang bijak, kau punya sikap
dan watak yang dibutuhkan oleh manusia-manusia lain,
agar bumi ini tidak dikuasai oleh orang-orang bersifat
angkara murka, yang bergolongan hitam, yang sesat
dan tidak tahu kehidupan manusiawi."
Betari Ayu bisikkan kata di sela isak tangis, "Lebih
baik aku bertarung dengan tokoh sakti yang berilmu
tinggi, daripada harus bertarung melawan nafsu
sendiri, Suto."
"Ya. Memang lawan terberat adalah nafsu diri
sendiri. Tetapi seseorang tidak bisa mencapai
kesempurnaan dalam pertarungan ini. Setiap orang
hanya bisa diwajibkan melawan nafsu pribadinya,
karena memang itulah syarat yang dibutuhkan agar
layak dikatakan atau dijuluki sebagai pendekar sejati.
Dia harus bisa mengalahkan lawan terberatnya jika
ingin disebut oleh dirinya sebagai pendekar sejati,
Nyai."
"Aku mengerti, Suto. Aku mengerti. Tapi hanya bisa
mengerti, tak mampu lagi menjalani, Suto!" Tangis itu
semakin mengisak haru. Tangan Suto kini semakin
sering diremas-remasnya, juga diciumnya.
"Nyai, agaknya tak ada jalan lain untuk
menyelamatkan dirimu agar tidak pergi."
Terdongak wajah Betari Ayu. Genangan air matanya
ditembus oleh sinar mata yang berbinar-binar penuh
harap. Bibirnya yang lembut dan sangat menawan itu
berucap kata,
"Kau mau menuruti keinginanku, Suto?"
"Ya."
"Oh...!" cepat sekali Betari Ayu memeluk tubuh
Suto. Tangisnya terisak di sana. Terpeluk erat tubuhnya
oleh tangan pemuda tampan itu. Terdengar pula
sebuah bisikan lembut di telinganya.
"Akan kuberikan kemesraan yang kau harapkan,
tapi dengan caraku sendiri, Nyai...!"
"Terserah caramu, Suto. Malu tak malu, aku
memang pasrah padamu. Biarlah rendah kau pandang
diriku ini, yang penting aku tetap bisa membimbing
murid-muridku seterusnya...!"
Suto sunggingkan senyum. Betari Ayu menerima
senyuman itu dengan jiwa bagaikan terbang dari
raganya. Indah sekali rasa yang ada di dalam hati.
Betari Ayu sangat menyukainya.
"Kita duduk di lantai, Nyai."
Betari Ayu anggukkan kepalanya, lalu turun dari
pembaringan mengikuti Suto. Sejenak terdengar suara,
klik... klik...! Pintu-pintu dikunci oleh Betari Ayu dari
jarak jauh. Suto tahu hal itu, sebuah cara mengunci
pintu dari jarak jauh yang hanya dilakukan oleh orang-
orang berilmu tinggi. Lalu, Suto ucapkan kata,
"Duduklah bersila di sana, saya duduk di sini, Nyai."
"Perlukah kubuka sanggul rambutku?"
"Tidak perlu."
"Pakaianku?"
'Tidak perlu," jawab Suto lembut. "Kita akan
bercumbu dalam bayangan, Nyai. Tapi nikmatnya
melebihi kenyataan."
Betari Ayu desiskan tawa malu namun penuh
kegembiraan, ia segera duduk bersila. Badannya tegak,
sama seperti badan Suto yang duduk bersila tanpa jarak
di depan Betari Ayu. Kedua lutut Suto saling
bersentuhan erat dengan lutut Betari Ayu.
Suto angkatkan kedua tangan sebatas dada dengan
telapak tangan terbuka, ia suruhkan demikian pula
pada Betari Ayu. Lalu, kedua telapak tangan saling
bertemu. Jemari mereka saling menelusup dan
menggenggamlah tangan mereka.
"Pejamkan mata, Nyai. Kosongkan pikiran agar aku
bisa masuk dalam pikiranmu," ucap Suto lirih sekali.
Betari Ayu lakukan perintah. Lama ia pejamkan
mata dan kosongkan pikiran. Makin lama makin terasa
dirinya disentuh hangat oleh jemari Suto. Terasa saat
itu Suto menciumi wajahnya dengan lembut. Kedua
bibir itu saling berpagut mesra. Betari Ayu merasa
menerima lumatan bibir Suto yang cukup hangat dan
nikmat. Kemudian ia pun merasa dirayapi oleh ciuman
mesra Suto di sekujur tubuhnya. Sampai akhirnya ia
merasa dibaringkan oleh Suto dan dipeluk erat-erat
dalam satu irama cinta yang menggelora.
Dalam sikap masih duduk berhadapan dan lutut
bersentuhan, Betari Ayu tak sadar ucapkan kata
mendesah,
"Oh, Suto..!"
Betari Ayu tak sadar lontarkan ratapannya. Betari
Ayu tak sadar gigitkan bibirnya sendiri. Betari Ayu tak
lagi mampu bertahan, maka menjeritlah ia sekeras-
kerasnya.
Lalu malam dibiarkan melenggang dalam sepi.
Betari Ayu mulai buka matanya pelan, tepat pada
saat itu Suto pun buka matanya sedikit-sedikit. Kedua
mata yang seolah-olah selesai melakukan pelayaran
cinta itu sama-sama memandang lembut. Betari Ayu
tersenyum, seolah memberi tanda bahwa ia telah
mencapai kepuasan dari kencan mesra dalam
bayangan.
Napas Suto tetap tenang dan teratur, ia seperti
tidak melakukan satu gerakan pun. Tetapi napas Nyai
Betari Ayu terengah-engah. Sekujur tubuhnya basah
oleh keringat yang tercurah ruah.
Ketika tangan yang saling genggam itu terlepaskan,
Betari Ayu usapkan tangan menyapu keringatnya. Ia
tertawa malu, namun segera hamburkan diri memeluk
Suto. Ia bisikkan kata di telinga Suto.
"Aku lega. Aku puas, Suto. Aku... aku seperti telah
menerima apa yang kuharapkan darimu. Indah sekali,
Suto. Aku menyukainya walau itu dalam bayanganku.
Aku ingin mengulangnya entah nanti atau esok pagi."
"Tak bisa terlalu sering bercumbu dalam bayangan,
Nyai. Karena kekuatan yang kusalurkan lewat detak
nadi kita itu, dua kali lipat besarnya dengan
kekuatanku bertarung melawan musuh yang tangguh.
Aku tak berani melakukannya terlalu sering, Nyai.
Karena hal itu akan cepat membuat kekuatanku
semakin berkurang."
"Oh, kalau begitu kau memang harus istirahat Suto.
Tapi, tentunya esok malam kekuatanmu sudah kembali
pulih, Suto," sambil Betari Ayu sunggingkan senyum dan
lirikkan mata yang punya makna tersendiri. Suto hanya
tertawa kecil. Dicubitnya pipi Betari Ayu, dan
perempuan itu tidak mengelak, melainkan justru
bersandar rebah di dada Suto.
Bayangan itu sempat melintas di pikiran Suto.
Duduknya di atas bangku ayunan masih tetap tenang.
Hatinya membatin,
"Nyai Betari Ayu. memang cantik, lembut, dan
menggairahkan. Tapi sayang ia bukan Dyah
Sariningrum. Mengapa yang hadir dalam ingatanku
hanya wajah Dyah Sariningrum, bukan wajah Nyai
Betari Ayu. Rasa rinduku begitu besar, ingin segera
dapat menemukan wanita idaman hatiku yang sering
hadir dalam mimpi itu. Tapi di mana aku harus
temukan dia? Kalau kutanyakan pada Nyai Betari Ayu
apakah pertanyaan itu tidak menyinggung hatinya dan
melukai cintanya? Aku tahu, Nyai Betari Ayu cinta sama
aku. Tapi Nyai tidak memaksaku untu membalas. Dia
hanya memohon padaku agar aku tidak melarang
dirinya untuk tetap mencintaiku sepanjang masa. Ah,
perempuan itu sungguh aneh, namun menyenangkan
sekali sikapnya."
Kala ia duduk di ayunan itu, adalah hari ketujuh ia
berada di lingkungan Perguruan Merpati Wingit.
Mestinya siang itu ia baringkan tubuh di atas ranjang
berlapis kain lembut. Tapi ia lebih suka duduk
merenungi perjalanan hidupnya di taman yang berkesan
teduh dan damai itu.
Kejap berikutnya, mata Suto melirik ke arah
serambi, dan di sana tampak seorang perempuan ayu
berjubah kuning sutera mendekatinya. Perempuan ayu
itu tak lain adalah Nyai Betari Ayu sendiri. Langkahnya
agak cepat, menandakan ada sesuatu yang amat
penting untuk segera dibicarakan.
"Suto," sapa Nyai Betari Ayu dengan nada cemas
tersembunyi.
"Ada apa, Nyai?"
"Seorang lagi muridku telah pergi, baru saja tadi!"
"Oh...," Suto hanya mengeluh dengan sikap turut
prihatin atas langkah picik yang diambil oleh sang
murid.
Betari Ayu ucapkan kata lagi, "Muridku yang pergi
tadi, mengatakan kepada temannya bahwa ia ingin
sekali berdekatan denganmu. Sebagai bukti gairahnya
begitu besar padamu, ia tunjukkan dengan minggat dari
perguruan."
"Kalau begitu, aku harus cepat pergi dari sini, Nyai.
Jangan kau tahan lagi diriku, supaya muridmu tak pergi
seluruhnya, gara-gara kehadiranku di sini."
"Haruskah begitu, Suto?"
"Ya. Dan..., bagaimana dengan Peri Malam? Apakah
dia sudah sembuh dari luka dalamnya?"
"Sudah. Dan dia sudah pergi tanpa pamit kemarin
sore."
"Dia pergi tanpa pamit? Tanpa berterima kasih
padamu?"
"Dia bahkan menantangku ingin mengadakan
pertarungan pribadi di suatu tempat. Dia akan kembali
untuk menentukan waktunya. Karena dia cemburu
padaku, melihat kau berada dalam perawatanku dan
tidur di kamar pribadiku. Dia cemburu, Suto!"
*
* *