Chereads / Pendekar Mabuk / Chapter 33 - 004.Pendekar Mabuk - Perawan Sesat Eps33

Chapter 33 - 004.Pendekar Mabuk - Perawan Sesat Eps33

Episode 33

PERAWAN Sesat bukan hanya tajam mata namun

juga tajam ingatannya. Ucapan Peri Malam sempat

lekat dalam ingatan, bahwa Suto ada di Perguruan

Merpati Wingit dalam perawatan lukanya. Ini suatu

kesempatan baik buat Perawan Sesat untuk membawa

Suto ke Bukit Garinda.

Tetapi, ke mana arah Perguruan Merpati Wingit?

Perawan Sesat tak pernah tahu arah perguruan itu.

Satu-satunya jalan ia harus mencari sebuah desa dan

menanyakan kepada beberapa orang di sana.

Perawan Sesat kembali berkelebat ke satu arah.

Tujuannya adalah kaki bukit yang tampak dari

tempatnya singgah di atas pohon. Namun baru

beberapa kejap ia bergerak, telinganya menangkap

suara deru kaki kuda. Perawan Sesat telengkan kepala

untuk menyimak suara kaki kuda itu. Setelah jelas

arahnya, Perawan Sesat sentakkan kaki dan melesat

pergi menuju arah derap kaki kuda.

Tiga orang berkuda melaju melintasi kaki bukit.

Dua dari mereka adalah perempuan berparas manis,

satu penunggang kuda lainnya seorang pemuda

berparas imut-imut. Pemuda itu tampak bersemangat

pula dalam memacu kudanya walau tetap tertinggal

dari kedua perempuan yang berpakaian ungu dan putih.

Perempuan yang berpakaian ungu adalah

Murbawati, murid Perguruan Merpati Wingit yang

mendapat tugas untuk mencari Dewi Murka dan

Selendang Kubur. Ia membawa dua anak buahnya, yaitu

Widarti, yang berpakaian putih dan Sungko, pemuda

berpakaian hitam.

Laju kuda mereka terpaksa berhenti, karena

seorang perempuan berambut acak-acakan

menghadang di depan mereka dengan rentangkan

tangan, Widarti sempat berbisik,

"Terus saja. Dia pasti orang gila!"

Tapi Murbawati membantah, "Belum tentu. Siapa

tahu dia habis diperkosa dan butuh pertolongan kita.

Lihat saja rambutnya acak-acakan begitu!"

Sungko menyahut, "Temui saja dia. Akan kuawasi

dari atas kuda."

Kuda tunggangan Widarti melonjak naik sambil

meringkik ketika mendekati Perawan Sesat. Widarti

kebingungan menenangkan kudanya, sampai akhirnya ia

jatuh dari punggung kuda. Beruntung ia tak cedera apa

pun, sehingga bisa cepat bangkit dan menemui Perawan

Sesat. Pada saat itu, Murbawati yang ilmunya lebih

tinggi dari kedua teman atau anak buahnya itu, juga

turun dari punggung kuda.

"Apa maksudmu menghadang kami, Sobat?" tanya

Widarti.

"Aku mencari arah Perguruan Merpati Wingit!"

jawab Perawan Sesat dengan tegas, tanpa ada

keramahan sedikit pun. Matanya sempat layangkan

lirikan ke wajah Sungko yang ganteng imut-imut itu.

Sungko cepat alihkan pandang karena hatinya berdesir

aneh ketika beradu pandang dengan mata indah itu.

Widarti saling bertatap pandangan dengan

Murbawati. Kemudian, Murbawati maju setindak dan

bertanya dengan kalem.

"Ada perlu apa kau mencari arah Perguruan Merpati

Wingit?"

"Itu urusanku. Kalau kalian tahu, lekas tunjukkan

saja dan jangan banyak bertanya!"

Murbawati segera membatin, "Orang ini agaknya

tidak bisa diajak bersahabat. Tapi ada apa dia mau

menuju ke perguruanku? Apakah dia musuh Nyai Guru

yang ingin membalas dendam?"

Perawan Sesat menyentak keras, "Lekas jawab

pertanyaanku!"

Dari atas punggung kuda, Sungko berseru agak

lantang, "Kami orang-orang Perguruan Merpati Wingit!

Mau apa kau, hah?!"

"Bagus!" seru Perawan Sesat. "Pucuk dicinta ulam

pun tiba! Berarti kalian bisa tunjukkan dimana letak

perguruan kalian itu!"

"Tidak bisa!" seru Murbawati supaya Sungko pun

mendengar suaranya dan tahu maksudnya, "Kami tidak

akan tunjukkan di mana tempat perguruan kami,

sebelum kamu sebutkan apa keperluan mencari

perguruan kami!"

Perawan Sesat menatap liar pada Murbawati.

Mulutnya tampak menggeletakkan gigi gerahamnya.

Kedua tangan mulai mengepal keras dalam sikap tetap

berdiri tegak dan kaki sedikit merenggang.

"Kalian tidak perlu tahu apa perlunya aku ke sana,

karena ini urusan pribadiku! Kalian hanya menunjukkan

arahnya saja, dan jangan memancing kemarahanku!"

"Sekalipun kau marah, kami tetap tak akan

tunjukkan sebelum kami tahu maksud dan tujuanmu ke

sana!" kata Widarti dengan berani.

"Kalian ini benar-benar mencari mampus di sini!

Hiihhh...!"

Perawan Sesat sentakkan tangannya, layangkan

pukulan jarak tujuh langkah itu. Widarti segera

melompat dengan ringan dan pukulan tenaga dalam itu

mengenai pohon di belakang Sungko. Pohon itu

tumbang dalam keadaan patah besar di bagian

tengahnya. Sungko sempat terkejut melihat pohon

tumbang di belakangnya dalam jarak sepuluh langkah

darinya.

"Murbawati, biar kutangani kunyuk satu ini!" kata

Widarti sambil melangkah maju dua tindak. Lalu, di

situ ia berseru,

"Manusia landak! Kami tidak bikin perkara

denganmu, tapi kalau kamu jual perkara kami siap

membeli!"

"Hah...!" Perawan Sesat mendesis meremehkan

ucapan Widarti. "Mestinya kalian sayang nyawa sendiri

dan tidak coba-coba membakar kemarahanku. Aku tak

pernah kasih ampun pada orang yang sengaja

menantangku, tahu?!"

"Sikapmu sendiri yang menantangku!" sentak

Widarti yang sudah siap mencabut pisau-pisau terbang

yang berjajar melingkari pinggangnya itu.

"Rupanya kalian memang perlu bukti!"

Setelah menggeramkan kata itu, Perawan Sesat

jejakkan kaki, tubuhnya pun jadi melayang bagaikan

terbang. Widarti menyambutnya dengan satu lompatan

ringan. Mereka beradu kecepatan pukulan udara sambil

saling membenturkan diri.

Plak, plak...! Beegh...!

Tubuh Widarti tersentak ke belakang, melayang

jatuh di kaki kuda yang ditunggangi Sungko. Mata

pemuda itu terbeliak kaget lihat temannya

mengucurkan darah dari mulutnya. Darah merah kental

itu keluar bagai tersontak kuat dari dalam.

Murbawati pun merasa cemas. Ia segera berlari

mendekati Widarti dan menolongnya bangkit. Widarti

sempat berkata,

"Aku tidak apa-apa. Aku masih sanggup kalahkan

dia!"

"Hati-hati, dia berilmu tinggi. Kulihat caranya

melompat tanpa banyak hentakan kaki. Itu

menandakan dia berilmu tinggi. Juga kecepatan

pukulannya luar biasa. Jangan lawan dia dari jarak

dekat, Widarti."

"Ya, ya! Aku mengerti. Minggirlah, biar dia

kuhadapi lagi!"

Widarti perempuan yang pantang menyerah.

Sekalipun dadanya terasa sakit, ia masih bisa bangkit

dan melangkah beberapa tindak ke depan. Tangannya

segera berkelebat cepat mengambil dua pisau

terbangnya dan melemparkannya ke arah Perawan

Sesat.

Pisau itu meluncur searah sejajar dengan cepat.

Perawan Sesat hanya sunggingkan senyum tipis tanpa

meremehkan. Lalu, ia kibaskan tenaga dalamnya

melalui kelebatan tangan kanan yang seperti

membuang sesuatu dari bawah ke atas. Wusss...!

Kedua pisau terbang itu terpental berlainan arah

dan melesat ke tempat kosong. Kibasan angin tenaga

dalamnya membuat tubuh Widarti berguncang sesaat.

Kesempatan itu digunakan oleh perempuan bermata

buas untuk melompat dan bersalto dua kali.

Gerakannya itu begitu cepat dan tak terlihat, sehingga

tahu-tahu ia sudah berada di depan Widarti jarak satu

jangkauan. Widarti terkesiap melihat lawannya sudah

ada di depannya.

Ia tak sempat bergerak karena Perawan Sesat lebih

dulu menghentakkan pukulannya memakai pangkal

pergelangan tangan ke dada Widarti.

Begh... begh... beg...!

"Heeghh...!" Widarti tersentak kejang dengan

kepala terdongak ke atas dan kaki berjingkat naik.

Lalu, pukulan Perawan Sesat yang menggunakan

punggung telapak tangannya itu mengakhiri

pertarungan tersebut.

Kuat sekali pukulan itu, membuat Widarti kembali

tersentak ke belakang dan terbang sejauh lima langkah.

Tubuhnya rubuh di samping kudanya sendiri dengan

mulut memuntahkan darah merah kehitaman. Dari

telinga dan hidung pun mengucurkan darah merah

kehitaman. Mata Widarti mendelik dengan mulut masih

ternganga.

"Widarti...!" Sungko melompat turun dan buru-buru

menolong temannya. Tapi ketika kepala Widarti

diangkatnya, napas perempuan itu menghempus

panjang dan lepas tanpa helaan lagi.

"Biadab!" geram Murbawati melihat Widarti

hembuskan napas terakhir. Cepat-cepat ia palingkan

wajah yang memerah karena marah. Matanya

memandang tajam pada lawannya yang berdiri dengan

sikap siap bertarung kembali.

"Jangan buang-buang nyawa!" seru Perawan Sesat.

"Cepat tunjukkan arah perguruan kalian, dan dua

nyawa kalian akan tertolong!"

"Persetan dengan ancamanmu! Kau telah membuka

pintu permusuhan dengan orang-orang Perguruan

Merpati Wingit!"

"Terpaksa kulakukan karena kalian mengharap kan

sikap seperti itu! Kuingatkan pada kalian, bahwa

sebenarnya aku bisa mempercepat kematian temanmu

itu. Tapi kalian perlu melihat permainanku tadi.

Barangkali dengan begitu kalian mau jawab

pertanyaanku!"

"Tak ada jawaban untuk manusia sekeji kamu!"

sentak Murbawati sambil mencabut pedang panjang

dari pelana kudanya. Sreet...! Ia berdiri dengan kuda-

kuda kokoh sambil memegang pedang panjang memakai

kedua tangannya. Pedang itu lebih tepat jika disebut

samurai. Hanya sayang tidak berujung lengkung, dan

tidak ada istilah samurai buat orang-orang Perguruan

Merpati Wingit.

"Kau pikir aku akan ciut nyali melihat pedang

panjangmu itu?" ejek Perawan Sesat sambil melangkah

ke samping, mencari celah.

"Tak peduli kau takut atau tidak, kalau kau tidak

minta ampun di depan kami atas pembunuhan terhadap

teman kami, kutebas batang lehermu sekarang juga!"

&jj$M

"Pohon pisang boleh kau tebas, tapi Perawan Sesat

adalah perawan yang keras. Sekali kau tebas, sekali

pula nyawamu amblas!"

"Banyak mulut!" geram Murbawati sambil

melangkah satu tindak, lalu memutar mencari

kesempatan untuk menyerang.

Perawan Sesat pun bergerak mengitar, tak mau

kecolongan celah bagi lawannya. Sambil bergerak

mengitar, ia masih bisa serukan kata,

"Kau benar-benar manusia yang tak bisa merawat

nyawamu! Kau akan menyesal di alam kubur jika tetap

melawanku, Monyet Bunting!"

"Aku ke alam kubur untuk menyusulmu! Cabut

pedangmu yang bergagang jorok itu! Kita percepat

siapa yang harus pergi ke alam kubur di antara kita

berdua"

"Cabut pedang? O, tidak untuk sekarang! Membasmi

tikus busuk macam kamu tidak perlu dengan pedang!

Cukup dengan satu kedipan mata kau akan tak

bernyawa!"

"Manusia sombong! Buktikan sesumbarmu itu.

Hiaaat...!"

Murbawati sentakkan kakinya dan tubuhnya

melayang cepat dengan pedang siap tebas ada di atas

pundak kanannya.

Perawan Sesat tidak ikut melompat, tapi lebih

bersikap menunggu datangnya serangan. Begitu pedang

ditebaskan ke arah depan oleh Murbawati, badan

Perawan Sesat segera berbalik memunggungi lawannya

dengan sedikit melompat ke samping kanan.

Wuuusss...!

Pedang menebas tempat kosong. Secepat kilat

tangan Perawan Sesat disentakkan ke samping, telapak

tangannya yang sudah mengepulkan asap menghantam

ketiak kiri Murbawati. Beeegh...! Lalu sikunya bergerak

menyodok kuat ke pinggang Murbawati. Deeg...!

Murbawati pekikkan suara tertahan dengan mata

terbelalak tak mampu berkedip. Saat ia mendaratkan

kakinya, ia menggeloyor ke depan. Perawan Sesat

melompat mengangkangi tubuh Murbawati, dua pukulan

telapak tangannya menghantam bagian tengkuk kepala

lawan.

Duub...! Duub...!

"Hooeek...!"

Seketika itu darah segar sontak ruah dari mulut

Murbawati. Lubang telinga dan hidung pun semburkan

darah segar pada saat tubuh itu roboh dan muka

menciumi tanah. Tubuh Murbawati berkelojot sebentar,

kemudian menyentak kuat satu kali. Setelah itu lemas.

Tubuh Murbawati tak lagi berkutik akibat pukulan

beruntun dari perempuan bertenaga dalam tinggi itu.

Sungko membelalakkan mata melihat Murbawati

mati di tangan perempuan bermata liar itu. Mulai ciut

nyalinya saat itu. Tapi demi membela perguruan,

Sungko segera sentakkan tumitnya dan melesat di

udara dengan berjungkir balik satu kali. Kaki itu pun

mendarat tanpa suara di depan Perawan Sesat dalam

jarak tiga langkah.

"Temanmu mati," kata Perawan Sesat dengan nada

mengejek.

"Ya. Tapi aku belum mati!" jawab Sungko

memaksakan keberaniannya.

"Kau ingin menyusulnya?"

"Aku ingin menyusulkan nyawamu agar bertemu

dengan kedua nyawa teman seperguruanku itu!"

"Hah...!" Perawan Sesat senyumkan kesinisan.

"Bocah bawang, bocah bawang...! Tidakkah kau lihat

gerakanku menghabisi nyawa si baju ungu ini?! Apa kau

pikir kau punya gerakan lebih cepat dari si baju ungu?"

"Ya!"

"Dan kau punya senjata sepanjang senjata baju

ungu?"

"Ya!"

"Boleh kulihat senjatamu?" seraya Perawan Sesat

tersenyum nakal. Arti kalimatnya juga berkesan nakal.

Sungko yang masih tampak ingusan itu mulai

gundah dan gusar tatap matanya. Bibirnya yang ranum

dan kemerahan-merahan tampak segar itu pandangi

oleh Perawan Sesat. Lalu, terucap kata dari mulut

Perawan Sesat yang berbibir mesum itu.

"Tak tega aku harus membunuhmu. Hmmm...,

sebaiknya kutanyakan siapa namamu? Mungkin kalau

aku memaafkan kamu, aku bisa mengenang nama

pemuda tampan yang ingusan ini?"

"Namaku Sungko!" jawab Sungko dengan tegas.

"Sungko?! Oh, itu nama yang bagus. Sayang kalau

harus dihias di batu nisan dalam usia semuda ini!"

"Persetan dengan kata-katamu! Aku menuntut

kematian kedua teman perguruanku ini?!"

"Dengan apa kau mau menuntutnya, Sungko?

Hmm...?!"

"Dengan nyawamu, Bodoh!"

"Dengan nyawaku? O, boleh saja! Tapi jangan

sekali-kali kamu menyentuh tubuhku, Sungko. Sebab

kalau tubuhku tersentuh lelaki macam kamu, gairahku

berkobar dan kita tak jadi bertarung dengan

permusuhan, tapi akan bertarung dengan kemesraan.

Hi hi hi...!" Perawan Sesat perdengarkan tawa

seraknya.

Ia lebih puas mempermainkan pemuda itu

ketimbang harus cepat melenyapkan nyawanya.

Perawan Sesat paham betul, pemuda seusia Sungko itu

mudah sekali goyah pendiriannya. Juga mudah untuk

membunuhnya. Karena itu, Perawan Sesat tetap

memandangnya dan sesekali membuang lirikan

mesumnya ke arah Sungko. Pemuda itu kian salah

tingkah.

Di dalam hatinya Sungko berkata, "Apa yang harus

kulakukan jika begini? Dia cukup tinggi ilmunya. Aku

hanya mempunyai dua pisau di pinggang belakang. Tak

mungkin bisa untuk mengalahkan perempuan nakal ini.

Haruskah aku menyerah kalah? O, tidak! Guru selalu

berpesan lebih baik mati daripada menyerah kalah.

Kita akan terhina tujuh turunan jika menyerah kalah.

Apa pun yang terjadi, aku harus melawan perempuan

ini!" geram hati Sungko timbulkan semangat dalam

jiwanya.

Tetapi ketika ia kembali menatap ke arah

lawannya, mata itu tak mampu lagi berkedip. Perawan

Sesat telah melebarkan belahan bajunya yang tanpa

lengan itu. Kedua bukit mulus dipamerkan sebagian.

Tapi justru karena sebagian itulah maka debar jantung

Sungko menjadi kiat cepat detakannya.

Perawan Sesat sengaja melangkah ke arah

pepohonan rindang sambil sesekali mengerlingkan mata

dalam tatap pandangnya. Sungko mengikuti dengan

pandangan mata yang tak bisa dikedipkan lagi itu.

Jemari tangan Perawan Sesat berkutik memanggil

Sungko saat ia berdiri dan bersandar di bawah pohon

rindang.

"Tidak. Aku tidak boleh mendekatinya!" kata

Sungko kepada dirinya sendiri. "Aku harus tetap di sini.

Aku tak boleh tergoda!"

Kata hati berucap begitu, tapi kaki tetap

melangkah mendekati Perawan Sesat. Sungko bagai

terkena kekuatan gaib yang membuat dirinya

melangkah tanpa disadari. Ketika ia sadar, ia sudah

berada di depan Perawan Sesat dalam jarak satu

langkah ke depan.

Sungko makin terpaku di tempat ketika belahan

baju itu kian dilebarkan oleh tangan Perawan Sesat.

Suara tawa pelan dari Perawan Sesat menghadirkan

nada serak-serak menantang birahi. Tentu Sungko

bertambah gemetar kedua lututnya.

"Lepaskan pakaianmu, Sungko," kata Perawan Sesat

dalam desah serak yang enak didengar di kesunyian

tempat itu.

"Tidak," kata hati Sungko. "Aku tidak boleh

melepaskan pakaianku. Ini godaan! Aku harus tahan

godaan! Aku tak boleh hanyut dalam rayuannya! Aku

murid Perguruan Merpati Wingit! Aku harus tunjukkan

belapatiku kepada perguruan!"

Hati berkata begitu tapi tangan tetap saja bergerak

melepasi pakaiannya. Sampai akhirnya Sungko

menyadari bahwa dirinya telah polos tanpa selembar

benang pun. Ia buru-buru menutup bagian tertentu

dengan kedua tangan, wajah pucat, mata melebar dan

mulut melongo. Kepalanya celingak-celinguk ke kiri

kanan dengan malunya,

"Lepaskan...! Lepaskan tanganmu, Sungko...!"

"Aku tidak mau!" sentak Sungko. Matanya menatap

pandangan Perawan Sesat. Dan mata Perawan Sesat

berkerling satu kali. Sungko tertegun bengong sambil

melepaskan kedua tangannya.

"Aku tahu, kau inginkan sesuatu dariku!" kata

Perawan Sesat sambil menarik pelan tangan Sungko,

dan pemuda imut-imut itu menurut saja. Ia usap-usap

rambut kepala Sungko sambil bicara.

"Kau butuh kenikmatan saat ini juga, Sungko?!"

Pemuda itu tak bisa menjawab tapi ia anggukkan

kepalanya.

"Akan kuberi kau kenikmatan segunung besarnya.

Tapi ke mana arah perguruanmu itu? Aku butuh

mengantarmu pulang."

"Ke... ke arah barat. Ikuti saja sungai berbatu-batu

dan kau akan temukan bangunan besar berpagar

tembok tinggi. Itulah Perguruan Merpati Wingit," jawab

Sungko bagai tak sadar.

"O, bagus sekali! Kalau begitu, sekarang tiba

saatnya kuberikan kenikmatan itu padamu. Nah,

pejamkan matamu, Sungko!"

*

* *