Episode 33
PERAWAN Sesat bukan hanya tajam mata namun
juga tajam ingatannya. Ucapan Peri Malam sempat
lekat dalam ingatan, bahwa Suto ada di Perguruan
Merpati Wingit dalam perawatan lukanya. Ini suatu
kesempatan baik buat Perawan Sesat untuk membawa
Suto ke Bukit Garinda.
Tetapi, ke mana arah Perguruan Merpati Wingit?
Perawan Sesat tak pernah tahu arah perguruan itu.
Satu-satunya jalan ia harus mencari sebuah desa dan
menanyakan kepada beberapa orang di sana.
Perawan Sesat kembali berkelebat ke satu arah.
Tujuannya adalah kaki bukit yang tampak dari
tempatnya singgah di atas pohon. Namun baru
beberapa kejap ia bergerak, telinganya menangkap
suara deru kaki kuda. Perawan Sesat telengkan kepala
untuk menyimak suara kaki kuda itu. Setelah jelas
arahnya, Perawan Sesat sentakkan kaki dan melesat
pergi menuju arah derap kaki kuda.
Tiga orang berkuda melaju melintasi kaki bukit.
Dua dari mereka adalah perempuan berparas manis,
satu penunggang kuda lainnya seorang pemuda
berparas imut-imut. Pemuda itu tampak bersemangat
pula dalam memacu kudanya walau tetap tertinggal
dari kedua perempuan yang berpakaian ungu dan putih.
Perempuan yang berpakaian ungu adalah
Murbawati, murid Perguruan Merpati Wingit yang
mendapat tugas untuk mencari Dewi Murka dan
Selendang Kubur. Ia membawa dua anak buahnya, yaitu
Widarti, yang berpakaian putih dan Sungko, pemuda
berpakaian hitam.
Laju kuda mereka terpaksa berhenti, karena
seorang perempuan berambut acak-acakan
menghadang di depan mereka dengan rentangkan
tangan, Widarti sempat berbisik,
"Terus saja. Dia pasti orang gila!"
Tapi Murbawati membantah, "Belum tentu. Siapa
tahu dia habis diperkosa dan butuh pertolongan kita.
Lihat saja rambutnya acak-acakan begitu!"
Sungko menyahut, "Temui saja dia. Akan kuawasi
dari atas kuda."
Kuda tunggangan Widarti melonjak naik sambil
meringkik ketika mendekati Perawan Sesat. Widarti
kebingungan menenangkan kudanya, sampai akhirnya ia
jatuh dari punggung kuda. Beruntung ia tak cedera apa
pun, sehingga bisa cepat bangkit dan menemui Perawan
Sesat. Pada saat itu, Murbawati yang ilmunya lebih
tinggi dari kedua teman atau anak buahnya itu, juga
turun dari punggung kuda.
"Apa maksudmu menghadang kami, Sobat?" tanya
Widarti.
"Aku mencari arah Perguruan Merpati Wingit!"
jawab Perawan Sesat dengan tegas, tanpa ada
keramahan sedikit pun. Matanya sempat layangkan
lirikan ke wajah Sungko yang ganteng imut-imut itu.
Sungko cepat alihkan pandang karena hatinya berdesir
aneh ketika beradu pandang dengan mata indah itu.
Widarti saling bertatap pandangan dengan
Murbawati. Kemudian, Murbawati maju setindak dan
bertanya dengan kalem.
"Ada perlu apa kau mencari arah Perguruan Merpati
Wingit?"
"Itu urusanku. Kalau kalian tahu, lekas tunjukkan
saja dan jangan banyak bertanya!"
Murbawati segera membatin, "Orang ini agaknya
tidak bisa diajak bersahabat. Tapi ada apa dia mau
menuju ke perguruanku? Apakah dia musuh Nyai Guru
yang ingin membalas dendam?"
Perawan Sesat menyentak keras, "Lekas jawab
pertanyaanku!"
Dari atas punggung kuda, Sungko berseru agak
lantang, "Kami orang-orang Perguruan Merpati Wingit!
Mau apa kau, hah?!"
"Bagus!" seru Perawan Sesat. "Pucuk dicinta ulam
pun tiba! Berarti kalian bisa tunjukkan dimana letak
perguruan kalian itu!"
"Tidak bisa!" seru Murbawati supaya Sungko pun
mendengar suaranya dan tahu maksudnya, "Kami tidak
akan tunjukkan di mana tempat perguruan kami,
sebelum kamu sebutkan apa keperluan mencari
perguruan kami!"
Perawan Sesat menatap liar pada Murbawati.
Mulutnya tampak menggeletakkan gigi gerahamnya.
Kedua tangan mulai mengepal keras dalam sikap tetap
berdiri tegak dan kaki sedikit merenggang.
"Kalian tidak perlu tahu apa perlunya aku ke sana,
karena ini urusan pribadiku! Kalian hanya menunjukkan
arahnya saja, dan jangan memancing kemarahanku!"
"Sekalipun kau marah, kami tetap tak akan
tunjukkan sebelum kami tahu maksud dan tujuanmu ke
sana!" kata Widarti dengan berani.
"Kalian ini benar-benar mencari mampus di sini!
Hiihhh...!"
Perawan Sesat sentakkan tangannya, layangkan
pukulan jarak tujuh langkah itu. Widarti segera
melompat dengan ringan dan pukulan tenaga dalam itu
mengenai pohon di belakang Sungko. Pohon itu
tumbang dalam keadaan patah besar di bagian
tengahnya. Sungko sempat terkejut melihat pohon
tumbang di belakangnya dalam jarak sepuluh langkah
darinya.
"Murbawati, biar kutangani kunyuk satu ini!" kata
Widarti sambil melangkah maju dua tindak. Lalu, di
situ ia berseru,
"Manusia landak! Kami tidak bikin perkara
denganmu, tapi kalau kamu jual perkara kami siap
membeli!"
"Hah...!" Perawan Sesat mendesis meremehkan
ucapan Widarti. "Mestinya kalian sayang nyawa sendiri
dan tidak coba-coba membakar kemarahanku. Aku tak
pernah kasih ampun pada orang yang sengaja
menantangku, tahu?!"
"Sikapmu sendiri yang menantangku!" sentak
Widarti yang sudah siap mencabut pisau-pisau terbang
yang berjajar melingkari pinggangnya itu.
"Rupanya kalian memang perlu bukti!"
Setelah menggeramkan kata itu, Perawan Sesat
jejakkan kaki, tubuhnya pun jadi melayang bagaikan
terbang. Widarti menyambutnya dengan satu lompatan
ringan. Mereka beradu kecepatan pukulan udara sambil
saling membenturkan diri.
Plak, plak...! Beegh...!
Tubuh Widarti tersentak ke belakang, melayang
jatuh di kaki kuda yang ditunggangi Sungko. Mata
pemuda itu terbeliak kaget lihat temannya
mengucurkan darah dari mulutnya. Darah merah kental
itu keluar bagai tersontak kuat dari dalam.
Murbawati pun merasa cemas. Ia segera berlari
mendekati Widarti dan menolongnya bangkit. Widarti
sempat berkata,
"Aku tidak apa-apa. Aku masih sanggup kalahkan
dia!"
"Hati-hati, dia berilmu tinggi. Kulihat caranya
melompat tanpa banyak hentakan kaki. Itu
menandakan dia berilmu tinggi. Juga kecepatan
pukulannya luar biasa. Jangan lawan dia dari jarak
dekat, Widarti."
"Ya, ya! Aku mengerti. Minggirlah, biar dia
kuhadapi lagi!"
Widarti perempuan yang pantang menyerah.
Sekalipun dadanya terasa sakit, ia masih bisa bangkit
dan melangkah beberapa tindak ke depan. Tangannya
segera berkelebat cepat mengambil dua pisau
terbangnya dan melemparkannya ke arah Perawan
Sesat.
Pisau itu meluncur searah sejajar dengan cepat.
Perawan Sesat hanya sunggingkan senyum tipis tanpa
meremehkan. Lalu, ia kibaskan tenaga dalamnya
melalui kelebatan tangan kanan yang seperti
membuang sesuatu dari bawah ke atas. Wusss...!
Kedua pisau terbang itu terpental berlainan arah
dan melesat ke tempat kosong. Kibasan angin tenaga
dalamnya membuat tubuh Widarti berguncang sesaat.
Kesempatan itu digunakan oleh perempuan bermata
buas untuk melompat dan bersalto dua kali.
Gerakannya itu begitu cepat dan tak terlihat, sehingga
tahu-tahu ia sudah berada di depan Widarti jarak satu
jangkauan. Widarti terkesiap melihat lawannya sudah
ada di depannya.
Ia tak sempat bergerak karena Perawan Sesat lebih
dulu menghentakkan pukulannya memakai pangkal
pergelangan tangan ke dada Widarti.
Begh... begh... beg...!
"Heeghh...!" Widarti tersentak kejang dengan
kepala terdongak ke atas dan kaki berjingkat naik.
Lalu, pukulan Perawan Sesat yang menggunakan
punggung telapak tangannya itu mengakhiri
pertarungan tersebut.
Kuat sekali pukulan itu, membuat Widarti kembali
tersentak ke belakang dan terbang sejauh lima langkah.
Tubuhnya rubuh di samping kudanya sendiri dengan
mulut memuntahkan darah merah kehitaman. Dari
telinga dan hidung pun mengucurkan darah merah
kehitaman. Mata Widarti mendelik dengan mulut masih
ternganga.
"Widarti...!" Sungko melompat turun dan buru-buru
menolong temannya. Tapi ketika kepala Widarti
diangkatnya, napas perempuan itu menghempus
panjang dan lepas tanpa helaan lagi.
"Biadab!" geram Murbawati melihat Widarti
hembuskan napas terakhir. Cepat-cepat ia palingkan
wajah yang memerah karena marah. Matanya
memandang tajam pada lawannya yang berdiri dengan
sikap siap bertarung kembali.
"Jangan buang-buang nyawa!" seru Perawan Sesat.
"Cepat tunjukkan arah perguruan kalian, dan dua
nyawa kalian akan tertolong!"
"Persetan dengan ancamanmu! Kau telah membuka
pintu permusuhan dengan orang-orang Perguruan
Merpati Wingit!"
"Terpaksa kulakukan karena kalian mengharap kan
sikap seperti itu! Kuingatkan pada kalian, bahwa
sebenarnya aku bisa mempercepat kematian temanmu
itu. Tapi kalian perlu melihat permainanku tadi.
Barangkali dengan begitu kalian mau jawab
pertanyaanku!"
"Tak ada jawaban untuk manusia sekeji kamu!"
sentak Murbawati sambil mencabut pedang panjang
dari pelana kudanya. Sreet...! Ia berdiri dengan kuda-
kuda kokoh sambil memegang pedang panjang memakai
kedua tangannya. Pedang itu lebih tepat jika disebut
samurai. Hanya sayang tidak berujung lengkung, dan
tidak ada istilah samurai buat orang-orang Perguruan
Merpati Wingit.
"Kau pikir aku akan ciut nyali melihat pedang
panjangmu itu?" ejek Perawan Sesat sambil melangkah
ke samping, mencari celah.
"Tak peduli kau takut atau tidak, kalau kau tidak
minta ampun di depan kami atas pembunuhan terhadap
teman kami, kutebas batang lehermu sekarang juga!"
&jj$M
"Pohon pisang boleh kau tebas, tapi Perawan Sesat
adalah perawan yang keras. Sekali kau tebas, sekali
pula nyawamu amblas!"
"Banyak mulut!" geram Murbawati sambil
melangkah satu tindak, lalu memutar mencari
kesempatan untuk menyerang.
Perawan Sesat pun bergerak mengitar, tak mau
kecolongan celah bagi lawannya. Sambil bergerak
mengitar, ia masih bisa serukan kata,
"Kau benar-benar manusia yang tak bisa merawat
nyawamu! Kau akan menyesal di alam kubur jika tetap
melawanku, Monyet Bunting!"
"Aku ke alam kubur untuk menyusulmu! Cabut
pedangmu yang bergagang jorok itu! Kita percepat
siapa yang harus pergi ke alam kubur di antara kita
berdua"
"Cabut pedang? O, tidak untuk sekarang! Membasmi
tikus busuk macam kamu tidak perlu dengan pedang!
Cukup dengan satu kedipan mata kau akan tak
bernyawa!"
"Manusia sombong! Buktikan sesumbarmu itu.
Hiaaat...!"
Murbawati sentakkan kakinya dan tubuhnya
melayang cepat dengan pedang siap tebas ada di atas
pundak kanannya.
Perawan Sesat tidak ikut melompat, tapi lebih
bersikap menunggu datangnya serangan. Begitu pedang
ditebaskan ke arah depan oleh Murbawati, badan
Perawan Sesat segera berbalik memunggungi lawannya
dengan sedikit melompat ke samping kanan.
Wuuusss...!
Pedang menebas tempat kosong. Secepat kilat
tangan Perawan Sesat disentakkan ke samping, telapak
tangannya yang sudah mengepulkan asap menghantam
ketiak kiri Murbawati. Beeegh...! Lalu sikunya bergerak
menyodok kuat ke pinggang Murbawati. Deeg...!
Murbawati pekikkan suara tertahan dengan mata
terbelalak tak mampu berkedip. Saat ia mendaratkan
kakinya, ia menggeloyor ke depan. Perawan Sesat
melompat mengangkangi tubuh Murbawati, dua pukulan
telapak tangannya menghantam bagian tengkuk kepala
lawan.
Duub...! Duub...!
"Hooeek...!"
Seketika itu darah segar sontak ruah dari mulut
Murbawati. Lubang telinga dan hidung pun semburkan
darah segar pada saat tubuh itu roboh dan muka
menciumi tanah. Tubuh Murbawati berkelojot sebentar,
kemudian menyentak kuat satu kali. Setelah itu lemas.
Tubuh Murbawati tak lagi berkutik akibat pukulan
beruntun dari perempuan bertenaga dalam tinggi itu.
Sungko membelalakkan mata melihat Murbawati
mati di tangan perempuan bermata liar itu. Mulai ciut
nyalinya saat itu. Tapi demi membela perguruan,
Sungko segera sentakkan tumitnya dan melesat di
udara dengan berjungkir balik satu kali. Kaki itu pun
mendarat tanpa suara di depan Perawan Sesat dalam
jarak tiga langkah.
"Temanmu mati," kata Perawan Sesat dengan nada
mengejek.
"Ya. Tapi aku belum mati!" jawab Sungko
memaksakan keberaniannya.
"Kau ingin menyusulnya?"
"Aku ingin menyusulkan nyawamu agar bertemu
dengan kedua nyawa teman seperguruanku itu!"
"Hah...!" Perawan Sesat senyumkan kesinisan.
"Bocah bawang, bocah bawang...! Tidakkah kau lihat
gerakanku menghabisi nyawa si baju ungu ini?! Apa kau
pikir kau punya gerakan lebih cepat dari si baju ungu?"
"Ya!"
"Dan kau punya senjata sepanjang senjata baju
ungu?"
"Ya!"
"Boleh kulihat senjatamu?" seraya Perawan Sesat
tersenyum nakal. Arti kalimatnya juga berkesan nakal.
Sungko yang masih tampak ingusan itu mulai
gundah dan gusar tatap matanya. Bibirnya yang ranum
dan kemerahan-merahan tampak segar itu pandangi
oleh Perawan Sesat. Lalu, terucap kata dari mulut
Perawan Sesat yang berbibir mesum itu.
"Tak tega aku harus membunuhmu. Hmmm...,
sebaiknya kutanyakan siapa namamu? Mungkin kalau
aku memaafkan kamu, aku bisa mengenang nama
pemuda tampan yang ingusan ini?"
"Namaku Sungko!" jawab Sungko dengan tegas.
"Sungko?! Oh, itu nama yang bagus. Sayang kalau
harus dihias di batu nisan dalam usia semuda ini!"
"Persetan dengan kata-katamu! Aku menuntut
kematian kedua teman perguruanku ini?!"
"Dengan apa kau mau menuntutnya, Sungko?
Hmm...?!"
"Dengan nyawamu, Bodoh!"
"Dengan nyawaku? O, boleh saja! Tapi jangan
sekali-kali kamu menyentuh tubuhku, Sungko. Sebab
kalau tubuhku tersentuh lelaki macam kamu, gairahku
berkobar dan kita tak jadi bertarung dengan
permusuhan, tapi akan bertarung dengan kemesraan.
Hi hi hi...!" Perawan Sesat perdengarkan tawa
seraknya.
Ia lebih puas mempermainkan pemuda itu
ketimbang harus cepat melenyapkan nyawanya.
Perawan Sesat paham betul, pemuda seusia Sungko itu
mudah sekali goyah pendiriannya. Juga mudah untuk
membunuhnya. Karena itu, Perawan Sesat tetap
memandangnya dan sesekali membuang lirikan
mesumnya ke arah Sungko. Pemuda itu kian salah
tingkah.
Di dalam hatinya Sungko berkata, "Apa yang harus
kulakukan jika begini? Dia cukup tinggi ilmunya. Aku
hanya mempunyai dua pisau di pinggang belakang. Tak
mungkin bisa untuk mengalahkan perempuan nakal ini.
Haruskah aku menyerah kalah? O, tidak! Guru selalu
berpesan lebih baik mati daripada menyerah kalah.
Kita akan terhina tujuh turunan jika menyerah kalah.
Apa pun yang terjadi, aku harus melawan perempuan
ini!" geram hati Sungko timbulkan semangat dalam
jiwanya.
Tetapi ketika ia kembali menatap ke arah
lawannya, mata itu tak mampu lagi berkedip. Perawan
Sesat telah melebarkan belahan bajunya yang tanpa
lengan itu. Kedua bukit mulus dipamerkan sebagian.
Tapi justru karena sebagian itulah maka debar jantung
Sungko menjadi kiat cepat detakannya.
Perawan Sesat sengaja melangkah ke arah
pepohonan rindang sambil sesekali mengerlingkan mata
dalam tatap pandangnya. Sungko mengikuti dengan
pandangan mata yang tak bisa dikedipkan lagi itu.
Jemari tangan Perawan Sesat berkutik memanggil
Sungko saat ia berdiri dan bersandar di bawah pohon
rindang.
"Tidak. Aku tidak boleh mendekatinya!" kata
Sungko kepada dirinya sendiri. "Aku harus tetap di sini.
Aku tak boleh tergoda!"
Kata hati berucap begitu, tapi kaki tetap
melangkah mendekati Perawan Sesat. Sungko bagai
terkena kekuatan gaib yang membuat dirinya
melangkah tanpa disadari. Ketika ia sadar, ia sudah
berada di depan Perawan Sesat dalam jarak satu
langkah ke depan.
Sungko makin terpaku di tempat ketika belahan
baju itu kian dilebarkan oleh tangan Perawan Sesat.
Suara tawa pelan dari Perawan Sesat menghadirkan
nada serak-serak menantang birahi. Tentu Sungko
bertambah gemetar kedua lututnya.
"Lepaskan pakaianmu, Sungko," kata Perawan Sesat
dalam desah serak yang enak didengar di kesunyian
tempat itu.
"Tidak," kata hati Sungko. "Aku tidak boleh
melepaskan pakaianku. Ini godaan! Aku harus tahan
godaan! Aku tak boleh hanyut dalam rayuannya! Aku
murid Perguruan Merpati Wingit! Aku harus tunjukkan
belapatiku kepada perguruan!"
Hati berkata begitu tapi tangan tetap saja bergerak
melepasi pakaiannya. Sampai akhirnya Sungko
menyadari bahwa dirinya telah polos tanpa selembar
benang pun. Ia buru-buru menutup bagian tertentu
dengan kedua tangan, wajah pucat, mata melebar dan
mulut melongo. Kepalanya celingak-celinguk ke kiri
kanan dengan malunya,
"Lepaskan...! Lepaskan tanganmu, Sungko...!"
"Aku tidak mau!" sentak Sungko. Matanya menatap
pandangan Perawan Sesat. Dan mata Perawan Sesat
berkerling satu kali. Sungko tertegun bengong sambil
melepaskan kedua tangannya.
"Aku tahu, kau inginkan sesuatu dariku!" kata
Perawan Sesat sambil menarik pelan tangan Sungko,
dan pemuda imut-imut itu menurut saja. Ia usap-usap
rambut kepala Sungko sambil bicara.
"Kau butuh kenikmatan saat ini juga, Sungko?!"
Pemuda itu tak bisa menjawab tapi ia anggukkan
kepalanya.
"Akan kuberi kau kenikmatan segunung besarnya.
Tapi ke mana arah perguruanmu itu? Aku butuh
mengantarmu pulang."
"Ke... ke arah barat. Ikuti saja sungai berbatu-batu
dan kau akan temukan bangunan besar berpagar
tembok tinggi. Itulah Perguruan Merpati Wingit," jawab
Sungko bagai tak sadar.
"O, bagus sekali! Kalau begitu, sekarang tiba
saatnya kuberikan kenikmatan itu padamu. Nah,
pejamkan matamu, Sungko!"
*
* *