Episode 36
AWAN hitam menaungi wilayah Perguruan Merpati
Wingit. Dari sebuah lembah tampak terlihat jelas
reruntuhan bangunan joglo yang merupakan bangunan
terdepan setelah halaman laga Perguruan Merpati
Wingit. Dari sanalah sepasang mata menatap dengan
sedikit menyipit, tersimpan dendam dalam hati yang
luka mengharu melihat porak-porandanya perguruan
tersebut.
Sepasang mata menyipit dendam milik perempuan
berpakaian merah dadu itu masih memandangi makam-
makam di samping pagar wilayah perguruan. Berjajar
makam yang tanahnya masih tampak baru ditimbunkan
itu, seakan barisan pisau tajam yang menggores hati
perempuan berselendang putih di pinggangnya.
Perempuan itu tak lain adalah Selendang Kubur,
murid Perguruan Merpati Wingit yang sudah lama tak
kembali ke perguruannya, karena tergoda cinta murid
sinting si Gila Tuak yang bergelar Pendekar Mabuk,
Suto Sinting.
Kabar tentang porak-porandanya perguruan tersebut
didengar telinga Selendang Kubur dari sudut sebuah
kedai, di mana tiga orang bercerita tentang amukan
Perawan Sesat yang konon berhasil melukai gurunya,
Nyai Betari Ayu. Celoteh di sudut kedai itu juga
mengisahkan cerita tentang kematian Dewi Murka yang
disaksikan sendiri oleh mata seorang lelaki besar tanpa
isi yang dikenal dengan nama Singo Bodong, (Baca
serial Pendekar Mabuk dalam episode: "Perawan
Sesat").
Selendang Kubur tak sampai hati untuk tinggal diam
melihat keadaan di perguruannya. Niatnya untuk
memburu cinta pada Suto Sinting tertangguhkan. Apa
pun amarah sang Guru nantinya, ia siap menerima
hukumannya, ia juga tak bisa menahan duka mendengar
gurunya; Nyai Betari Ayu, terluka oleh pukulan lawan.
Dengan dendam membesi di hati, Selendang Kubur
melangkahkan kaki memasuki pintu gerbang perguruan
yang telah hancur itu. Suasana pelataran laga tampak
sepi. Selendang Kubur menarik napas untuk menahan
luapan api kemarahan yang telah membakar dada. Maka,
segera ia melesat ke serambi samping, dan di sana ia
temui sang Guru sedang duduk merenung dengan wajah
tetap berwibawa walau tampak guratan dukanya.
Melihat siapa yang muncul di depannya, Nyai Betari
Ayu terkesiap sekejap, ia segera menarik napas meredam
kemarahan, ia mengangkat wajah, memandang tajam
muridnya yang lama tak kunjung tiba. Sang murid
menundukkan wajah, sebagai ungkapan rasa bersalah
dan pasrah menerima hukuman sang Guru.
Betari Ayu segera perdengarkan suaranya dengan
lembut tapi penuh kharisma bagi murid yang baru datang
itu.
"Kaukah yang berdiri di depanku, Selendang
Kubur?!"
Sedikit tunduk kepala Selendang Kubur saat
menjawab, "Benar, Nyai Guru. Saya datang."
"O, syukurlah. Ternyata kau masih ingat jalan pulang
ke perguruanmu ini."
"Maafkan saya, Nyai Guru. Saya memang bersalah."
"O, tidak! Kau tidak bersalah!" tukas Nyai Guru
Betari Ayu. "Perguruan ini hampir hancur bukan karena
ulahmu, melainkan ulah muridnya si Nyai Lembah
Asmara. Perawan Sesat namanya."
"Saya merasa bersalah, karena saat itu saya tidak ada
di sini, Guru."
"Bukan hanya kamu, tapi Dewi Murka juga tidak ada
di sini."
"Dewi Murka juga sudah tewas di tangan Perawan
Sesat, Guru!"
Tersentak hati Betari Ayu. Terbungkam mulutnya
tanpa bisa mengucap sepatah kata pun mendengar Dewi
Murka tewas di tangan Perawan Sesat. Semakin
tertimbun dendam hati Betari Ayu rasanya. Tetapi ia
berusaha untuk menahan diri agar tidak hanyut dalam
kobaran dendam yang membara itu.
Dewi Murka dan Selendang Kubur adalah orang kuat
di Perguruan Merpati Wingit. Kepada salah satu dari
kedua orang itulah Betari Ayu ingin menyerahkan
tampuk pimpinannya. Menurut pandangan hatinya,
hanya dua orang itulah yang bisa dan pantas menjadi
penggantinya, sebagai Ketua Perguruan Merpati Wingit.
Tetapi sebelum niatnya terlaksana, satu dari kedua orang
pilihannya itu telah tewas. Kini tinggal Selendang Kubur
yang menjadi satu-satunya calon pengganti dirinya,
sebelum ia pergi mengasingkan diri menjadi seorang
pertapa.
Tetapi, mampukah Selendang Kubur
mempertahankan perguruannya jika sekarang hatinya
telah ditaburi dendam terhadap orang-orang Bukit
Garinda yang dikuasai oleh Nyai Lembah Asmara?
Bukankah beberapa orang kuat di perguruan itu telah
tewas juga di tangan perempuan iblis utusan Nyai
Lembah Asmara? Dewi Murka, Murbawati, dan orang-
orang kuat lainnya telah tiada. Padahal mereka adalah
benteng bagi Perguruan Merpati Wingit.
Belum lagi jika Betari Ayu memikirkan Pendekar
Mabuk yang berhasil dibujuk Perawan Sesat untuk
dibawa ke Bukit Garinda, makin perih hati Nyai Betari
Ayu sebenarnya. Karena di dalam hati Nyai Guru itu,
tertanam cinta yang rapi tersembunyi. Baik sang Guru
maupun sang murid tidak saling mengetahui bahwa
mereka sebenarnya sama-sama mencintai Suto dan
sama-sama merasa kehilangan pemuda itu.
Melihat termenungnya sang Guru, Selendang Kubur
segera ucapkan kata penuh hati-hati,
"Nyai Guru, siapa wanita yang berjuluk Perawan
Sesat itu sebenarnya, dan di mana ia tinggal, Guru?"
"Apa maksudmu bertanya begitu, Selendang Kubur?"
"Saya harus pergi menemuinya, membuat
perhitungan dengannya, Guru. Saya harus menebus
nyawa saudara-saudara saya yang menjadi korban
keganasan Perawan Sesat itu."
"Haruskah kita menebus dendam berdarah ini,
Selendang Kubur?"
Pertanyaan ini sungguh sulit dijawab oleh Selendang
Kubur.
Pandang matanya sesaat menyirat ke wajah gurunya,
lalu tundukkan kepala lagi seraya berkata,
"Tidak ada darah yang tidak membekas, Guru. Dan
untuk menghilangkan darah itu hanya dengan
pembalasan setimpal, Nyai Guru."
Diam sekejap sang Guru sebelum memperdengarkan
suara lembutnya,
"Akan selesaikah masalah yang dirampungkan
dengan dendam dan pembalasan? Akan berhentikah
pertikaian yang dibayar dengan kesumat dendam,
Selendang Kubur?"
Lirih suara Selendang Kubur menjawab, "Tidak,
Guru."
"Ya. Tidak akan terselesaikan. Pasti akan berbuntut
panjang. Dan itu akan menuntut kita untuk lebih
bermusuhan lagi."
"Tapi harga diri perguruan tetap harus ditegakkan,
Guru. Nama baik dan wibawa Nyai Guru sendiri juga
harus terjaga oleh sikap kita. Jika tak ada pembalasan
datang dari kita, maka hancur sudah citra perguruan dan
terinjak-injak sudah wibawa serta kehormatan Nyai
Guru, yang menjadi ketua perguruan ini."
"Memang benar apa katamu. Itu pula yang sedang
kupertimbangkan sejak tadi. Dan aku belum mempunyai
keputusan, Selendang Kubur. Aku masih mencari sisi
baik dari bencana ini."
"Guru terlalu sabar," terdengar Selendang Kubur
ucapkan kata dalam kebimbangan dan rasa takut. Tapi
Nyai Guru Betari Ayu hanya tersenyum tipis dan pahit.
Nyai Guru alihkan pandangan sambil ia langkahkan kaki
menuju ke taman. Selendang Kubur mengikutinya
dengan mulut tak terucap dalam waktu beberapa kejap.
Setelah Nyai Guru berhenti di sisi tanaman mawar
berbunga ungu, Selendang Kubur beranikan diri ajukan
pertanyaan.
"Sebenarnya apa permasalahan yang membuat wanita
gila berjuluk Perawan Sesat itu mengobrak-abrik tempat
kita, Guru?"
Sebelum lontarkan jawaban, Nyai Guru tarik napas
terpendam di dada. Ia tekan gemuruh yang hampir tak
terkendali di sela bayangan seorang pemuda tampan
bergelar Pendekar Mabuk itu. Kejap berikutnya Betari
Ayu lepaskan kata,
"Titik masalahnya adalah Suto."
Terperanjat Selendang Kubur mendengar nama
pemuda yang diincar hatinya disebut oleh sang Guru.
Ketika sorot pandang Selendang Kubur membentur
tatapan wibawa sang Guru, terdengarlah kata dari sang
Guru yang menjelaskan maksud jawabannya tadi,
"Suto kutemukan terluka parah di sebuah bukit. Aku
segera membawanya kemari dan kurawat hingga
sembuh. Begitu Suto pergi, datang Perawan Sesat
menuduhku menyembunyikan Suto. Lalu, mengamuklah
dia di sini, mencabut nyawa saudara-saudara
seperguruanmu dengan seenaknya saja. Beruntung
nyawaku masih terlindung oleh kemunculan Suto yang
segera menyerang Perawan Sesat itu."
"Lalu, ke mana Suto sekarang, Guru?"
"Terbujuk oleh omongan Perawan Sesat. Suto pergi
ke Bukit Garinda menemui gurunya Perawan Sesat yang
bergelar Nyai Lembah Asmara itu."
"Untuk apa Suto ke sana?"
"Nyai Lembah Asmara adalah perempuan sakti, keji,
tapi mandul, ia hanya bisa memperoleh keturunan dari
benih lelaki tanpa pusar. Pendekar Mabuk itulah lelaki
tanpa pusar. Nyai Lembah Asmara akan menjadikan
Suto sebagai lelaki pembenih, yang akan menurunkan
bibitnya kepada Nyai Lembah Asmara."
"Itu berarti Suto akan kawin dengan Nyai Lembah
Asmara?!"
Selendang Kubur ucapkan kata dengan tegang. Sang
Guru masih memberi jawaban dengan kalem.
"Setidaknya, Suto akan dikuasai oleh Nyai Lembah
Asmara dan dipaksa agar mau melayani hasratnya.
Padahal aku tahu persis, Nyai Lembah Asmara
mempunyai racun yang tak dapat dilawan dengan ilmu
apa pun. Racun itu bernama Racun Darah Asmara.
Racun itu dipancarkan lewat sorot pandangan matanya.
Siapa pun lelaki yang terkena sorot mata beracun, bisa
luluh hatinya dan terbuai jiwanya, serta terbakar
birahinya. Itulah kehebatan Racun Darah Asmara. Aku
yakin, Pendekar Mabuk tak bisa menghindari racun itu.
ia akan tunduk dengan cinta dan rayuan Nyai Lembah
Asmara."
Terasa panas sekujur dada Selendang Kubur, karena
saat itu darah terasa mendidih. Terbayang kelicikan Nyai
Lembah Asmara yang akan mempengaruhi Suto dengan
memakai racun berbahaya itu. Maka tergugah pula
dendam yang paling dalam, yaitu ingin menggempur
orang-orang Bukit Garinda, yang menjadi wilayah
kekuasaan Nyai Lembah Asmara.
"Jika begitu, Guru," Selendang Kubur angkat bicara,
"Saya akan gagalkan kunjungan Suto ke Bukit Garinda.
Saya akan cegah Nyai Lembah Asmara itu menggunakan
racun tersebut!"
"Jangan gegabah, Selendang Kubur. Nyai Lembah
Asmara bukan orang berilmu rendah. Tinggi ilmumu
hanya mencapai separo dari ilmunya. Kau tak mungkin
sanggup mengunggulinya. Aku sendiri merasa kalah
tinggi dengan ilmunya."
"Saya tidak peduli, Guru! Yang jelas, sekarang juga
saya mohon pamit untuk pergi ke Bukit Garinda!"
Selendang Kubur berkobar-kobar semangatnya. Mata
jelinya menjadi nanar penuh kilasan lidah api amarah
yang berkobar-kobar di dalam hatinya. Napasnya pun
kelihatan lebih memburu.
"Tahanlah amukan hatimu, Selendang Kubur. Jangan
mati konyol tanpa perhitungan sedikit pun!"
"Suto harus segera diselamatkan, Guru! Saya sudah
bisa bayangkan kalau Suto menanamkan benih pada
rahim Nyai Lembah Asmara, dan benih itu menjadi
keturunan sang Nyai Lembah Asmara, sudah pasti
keturunan itu akan menjadi manusia tanpa tanding,
Guru."
"Memang. Itulah sebabnya Lembah Asmara tidak
bisa punya keturunan, sebab satu kali dia punya
keturunan maka anaknya akan menjadi manusia tanpa
tanding. Padahal Nyai Lembah Asmara mempunyai
aliran hitam. Tidak menutup kemungkinan kalau
anaknya nantinya akan menjadi orang sesat yang tidak
bisa dikalahkan oleh pendekar mana pun!"
"Karena itu saya harus segera gagalkan rencana
tersebut, Guru!" sergah Selendang Kubur.
"Aku tak bisa memberi keputusan sekarang. Biarkan
aku duduk di sini merenungkan putusan yang lebih
baik."
Dalam hati Betari Ayu merasa khawatir terhadap jiwa
Selendang Kubur. Tinggal satu murid yang menjadi
benteng perguruannya. Jika Selendang Kubur tewas di
tangan Nyai Lembah Asmara, habis sudah benteng
Perguruan Merpati Wingit. Tetapi sang Guru juga
melihat nyala dendam dan bela pati dari sang murid. Jika
ia patahkan dengan larangan berangkat ke Bukit
Garinda, pupus sudah semangat sang murid, susut sudah
jiwa bela patinya, patah pula semangatnya.
"Haruskah kuturunkan ilmu yang ada dalam Kitab
Wedar Kesuma itu untuknya?" pikir Betari Ayu dalam
renungan panjangnya. Tapi, renungan itu terputus oleh
kehadiran murid lainnya yang memberanikan diri
menghadap dengan tergopoh-gopoh.
"Ada apa kau menghadapku dengan wajah pucat,
Prahasti?"
"Guru, pedang pusaka Jalaganda dicuri oleh
Selendang Kubur dan dibawanya lari, Guru!"
Tersentak jantung Betari Ayu mendengarnya, ia
gumamkan kata,
"Jalaganda dicuri? Selendang Kubur lari? Jelas,
arahnya pasti ke Bukit Garinda. Anak itu tak bisa
dikekang amarahnya. Berbahaya sekali. Tidakkah ia
sadari bahwa pedang Jalaganda adalah pusaka yang
hanya dipakai untuk pertarungan terakhir bagi orang
yang sudah bosan hidup? Memang orang yang
menggunakan Jalaganda bisa memperoleh kemenangan
walau melawan seribu lawan, tapi selesai itu orang yang
menggunakannya akan mati. Jalaganda akan pulang
sendiri ke tempatnya tanpa pembawanya!"
Cemas hati Betari Ayu bagai meruncingkan luka.
Jalaganda bukan pedang sembarang pedang. Jalaganda
merupakan pedang warisan eyang guru dari Betari Ayu
yang merupakan pedang kemenangan dan kekalahan.
Hanya tokoh-tokoh tua zaman dulu yang menggunakan
pedang Jalaganda untuk bertarung, karena usai itu ia
sudah siap mati tanpa meninggalkan dendam lagi.
Sedangkan Betari Ayu tidak ingin satu-satunya murid
andal yang tersisa itu mati bersama kemenangan
pertarungannya. Nyai Betari Ayu masih membutuhkan
Selendang Kubur untuk tetap menghidupkan
perguruannya itu.
"Aku harus segera menyusul Selendang Kubur. Aku
tidak izinkan dia menggunakan pedang Jalaganda, agar
ia tak ikut punah seperti yang lainnya. Dialah yang akan
kujadikan penerus ilmu-ilmu Merpati Wingit dan
mengembangkannya ke seluruh penjuru dunia," pikir
Betari Ayu sambil berkemas mengenakan jubah
kuningnya yang terbuat dari kain sutera lembut dan tipis.
Ikat kepala dari tali merah berbintik-bintik kuning
keemasan, dengan kedua ujung terdapat logam runcing
berbentuk mata tombak kecil, yang bisa pula digunakan
sebagai pengikat rambutnya yang panjang digelung rapi
di atas kepala, ia menarik napas beberapa kali. Terasa
enteng badannya. Terasa sembuh betul luka-lukanya
akibat minum tuak pemberian Pendekar Mabuk, sebelum
pemuda itu pergi bersama Perawan Sesat.
Kalau bukan karena pusaka Jalaganda, Nyai Guru
Betari Ayu tidak akan keluar dari padepokannya.
Jalaganda memang berbahaya. Selendang Kubur sendiri
sebenarnya mengetahui akibat penggunaan pedang
pusaka Jalaganda. Tetapi agaknya ia sudah siapkan diri
untuk mati demi harga diri perguruannya
Gerakannya begitu cepat ketika ia menuju ke arah
Bukit Garinda. Pedang Jalaganda disarungkan di
punggung, melintang dengan gagahnya. Dalam hati
Selendang Kubur terucap kata,
"Akan kutunjukkan pada Suto, bahwa aku rela mati
demi menyelamatkan dirinya dari Racun Darah Asmara.
Akan kubuktikan pula kepada Nyai Guru, bahwa aku
rela hancur demi nama baik dan kehormatan martabat
perguruan. Tetapi... apakah Suto mau tahu dan mau
percaya bahwa semua ini kulakukan demi cintaku
padanya? Sudah layakkah aku berkorban untuk dia?"
Tiba-tiba tanah lereng yang ada di depan Selendang
Kubur itu longsor. Batu-batu besar yang ada di lereng itu
menggelinding berjatuhan ke arahnya. Selendang Kubur
cepat jejakkan kaki dan melenting di udara, hindari
bebatuan besar yang bisa bikin tubuhnya gepeng mirip
tape.
"Tak mungkin batu itu runtuh menggelinding
sendiri," pikir Selendang Kubur setelah keadaan menjadi
tenang. "Tak mungkin tanah itu longsor sendiri tanpa
ada getaran bumi sedikit pun. Pasti ada orang yang
sengaja mencelakai diriku."
Mata jeli itu menjadi makin tajam, melirik ke sana-
sini dengan liar. Sementara tubuh Selendang Kubur
bersembunyi di celah batu yang ada di seberang lereng
yang tadi longsor tanahnya. Tetapi untuk beberapa kejap
hanya angin yang berhembus di sekelilingnya. Tak ada
gerakan yang mencurigakan, atau kelebatan yang
menarik perhatian.
Kejap berikutnya barulah Selendang Kubur
menangkap sosok bayangan lelaki berbaju merah dan
bercelana hitam. Serta-merta Selendang Kubur lancarkan
pukulan jarak jauh dari tempat persembunyiannya.
Lelaki pendek sedikit gemuk itu tersentak kaget
merasakan hawa panas sedang mengalir menuju ke
arahnya dari arah belakang. Cepat-cepat ia balikkan
tubuh dan menghadang pukulan hawa panas itu dengan
satu sentakan tangan kosong ke arah depan.
Rupanya ia sengaja adukan pukulan tenaga dalamnya
dengan hawa panas yang mau membokongnya itu.
Kedua pukulan tersebut beradu dan memancarkan
kerlapan cahaya pijar yang begitu menyilaukan mata.
Pecahnya cahaya itu tidak menimbulkan bunyi,
melainkan mengguncangkan pepohonan yang ada di
sekelilingnya.
"Siapa orang yang berani membokongku itu?!" pikir
lelaki bergelang akar bahar di tangan kirinya. Matanya
memandang tajam ke sekeliling, sampai akhirnya ia
temukan sosok perempuan muncul dari celah dua batu
besar. Lelaki yang sudah dikenal Selendang Kubur
sebagai pelayan si Gila Tuak, gurunya Suto, yang
berjuluk Pujangga Keramat itu, segera serukan kata
kemarahan,
"Selendang Kubur, kau serang mengapa aku dari
belakang?!"
Buat Selendang Kubur, dia sudah tidak asing lagi
mendengar ucapan aneh Pujangga Keramat. Sebab ia
tahu persis Pujangga Keramat adalah manusia yang tidak
pernah bisa menyusun kalimat. Dengan mudah
Selendang Kubur mengerti maksud kata-kata Pujangga
Keramat, ia dekati lelaki itu dengan tenang, tiada gentar
sedikit pun.
"Kau menyerangku lebih dulu, Pujangga Keramat."
"Bilang siapa?! Aku datang baru saja, kau serang aku
tahu-tahu dari belakang! Maksud apamu, hah?!"
Melihat kerut dahi dan kecemberutan wajah Pujangga
Keramat, Selendang Kubur temukan kejujuran kata
orang itu. Tapi dalam hati Selendang Kubur segera
tanyakan pada diri sendiri, "Lantas, siapa yang membuat
lereng itu longsor dan batu-batu menggelinding
menyerangku jika bukan Pujangga Keramat?!"
*
* *