Chereads / Pendekar Mabuk / Chapter 36 - 005.Pendekar Mabuk - Murka Sang Nyai Eps36

Chapter 36 - 005.Pendekar Mabuk - Murka Sang Nyai Eps36

Episode 36

AWAN hitam menaungi wilayah Perguruan Merpati

Wingit. Dari sebuah lembah tampak terlihat jelas

reruntuhan bangunan joglo yang merupakan bangunan

terdepan setelah halaman laga Perguruan Merpati

Wingit. Dari sanalah sepasang mata menatap dengan

sedikit menyipit, tersimpan dendam dalam hati yang

luka mengharu melihat porak-porandanya perguruan

tersebut.

Sepasang mata menyipit dendam milik perempuan

berpakaian merah dadu itu masih memandangi makam-

makam di samping pagar wilayah perguruan. Berjajar

makam yang tanahnya masih tampak baru ditimbunkan

itu, seakan barisan pisau tajam yang menggores hati

perempuan berselendang putih di pinggangnya.

Perempuan itu tak lain adalah Selendang Kubur,

murid Perguruan Merpati Wingit yang sudah lama tak

kembali ke perguruannya, karena tergoda cinta murid

sinting si Gila Tuak yang bergelar Pendekar Mabuk,

Suto Sinting.

Kabar tentang porak-porandanya perguruan tersebut

didengar telinga Selendang Kubur dari sudut sebuah

kedai, di mana tiga orang bercerita tentang amukan

Perawan Sesat yang konon berhasil melukai gurunya,

Nyai Betari Ayu. Celoteh di sudut kedai itu juga

mengisahkan cerita tentang kematian Dewi Murka yang

disaksikan sendiri oleh mata seorang lelaki besar tanpa

isi yang dikenal dengan nama Singo Bodong, (Baca

serial Pendekar Mabuk dalam episode: "Perawan

Sesat").

Selendang Kubur tak sampai hati untuk tinggal diam

melihat keadaan di perguruannya. Niatnya untuk

memburu cinta pada Suto Sinting tertangguhkan. Apa

pun amarah sang Guru nantinya, ia siap menerima

hukumannya, ia juga tak bisa menahan duka mendengar

gurunya; Nyai Betari Ayu, terluka oleh pukulan lawan.

Dengan dendam membesi di hati, Selendang Kubur

melangkahkan kaki memasuki pintu gerbang perguruan

yang telah hancur itu. Suasana pelataran laga tampak

sepi. Selendang Kubur menarik napas untuk menahan

luapan api kemarahan yang telah membakar dada. Maka,

segera ia melesat ke serambi samping, dan di sana ia

temui sang Guru sedang duduk merenung dengan wajah

tetap berwibawa walau tampak guratan dukanya.

Melihat siapa yang muncul di depannya, Nyai Betari

Ayu terkesiap sekejap, ia segera menarik napas meredam

kemarahan, ia mengangkat wajah, memandang tajam

muridnya yang lama tak kunjung tiba. Sang murid

menundukkan wajah, sebagai ungkapan rasa bersalah

dan pasrah menerima hukuman sang Guru.

Betari Ayu segera perdengarkan suaranya dengan

lembut tapi penuh kharisma bagi murid yang baru datang

itu.

"Kaukah yang berdiri di depanku, Selendang

Kubur?!"

Sedikit tunduk kepala Selendang Kubur saat

menjawab, "Benar, Nyai Guru. Saya datang."

"O, syukurlah. Ternyata kau masih ingat jalan pulang

ke perguruanmu ini."

"Maafkan saya, Nyai Guru. Saya memang bersalah."

"O, tidak! Kau tidak bersalah!" tukas Nyai Guru

Betari Ayu. "Perguruan ini hampir hancur bukan karena

ulahmu, melainkan ulah muridnya si Nyai Lembah

Asmara. Perawan Sesat namanya."

"Saya merasa bersalah, karena saat itu saya tidak ada

di sini, Guru."

"Bukan hanya kamu, tapi Dewi Murka juga tidak ada

di sini."

"Dewi Murka juga sudah tewas di tangan Perawan

Sesat, Guru!"

Tersentak hati Betari Ayu. Terbungkam mulutnya

tanpa bisa mengucap sepatah kata pun mendengar Dewi

Murka tewas di tangan Perawan Sesat. Semakin

tertimbun dendam hati Betari Ayu rasanya. Tetapi ia

berusaha untuk menahan diri agar tidak hanyut dalam

kobaran dendam yang membara itu.

Dewi Murka dan Selendang Kubur adalah orang kuat

di Perguruan Merpati Wingit. Kepada salah satu dari

kedua orang itulah Betari Ayu ingin menyerahkan

tampuk pimpinannya. Menurut pandangan hatinya,

hanya dua orang itulah yang bisa dan pantas menjadi

penggantinya, sebagai Ketua Perguruan Merpati Wingit.

Tetapi sebelum niatnya terlaksana, satu dari kedua orang

pilihannya itu telah tewas. Kini tinggal Selendang Kubur

yang menjadi satu-satunya calon pengganti dirinya,

sebelum ia pergi mengasingkan diri menjadi seorang

pertapa.

Tetapi, mampukah Selendang Kubur

mempertahankan perguruannya jika sekarang hatinya

telah ditaburi dendam terhadap orang-orang Bukit

Garinda yang dikuasai oleh Nyai Lembah Asmara?

Bukankah beberapa orang kuat di perguruan itu telah

tewas juga di tangan perempuan iblis utusan Nyai

Lembah Asmara? Dewi Murka, Murbawati, dan orang-

orang kuat lainnya telah tiada. Padahal mereka adalah

benteng bagi Perguruan Merpati Wingit.

Belum lagi jika Betari Ayu memikirkan Pendekar

Mabuk yang berhasil dibujuk Perawan Sesat untuk

dibawa ke Bukit Garinda, makin perih hati Nyai Betari

Ayu sebenarnya. Karena di dalam hati Nyai Guru itu,

tertanam cinta yang rapi tersembunyi. Baik sang Guru

maupun sang murid tidak saling mengetahui bahwa

mereka sebenarnya sama-sama mencintai Suto dan

sama-sama merasa kehilangan pemuda itu.

Melihat termenungnya sang Guru, Selendang Kubur

segera ucapkan kata penuh hati-hati,

"Nyai Guru, siapa wanita yang berjuluk Perawan

Sesat itu sebenarnya, dan di mana ia tinggal, Guru?"

"Apa maksudmu bertanya begitu, Selendang Kubur?"

"Saya harus pergi menemuinya, membuat

perhitungan dengannya, Guru. Saya harus menebus

nyawa saudara-saudara saya yang menjadi korban

keganasan Perawan Sesat itu."

"Haruskah kita menebus dendam berdarah ini,

Selendang Kubur?"

Pertanyaan ini sungguh sulit dijawab oleh Selendang

Kubur.

Pandang matanya sesaat menyirat ke wajah gurunya,

lalu tundukkan kepala lagi seraya berkata,

"Tidak ada darah yang tidak membekas, Guru. Dan

untuk menghilangkan darah itu hanya dengan

pembalasan setimpal, Nyai Guru."

Diam sekejap sang Guru sebelum memperdengarkan

suara lembutnya,

"Akan selesaikah masalah yang dirampungkan

dengan dendam dan pembalasan? Akan berhentikah

pertikaian yang dibayar dengan kesumat dendam,

Selendang Kubur?"

Lirih suara Selendang Kubur menjawab, "Tidak,

Guru."

"Ya. Tidak akan terselesaikan. Pasti akan berbuntut

panjang. Dan itu akan menuntut kita untuk lebih

bermusuhan lagi."

"Tapi harga diri perguruan tetap harus ditegakkan,

Guru. Nama baik dan wibawa Nyai Guru sendiri juga

harus terjaga oleh sikap kita. Jika tak ada pembalasan

datang dari kita, maka hancur sudah citra perguruan dan

terinjak-injak sudah wibawa serta kehormatan Nyai

Guru, yang menjadi ketua perguruan ini."

"Memang benar apa katamu. Itu pula yang sedang

kupertimbangkan sejak tadi. Dan aku belum mempunyai

keputusan, Selendang Kubur. Aku masih mencari sisi

baik dari bencana ini."

"Guru terlalu sabar," terdengar Selendang Kubur

ucapkan kata dalam kebimbangan dan rasa takut. Tapi

Nyai Guru Betari Ayu hanya tersenyum tipis dan pahit.

Nyai Guru alihkan pandangan sambil ia langkahkan kaki

menuju ke taman. Selendang Kubur mengikutinya

dengan mulut tak terucap dalam waktu beberapa kejap.

Setelah Nyai Guru berhenti di sisi tanaman mawar

berbunga ungu, Selendang Kubur beranikan diri ajukan

pertanyaan.

"Sebenarnya apa permasalahan yang membuat wanita

gila berjuluk Perawan Sesat itu mengobrak-abrik tempat

kita, Guru?"

Sebelum lontarkan jawaban, Nyai Guru tarik napas

terpendam di dada. Ia tekan gemuruh yang hampir tak

terkendali di sela bayangan seorang pemuda tampan

bergelar Pendekar Mabuk itu. Kejap berikutnya Betari

Ayu lepaskan kata,

"Titik masalahnya adalah Suto."

Terperanjat Selendang Kubur mendengar nama

pemuda yang diincar hatinya disebut oleh sang Guru.

Ketika sorot pandang Selendang Kubur membentur

tatapan wibawa sang Guru, terdengarlah kata dari sang

Guru yang menjelaskan maksud jawabannya tadi,

"Suto kutemukan terluka parah di sebuah bukit. Aku

segera membawanya kemari dan kurawat hingga

sembuh. Begitu Suto pergi, datang Perawan Sesat

menuduhku menyembunyikan Suto. Lalu, mengamuklah

dia di sini, mencabut nyawa saudara-saudara

seperguruanmu dengan seenaknya saja. Beruntung

nyawaku masih terlindung oleh kemunculan Suto yang

segera menyerang Perawan Sesat itu."

"Lalu, ke mana Suto sekarang, Guru?"

"Terbujuk oleh omongan Perawan Sesat. Suto pergi

ke Bukit Garinda menemui gurunya Perawan Sesat yang

bergelar Nyai Lembah Asmara itu."

"Untuk apa Suto ke sana?"

"Nyai Lembah Asmara adalah perempuan sakti, keji,

tapi mandul, ia hanya bisa memperoleh keturunan dari

benih lelaki tanpa pusar. Pendekar Mabuk itulah lelaki

tanpa pusar. Nyai Lembah Asmara akan menjadikan

Suto sebagai lelaki pembenih, yang akan menurunkan

bibitnya kepada Nyai Lembah Asmara."

"Itu berarti Suto akan kawin dengan Nyai Lembah

Asmara?!"

Selendang Kubur ucapkan kata dengan tegang. Sang

Guru masih memberi jawaban dengan kalem.

"Setidaknya, Suto akan dikuasai oleh Nyai Lembah

Asmara dan dipaksa agar mau melayani hasratnya.

Padahal aku tahu persis, Nyai Lembah Asmara

mempunyai racun yang tak dapat dilawan dengan ilmu

apa pun. Racun itu bernama Racun Darah Asmara.

Racun itu dipancarkan lewat sorot pandangan matanya.

Siapa pun lelaki yang terkena sorot mata beracun, bisa

luluh hatinya dan terbuai jiwanya, serta terbakar

birahinya. Itulah kehebatan Racun Darah Asmara. Aku

yakin, Pendekar Mabuk tak bisa menghindari racun itu.

ia akan tunduk dengan cinta dan rayuan Nyai Lembah

Asmara."

Terasa panas sekujur dada Selendang Kubur, karena

saat itu darah terasa mendidih. Terbayang kelicikan Nyai

Lembah Asmara yang akan mempengaruhi Suto dengan

memakai racun berbahaya itu. Maka tergugah pula

dendam yang paling dalam, yaitu ingin menggempur

orang-orang Bukit Garinda, yang menjadi wilayah

kekuasaan Nyai Lembah Asmara.

"Jika begitu, Guru," Selendang Kubur angkat bicara,

"Saya akan gagalkan kunjungan Suto ke Bukit Garinda.

Saya akan cegah Nyai Lembah Asmara itu menggunakan

racun tersebut!"

"Jangan gegabah, Selendang Kubur. Nyai Lembah

Asmara bukan orang berilmu rendah. Tinggi ilmumu

hanya mencapai separo dari ilmunya. Kau tak mungkin

sanggup mengunggulinya. Aku sendiri merasa kalah

tinggi dengan ilmunya."

"Saya tidak peduli, Guru! Yang jelas, sekarang juga

saya mohon pamit untuk pergi ke Bukit Garinda!"

Selendang Kubur berkobar-kobar semangatnya. Mata

jelinya menjadi nanar penuh kilasan lidah api amarah

yang berkobar-kobar di dalam hatinya. Napasnya pun

kelihatan lebih memburu.

"Tahanlah amukan hatimu, Selendang Kubur. Jangan

mati konyol tanpa perhitungan sedikit pun!"

"Suto harus segera diselamatkan, Guru! Saya sudah

bisa bayangkan kalau Suto menanamkan benih pada

rahim Nyai Lembah Asmara, dan benih itu menjadi

keturunan sang Nyai Lembah Asmara, sudah pasti

keturunan itu akan menjadi manusia tanpa tanding,

Guru."

"Memang. Itulah sebabnya Lembah Asmara tidak

bisa punya keturunan, sebab satu kali dia punya

keturunan maka anaknya akan menjadi manusia tanpa

tanding. Padahal Nyai Lembah Asmara mempunyai

aliran hitam. Tidak menutup kemungkinan kalau

anaknya nantinya akan menjadi orang sesat yang tidak

bisa dikalahkan oleh pendekar mana pun!"

"Karena itu saya harus segera gagalkan rencana

tersebut, Guru!" sergah Selendang Kubur.

"Aku tak bisa memberi keputusan sekarang. Biarkan

aku duduk di sini merenungkan putusan yang lebih

baik."

Dalam hati Betari Ayu merasa khawatir terhadap jiwa

Selendang Kubur. Tinggal satu murid yang menjadi

benteng perguruannya. Jika Selendang Kubur tewas di

tangan Nyai Lembah Asmara, habis sudah benteng

Perguruan Merpati Wingit. Tetapi sang Guru juga

melihat nyala dendam dan bela pati dari sang murid. Jika

ia patahkan dengan larangan berangkat ke Bukit

Garinda, pupus sudah semangat sang murid, susut sudah

jiwa bela patinya, patah pula semangatnya.

"Haruskah kuturunkan ilmu yang ada dalam Kitab

Wedar Kesuma itu untuknya?" pikir Betari Ayu dalam

renungan panjangnya. Tapi, renungan itu terputus oleh

kehadiran murid lainnya yang memberanikan diri

menghadap dengan tergopoh-gopoh.

"Ada apa kau menghadapku dengan wajah pucat,

Prahasti?"

"Guru, pedang pusaka Jalaganda dicuri oleh

Selendang Kubur dan dibawanya lari, Guru!"

Tersentak jantung Betari Ayu mendengarnya, ia

gumamkan kata,

"Jalaganda dicuri? Selendang Kubur lari? Jelas,

arahnya pasti ke Bukit Garinda. Anak itu tak bisa

dikekang amarahnya. Berbahaya sekali. Tidakkah ia

sadari bahwa pedang Jalaganda adalah pusaka yang

hanya dipakai untuk pertarungan terakhir bagi orang

yang sudah bosan hidup? Memang orang yang

menggunakan Jalaganda bisa memperoleh kemenangan

walau melawan seribu lawan, tapi selesai itu orang yang

menggunakannya akan mati. Jalaganda akan pulang

sendiri ke tempatnya tanpa pembawanya!"

Cemas hati Betari Ayu bagai meruncingkan luka.

Jalaganda bukan pedang sembarang pedang. Jalaganda

merupakan pedang warisan eyang guru dari Betari Ayu

yang merupakan pedang kemenangan dan kekalahan.

Hanya tokoh-tokoh tua zaman dulu yang menggunakan

pedang Jalaganda untuk bertarung, karena usai itu ia

sudah siap mati tanpa meninggalkan dendam lagi.

Sedangkan Betari Ayu tidak ingin satu-satunya murid

andal yang tersisa itu mati bersama kemenangan

pertarungannya. Nyai Betari Ayu masih membutuhkan

Selendang Kubur untuk tetap menghidupkan

perguruannya itu.

"Aku harus segera menyusul Selendang Kubur. Aku

tidak izinkan dia menggunakan pedang Jalaganda, agar

ia tak ikut punah seperti yang lainnya. Dialah yang akan

kujadikan penerus ilmu-ilmu Merpati Wingit dan

mengembangkannya ke seluruh penjuru dunia," pikir

Betari Ayu sambil berkemas mengenakan jubah

kuningnya yang terbuat dari kain sutera lembut dan tipis.

Ikat kepala dari tali merah berbintik-bintik kuning

keemasan, dengan kedua ujung terdapat logam runcing

berbentuk mata tombak kecil, yang bisa pula digunakan

sebagai pengikat rambutnya yang panjang digelung rapi

di atas kepala, ia menarik napas beberapa kali. Terasa

enteng badannya. Terasa sembuh betul luka-lukanya

akibat minum tuak pemberian Pendekar Mabuk, sebelum

pemuda itu pergi bersama Perawan Sesat.

Kalau bukan karena pusaka Jalaganda, Nyai Guru

Betari Ayu tidak akan keluar dari padepokannya.

Jalaganda memang berbahaya. Selendang Kubur sendiri

sebenarnya mengetahui akibat penggunaan pedang

pusaka Jalaganda. Tetapi agaknya ia sudah siapkan diri

untuk mati demi harga diri perguruannya

Gerakannya begitu cepat ketika ia menuju ke arah

Bukit Garinda. Pedang Jalaganda disarungkan di

punggung, melintang dengan gagahnya. Dalam hati

Selendang Kubur terucap kata,

"Akan kutunjukkan pada Suto, bahwa aku rela mati

demi menyelamatkan dirinya dari Racun Darah Asmara.

Akan kubuktikan pula kepada Nyai Guru, bahwa aku

rela hancur demi nama baik dan kehormatan martabat

perguruan. Tetapi... apakah Suto mau tahu dan mau

percaya bahwa semua ini kulakukan demi cintaku

padanya? Sudah layakkah aku berkorban untuk dia?"

Tiba-tiba tanah lereng yang ada di depan Selendang

Kubur itu longsor. Batu-batu besar yang ada di lereng itu

menggelinding berjatuhan ke arahnya. Selendang Kubur

cepat jejakkan kaki dan melenting di udara, hindari

bebatuan besar yang bisa bikin tubuhnya gepeng mirip

tape.

"Tak mungkin batu itu runtuh menggelinding

sendiri," pikir Selendang Kubur setelah keadaan menjadi

tenang. "Tak mungkin tanah itu longsor sendiri tanpa

ada getaran bumi sedikit pun. Pasti ada orang yang

sengaja mencelakai diriku."

Mata jeli itu menjadi makin tajam, melirik ke sana-

sini dengan liar. Sementara tubuh Selendang Kubur

bersembunyi di celah batu yang ada di seberang lereng

yang tadi longsor tanahnya. Tetapi untuk beberapa kejap

hanya angin yang berhembus di sekelilingnya. Tak ada

gerakan yang mencurigakan, atau kelebatan yang

menarik perhatian.

Kejap berikutnya barulah Selendang Kubur

menangkap sosok bayangan lelaki berbaju merah dan

bercelana hitam. Serta-merta Selendang Kubur lancarkan

pukulan jarak jauh dari tempat persembunyiannya.

Lelaki pendek sedikit gemuk itu tersentak kaget

merasakan hawa panas sedang mengalir menuju ke

arahnya dari arah belakang. Cepat-cepat ia balikkan

tubuh dan menghadang pukulan hawa panas itu dengan

satu sentakan tangan kosong ke arah depan.

Rupanya ia sengaja adukan pukulan tenaga dalamnya

dengan hawa panas yang mau membokongnya itu.

Kedua pukulan tersebut beradu dan memancarkan

kerlapan cahaya pijar yang begitu menyilaukan mata.

Pecahnya cahaya itu tidak menimbulkan bunyi,

melainkan mengguncangkan pepohonan yang ada di

sekelilingnya.

"Siapa orang yang berani membokongku itu?!" pikir

lelaki bergelang akar bahar di tangan kirinya. Matanya

memandang tajam ke sekeliling, sampai akhirnya ia

temukan sosok perempuan muncul dari celah dua batu

besar. Lelaki yang sudah dikenal Selendang Kubur

sebagai pelayan si Gila Tuak, gurunya Suto, yang

berjuluk Pujangga Keramat itu, segera serukan kata

kemarahan,

"Selendang Kubur, kau serang mengapa aku dari

belakang?!"

Buat Selendang Kubur, dia sudah tidak asing lagi

mendengar ucapan aneh Pujangga Keramat. Sebab ia

tahu persis Pujangga Keramat adalah manusia yang tidak

pernah bisa menyusun kalimat. Dengan mudah

Selendang Kubur mengerti maksud kata-kata Pujangga

Keramat, ia dekati lelaki itu dengan tenang, tiada gentar

sedikit pun.

"Kau menyerangku lebih dulu, Pujangga Keramat."

"Bilang siapa?! Aku datang baru saja, kau serang aku

tahu-tahu dari belakang! Maksud apamu, hah?!"

Melihat kerut dahi dan kecemberutan wajah Pujangga

Keramat, Selendang Kubur temukan kejujuran kata

orang itu. Tapi dalam hati Selendang Kubur segera

tanyakan pada diri sendiri, "Lantas, siapa yang membuat

lereng itu longsor dan batu-batu menggelinding

menyerangku jika bukan Pujangga Keramat?!"

*

* *