Chereads / Pendekar Mabuk / Chapter 42 - 005.Pendekar Mabuk - Murka Sang Nyai Eps42

Chapter 42 - 005.Pendekar Mabuk - Murka Sang Nyai Eps42

Episode 42

ORANG-ORANG Bukit Garinda seperti hanyut

dalam mimpi semua saat melihat kedatangan Suto

Sinting. Tak ada mata yang berkedip ketika Pendekar

Mabuk melintas di depan mereka di bawah pengawalan

Maharani dan Putri Alam Baka.

Suto dibawa masuk ke sebuah ruangan lebar beratap

tinggi, mempunyai pilar-pilar kokoh dan lantai yang

mengkilap. Agaknya ruangan itu merupakan bangsal

pertemuan bagi mereka. Di sana hanya ada satu tempat

duduk yang menyerupai singgasana raja berwarna

kuning keemasan. Letaknya pada lantai yang bertangga

empat baris. Lebih tinggi dari lantai lainnya.

Tepat di belakang singgasana itu ada lorong bertirai

kain ungu. Dari lorong itu segera muncul seorang

perempuan bertubuh tinggi dan sekal. Wajahnya cantik

namun berkesan keras. Pakaiannya hijau pupus, atau

hijau muda dengan mengenakan pakaian model jubah

warna merah dadu. Rambutnya panjang diriap

mengenakan mahkota kecil berhias batu-batuan permata

putih, ia juga mengenakan kalung permata bersusun dua,

gelang gemerincing di tangan kanan-kiri dan anting

panjang berkilap sebagai pelengkap perhiasannya.

Ia mempunyai bentuk wajah lonjong; berhidung

mancung, bibirnya agak tebal dan lebar, ia mempunyai

mata lebar berbulu lentik. Tepian matanya berwarna

hitam, menampakkan kesan buas dan galak.

Orang itulah yang dihormati oleh mereka sebagai

Nyai Lembah Asmara. Ketika ia muncul dari lorong

bertirai ungu, semua yang ada di situ merendahkan

badan dengan satu kaki berlutut di lantai dan kepala

menunduk sekejap. Hanya Suto yang masih berdiri

sambil pandang kanan-kiri dengan heran dan kagum

melihat bangunan mewah itu. Ia bahkan tidak begitu

tertarik untuk memperhatikan Nyai Lembah Asmara

yang segera duduk di singgasananya.

"Putri Alam Baka!" Nyai Lembah Asmara mengawali

suaranya yang lantang. "Di mana Perawan Sesat yang

kau kawal itu?"

"Dia melakukan pembangkangan, Nyai!"

Wajah sang Nyai tampak makin mengeras menahan

amarah mendengar kabar tersebut, ia menggeram,

"Sudah kuduga sebelumnya!" Kemudian ia serukan kata

kepada Putri Alam Baka,

"Apa tindakanmu terhadap dia?!"

"Membunuhnya."

"Bagus! Ha ha ha...!" Nyai Lembah Asmara tertawa

lepas, berkesan kasar dan liar. Maharani dan Putri Alam

Baka saling pandang dalam senyum kebanggaan. Hanya

Suto yang tidak tertawa karena merasa heran saat

memandangi Nyai Lembah Asmara itu.

"Di mana orang yang bernama Dyah Sariningrum?"

pikir Pendekar Mabuk, "Sejak tadi tak kulihat wajah

Dyah Sariningrum. Apakah Perawan Sesat telah

menipuku?"

Terdengar suara Nyai Lembah Asmara serukan tanya

kepada Putri Alam Baka,

"Siapa pemuda yang kau bawa ini, Sumbi?!"

"Orang bawaan Perawan Sesat. Siapa lagi dia kalau

bukan Pendekar Mabuk, lelaki tanpa pusar yang Nyai

cari-cari itu."

"Ha ha ha ha...! Bagus, bagus, bagus...!" makin

meledak tawa Nyai Lembah Asmara, makin tampak

kegirangannya, makin terpana pula ia memandangi

Pendekar Mabuk. Kejap berikutnya ia melambaikan

jemarinya yang berkuku panjang dan runcing, ia

memanggil Suto agar mendekatinya.

"Datanglah kemari, Suto. Dekatlah padaku."

Suto diam dengan mata merah bagai orang

mengantuk karena mabuk. Mulutnya sedikit terbuka

berkesan bengong, seakan tidak mengerti apa maksud

kata-kata Nyai Lembah Asmara.

"Dekatlah padaku, Suto!" suara Nyai agak meninggi,

ini menandakan ia mulai tak sabar lagi.

Putri Alam Baka segera bangkit dan mendekati Suto,

lalu ia bisikkan kata ke telinga Suto.

"Kau dipanggil. Dekatlah sana!"

"Siapa?"

"Kau...!"

"Ah, aku tak pernah butuhkan dia," kata Pendekar

Mabuk bersuara sumbang. "Kalau dia butuh aku, biarlah

dia yang mendekatiku."

"Jangan bikin dia marah, Suto! Cepatlah

mendekatinya."

"Tak mau! Aku tak butuh dia!" Suto Sinting

bersungut-sungut dan buang muka. Sikap Suto

mencemaskan hati Maharani, Putri Alam Baka, dan

orang-orang yang ada di situ. Selama ini tak ada orang

yang berani menolak panggilan Nyai Lembah Asmara.

Penolakan itu bisa membuat Nyai menjadi murka.

Tapi agaknya Nyai Lembah Asmara tidak bersikap

seperti biasanya, ia justru tertawa semakin kegirangan

melihat Suto menolak panggilannya, ia berseru kepada

anak buahnya,

"Lihat! Lihatlah dia! Penolakannya itu menandakan

bahwa ia tidak mudah tertarik dengan seorang

perempuan. Itu pertanda dia punya harga diri yang cukup

tinggi dan sudah sepantasnya aku mendapatkan pria

yang punya harga diri tinggi. Penolakannya itu

menandakan pula bahwa dia... masih perjaka! Ha ha

ha...!"

Yang lain ikut tertawa bagai mendukung

kegembiraan Nyai Lembah Asmara. Tapi Suto tetap

tidak mau ikut tertawa, ia bahkan menatap tiap wajah

yang ada di situ, mencari seraut wajah yang pernah ia

temui di alam semadinya, juga yang sering hadir di alam

mimpinya. Wajah itu adalah wajah Dyah Sariningrum.

Nyai Lembah Asmara bangkit dan langkahkan kaki

menuruni tangga dengan pelan-pelan. Sisa tawanya

masih sesekali terdengar bagaikan gumam, ia mendekati

Suto dengan tatapan mata yang tajam berseri-seri. Orang

yang ada di dekat Suto segera menyingkir jauh, memberi

jalan untuk sang Nyai Lembah Asmara.

"Perkasa sekali...," ucap sang Nyai Lembah Asmara

dengan suara mirip orang mendesah kagum. "Tampan,

gagah, dan sungguh menggairahkan...!"

Nyai Lembah Asmara mengelilingi Suto Sinting

dengan sorot pandangan mata tak berkedip. Suto hanya

diam dengan sedikit mulut terbuka melongo, sambil

matanya ikut memandangi Nyai Lembah Asmara dengan

perasaan heran.

"Lihat ototnya," kata Nyai kepada Maharani,

"Ototnya tampak keras, besar, tapi halus lembut. Laki-

laki gagah perkasa seperti inilah yang akan memberiku

keturunan seorang penerus kesaktianku. Dia yang akan

merajai seluruh kekuatan di rimba persilatan. Dia tak

akan ada tandingnya! Dan anakku nanti jika perempuan

tentu akan secantik ibunya, jika lelaki tentu akan

setampan ayahnya."

Wajah mereka berseri-seri, seakan ikut menyambut

rencana kehadiran sang bayi dengan gembira. Nyai

Lembah Asmara semakin bangga melihat wajah-wajah

anak buahnya berseri gembira, dia semakin yakin bahwa

sebentar lagi dia akan mempunyai keturunan dari

seorang pendekar tampan yang bertubuh kekar perkasa

itu.

"Kalian tahu!" serunya lagi, "Pendekar Mabuk inilah

satu-satunya lelaki yang bisa memberiku keturunan,

sebab ia lelaki tanpa pusar. Kalian tahu kehebatan lelaki

tanpa pusar? Oh, dia adalah orang yang punya napas

panjang, tidak cepat lelah, punya ketangguhan dalam

bercinta dan punya kesanggupan memberikan

kehangatan."

"Woww...!" mereka menyahut serempak penuh

ungkapan rasa kagum.

"Tapi sayang, hanya aku yang bisa menikmati dia!

Karena dia laki-laki istimewa yang tak bisa kubagikan

kepada Putri Alam Baka, atau kepada Maharani, atau

kepada kalian semua!"

Suto tak peduli celoteh itu. Dengan tenangnya ia buka

tutup bumbung tuak, dan ia tenggak beberapa teguk

dengan rasa lega. Mata mereka memandang tanpa kedip.

Sebagian perempuan yang ada di situ saling berdebar-

debar gemas ketika melihat Pendekar Mabuk dongakkan

kepala untuk menenggak tuak dalam bumbung.

Pendekar Mabuk yang tampak bidang dadanya,

kelihatan lebih perkasa dan menggairahkan.

Nyai Lembah Asmara tersenyum-senyum dan berkata

kepada Maharani,

"Aku sudah tak tahan lagi. Bawa dia ke kamarku,

Maharani! Tapi awas, jangan sampai kau menyentuhnya

lagi. Dia sudah menjadi kekuasaanku, dari ujung rambut

sampai ujung kakinya!"

"Baik, Nyai!" Maharani berikan hormat pertanda

patuh dan taat. Lalu ia bicara kepada Suto,

"Mari kuantar ke kamar, Suto!"

"Ke mana...?!" mata Suto makin sayu.

"Ke kamar peraduan," jawab Maharani. "Nyai sudah

tak bisa bersabar lagi. Kau harus segera masuk ke kamar

peraduan bersama beliau!"

"Aku kemari bukan mencari kamar," kata Suto

Sinting. "Aku mencari kekasihku yang selalu hadir

dalam mimpiku!"

Nyai Lembah Asmara menyahut, "Akulah

kekasihmu, Suto!"

"Bukan! Kau bukan kekasihku. Wajahnya tidak

seperti kamu! Dia lebih cantik dan lebih anggun

dibandingkan dirimu, Nyai!"

Maharani mundur dari Suto ketika dilihatnya wajah

Nyai Lembah Asmara menegang. Mata Nyai Lembah

Asmara mulai memancarkan murka yang tertahan. Nyai

Lembah Asmara mendekati Suto, sementara Suto masih

berdiri dengan tubuh goyang karena mabuk. Agaknya

Nyai berusaha menahan murkanya dengan napas ditarik

dalam-dalam dan diendapkan di dalam dada. Saat itu,

Suto Sinting berkata sumbang,

"Aku kecewa datang ke sini! Perawan Sesat

mendustaiku. Aku kecewa ketemu kamu, Nyai!"

"Kekecewaanmu akan sirna setelah kita berada di

dalam kamar!" kata Nyai Lembah Asmara geram.

Pendekar Mabuk gelengkan kepala sambil bersungut-

sungut. "Kurasa sama saja. Di dalam kamar dan di luar

kamar, sama saja kau bikin aku kecewa, karena kau

bukan orang yang ada dalam mimpiku!"

"Aku bisa hadir kapan saja kau ingin kehadiranku,

Suto!"

Suto kembali gelengkan kepala. "Aku mau pulang

saja," katanya seenaknya, ia melangkah dengan limbung.

Nyai Lembah Asmara segera mencekal lengan Suto.

Ditariknya tubuh itu, didekatkan wajahnya, ditatapnya

lekat-lekat, lalu dengan nada geram ia berkata,

"Kekasihmu ada di dalam kamar, Suto!"

"Benarkah begitu?" Pendekar Mabuk tampak tertarik.

Nyai Lembah Asmara memanfaatkan itu dengan berkata,

"Dia sudah menunggumu lama di sana."

"Kalau begitu, antarkan aku ke kamar!"

Nyai Lembah Asmara tersenyum lebar. Maka ia pun

segera menggandeng Suto dan melangkahkan kaki

menuju lantai yang tinggi, melewati singgasana,

menerobos tirai ungu, dan hilang ke dalam lorong

tersebut.

Orang-orang yang ada di luar, di sekeliling Maharani

dan Putri Alam Baka, mulai bergaung seperti lebah.

Mereka saling memuji ketampanan Pendekar Mabuk,

mereka saling menyanjung daya pikat Suto yang

membakar gairah mereka. Bahkan di salah satu sudut

ada perempuan yang berusaha memuaskan khayalan

indahnya bersama Suto.

Kamar peraduan Nyai Lembah Asmara sangat indah,

luas, dan bersih. Baunya wangi cendana. Di sana ada

pembaringan yang berlapis sutera merah jambu, empuk,

dan lebar. Lantainya berlapiskan permadani tebal warna

hijau muda. Ruangan itu diterangi oleh cahaya api dari

tungku berbatu bara yang ada di sisi kanan-kiri ruangan.

Sungguh romantis sebenarnya suasana di peraduan itu,

sayangnya Suto tidak tergugah kemesraannya, ia bahkan

masih bingung mencari kekasihnya di dalam kamar

tersebut.

"Mana kekasihku? Tak kulihat ada di kamar ini!"

katanya seperti bicara sendiri, tapi didengar oleh Nyai

Lembah Asmara.

"Akulah kekasihmu, Suto," kata Nyai Lembah

Asmara sambil melepas mahkota dan melepas pula

jubah merah jambunya.

Suto bersungut-sungut memandangnya, lalu berkata,

"Bukan kamu! Sudah kubilang wajahnya lebih cantik

dan lebih menggairahkan dari dirimu, Nyai!"

"Jangan bicara begitu, Suto. Itu sama saja kau

membangkitkan amarahku!"

"Aku tidak peduli! Memang menurut penilaianku dia

lebih cantik dari dirimu, Nyai! Aku tak mau bohongi

diriku sendiri."

"Jangan banyak bicara, Suto! Sebaiknya lekas lepasi

pakaianmu. Aku sudah tak sanggup menahan gejolak

hasratku untuk mencumbumu!" sambil Nyai Lembah

Asmara mendekat, ia meraih pundak Pendekar Mabuk,

menatap dengan mata berbinar-binar penuh gairah.

Suto Sinting mengelak dan melangkah ke perapian.

"Kau bohong padaku, Nyai. Kau sama dustanya dengan

Perawan Sesat.

Napas panjang ditarik oleh Nyai Lembah Asmara

untuk meredam kemarahannya. Selama ini belum pernah

ada lelaki yang menolak ajakan mesra Nyai. Belum

pernah ada lelaki yang menjauhi saat Nyai Lembah

Asmara mendekatinya. Tapi kali ini Suto ternyata berani

melakukan hal itu. Nyai merasa terhina, tapi ia tetap

meredam amarahnya, karena ia berpikir,

"Mungkin ciri-ciri lelaki tanpa pusar memang begini.

Harus ditundukkan dulu sebelum ia memberiku

keindahan yang kudamba!"

Pendekar Mabuk meneguk tuaknya lagi. Sisa air tuak

di bibir disapu dengan tangan kirinya. Bumbung itu

dipegang dengan tangan kiri. Kemudian

dilangkahkannya kaki mendekati pintu.

"Aku mau pulang!" ucapnya kemudian.

Nyai Lembah Asmara segera melompat ke depan

Suto. Melihat Nyai menghadang langkahnya, Suto

berkata dengan tubuh limbung.

"Minggirlah, Nyai. Aku mau keluar dari kamar ini."

"Berbaringlah di ranjangku, Suto. Kau akan

kuterbangkan tinggi-tinggi mencapai awan-awan indah.

Kita akan berlayar mengarungi lautan cinta yang penuh

dengan kenikmatan dan kemesraan, Suto!"

"Aku tidak bersedia, Nyai!"

"Jangan bantah perintahku, Suto!" Nyai Lembah

Asmara menyentak agak pelan.

"Aku tak mau tunduk dengan perintah siapa pun,

kecuali perintah dari guruku dan kekasihku!"

"Kau memancing kemarahanku, Suto. Kau akan

menerima akibatnya!"

"Aku tak menghendaki keributan di antara kita. Tapi

kalau kau mau lampiaskan marah padaku, silakan saja,

Nyai! Aku juga bisa lampiaskan kekecewaanku atas

kebohonganmu itu!"

Mata Nyai Lembah Asmara mulai menyipit tanda

menahan kemarahan yang dalam. Tangannya

menggenggam kuat, napasnya mulai tak teratur. Suto

masih memandang dengan mata sayu tanpa senyum.

Sesekali tubuhnya tersentak karena cegukan.

Tiba-tiba kaki kanan Nyai Lembah Asmara bergerak

menyentak ke depan, menendang dada Suto. Beegh...!

Dada Suto terkena tendangan itu dengan telak. Pendekar

Mabuk tersentak ke belakang, mundur tiga tindak. Tapi

ia justru tersenyum dalam keadaan masih tetap berdiri

walau tubuhnya limbung.

"Tak seberapa berat tendanganmu, Nyai. Adakah

yang lebih berat lagi dari yang tadi?" kata Suto Sinting

sambil menyunggingkan senyum.

"Aku tak ingin mencelakai dirimu, Suto!"

"Kenapa? Bukankah kau marah padaku?"

"Memang kau adalah lelaki yang menjengkelkan.

Seharusnya kau menerima hukuman dariku. Tapi kau

adalah pembenihku. Aku tak akan hancurkan

pembenihku sendiri."

"Pembenih? Apa itu pembenih?" Pendekar Mabuk

kerutkan dahi.

"Aku harus dapatkan benih kesuburan darimu, supaya

aku bisa mengandung dan melahirkan keturunanku."

"Mengapa aku yang kau pilih?"

"Jika bukan kamu, tak akan bisa aku mengandung

bayi. Kau adalah lelaki tanpa pusar. Menurut guruku,

aku hanya bisa mengandung dari benih lelaki tanpa

pusar. Kaulah orangnya, Suto."

"Jadi aku dibawa ke sini hanya untuk menjadi

pembenih? Hanya untuk memberimu keturunan?"

"Ya!" jawab Nyai Lembah Asmara tegas. "Di

samping itu... hatiku sesungguhnya telah terpikat

padamu begitu kutatap dirimu dari singgasana tadi."

Pendekar Mabuk tertawa terkekeh dengan suara

sumbang karena mabuknya itu.

"He he he... cepat sekali kau terpikat pada seorang

pria, Nyai. Alangkah murahannya hatimu itu!"

"Baru sekarang kualami perasaan itu, Suto! Kepada

lelaki lain aku hanya terpikat karena birahi semata.

Kepadamu, bukan hanya karena birahi yang ingin

dipenuhi, tapi karena hati yang selama ini kosong dan

ingin dipenuhi cinta seorang lelaki sepertimu!"

"He he he he...! Rayuanmu merontokkan gunung

batu, Nyai. Tapi tak akan bisa melelehkan hatiku.

Sebaiknya, lupakan saja tentang pembenih. Carilah

lelaki lain yang tanpa pusar! Aku tidak mau

melayanimu, Nyai. Aku harus segera pergi dari sini!"

"Suto...!" sentak Nyai Lembah Asmara mulai

tampakkan ketidaksabarannya. "Kau tak punya pilihan

lain. Kau harus mau memberiku benih dan melayani

asmaraku, Suto! Kalau sekali lagi kau menolaknya, kau

akan menyesal!"

"Aku pilih menyesal," kata Pendekar Mabuk semakin

nekat bicara. Kata-kata itu membuat Nyai Lembah

Asmara semakin geram, penuh dengan kejengkelan hati.

Crrap...! Tiba-tiba dari mata lebar Nyai Lembah

Asmara memancarkan sinar ungu dalam sekejap. Sinar

itu menembus masuk ke bola mata Suto yang mengantuk

itu. Suto merasa silau sejenak dan kibaskan tangannya,

tapi sinar ungu itu sudah telanjur masuk ke dalam kedua

bola matanya. Sinar ungu itulah yang dikhawatirkan

Betari Ayu sebagai sinar 'Racun Darah Asmara'.

Tubuh Pendekar Mabuk tiba-tiba merasa panas.

Keringat pun mulai bermunculan dari tiap pori-pori

tubuhnya. Jantungnya berdetak cepat, hatinya berdesir-

desir. Dalam hati Suto Sinting bertanya pada diri sendiri,

"Kenapa aku ini? Mengapa aku jadi berdebar-debar

dan darahku seperti sedang mengalir dengan cepatnya.

Oh, begitu indahnya wajah di depanku itu. Alangkah

menggairahkannya perempuan ini. Aku-aku terpikat

olehnya. Oh, aku jadi ingin memeluknya. Aneh sekali.

Ini pasti gairah yang hadir di luar kemauan hati kecilku.

Oh, aku telah terkena kekuatan hitam yang membuat

gairahku meledak-ledak. Aku harus melawan! Harus

melawan."

Tapi ketika Pendekar Mabuk didekati Nyai Lembah

Asmara, ia tidak mengelak dan diam saja menerima

sentuhan jemari Nyai Lembah Asmara di bagian

dadanya. Bahkan ketika Nyai Lembah Asmara sedikit

tengadah kepala dengan bibir merekah, Suto

memandangnya makin penuh gairah.

"Ciumlah aku...," perintah Nyai Lembah Asmara

bernada bisik.

Suto pun mencium bibir itu. Mengecup dan

melumatnya yang segera mendapat perlawanan tak kalah

panas dari Nyai Lembah Asmara sendiri. Hanya saja di

dalam hati Suto, terlintas pertanyaan-pertanyaan yang

menggundahkan hatinya.

"Mengapa aku mau? Mengapa aku menurut?

Mengapa bibir ini kupagut? Apakah aku harus pasrah

dan membiarkan hasratku dipenuhi oleh kehangatan

tubuhnya? Ah..., mengapa jiwaku jadi bimbang begini?!"

Pendekar Mabuk menurut ketika tubuhnya di dorong

ke belakang dan jatuh terbaring di ranjang empuk itu.

Blukkk...! Nyai Lembah Asmara menerkamnya.

*

* *