Chereads / Pendekar Mabuk / Chapter 43 - 005.Pendekar Mabuk - Murka Sang Nyai Eps43

Chapter 43 - 005.Pendekar Mabuk - Murka Sang Nyai Eps43

Episode 43

CINTA mengamuk di hati dan jiwa Nyai Lembah

Asmara. Amukan cinta itu begitu gemuruhnya, hingga

menutup kedua gendang telinga Nyai Lembah Asmara

dari seruan dan pekikan di luar kamar. Apalagi saat itu

Pendekar Mabuk pun tampak ingin meronta dan

melawan kekuatan racun Darah Asmara dengan

kekuatan batinnya.

Suara-suara pekik, jerit, dan seruan keras itu datang

dari orang-orang yang sedang menghadapi tiga sosok

manusia nekat, yaitu Pujangga Keramat, Selendang

Kubur, dan Peri Malam. Mereka mengamuk di pintu

gerbang, lalu menerobos masuk membantai orang-orang

yang menghalangi langkah mereka.

Jarum beracun milik Peri Malam mulai beraksi

kembali. Bambu kecil berukuran yang sejengkal yang

selalu diselipkan di belahan dadanya itu meluncurkan

jarum beracun saat bambu itu ditiup oleh Peri Malam.

Banyak leher yang jadi sasaran jarum beracun itu dan

membuat korbannya membusuk lalu mati.

Selendang putih milik murid Nyai Betari Ayu itu pun

melecut ke sana-sini. Selendang Kubur mengamuk

bersama selendang pusakanya yang mampu

mengeluarkan percikan api petir dan menyambar kepala-

kepala anak buah Nyai Lembah Asmara, ia sengaja

belum mau menggunakan pedang Jalaganda-nya, karena

pedang itu dipersiapkan untuk melawan Nyai Lembah

Asmara yang kesohor keji dengan tingginya ilmu yang

dimiliki.

Pujangga Keramat pun tak mau hanya sebagai

penonton, ia sebagai pelayan dari si Gila Tuak, gurunya

Suto Sinting, merasa lebih bertanggung jawab terhadap

keselamatan Suto. Karena itu, ia menerobos masuk ke

bangsal pertemuan mencari Suto di sana.

"Cari Suto di dalam, biar aku dan Peri Malam yang

menghadapi tikus-tikus ini, Paman!" seru Selendang

Kubur sebelum Pujangga Keramat menerobos masuk ke

bangsal pertemuan.

Sampai di sana ia berseru, "Sutooo...! Di mana ada

kau, Suto!"

Tiba-tiba dari arah samping melesatlah gelombang

panas yang menuju ke arah Pujangga Keramat. Wuuss...!

Pukulan jarak jauh disentakkan dari kipas Maharani.

Merasakan adanya gelombang hawa panas yang ingin

menghantamnya, Pujangga Keramat segera sentakkan

kaki dan lompat tinggi dengan bersalto di udara satu

kali. Tapi tangannya pun bergerak menyentak ke arah

samping memberi pukulan jarak jauh sebagai balasan

Wuugh...! Pukulan ini lebih besar dari milik

Maharani. Tapi Maharani sangat waspada dan sudah

menduga hal itu akan terjadi. Maka sebelum pukulan itu

itu melesat lebih jauh, Maharani sentakkan kakinya ke

lantai dan tubuhnya melenting di udara.

Hiaaat...!"

Dueerrr...! Brusss..!

Tenaga dalam Maharani menghantam pilar, tenaga

dalam Pujangga Keramat menghantam dinding. Pilar

menjadi gompal, dinding menjadi retak. Tapi keduanya

tak pernah peduli. Keduanya sudah saling berhadapan

dan siap menyerang sewaktu-waktu.

"Suto mana?!" sentak Pujangga Keramat.

"Kau langkahi bangkaiku baru kau bisa melihat di

mana Suto!' kata Maharani sambil tetap membuka

kipasnya di dada. Kedua kakinya merenggang rendah,

satu tangannya naik di atas kepala.

Pujangga Keramat menggeram. "Mati kau jangan aku

salahkan."

Setelah berkata demikian, Pujangga Keramat

melejitkan tubuh ke depan dengan tangan siap

dihantamkan. Maharani pun segera sentakkan kaki dan

tubuhnya melayang naik, melesat cepat dengan kipas

terbuka di depan. Saat Pujangga Keramat hantamkan

kedua tangannya Maharani menahan pukulan itu dengan

kipasnya.

Braagh.. !

Wuusssh...!

Tubuh mereka sama-sama terpental ke belakang,

sama-sama jatuh ke lantai, hampir membentur pilar. Tapi

keduanya sama-sama jatuh dalam posisi berdiri

merendah.

"Haaaghh...! Pujangga Keramat hembuskan napas

berat untuk mengumpulkan tenaganya kembali.

Sama juga yang dilakukan oleh Maharani, hanya saja

hembusan napas berat Maharani tak menimbulkan

bunyi.

"Besar juga tenaga dalamnya," pikir Maharani. "Siapa

orang ini? Aku tak pernah melihatnya! Tapi agaknya ia

punya urusan penting dengan Pendekar Mabuk.

Mungkin juga ada hubungan lain dengan Suto. Aku tak

boleh gegabah melawannya."

Pujangga Keramat menggerak-gerakkan tangan di

depan wajah sampai kesepuluh jarinya menjadi keras

sekali. Ketika tangan kanannya ditarik sampai di telinga,

tangan kirinya tetap sedikit terlipat di depan dada, ia

berhenti dari segala gerakannya. Matanya memancarkan

penglihatan yang tajam dan bernafsu untuk membunuh.

"Suto katakan di mana?!" bentaknya.

"Sudah kubilang, Suto ada di balik bangkaiku!"

"Hiaaat...!" Pujangga Keramat bagaikan terbang

menuju lawannya. Maharani pun cepat jejakkan kaki lagi dan melesat terbang menyambut kehadiran jurus

lawannya.

Tapi tiba-tiba sebelum mereka saling bertemu,

seberkas sinar putih keperakan melesat cepat

menghantam tubuh Pujangga Keramat.

Craas...!

"Haagh...!" Pujangga Keramat lebarkan mata. Sinar

putih itu bagai mata pedang yang amat tajam. Merobek

perutnya dari pinggang kanan sampai ke pinggang kiri.

Tak disangkal lagi, tubuh itu pun jatuh tanpa daya.

Darah memercik ke mana-mana. Pujangga Keramat

masih sempat erangkan suara dan berusaha bangkit.

Namun baru satu kaki yang bisa menapak, ia sudah

rubuh lagi tak berkutik selamanya.

Maharani cepat gerakkan kepalanya berpaling ke

samping. Di sana ada wajah Putri Alam Baka yang

sedang berdiri dingin dan tajam tatap matanya. Putri

Alam Baka serukan kata,

"Terlalu lamban kau, Maharani! Dalam satu jurus

orang itu sebenarnya harus sudah bisa kau robohkan!"

"Dia terlalu kuat untukku!"

"Omong kosong! Kau hanya coba-coba tadi. Terlalu

lama untuk membunuh orang macam dia!"

"Baiklah! Aku memang terlalu lamban untuk kali

ini!"

Putri Alam Baka bergegas langkahkan kaki menuju

luar sambil ia berkata,

"Hancurkan dua kunyuk tak tahu sopan itu! Salah

satunya kukenal dia sebagai Sundari! Bekas orang kita

yang lari menjadi murid si Mawar Hitam!"

"Tapi kita tidak punya urusan dengan penguasa Pulau

Hantu itu!" kata Maharani sambil ikuti langkah Putri

Alam Baka dan lompati mayat Pujangga Keramat.

"Tak peduli apa urusan mereka mengamuk di sini,

tugas kita adalah hancurkan mereka jika perlu tanpa sisa

sedikit pun!"

Selendang Kubur sedang terpojok di salah satu

bangunan seperti barak, ia menghadapi tiga lawannya

yang bersenjata tombak semua. Selendangnya berkelebat

cepat bagaikan kilat, menyambar ke sana-sini, dan

akhirnya tiga lawannya itu pun tumbang tak berkutik

lagi.

Baru saja ia hendak lentingkan tubuh menuju ke arah

Peri Malam yang dikeroyok oleh lima lawan itu, tiba-

tiba sesosok tubuh meluncur turun dari atap barak.

Jleeg...! Orang itu berdiri di depan Selendang Kubur

dengan mata memandang tajam.

"Nyai...?!" sentak Selendang Kubur. Ia terkejut sekali

memandang orang yang muncul di depan itu. Sekejap ia

tak bisa bicara. Orang yang ada di depannya itu cepat

ulurkan tangan dan berkata, "Serahkan pedang itu!"

"Tidak bisa, Nyai. Saya sudah siap mati demi

Pendekar Mabuk!"

"Jangan bodoh, Selendang Kubur! Serahkan pedang

itu padaku!"

Selendang Kubur sempat sangsi dan ragu-ragu. Kalau

saja yang meminta orang lain, sudah pasti ia tak ragu-

ragu untuk mempertahankan. Tapi kali ini yang

memintanya adalah gurunya sendiri, Nyai Betari Ayu.

Selendang Kubur punya rasa takut untuk

mempertahankan pedang Jalaganda itu, ia memang tidak

pernah menduga Nyai Betari Ayu mau turun tangan

untuk urusan di Bukit Garinda itu.

''Nyai, saya...."

"Serahkan pedang itu, dan aku yang akan menghadapi

Nyai Lembah Asmara!" kata Betari Ayu tanpa senyum

dan keramahan seperti biasanya. Selendang Kubur

melihat kemarahan mulai merona di wajah Nyai Guru

Betari Ayu. Selendang Kubur melihat kesungguhan

sikap gurunya yang ingin melawan Nyai Lembah

Asmara itu. Karenanya, Selendang Kubur pun segera

menyerahkan pedang Jalaganda itu kepada Nyai Guru

Betari Ayu.

"Kalau Nyai gunakan pedang itu, berarti Nyai akan

mati di ujung kemenangan," Selendang Kubur

memberanikan diri ingatkan gurunya tentang pusaka

keramat pedang Jalaganda.

Nyai Guru Betari Ayu berkata, "Tidak akan

kugunakan pedang ini!"

"Tapi... tapi Nyai Guru akan kalah menghadap Nyai

Lembah Asmara jika tanpa menggunakan pedang pusaka

itu, Nyai!"

Seorang penyerang bersenjata kapak melesat terbang,

sasarannya adalah punggung Betari Ayu, Selendang

Kubur tersentak kaget melihat serangan mendadak yang

mengancam gurunya itu. Tapi, belum sampai Selendang

Kubur lepaskan pukulan jarak jauhnya, tubuh Nyai Guru

Betari Ayu sudah lebih dulu berkelebat memutar, tangan

kanannya terangkat tegak di depan mata dengan kelima

jari tangan merapat. Lalu, melesatlah sinar putih

menyilaukan sebesar lidi.

Zuiitt...!

Crrasss...!

Cras, craasss...!

Sinar putih menyilaukan itu menembus tubuh lawan

yang memegang kapak. Orang tersebut jatuh ke tanah,

bagian ulu hatinya berlubang sebesar bumbung tuak

milik Pendekar Mabuk. Orang itu tak bergerak ataupun

bersuara sedikit pun. Matanya tetap mendelik namun

nyawanya telah melesat pergi tinggalkan raga.

Selendang Kubur masih terkesima melihat kekuatan

dahsyat yang dimiliki gurunya. Lebih terbengong lagi

ketika Selendang Kubur mengetahui, dua orang yang ada

di belakang korban pertama itu juga terkena tembusan

sinar putih menyilaukan. Kedua orang yang sedang

melawan Peri Malam itu tumbang tak berkutik dengan

luka bolong seperti luka orang bersenjata kapak tadi.

Rupanya sinar menyilaukan itu bisa menembus dua-tiga

tubuh lawan sekaligus. Dan hal itu belum pernah

disaksikan oleh Selendang Kubur selama ia menjadi

murid Nyai Betari Ayu.

"Tak kusangka Guru mempunyai simpanan ilmu

sedahsyat itu!" katanya di dalam hati.

Sinar putih menyilaukan itu keluar cepat bagaikan

kilat dari sebuah cincin di jari tengah tangan kanan

Betari Ayu. Cincin itulah yang dinamakan Pusaka Manik

Intan. Melihat keindahan cincin berwarna putih berlian

itu, Selendang Kubur ajukan tanya,

"Mengapa baru sekarang Guru gunakan cincin itu?"

"Karena baru kudapatkan dari Telaga Manik Intan."

"Hah....?!" Selendang Kubur terperanjat. "Jadi...

itukah yang dinamakan Cincin Manik Intan?"

"Betul, Selendang Kubur. Nah, sekarang hadapilah

mereka, aku akan menerobos masuk ke kamar Nyai

Lembah Asmara!"

"Baik, Guru...!"

Seperti kilat tubuh Betari Ayu melesat. Selendang

Kubur masih terkesima dengan cincin pusaka yang

ternyata ada di tangan gurunya.

"Pantas Nyai Guru tidak mau menggunakan pedang

itu tapi berani menghadapi Nyai Lembah Asmara,

rupanya dia sudah punya pusaka lain yang bisa

diandalkan untuk mengalahkan lawannya! Heran sekali

aku, mengapa cincin itu bisa ada di tangan Guru?

Padahal tokoh persilatan sedang memperebutkan cincin

yang seharusnya menjadi milik Suto Sinting itu?!"

Selendang Kubur tak tahu, gurunya telah menyelam

ke dalam Telaga Manik Intan saat Datuk Marah Gadai

mengejar Dirgo Mukti. Sampai cincin itu ditemukan

oleh Betari Ayu, kedua orang itu masih sibuk saling

kejar dan saling adu kekuatan. Betari Ayu cepat

tinggalkan Telaga Manik Intan tanpa diketahui oleh

Datuk Marah Gadai maupun Manusia Sontoloyo, Dirgo

Mukti itu.

Nyai Betari Ayu merasa memperoleh kekuatan yang

tak lagi menyangsikan hatinya. Cincin Manik Intan

disematkan di jari tengah kanan. Dengan bersenjatakan

cincin dahsyat itu, ia yakin bisa kalahkan Nyai Lembah

Asmara tanpa harus menggunakan pedang Jalaganda.

Tetapi di ujung tangga menuju bangsal pertemuan,

dua sosok perempuan berwajah garang menghadangnya.

Mereka adalah Maharani dan Putri Alam Baka. Langkah

Betari Ayu pun terhenti karenanya.

"O, rupanya kau yang menjadi biang keributan ini,

Betari Ayu?!"

"Maharani dan Putri Alam Baka!" sahut Betari Ayu

yang sudah mengenal mereka sejak dulu. "Barangkali

dugaan kalian benar, akulah biang keributan ini. Tapi

jika Perawan Sesat, orangmu itu, tidak lebih dulu

melakukan pembantaian perguruanku, aku tidak akan

datang kemari menuntut balas!"

"Kau menuntut balas atau menuntut kembalinya

Suto?' Maharani sunggingkan senyum sinis menyindir.

"Mana yang terbaik, itu yang kuambil!" jawab Betari

Ayu dengan sikap kalem, ia harus bisa menahan luapan

amarahnya agar Cincin Manik Intan tidak

menyemburkan kekuatannya ke sembarang arah. Ia pun

menahan tenaga dalamnya agar tidak mudah terlepas

sebelum cincin itu diarahkan pada sasarannya.

Nyai Betari Ayu tenangkan diri dan tetap bisu

sebelum kedua lawannya bergerak. Mata Betari Ayu tak

pernah lepas dari gerak kewaspadaan. Karenanya, ketika

Maharani tebarkan kipasnya dalam gerakan kecil, Betari

Ayu cepat hadangkan tangan kiri ke depan untuk mena

han pukulan jarak jauh yang dilepas kan secara diam-

diam itu.

Deeb...!

Pukulan itu bisa tertahan. Maharani mundur setindak

karena tersentak. Tapi dari cincin di tangan kirinya

melesat sinar menyilaukan ke arah samping secara tak

sengaja. Sinar itu mengenai seorang lawan yang sedang

berhadapan dengan Selendang Kubur.

Melihatan kilatan sinar menyilaukan dari cincin itu,

maka Maharani dan Putri Alam Baka terbelalak seketika.

Karena mereka melihat ada satu orang lagi yang rubuh

dalam keadaan tubuh bolong karena terkena tembusan

sinar putih menyilaukan itu. Orang yang rubuh dan

menjadi korban kedua adalah orang yang sedang

berhadapan dengan Peri Malam.

Cepat-cepat Putri Alam Baka menutupi

kekagumannya dengan sunggingkan senyum sinis di

bibir, ia berkata kepada Betari Ayu,

"Kau pamer ilmu, Betari Ayu? Kau pikir kami takut

dan menjadi gentar melihat pusaka pada cincinmu itu?

Hmm...! Itu satu permainan anak kecil saja!"

"Alangkah memalukan sekali jika murid Nyai

Lembah Asmara akan mati karena permainan anak

kecil!" kata Betari Ayu.

"Mulut congkak! Kau pikir kau mampu menghadapi

kami berdua?!" sentak Maharani.

"Barangkali perlu ditambah gurumu sekalian suruh

menghadapiku! Tak akan mundur setindak pun aku

menghadapi kalian bertiga, yang sepatutnya telah kuusir

dari tanahku ini!"

"Jahanam...!" geram Maharani. Lalu ia sentakkan

kipasnya dalam keadaan tertutup. Dari ujung kipas itu

keluar sinar merah berkilap melesat ke arah tubuh Nyai

Betari Ayu.

Betari Ayu cepat sentakkan telapak tangan kirinya ke

depan. Cahaya pendar keluar dari telapak tangan itu.

Bersifat menahan cahaya merah dari kipas Maharani.

Tapi ternyata justru cahaya merah itu berbalik arah

setelah membentur cahaya pendar di telapak tangan

Betari Ayu. Wuuugh...!

"Heegh...!" Maharani buka mulut dengan napas

tersentak tertahan. Pukulan dari kipasnya membalik dan

mengenai dirinya, ia jatuh terjengkang ke belakang

dengan sukar bernapas.

Melihat temannya jatuh oleh pukulan tangan kiri

Betari Ayu, Putri Alam Baka segera cabut serulingnya

dari pinggang sambil menggeram.

"Rupanya kau memang cari mampus, Betari Ayu!

Hiaaat...!"

Putri Alam Baka lompatkan diri sambil tebaskan

serulingnya dari atas ke bawah, berhenti ke arah dada

Betari Ayu. Tapi dengan lincah tubuh Betari Ayu

melesat lompat ke samping, dan kakinya menendang

kepala Putri Alam Baka. Plakkk...!

Tendangan itu berhasil ditangkis Putri Alam Baka

yang berkekuatan tenaga dalam. Nyai Betari Ayu

tersentak limbung dan jatuh ke tangga. Putri Alam Baka

cepat lancarkan serangannya yang kedua, setelah

serangan pertama terhindar dan justru mengenai tubuh

orangnya sendiri yang sedang berlari ke pintu gerbang.

Wuusss...! Seruling itu diacungkan ke depan, keluar

cahaya kuning dari dalam lubang seruling. Cahaya

kuning itu melesat ke punggung Betari Ayu. Tapi

dengan cepat Betari Ayu palingkan badan dan sentakkan

tangan kirinya dengan telapak tangan terbuka. Cahaya

pendar kembali berkilap dari telapak tangan itu. Tenaga

dalam yang dilepaskan Putri Alam Baka itu membentur

cahaya pendar, dan membalik mengenai dada Putri Alam

Baka. Beeegh...!

"Nggkk...!" Putri Alam Baka tersentak mendelik

ketika ulu hatinya terkena pukulannya sendiri, ia

terhuyung ke belakang dan jatuh.

Nyai Betari Ayu cepat lari tinggalkan mereka, ia

masuk ke bangunan megah itu. Semua pintu ditendang,

didobrak paksa, sambil sesekali menghantam rubuh

orang yang menghalanginya. Dan ketika semua pintu

kamar telah didobrak habis, ternyata Suto tidak

ditemukan di dalamnya, maka Betari Ayu pun masuk ke

lorong bertirai ungu. Satu pintu di kamar lorong itu

didobraknya.

"Hiaaat...!"

Dengan satu tendangan lompat, Betari Ayu

menendang pintu tersebut. Namun sebelum ia

menyentuh pintu, tubuhnya telah terpental ke belakang

dengan sendirinya. Bruukkk...!

"Sial! Rupanya pintu itu dilapisi tenaga dalam

berperisai. Pasti di kamar itulah Suto disekap oleh Nyai

Lembah Asmara!" pikir Betari Ayu, kemudian ia bangkit

dan segera menyentakkan tenaga dalamnya yang

disalurkan melalui Cincin Manik Intan.

Duaarrr...!

Pintu itu hancur menjadi serpihan-serpihan yang

menebar ke mana-mana. Asap mengepul menghalangi

penglihatan Betari Ayu. Untuk sejenak ia diamkan asap

sampai menipis. Kemudian, kejap berikutnya ia

lompatkan diri masuk ke dalam kamar itu.

Ternyata kamar itu kosong. Tak ada Suto, tak ada

Nyai Lembah Asmara. Tapi keadaan ranjang porak-

poranda. Barang-barang di situ pun berantakan semua.

Entah karena ledakan pintu tadi atau karena sesuatu hal?

Yang jelas, di sana masih tergeletak jubah merah jambu

milik Nyai Lembah Asmara. Juga sebuah mahkota masih

ada di atas meja dekat ranjang, dan salah satu dinding

kamar itu ternyata jebol membentuk lubang besar.

Apakah dinding itu juga jebol karena sinar dari Cincin

Manik Intan, atau karena hal lain. Nyai Betari Ayu tak

bisa pastikan diri.

"Tapi aku yakin, mereka berdua tadi ada di sini!"

pikir Betari Ayu. "Wulandari pasti membawa Suto

kemari dan bercumbu di sini. Lantas, ke mana ia

membawa Pendekar Mabuk pergi? Apakah mereka

bersembunyi? Lalu di mana letak persembunyian

mereka?!"

*

* *