Episode 43
CINTA mengamuk di hati dan jiwa Nyai Lembah
Asmara. Amukan cinta itu begitu gemuruhnya, hingga
menutup kedua gendang telinga Nyai Lembah Asmara
dari seruan dan pekikan di luar kamar. Apalagi saat itu
Pendekar Mabuk pun tampak ingin meronta dan
melawan kekuatan racun Darah Asmara dengan
kekuatan batinnya.
Suara-suara pekik, jerit, dan seruan keras itu datang
dari orang-orang yang sedang menghadapi tiga sosok
manusia nekat, yaitu Pujangga Keramat, Selendang
Kubur, dan Peri Malam. Mereka mengamuk di pintu
gerbang, lalu menerobos masuk membantai orang-orang
yang menghalangi langkah mereka.
Jarum beracun milik Peri Malam mulai beraksi
kembali. Bambu kecil berukuran yang sejengkal yang
selalu diselipkan di belahan dadanya itu meluncurkan
jarum beracun saat bambu itu ditiup oleh Peri Malam.
Banyak leher yang jadi sasaran jarum beracun itu dan
membuat korbannya membusuk lalu mati.
Selendang putih milik murid Nyai Betari Ayu itu pun
melecut ke sana-sini. Selendang Kubur mengamuk
bersama selendang pusakanya yang mampu
mengeluarkan percikan api petir dan menyambar kepala-
kepala anak buah Nyai Lembah Asmara, ia sengaja
belum mau menggunakan pedang Jalaganda-nya, karena
pedang itu dipersiapkan untuk melawan Nyai Lembah
Asmara yang kesohor keji dengan tingginya ilmu yang
dimiliki.
Pujangga Keramat pun tak mau hanya sebagai
penonton, ia sebagai pelayan dari si Gila Tuak, gurunya
Suto Sinting, merasa lebih bertanggung jawab terhadap
keselamatan Suto. Karena itu, ia menerobos masuk ke
bangsal pertemuan mencari Suto di sana.
"Cari Suto di dalam, biar aku dan Peri Malam yang
menghadapi tikus-tikus ini, Paman!" seru Selendang
Kubur sebelum Pujangga Keramat menerobos masuk ke
bangsal pertemuan.
Sampai di sana ia berseru, "Sutooo...! Di mana ada
kau, Suto!"
Tiba-tiba dari arah samping melesatlah gelombang
panas yang menuju ke arah Pujangga Keramat. Wuuss...!
Pukulan jarak jauh disentakkan dari kipas Maharani.
Merasakan adanya gelombang hawa panas yang ingin
menghantamnya, Pujangga Keramat segera sentakkan
kaki dan lompat tinggi dengan bersalto di udara satu
kali. Tapi tangannya pun bergerak menyentak ke arah
samping memberi pukulan jarak jauh sebagai balasan
Wuugh...! Pukulan ini lebih besar dari milik
Maharani. Tapi Maharani sangat waspada dan sudah
menduga hal itu akan terjadi. Maka sebelum pukulan itu
itu melesat lebih jauh, Maharani sentakkan kakinya ke
lantai dan tubuhnya melenting di udara.
Hiaaat...!"
Dueerrr...! Brusss..!
Tenaga dalam Maharani menghantam pilar, tenaga
dalam Pujangga Keramat menghantam dinding. Pilar
menjadi gompal, dinding menjadi retak. Tapi keduanya
tak pernah peduli. Keduanya sudah saling berhadapan
dan siap menyerang sewaktu-waktu.
"Suto mana?!" sentak Pujangga Keramat.
"Kau langkahi bangkaiku baru kau bisa melihat di
mana Suto!' kata Maharani sambil tetap membuka
kipasnya di dada. Kedua kakinya merenggang rendah,
satu tangannya naik di atas kepala.
Pujangga Keramat menggeram. "Mati kau jangan aku
salahkan."
Setelah berkata demikian, Pujangga Keramat
melejitkan tubuh ke depan dengan tangan siap
dihantamkan. Maharani pun segera sentakkan kaki dan
tubuhnya melayang naik, melesat cepat dengan kipas
terbuka di depan. Saat Pujangga Keramat hantamkan
kedua tangannya Maharani menahan pukulan itu dengan
kipasnya.
Braagh.. !
Wuusssh...!
Tubuh mereka sama-sama terpental ke belakang,
sama-sama jatuh ke lantai, hampir membentur pilar. Tapi
keduanya sama-sama jatuh dalam posisi berdiri
merendah.
"Haaaghh...! Pujangga Keramat hembuskan napas
berat untuk mengumpulkan tenaganya kembali.
Sama juga yang dilakukan oleh Maharani, hanya saja
hembusan napas berat Maharani tak menimbulkan
bunyi.
"Besar juga tenaga dalamnya," pikir Maharani. "Siapa
orang ini? Aku tak pernah melihatnya! Tapi agaknya ia
punya urusan penting dengan Pendekar Mabuk.
Mungkin juga ada hubungan lain dengan Suto. Aku tak
boleh gegabah melawannya."
Pujangga Keramat menggerak-gerakkan tangan di
depan wajah sampai kesepuluh jarinya menjadi keras
sekali. Ketika tangan kanannya ditarik sampai di telinga,
tangan kirinya tetap sedikit terlipat di depan dada, ia
berhenti dari segala gerakannya. Matanya memancarkan
penglihatan yang tajam dan bernafsu untuk membunuh.
"Suto katakan di mana?!" bentaknya.
"Sudah kubilang, Suto ada di balik bangkaiku!"
"Hiaaat...!" Pujangga Keramat bagaikan terbang
menuju lawannya. Maharani pun cepat jejakkan kaki lagi dan melesat terbang menyambut kehadiran jurus
lawannya.
Tapi tiba-tiba sebelum mereka saling bertemu,
seberkas sinar putih keperakan melesat cepat
menghantam tubuh Pujangga Keramat.
Craas...!
"Haagh...!" Pujangga Keramat lebarkan mata. Sinar
putih itu bagai mata pedang yang amat tajam. Merobek
perutnya dari pinggang kanan sampai ke pinggang kiri.
Tak disangkal lagi, tubuh itu pun jatuh tanpa daya.
Darah memercik ke mana-mana. Pujangga Keramat
masih sempat erangkan suara dan berusaha bangkit.
Namun baru satu kaki yang bisa menapak, ia sudah
rubuh lagi tak berkutik selamanya.
Maharani cepat gerakkan kepalanya berpaling ke
samping. Di sana ada wajah Putri Alam Baka yang
sedang berdiri dingin dan tajam tatap matanya. Putri
Alam Baka serukan kata,
"Terlalu lamban kau, Maharani! Dalam satu jurus
orang itu sebenarnya harus sudah bisa kau robohkan!"
"Dia terlalu kuat untukku!"
"Omong kosong! Kau hanya coba-coba tadi. Terlalu
lama untuk membunuh orang macam dia!"
"Baiklah! Aku memang terlalu lamban untuk kali
ini!"
Putri Alam Baka bergegas langkahkan kaki menuju
luar sambil ia berkata,
"Hancurkan dua kunyuk tak tahu sopan itu! Salah
satunya kukenal dia sebagai Sundari! Bekas orang kita
yang lari menjadi murid si Mawar Hitam!"
"Tapi kita tidak punya urusan dengan penguasa Pulau
Hantu itu!" kata Maharani sambil ikuti langkah Putri
Alam Baka dan lompati mayat Pujangga Keramat.
"Tak peduli apa urusan mereka mengamuk di sini,
tugas kita adalah hancurkan mereka jika perlu tanpa sisa
sedikit pun!"
Selendang Kubur sedang terpojok di salah satu
bangunan seperti barak, ia menghadapi tiga lawannya
yang bersenjata tombak semua. Selendangnya berkelebat
cepat bagaikan kilat, menyambar ke sana-sini, dan
akhirnya tiga lawannya itu pun tumbang tak berkutik
lagi.
Baru saja ia hendak lentingkan tubuh menuju ke arah
Peri Malam yang dikeroyok oleh lima lawan itu, tiba-
tiba sesosok tubuh meluncur turun dari atap barak.
Jleeg...! Orang itu berdiri di depan Selendang Kubur
dengan mata memandang tajam.
"Nyai...?!" sentak Selendang Kubur. Ia terkejut sekali
memandang orang yang muncul di depan itu. Sekejap ia
tak bisa bicara. Orang yang ada di depannya itu cepat
ulurkan tangan dan berkata, "Serahkan pedang itu!"
"Tidak bisa, Nyai. Saya sudah siap mati demi
Pendekar Mabuk!"
"Jangan bodoh, Selendang Kubur! Serahkan pedang
itu padaku!"
Selendang Kubur sempat sangsi dan ragu-ragu. Kalau
saja yang meminta orang lain, sudah pasti ia tak ragu-
ragu untuk mempertahankan. Tapi kali ini yang
memintanya adalah gurunya sendiri, Nyai Betari Ayu.
Selendang Kubur punya rasa takut untuk
mempertahankan pedang Jalaganda itu, ia memang tidak
pernah menduga Nyai Betari Ayu mau turun tangan
untuk urusan di Bukit Garinda itu.
''Nyai, saya...."
"Serahkan pedang itu, dan aku yang akan menghadapi
Nyai Lembah Asmara!" kata Betari Ayu tanpa senyum
dan keramahan seperti biasanya. Selendang Kubur
melihat kemarahan mulai merona di wajah Nyai Guru
Betari Ayu. Selendang Kubur melihat kesungguhan
sikap gurunya yang ingin melawan Nyai Lembah
Asmara itu. Karenanya, Selendang Kubur pun segera
menyerahkan pedang Jalaganda itu kepada Nyai Guru
Betari Ayu.
"Kalau Nyai gunakan pedang itu, berarti Nyai akan
mati di ujung kemenangan," Selendang Kubur
memberanikan diri ingatkan gurunya tentang pusaka
keramat pedang Jalaganda.
Nyai Guru Betari Ayu berkata, "Tidak akan
kugunakan pedang ini!"
"Tapi... tapi Nyai Guru akan kalah menghadap Nyai
Lembah Asmara jika tanpa menggunakan pedang pusaka
itu, Nyai!"
Seorang penyerang bersenjata kapak melesat terbang,
sasarannya adalah punggung Betari Ayu, Selendang
Kubur tersentak kaget melihat serangan mendadak yang
mengancam gurunya itu. Tapi, belum sampai Selendang
Kubur lepaskan pukulan jarak jauhnya, tubuh Nyai Guru
Betari Ayu sudah lebih dulu berkelebat memutar, tangan
kanannya terangkat tegak di depan mata dengan kelima
jari tangan merapat. Lalu, melesatlah sinar putih
menyilaukan sebesar lidi.
Zuiitt...!
Crrasss...!
Cras, craasss...!
Sinar putih menyilaukan itu menembus tubuh lawan
yang memegang kapak. Orang tersebut jatuh ke tanah,
bagian ulu hatinya berlubang sebesar bumbung tuak
milik Pendekar Mabuk. Orang itu tak bergerak ataupun
bersuara sedikit pun. Matanya tetap mendelik namun
nyawanya telah melesat pergi tinggalkan raga.
Selendang Kubur masih terkesima melihat kekuatan
dahsyat yang dimiliki gurunya. Lebih terbengong lagi
ketika Selendang Kubur mengetahui, dua orang yang ada
di belakang korban pertama itu juga terkena tembusan
sinar putih menyilaukan. Kedua orang yang sedang
melawan Peri Malam itu tumbang tak berkutik dengan
luka bolong seperti luka orang bersenjata kapak tadi.
Rupanya sinar menyilaukan itu bisa menembus dua-tiga
tubuh lawan sekaligus. Dan hal itu belum pernah
disaksikan oleh Selendang Kubur selama ia menjadi
murid Nyai Betari Ayu.
"Tak kusangka Guru mempunyai simpanan ilmu
sedahsyat itu!" katanya di dalam hati.
Sinar putih menyilaukan itu keluar cepat bagaikan
kilat dari sebuah cincin di jari tengah tangan kanan
Betari Ayu. Cincin itulah yang dinamakan Pusaka Manik
Intan. Melihat keindahan cincin berwarna putih berlian
itu, Selendang Kubur ajukan tanya,
"Mengapa baru sekarang Guru gunakan cincin itu?"
"Karena baru kudapatkan dari Telaga Manik Intan."
"Hah....?!" Selendang Kubur terperanjat. "Jadi...
itukah yang dinamakan Cincin Manik Intan?"
"Betul, Selendang Kubur. Nah, sekarang hadapilah
mereka, aku akan menerobos masuk ke kamar Nyai
Lembah Asmara!"
"Baik, Guru...!"
Seperti kilat tubuh Betari Ayu melesat. Selendang
Kubur masih terkesima dengan cincin pusaka yang
ternyata ada di tangan gurunya.
"Pantas Nyai Guru tidak mau menggunakan pedang
itu tapi berani menghadapi Nyai Lembah Asmara,
rupanya dia sudah punya pusaka lain yang bisa
diandalkan untuk mengalahkan lawannya! Heran sekali
aku, mengapa cincin itu bisa ada di tangan Guru?
Padahal tokoh persilatan sedang memperebutkan cincin
yang seharusnya menjadi milik Suto Sinting itu?!"
Selendang Kubur tak tahu, gurunya telah menyelam
ke dalam Telaga Manik Intan saat Datuk Marah Gadai
mengejar Dirgo Mukti. Sampai cincin itu ditemukan
oleh Betari Ayu, kedua orang itu masih sibuk saling
kejar dan saling adu kekuatan. Betari Ayu cepat
tinggalkan Telaga Manik Intan tanpa diketahui oleh
Datuk Marah Gadai maupun Manusia Sontoloyo, Dirgo
Mukti itu.
Nyai Betari Ayu merasa memperoleh kekuatan yang
tak lagi menyangsikan hatinya. Cincin Manik Intan
disematkan di jari tengah kanan. Dengan bersenjatakan
cincin dahsyat itu, ia yakin bisa kalahkan Nyai Lembah
Asmara tanpa harus menggunakan pedang Jalaganda.
Tetapi di ujung tangga menuju bangsal pertemuan,
dua sosok perempuan berwajah garang menghadangnya.
Mereka adalah Maharani dan Putri Alam Baka. Langkah
Betari Ayu pun terhenti karenanya.
"O, rupanya kau yang menjadi biang keributan ini,
Betari Ayu?!"
"Maharani dan Putri Alam Baka!" sahut Betari Ayu
yang sudah mengenal mereka sejak dulu. "Barangkali
dugaan kalian benar, akulah biang keributan ini. Tapi
jika Perawan Sesat, orangmu itu, tidak lebih dulu
melakukan pembantaian perguruanku, aku tidak akan
datang kemari menuntut balas!"
"Kau menuntut balas atau menuntut kembalinya
Suto?' Maharani sunggingkan senyum sinis menyindir.
"Mana yang terbaik, itu yang kuambil!" jawab Betari
Ayu dengan sikap kalem, ia harus bisa menahan luapan
amarahnya agar Cincin Manik Intan tidak
menyemburkan kekuatannya ke sembarang arah. Ia pun
menahan tenaga dalamnya agar tidak mudah terlepas
sebelum cincin itu diarahkan pada sasarannya.
Nyai Betari Ayu tenangkan diri dan tetap bisu
sebelum kedua lawannya bergerak. Mata Betari Ayu tak
pernah lepas dari gerak kewaspadaan. Karenanya, ketika
Maharani tebarkan kipasnya dalam gerakan kecil, Betari
Ayu cepat hadangkan tangan kiri ke depan untuk mena
han pukulan jarak jauh yang dilepas kan secara diam-
diam itu.
Deeb...!
Pukulan itu bisa tertahan. Maharani mundur setindak
karena tersentak. Tapi dari cincin di tangan kirinya
melesat sinar menyilaukan ke arah samping secara tak
sengaja. Sinar itu mengenai seorang lawan yang sedang
berhadapan dengan Selendang Kubur.
Melihatan kilatan sinar menyilaukan dari cincin itu,
maka Maharani dan Putri Alam Baka terbelalak seketika.
Karena mereka melihat ada satu orang lagi yang rubuh
dalam keadaan tubuh bolong karena terkena tembusan
sinar putih menyilaukan itu. Orang yang rubuh dan
menjadi korban kedua adalah orang yang sedang
berhadapan dengan Peri Malam.
Cepat-cepat Putri Alam Baka menutupi
kekagumannya dengan sunggingkan senyum sinis di
bibir, ia berkata kepada Betari Ayu,
"Kau pamer ilmu, Betari Ayu? Kau pikir kami takut
dan menjadi gentar melihat pusaka pada cincinmu itu?
Hmm...! Itu satu permainan anak kecil saja!"
"Alangkah memalukan sekali jika murid Nyai
Lembah Asmara akan mati karena permainan anak
kecil!" kata Betari Ayu.
"Mulut congkak! Kau pikir kau mampu menghadapi
kami berdua?!" sentak Maharani.
"Barangkali perlu ditambah gurumu sekalian suruh
menghadapiku! Tak akan mundur setindak pun aku
menghadapi kalian bertiga, yang sepatutnya telah kuusir
dari tanahku ini!"
"Jahanam...!" geram Maharani. Lalu ia sentakkan
kipasnya dalam keadaan tertutup. Dari ujung kipas itu
keluar sinar merah berkilap melesat ke arah tubuh Nyai
Betari Ayu.
Betari Ayu cepat sentakkan telapak tangan kirinya ke
depan. Cahaya pendar keluar dari telapak tangan itu.
Bersifat menahan cahaya merah dari kipas Maharani.
Tapi ternyata justru cahaya merah itu berbalik arah
setelah membentur cahaya pendar di telapak tangan
Betari Ayu. Wuuugh...!
"Heegh...!" Maharani buka mulut dengan napas
tersentak tertahan. Pukulan dari kipasnya membalik dan
mengenai dirinya, ia jatuh terjengkang ke belakang
dengan sukar bernapas.
Melihat temannya jatuh oleh pukulan tangan kiri
Betari Ayu, Putri Alam Baka segera cabut serulingnya
dari pinggang sambil menggeram.
"Rupanya kau memang cari mampus, Betari Ayu!
Hiaaat...!"
Putri Alam Baka lompatkan diri sambil tebaskan
serulingnya dari atas ke bawah, berhenti ke arah dada
Betari Ayu. Tapi dengan lincah tubuh Betari Ayu
melesat lompat ke samping, dan kakinya menendang
kepala Putri Alam Baka. Plakkk...!
Tendangan itu berhasil ditangkis Putri Alam Baka
yang berkekuatan tenaga dalam. Nyai Betari Ayu
tersentak limbung dan jatuh ke tangga. Putri Alam Baka
cepat lancarkan serangannya yang kedua, setelah
serangan pertama terhindar dan justru mengenai tubuh
orangnya sendiri yang sedang berlari ke pintu gerbang.
Wuusss...! Seruling itu diacungkan ke depan, keluar
cahaya kuning dari dalam lubang seruling. Cahaya
kuning itu melesat ke punggung Betari Ayu. Tapi
dengan cepat Betari Ayu palingkan badan dan sentakkan
tangan kirinya dengan telapak tangan terbuka. Cahaya
pendar kembali berkilap dari telapak tangan itu. Tenaga
dalam yang dilepaskan Putri Alam Baka itu membentur
cahaya pendar, dan membalik mengenai dada Putri Alam
Baka. Beeegh...!
"Nggkk...!" Putri Alam Baka tersentak mendelik
ketika ulu hatinya terkena pukulannya sendiri, ia
terhuyung ke belakang dan jatuh.
Nyai Betari Ayu cepat lari tinggalkan mereka, ia
masuk ke bangunan megah itu. Semua pintu ditendang,
didobrak paksa, sambil sesekali menghantam rubuh
orang yang menghalanginya. Dan ketika semua pintu
kamar telah didobrak habis, ternyata Suto tidak
ditemukan di dalamnya, maka Betari Ayu pun masuk ke
lorong bertirai ungu. Satu pintu di kamar lorong itu
didobraknya.
"Hiaaat...!"
Dengan satu tendangan lompat, Betari Ayu
menendang pintu tersebut. Namun sebelum ia
menyentuh pintu, tubuhnya telah terpental ke belakang
dengan sendirinya. Bruukkk...!
"Sial! Rupanya pintu itu dilapisi tenaga dalam
berperisai. Pasti di kamar itulah Suto disekap oleh Nyai
Lembah Asmara!" pikir Betari Ayu, kemudian ia bangkit
dan segera menyentakkan tenaga dalamnya yang
disalurkan melalui Cincin Manik Intan.
Duaarrr...!
Pintu itu hancur menjadi serpihan-serpihan yang
menebar ke mana-mana. Asap mengepul menghalangi
penglihatan Betari Ayu. Untuk sejenak ia diamkan asap
sampai menipis. Kemudian, kejap berikutnya ia
lompatkan diri masuk ke dalam kamar itu.
Ternyata kamar itu kosong. Tak ada Suto, tak ada
Nyai Lembah Asmara. Tapi keadaan ranjang porak-
poranda. Barang-barang di situ pun berantakan semua.
Entah karena ledakan pintu tadi atau karena sesuatu hal?
Yang jelas, di sana masih tergeletak jubah merah jambu
milik Nyai Lembah Asmara. Juga sebuah mahkota masih
ada di atas meja dekat ranjang, dan salah satu dinding
kamar itu ternyata jebol membentuk lubang besar.
Apakah dinding itu juga jebol karena sinar dari Cincin
Manik Intan, atau karena hal lain. Nyai Betari Ayu tak
bisa pastikan diri.
"Tapi aku yakin, mereka berdua tadi ada di sini!"
pikir Betari Ayu. "Wulandari pasti membawa Suto
kemari dan bercumbu di sini. Lantas, ke mana ia
membawa Pendekar Mabuk pergi? Apakah mereka
bersembunyi? Lalu di mana letak persembunyian
mereka?!"
*
* *