Chereads / Pendekar Mabuk / Chapter 44 - 005.Pendekar Mabuk - Murka Sang Nyai Eps44

Chapter 44 - 005.Pendekar Mabuk - Murka Sang Nyai Eps44

Episode 44

BUKIT Garinda menjadi porak-poranda. Di mana-

mana mayat bertebaran bagai sisi lain dari neraka

jahanam. Sebagian dari mereka ada yang sengaja

meloloskan diri, lari tunggang-langgang entah ke mana

tujuannya. Ada yang berusaha menyusuri pantai, ada

pula yang berusaha mendaki ke atas bukit.

Mereka yang belum mati sempat menyerukan erang

kesakitan. Ada yang berusaha bangkit untuk

menyembunyikan diri atau lari, ada pula yang hanya

diam saja menahan sakit sambil menunggu pertolongan.

Sementara yang pingsan tetap saja pingsan, entah kapan

akan siuman.

Yang jelas, sosok tubuh Maharani dan Putri Alam

Baka sudah tak terlihat di anak tangga menuju ruang

pertemuan itu. Entah mereka bersembunyi atau

melarikan diri, yang jelas suasana di situ kembali sepi.

Hanya langkah-langkah kaki Selendang Kubur dan Peri

Malam saja yang tampak melesat ke sana-sini mencari

lawan yang perlu ditumbangkan.

Peri Malam terluka di lengan sisi kirinya. Darah

mengucur dari luka senjata tajam. Tapi ia tidak

menghiraukan. Justru semangatnya kian bertambah.

Selendang Kubur terluka di dada kiri. Biru lebam

dada itu. Tapi agaknya ia juga tidak menghiraukan

lukanya, ia masih tetap memburu mangsa yang perlu

ditumbangkan dengan selendang pusakanya.

Suasana lenggang menimbulkan suara langkah jelas

dari bangsal pertemuan sebuah pedang disambarnya dan

berdenting memecah sepi. Kedua wajah cepat berpaling

ke arah suara itu. Peri Malam dan Selendang Kubur

sama siapnya menghadapi serangan dari arah itu.

Tapi ternyata yang muncul adalah Nyai Betari Ayu

dengan mata bergerak liar mencari lawannya. Ketika

mata itu bertatap pandang dengan mata Peri Malam dan

Selendang Kubur, keliaran mata Betari Ayu pun surut.

Tak menjadi segarang tadi, melainkan kembali tampak

bijak dan berwibawa.

"Bagaimana dengan Suto, Nyai?" tanya Selendang

Kubur.

"Hilang entah ke mana!"

"Hilang...?!" Peri Malam tersentak kaget. Wajahnya

kian menegang.

"Nyai Lembah Asmara sendiri bagaimana?"

"Juga hilang!" jawab Betari Ayu. Nadanya seperti

hampir putus asa.

Peri Malam gusar. "Tak mungkin mereka hilang

begitu saja! Pasti Suto telah dilarikan oleh perempuan

liar itu!"

"Ke mana arah larinya mereka?" tanya Selendang

Kubur kepada Peri Malam.

Jawab Peri Malam, "Ada dua arah yang bisa untuk

melarikan diri. Melalui lantai di dalam kamar itu, atau

menjebol dinding kamar!"

"Lantai...?!" Selendang Kubur kerutkan dahi.

"Ada pintu rahasia di lantai kamar Nyai Lembah

Asmara. Gunanya untuk meloloskan diri sampai ke

pantai. Ada jalan tembus ke sana. Atau mereka lari

dengan menjebol dinding menuju puncak bukit!"

"Kau bisa tahu hal itu dari mana?" tanya Betari Ayu.

"Dulu aku bekas murid Nyai Lembah Asmara dan

pernah tinggal di sini sebagai pelayan Nyai. Tugasku

membersihkan kamarnya!"

Selendang Kubur dan Nyai Betari Ayu angguk-

anggukkan kepala sambil pandangi Peri Malam. Yang

dipandang tampak masih gusar dan cemas. Kemudian

setelah sama-sama bungkam sesaat, Peri Malam ucapkan

kata,

"Aku akan mengejarnya ke pantai! Akan kuhadang di

jalan tembus sana!"

"Aku ikut kamu!" kata Selendang Kubur dengan rasa

waswas, takut kalau ganti Peri Malam yang bawa kabur

Pendekar Mabuk.

Betari Ayu berkata, "Baiklah. Aku akan periksa

puncak bukit!"

Agaknya memang Betari Ayu yang mujur. Karena,

pada waktu terjadi keributan yang menimbulkan suara

gaduh bersama ledakan-ledakan menggelegar itu. Nyai

Lembah Asmara mulai curiga dengan suasana di luar

kamar, ia segera bergegas memeriksa keadaan di luar

kamar, ia melihat kemunculan Betari Ayu saat

menyerang orang bersenjata kapak dengan Cincin Manik

Intan.

"Celaka! Dia memiliki pusaka yang dahsyat!" pikir

Nyai Lembah Asmara kala itu. "Mudah saja untuk

mengalahkannya, tapi aku tak punya waktu. Bisa-bisa

Pendekar Mabuk sadar dari pengaruh racunku, lalu ia

melarikan diri. Hmmm...! Sebaiknya, selagi Suto masih

dalam pengaruh racunku itu, aku harus mencari tempat

yang aman supaya ia cepat-cepat membuahiku!"

Pendekar Mabuk bukan hanya mabuk oleh tuak,

namun juga mabuk oleh racun Darah Asmara yang tak

mampu dilawannya itu. Tubuhnya berkeringat dan

wajahnya memerah menahan gairahnya.

Nyai Lembah Asmara segera berkata kepada Suto,

"Kita harus cepat menyingkir untuk sementara, Suto!"

"Tak perlu, Nyai! Dekatlah padaku sekarang juga,

peluklah aku!"

"Mereka akan menemukan kita di sini, Suto! Kita

harus pergi supaya kemesraan kita tidak diganggu. Aku

punya tempat yang aman untuk memadu kasih kita!"

"Ah, Nyai... mengapa kamu takut dengan suara

gaduh? Aku tidak merasa takut sedikit pun, Nyai!

Lupakan tentang urusan mereka. Sebaiknya kita kerjakan

urusan kita sendiri, Nyai!"

"Tidak, Suto! Aku tidak suka dengan suasana ini!

Jelas akan mengganggu kemesraan dan kenikmatan

bercumbu kita, Suto!"

"Oh, ho ho ho...! Benar juga, Nyai. Benar!" Pendekar

Mabuk tertawa dan bicara dalam pengaruh tuak dan

racun birahinya itu. "Kalau begitu, lekas bawa aku pergi

ke tempat yang lebih mesra lagi, Nyai!"

Nyai Lembah Asmara berpikir, "Aku tadi melihat ada

Sundari, bekas murid dan pelayan di kamarku ini! Kalau

aku lewat pintu lantai, pasti Sundari tahu ke mana arah

lariku. Hmmm... sebaiknya aku ke puncak saja. Kubawa

Pendekar Mabuk ke dalam gua yang cukup aman untuk

memadu kemesraan dengannya!"

Nyai Lembah Asmara sentakkan tangan kirinya ke

depan. Wuuut...!

Blarrr...! Dinding kamar jebol dengan satu sentakan

tenaga dalam tanpa sinar itu, ia segera membawa lari

Pendekar Mabuk. Tapi keadaan Suto sangat lemah dan

lamban untuk bergerak lari. Tanpa ragu-ragu, Nyai

Lembah Asmara menggendong tubuh Suto,

memanggulnya di pundak. Pendekar Mabuk hanya diam

saja sambil tetap memegang tabung bumbung bambu.

Sesekali ia tersentak karena cegukan, mulutnya

berceloteh apa saja karena pengaruh mabuknya, sampai

Nyai Lembah Asmara sempat membentak agar Pendekar

Mabuk diam dan tidak bersuara.

Keadaan mereka yang belum sampai lepas pakaian

itu segera melesat keluar dari kamar melalui jebolan

tembok. Nyai Lembah Asmara membawa lari Suto ke

arah puncak bukit. Gerakannya tetap seperti anak panah

yang melesat dari busurnya, walau saat itu ada beban di

pundaknya.

Sebuah gua yang pintunya tertutup oleh ilalang lebar

menjadi sasaran arah Nyai Lembah Asmara. Gua itu

tidak mudah ditemukan orang, tidak pula mudah dilihat

karena kerimbunan semak ilalang yang menutup mulut

gua. Tapi buat Nyai Lembah Asmara, gua itu sudah

bukan tempat asing lagi, karena ia sering membawa

seorang pria untuk bercinta di dalam gua tersebut. Gua

itu terletak pada satu lereng, hampir mencapai puncak

bukit.

Ketika Nyai Lembah Asmara tiba di depan gua itu, ia

turunkan tubuh Pendekar Mabuk dari pundaknya.

Pendekar Mabuk pun berdiri dengan sempoyongan.

Matanya semakin sayu karena mabuk, juga karena racun

birahi yang menyerangnya.

"Di sini saja, Nyai!" kata Suto dengan suara sumbang

sambil meraih baju Nyai Lembah Asmara dan ingin

melepaskannya. Tapi Nyai Lembah Asmara menolak

sambil berkata,

"Jangan di sini! Kita masuk ke dalam gua itu!"

"Mana ada gua, Nyai?"

"Itu, di depan kita. Kau tidak melihatnya karena

kerimbunan semak ilalang di mulut gua!"

Pendekar Mabuk dituntun mendekati gua. Tiba-tiba

kakinya yang lemas terkulai dan jatuhlah Suto, merosot

ke bawah tebing sambil tetap berpegangan bumbung

tuaknya.

"Sutooo...?!" sentak Nyai Lembah Asmara dengan

cemas. Cepat-cepat ia lompatkan tubuh dan bersalto dua

kali. Tubuh Nyai Lembah Asmara mendahului gerakan

Pendekar Mabuk yang meluncur ke bawah tebing.

Sebatang ranting kering dipakai berpijak kaki Nyai

Lembah Asmara. Ranting itu seharusnya patah, tapi

karena ilmu peringan tubuh yang digunakan Nyai

Lembah Asmara cukup tinggi, sehingga ia bisa berdiri

dengan tenang di atas ranting kering yang besarnya dua

kali ukuran lidi.

Tubuh Pendekar Mabuk yang meluncur ke bawah itu

ditangkap oleh kedua tangan Nyai Lembah Asmara.

Andai tidak, tubuh Pendekar Mabuk akan jatuh ke

jurang yang cukup dalam. Mungkin juga Suto akan mati

dihujam bambu-bambu runcing yang sengaja dipasang

oleh Nyai Lembah Asmara sebagai jebakan para musuh

yang hendak menyerangnya dari atas bukit.

Sentakan halus kaki Nyai Lembah Asmara segera

membuat tubuhnya melesat ke atas sambil menopang

tubuh Suto. Kini, ia berhasil membawa Pendekar Mabuk

ke tanah sedikit datar dan aman dari bahaya kemiringan

tebing.

"Enak sekali terbang denganmu, Nyai!" Suto

menceracau. "Aku juga bisa terbang seperti kamu.

Huup...!"

Pendekar Mabuk menyentakkan kakinya dan dalam

sekejap tubuhnya melayang ke atas dan berjungkir balik

dua kali. Tubuh itu segera hinggap di salah satu batu

yang ada di puncak bukit. Pendekar Mabuk berdiri

dengan keadaan limbung, mencemaskan hati Nyai

Lembah Asmara.

Ia berseru dari sana, "Nyai...! Aku bisa sampai di

sini! He he he... he he...!"

Bruukkk...! Suto jatuh dari batu besar itu. Tubuhnya

terhempas di tanah. Nyai Lembah Asmara menggeram

jengkel dan menggerutu,

"Bocah sinting! Katanya ingin kemesraan malah

mengajak bercanda gila-gilaan begitu. Huuup...!"

Nyai Lembah Asmara menyusul Pendekar Mabuk di

atas puncak bukit dengan melesatkan diri dan bersalto

dua kali juga. Suto sedang menggeliat bangkit ketika

kedua kaki Nyai Lembah Asmara mendarat di tanah

sampingnya. Jleeg...!

"Aku jatuh, Nyai. He he he.... Enak sekali jatuhnya!"

kata Suto yang semakin parah dipengaruhi tuaknya.

"Suto, kita tak punya waktu untuk bercanda. Lekaslah

ke dalam gua, Suto. Aku tak sabar menunggu kemesraan

dan kehangatan tubuhmu!"

"Di sini sajalah, Nyai! Di alam bebas ini lebih mesra!

He he he...!" Pendekar Mabuk makin mengacau, ia

berdiri dengan sempoyongan, ia merenggut tubuh Nyai

Lembah Asmara, sehingga wajah mereka saling tatap

dalam jarak dekat. Nyai berpikir saat itu,

"Kalau memang dia maunya di sini, biarlah di sini!

Aku pun sudah tak tahan lagi!"

Pendekar Mabuk tersenyum-senyum ketika wajah

Nyai Lembah Asmara mendekat ingin mencium

bibirnya. Jemari Suto sedikit menaikkan dagu Nyai

Lembah Asmara, dan mata Nyai jadi terpejam. Tapi tiba-

tiba tangan Suto menyentak, mendorong dagu itu ke

belakang membuat tubuh Nyai pun tersentak limbung

dalam keadaan mundur tiga tindak.

"Oh, maaf Nyai... aku hampir jatuh!" kata Suto

sambil sempoyongan. Nyai Lembah Asmara ingin marah

namun segera memaklumi keadaan Pendekar Mabuk

yang dalam pengaruh mabuk tuak itu.

"Suto, lekaslah berbaring saja! Biar aku yang menjadi

pelayan cintamu, Suto," kata Nyai Lembah Asmara

sambil berkemas untuk melepasi pakaiannya.

"Baik. Baik. Aku akan berbaring, tapi... tapi di atas

batu itu! Aku ingin berbaring ke sana! Huupp...!"

Tiba-tiba Pendekar Mabuk melompat ke atas batu

besar yang tingginya dua kali tinggi tubuhnya, Suto

bagaikan terbang dan hinggap di atas batu datar dalam

keadaan sudah berbaring.

Tetapi pada waktu ia melompat tadi, ada satu batu

kecil sebesar genggaman tangan anak-anak melesat pula

dari sentakan kakinya. Batu itu melesat ke arah Nyai

Lembah Asmara dengan cepat. Plokkk!

Nyai Lembah Asmara tak sempat menghindari batu

yang di luar dugaan kedatangannya. Maka, tersentaklah

ia ketika batu itu mengenai tulang pipinya dan

membekas biru. Ia menyeringai kesakitan sambil

tundukkan wajahnya, memengangi luka memar dari

hantaman batu tersebut.

"Gila, tingkahnya aneh-aneh saja, sampai wajahku

terkena batu yang begini sakitnya. Uuh... kurasakan

sentakan batu itu sangat kuat dan berat. Mungkin hanya

karena keadaan tubuhku sedang dilanda gairah, sehingga

terkena batu begitu kecil saja terasa sakit."

Terdengar Suto berseru, "Nyaiii... aku berbaring di

sini...!" nada suaranya meliuk-liuk tak jelas iramanya.

"Kalau kau tak segera datang aku akan turun, Nyai...!"

Segera Nyai Lembah Asmara yang jantungnya sudah

berdetak-detak karena dorongan nafsu yang makin

menggelora itu, melesat dengan satu lompatan kecil,

menghampiri Pendekar Mabuk yang berbaring di atas

batu. Pikir sang Nyai, "Biarlah di atas batu itu aku

bercumbu, yang penting gairahku segera terpenuhi

dulu!"

Ketika Nyai Lembah Asmara sampai di atas batu,

berdiri di dekat Pendekar Mabuk, tiba-tiba Suto bangkit

dengan satu gerakan memutar, hingga kakinya menyapu

kaki Nyai Lembah Asmara. Plakkk...!

Brukkk...!

Nyai terpelanting jatuh dan terjungkal turun dari atas

batu. Pundaknya menghantam tanah lebih dulu.

Sebongkah batu terpendam menjadi benturan telinga

kirinya. Prukkk....!

"Aauh...!" ia memekik kesakitan.

"Waduh, maaf...! Maaf, Nyai...! Kupikir kau belum

datang, karenanya aku bangkit dengan cepat ingin

menyusulmu turun dari batu ini! Maaf, aku tak sengaja

menendang kakimu, Nyai!"

Nyai Lembah Asmara berpikir juga, "Sapuan kakinya

tak mungkin bisa merobohkan kuda-kudaku jika tidak

diiringi kekuatan tenaga dalam! Oh, daun telingaku luka

berdarah. Sial! Dalam keadaan mabuk dia masih dialiri

tenaga dalam di sekujur tubuhnya. Oh, alangkah

indahnya jika cumbuannya nanti juga dialiri tenaga

dalam. Jelas ia akan mampu mempertahankan gairahnya

yang menurutku sudah meluap-luap seperti yang

kurasakan saat ini...."

"Nyai, naiklah! Lekas! Aku sekarang berdiri biar bisa

melihat kedatanganmu! Naiklah, Nyai!" seru Suto

sambil berdiri di tepian batu dengan tubuh meliuk ke

sana-sini, bagaikan diombang-ambingkan oleh angin.

Tangannya pun menggapai-gapai seperti ingin jatuh.

Nyai berteriak, "Suto, awas! Nanti kau jatuh! Jangan

ke tepian!"

"Lekaslah naik sebelum aku sempat jatuh, Nyai!"

Takut Pendekar Mabuk jatuh, Nyai Lembah Asmara

pun segera melompat menyongsong gerakan tubuh

Pendekar Mabuk yang mulai limbung ke depan. Tangan

Pendekar Mabuk bergerak-gerak mencari keseimbangan

sambil berseru, "Eee, eh eh eh...!"

"Awas, Suto...!" Nyai Lembah Asmara makin berseru

cemas.

Ketika tubuhnya mendekati Pendekar Mabuk, tiba-

tiba Suto jatuh ke depan. Tangannya bergerak-gerak

bagai ingin mencari pegangan.

"Waaaoow...!" Suto berteriak dalam nada kegirangan.

Tubuhnya beradu dengan tubuh Nyai Lembah

Asmara di udara. Tangan Suto cepat bergerak dan

mengenai dada Nyai Lembah Asmara. Plak plak plak...!

Lalu, Nyai Lembah Asmara tersentak ke belakang dalam

keadaan terbang, Suto jatuh ke bawah dalam keadaan

terguling dua kali. Ia jatuh terduduk sambil mengerang

kesakitan memegangi pinggangnya. Bumbung tuak

masih menyilang di punggungnya.

"Aduh. sakitnya punggungku...!" rintihnya pelan.

Tetapi Nyai Lembah Asmara tidak hiraukan rintihan

itu. Ia melihat dadanya hangus tiga tempat akibat

gerakan tangan Pendekar Mabuk tadi. Napasnya pun

mulai terasa sesak. Dada itu terasa panas sekali bagian

dalamnya. Nyai Lembah Asmara mulai membatin,

"Kurang ajar! Rupanya sejak tadi dia menyerangku

dengan jurus mabuknya! Uuh... sakit sekali dadaku.

Gerakan tangannya tak seberapa keras, tapi mempunyai

kekuatan tenaga dalam yang menghanguskan kulit

dadaku! Aduh, sesak sekali napasku, jangan-jangan

racun Darah Asmara telah membalik meracuni tubuhku

sendiri! Tak biasanya aku mempunyai gairah sebegini

besarnya!"

Terdengar Pendekar Mabuk berseru, "Nyai, tolong

aku berdiri!" ia mengulurkan tangan, minta ditarik. Tapi

Nyai Lembah Asmara hanya diam saja. Nyai Lembah

Asmara hanya memandang dengan mata kian nanar,

antara sayu dicekam birahi dengan sayu menahan sakit.

Tak disadari dari mulut Nyai Lembah Asmara mulai

melelehkan darah segar ketika ia terbatuk satu kali.

Bahkan batuk yang kedua membuat darah kental

menyembur ke luar dari mulut. Nyai Lembah Asmara

sangat kaget melihat mulutnya mengeluarkan darah

kental sedikit kehitaman.

"Jahanam!" geramnya dalam hati. "Rupanya dia telah

berhasil melukaiku secara diam-diam! Ini sudah bukan

luka ringan saja. Ini sudah bukan satu hal yang bersifat

kebetulan tapi pasti direncanakan olehnya! Aku harus

menyerangnya! Aku harus membalasnya! Tapi

bagaimana jika ia terluka? Aku tak bisa menikmati

kemesraannya. Padahal aku sudah tak bisa menahan

gairahku lagi. Oh, aku ingin dicumbunya sekarang juga!

Ya, sekarang juga!"

Masih saja Suto menyerukan kata, "Nyai, tolonglah

aku! Tarik tanganku agar aku bisa berdiri...!"

Nyai Lembah Asmara segera melompat bagai singa

menerkam mangsanya. Wuuttt...! Ia menerkam tubuh

Pendekar Mabuk dan mengajaknya berguling untuk

bercumbu. Tetapi saat tubuh itu melayang, Pendekar

Mabuk segera menyentakkan tangannya yang sejak tadi

teracung ke atas. Gerakan tangan itu seperti orang ingin

bangkit dan menggunakan tangan itu untuk bertolak dari

sebuah batu di sampingnya. Tapi gerakan lembut itu

ternyata memancarkan satu kekuatan tenaga dalam yang

membuat kepala Nyai Lembah Asmara tersentak naik ke

atas dengan pekik tertahan.

Beegh..! Leher Nyai Lembah Asmara jadi sasaran

tenaga dalam Suto. Akibatnya, mulut Nyai Lembah

Asmara kembali menyemburkan darah kental dan

berwarna kehitam hitaman. Pendekar Mabuk berlagak

kaget dan berseru,

"Nyai.. ? Kenapa kau, Nyai?! Kenapa...?!"

Nyai Lembah Asmara yang terkenal keji dan buas itu

tergeletak dalam keadaan tersengal-sengal. Matanya

terbeliak sambil sesekali menyemburkan darah dari

mulutnya.

Pendekar Mabuk berjalan mundur seperti orang

ketakutan melihat Nyai Lembah Asmara tersentak-

sentak tubuhnya. Padahal itu hanya kepura-puraan

Pendekar Mabuk.

Tiba-tiba sekelebat bayangan melesat di atas kepala

Suto. Cepat sekali Pendekar Mabuk sentakkan

tangannya ke atas sambil menundukkan kepalanya.

"Wah, burung apa itu yang datang?!"

Sentakkan tangan itu rupanya mengeluarkan kekuatan

tenaga dalam. Dan kelebat bayangan itu juga

menyentakkan tenaga dalam ke ubun-ubun Suto.

Akibatnya, dua tenaga dalam itu beradu dan

menimbulkan gelegar yang teredam.

Beeggh...!

Wuuut...! Suto tersentak ke samping dan hampir

jatuh, ia hanya sempoyongan saja dan segera

berpegangan dinding batu. Sedangkan bayangan itu

segera jatuh dengan kaki sigap ke tanah. Bayangan itu

milik seorang nenek berkulit keriput, yang bersenjatakan

tengkorak seekor kambing.

"Oh, kau rupanya, si Mawar Hitam!" kata Pendekar

Mabuk.

"Syukul kau ingat padaku, Suto! Kau masih punya

hutang pusaka Tuak Setan padaku! Sekalang aku belum

ingin menagihnya, tapi suatu saat nanti, aku ingin

menagihnya dalimu," kata Mawar Hitam yang tak bisa

menyembulkan hufur 'r' itu. Ia adalah penguasa Pulau

Hantu, bekas gurunya Peri Malam.

"Lalu, sekarang kau mau apa, Mawar Hitam?!"

"Aku tahu sejak tadi kau selang pelempuan ini

dengan lagak mabukmu! Dia tidak melasa, dan akhil-nya

dia jatuh begini. Kasihan!"

"Mata tuamu memang jeli, Mawar Hitam! Tak sejeli

mata perempuan yang sedang dimabuk birahi karena

racunnya yang berhasil kukembalikan tadi. Kalau kau

tahu begitu, sekarang mau apa kau?"

"Aku belum mau ulusan sama kamu, mulid sinting!

Tapi tunggu kalau aku sudah ambil semua ilmu yang ada

dalam dili pelempuan ini! Aku akan balas kekalahanku

tempo hali!"

Sebelum Pendekar Mabuk lontarkan kata, tiba-tiba

nenek kempot keriput itu bergerak cepat. Tubuh Nyai

Lembah Asmara diangkatnya bagai mengangkat batang

pisang, lalu ia segera jejakkan kaki dan melesat pergi

dengan cepat menuruni lereng bukit. Pendekar Mabuk

hanya mengejar sampai tiga langkah ke depan, lalu

membiarkan nenek kempot itu pergi membawa Nyai

Lembah Asmara.

Tiba-tiba dari arah belakang Pendekar Mabuk ada

suara memanggil, "Suto...?!"

Oh, rupanya Nyai Betari Ayu datang agak terlambat,

ia tidak menyaksikan pertarungan Pendekar Mabuk yang

mirip pertarungan sinting itu. Ia tidak melihat bagaimana

Pendekar Mabuk merubuhkan Nyai Lembah Asmara, ia

hanya melihat Pendekar Mabuk melangkah dengan

sempoyongan mendekatinya.

"Kau tidak apa-apa, Suto?"

"Tidak, Nyai. Racun kiriman Nyai Lembah Asmara

berhasil kubalikkan saat dia mencium bibirku... he he

he...."

"Dia mencium bibirmu, Suto?!" Betari Ayu sempat

kaget dan punya perasaan tak suka mendengarnya. Ia

palingkan wajah dan cemberut. Pendekar Mabuk tertawa

terkekeh-kekeh. Tapi tawanya menjadi hilang ketika ia

melihat jari tengah tangan kanan Betari Ayu

mengenakan cincin bermata putih berlian. Pendekar

Mabuk terbayang penuturan dari gurunya tentang ciri-

ciri Cincin Manik Intan. Dan, saat itulah mata Pendekar

Mabuk terbelalak melihat Cincin Manik Intan ada di

tangan Nyai Betari Ayu.

"Haruskah aku bertarung dengannya merebut cincin

itu?!" pikir Pendekar Mabuk dengan hati gundah gulana.

SELESAI

PENDEKAR MABUK

Ikuti kisah selanjutnya

Serial Pendekar Mabuk Suto Sinting dalam episode:

PERTARUNGAN Di BUKIT JAGAL