Episode 41
SEBUAH bangunan mirip istana kecil bertengger
megah di lereng sebuah bukit. Bukit itu adalah Bukit
Garinda. Dulu wilayah itu dikuasai oleh Nyai Guru
Betari Ayu. Kala itu, Betari Ayu punya persahabatan
baik dengan seorang teman yang bernama Wulandari.
Dan pada waktu Wulandari mendirikan Partai
Perempuan Sakti, Betari Ayu tidak mau bergabung,
tetapi sebagai tanda persahabatan ia pinjamkan tanah di
lereng Bukit Garinda itu kepada Wulandari. Waktu demi
waktu berlalu akhirnya tanah di lereng Bukit Garinda
dikuasai sepenuhnya oleh Wulandari, yang kemudian
dikenal dengan julukan Nyai Lembah Asmara.
Bangunan yang mirip istana kecil itu dikelilingi oleh
tembok tinggi yang menyerupai benteng. Batas salah
satu sisi tembok ada yang mencapai tepian pantai laut
utara. Bangunan itu berkesan megah, mempunyai pintu
gerbang yang jaraknya lebih dari seratus langkah dari
pusat bangunannya sendiri.
Di tanah yang jaraknya lebih dari seratus langkah itu,
dibangun pula rumah-rumah kecil yang merupakan
pemukiman para anak buah Nyai Lembah Asmara. Juga
dibangun tempat-tempat khusus untuk berlatih ilmu. Di
sana dipersiapkan sepasukan-prajurit wanita yang kelak
akan menjadi benteng utama dari negeri yang ingin
didirikan oleh Nyai Lembah Asmara. Mereka adalah
kaum wanita yang tangguh dan terpilih. Cantik dan
menggiurkan, adalah syarat utama untuk menjadi anak
buah Nyai Lembah Asmara. Di sana, cinta bebas
berkeliaran. Pria hanya merupakan barang yang bisa
dibeli dan dijadikan satu kebutuhan hidup bila sewaktu-
waktu diperlukan.
Nyai Lembah Asmara dan anak buahnya dikenal
sebagai perempuan-perempuan pemburu cinta yang tak
segan-segan membantai lelaki yang habis dikencaninya.
Mereka ditempa oleh Nyai Lembah Asmara untuk
menjadi perempuan yang berjaya di atas kaum lelaki
mana pun juga. Karena menurut ramalan seorang ahli
nujum dari Mongol yang pernah bertemu dengan Nyai.
Sang Nyai akan bisa berdiri sebagai ratu di atas segala
ratu di bumi ini, jika ia bisa mempunyai negara yang
seluruh punggawa dan prajuritnya adalah perempuan.
Sang Nyai rupanya benar-benar ingin menjadi ratu di
atas segala ratu di bumi.
Kaum lelaki jarang hadir di lingkungan kekuasaan
sang Nyai. Kalaupun ada lelaki di sana, mereka hanyalah
alat pemuas dahaga para wanita Bukit Garinda. Tak ada
lelaki yang masuk ke benteng tinggi itu keluar dalam
keadaan segar. Paling tidak mereka meninggalkan Bukit
Garinda dalam keadaan layu dan pucat bagai mayat.
Bahkan sering sekali mereka keluar dalam keadaan luka
parah dan tewas sebelum mencapai kaki bukit.
Nyai Lembah Asmara selalu menempa jiwa anak
buahnya untuk tidak terlalu banyak memberi kemanisan
kepada kaum lelaki. Bahkan mereka selalu dianjurkan
untuk tidak mudah memberi maaf atau ampun kepada
kaum lelaki. Sekali cabut pedang, pantang dimasukkan
kembali sebelum memenggal kepala seorang lelaki.
Tetapi terhadap lawan wanita, Nyai tidak menyalahkan
anak buahnya jika ada yang punya kebijakan ataupun
tenggang rasa.
Satu-satunya mantan murid Nyai yang melarikan diri
dari Bukit Garinda karena tak tahan terhadap kekangan
peraturan di sana adalah Peri Malam, yang kemudian
bertemu dengan penguasa Pulau Hantu berjuluk Si
Mawar Hitam, lalu diangkat sebagai muridnya. Pada
waktu itu, Peri Malam belum mempunyai ilmu tinggi
dan masih berada di jajaran para murid tingkat dasar.
Sayang pada waktu Peri Malam melihat Perawan
Sesat bersama Dirgo, si Manusia Sontoloyo itu, ia tidak
mengenali siapa Perawan Sesat. Karena pada waktu Peri
Malam meninggalkan Bukit Garinda, Perawan Sesat
belum menjadi anak buah Nyai Lembah Asmara. Peri
Malam hanya bisa simpulkan, bahwa Perawan Sesat
adalah perempuan yang membahayakan, karena dapat
merebut hati Pendekar Mabuk dengan kecantikan dan
daya tariknya yang aneh itu (Baca serial Pendekar
Mabuk dalam episode: "Perawan Sesat').
Pengejaran Peri Malam saat melihat Suto melarikan
Perawan Sesat ternyata menemui jalan buntu, ia
kehilangan jejak Pendekar Mabuk. Tapi rasa cinta yang
makin berkembang di hatinya, membuat Peri Malam
pantang menyerah untuk tetap mencari Suto Sinting, ia
selalu mengandalkan indera penciumannya untuk
melacak ke mana arah perginya Suto.
Sampai tiba pada langkah berikutnya, Peri Malam
mulai mencium bau keringat Suto yang punya aroma
tuak bumbung. Mata tajam Peri Malam segera melirik
sekeliling. Bahkan ia sentakkan kaki dan melenting di
udara untuk hinggap di salah satu dahan pohon. Dari
sana ia memandang segala penjuru, terutama ke arah
datangnya aroma keringat tuak itu.
"Pasti dia ada di sekitar sini," pikir Peri Malam. "Bau
keringatnya hanya samar-samar, itu berarti jaraknya
cukup jauh dari sini. Hmmm... agaknya aroma keringat
Pendekar Mabuk lebih tajam ke arah utara. Itu berarti dia
berada di sebelah utara sana! Aku harus melacaknya
terus!"
Kelebat bayangan kuning adalah kelebat gerakan Peri
Malam yang berpakaian kuning kunyit. Rambutnya yang
lurus melewati pundak masih diikat dengan rantai emas
berbatu merah delima di keningnya.
Bayangan kuning kunyit itu hinggap kembali ke
dahan pohon lain. Peri Malam lemparkan pandangan
mata ke arah jauh. Ia terkesiap sekejap dan hatinya
berkata,
"Oh, rupanya aku mendekati Bukit Garinda?!
Dinding bentengnya terlihat jelas dari sini. Dan anehnya
aroma keringat Suto semakin jelas pula. Apakah Suto
berada di dalam benteng sana? Celaka! Celaka kalau dia
ada di sana! Bukan hal mudah membebaskan Pendekar
Mabuk dari dalam benteng Bukit Garinda itu. Pasti aku
harus berhadapan dengan anak buah Nyai Lembah
Asmara. Ilmuku tak seimbang. Dia bukan lawanku.
Tapi, aku harus bisa menyelamatkan Suto dari
cengkeraman Nyai. Suto hanya akan dijadikan sapi
perahan saja di sana. Aku sendiri sangsi, apakah Suto
bisa melawan ilmunya Nyai jika ia melakukan
pembangkangan?! Dan yang paling berbahaya adalah
ilmu 'Racun Darah Asmara' milik Nyai! Suto tak akan
bisa melawan racun yang amat ganas itu!"
Peri Malam hentikan kecamuk hatinya. Bahkan ia
pun alihkan perhatian ke bawah pohon. Ternyata di sana
ada dua manusia yang terhenti langkahnya karena
memandang bangunan di lereng Bukit Garinda. Mereka
adalah seorang lelaki agak pendek dan sedikit gemuk,
bersama seorang perempuan berlilit selendang putih di
bagian pinggangnya, menyandang pedang di
punggungnya. Mereka adalah Pujangga Keramat dan
Selendang Kubur. Rupanya mereka sibuk mengamat-
amati bagian pintu gerbang benteng itu, sampai tak
menyadari ada sesosok tubuh bertahi lalat di sudut
dagunya diam mengawasi di atas kepala mereka.
"Aku yakin Suto ada di dalam benteng itu, Paman
Pujangga Keramat," kata Selendang Kubur menirukan
panggilan Suto terhadap Pujangga Keramat.
"Harus kita masuk bisa ke sana!" kata Pujangga
Keramat dengan susunan kata yang selalu harus disusun
kembali oleh lawan bicaranya.
"Tapi sebelum kita mendobrak masuk, ada baiknya
kalau kita selidiki dulu apakah Suto benar-benar ada di
sana, dan di sebelah mana. Jadi kita tidak buang-buang
waktu dan tenaga jika harus membantai habis orang-
orangnya Nyai Lembah Asmara."
"Setuju aku gagasanmu dengan!"
Kemudian, Pujangga Keramat memasukkan jari
telunjuknya ke mulut. Sebentar kemudian dikeluarkan
lagi. Jari telunjuk yang basah oleh ludahnya itu diangkat
ke atas dengan tangan teracung naik. Ia pejamkan mata
sebentar. Selendang Kubur memandangi dengan dahi
kerut. Heran melihat apa yang dilakukan Pujangga
Keramat.
Kejap berikut, Pujangga Keramat turunkan tangan
dan berkata,
"Suto memang ada benteng di dalam."
"Maksudmu, Suto ada di dalam benteng itu?"
"Ya!" jawabnya tegas.
Selendang Kubur manggut-manggut sambil menatap
bangunan itu. Hatinya membatin geli melihat cara
Pujangga Keramat melacak Suto.
"Cara yang dipakai seperti cara orang yang mencari
tahu arah angin berhembus. Tapi hebat juga dia, bisa
lacak Suto pakai jari telunjuk yang dibasahi."
Peri Malam yang bertengger di atas mereka juga
ingin tertawa geli melihat cara Pujangga Keramat
melacak Suto. Hampir saja ia hamburkan tawa kalau
tidak segera tutup mulutnya pakai tangan.
Pujangga Keramat berkata kepada Selendang Kubur,
"Aku tangkap Pendekar Mabuk dan seorang
perempuan."
"Pasti dia si Perawan Sesat itu!"
"Sesat bukan! Perempuan itu ada lalat bertahi di
dagunya, ada kuning kunyit di pakaiannya...."
"Peri Malam!" sahut Selendang Kubur cepat dan
terkejap. Ia segera palingkan wajah pandang Pujangga
Keramat. "Itu ciri-ciri Peri Malam!" katanya
menegaskan.
"Mungkin, ya!"
"Apakah dia berada bersama Suto?" tegang wajah
Selendang Kubur tak bisa disembunyikan.
"Bersama Suto tidak! Itu perempuan tidak ada Suto di
sampingnya."
"Lantas, ada di mana perempuan itu jika tidak ada di
samping Pendekar Mabuk?"
"Bertengger dia kepala kita di atas," jawab Pujangga
Keramat membingungkan Selendang Kubur.
Di atas pohon, Peri Malam menggerutu dalam hati,
"Sial! Rupanya orang itu tadi bukan hanya melacak
Suto, namun juga melacak diriku yang ada di atasnya.
Hm... tak ada guna aku tetap diam di sini!"
Saat Selendang Kubur kerutkan dahi untuk susun
kembali kata-kata Pujangga Keramat tadi, tahu-tahu
angin berhembus cepat dari atas kepalanya. Selendang
Kubur cepat lompatkan tubuh ke kanan, hindari
hembusan angin yang mencurigakan itu.
Jleeg...!
Hembusan angin hilang, Peri Malam menampakkan
diri. Ia tampakkan kedua kaki di tanah dengan mantap,
jarak empat langkah dari Selendang Kubur yang
bersebelahan dengan Pujangga Keramat. Peri Malam
segera sunggingkan senyum sinis pada Selendang
Kubur.
"Kita bertemu lagi, Selendang Kubur!" ucap Peri
Malam dengan sorot mata tajam.
Selendang Kubur tak mau kalah, ia ucapkan kata
pedas,
"Mungkin kau ingin serahkan nyawa padaku, Peri
Malam! Aku pun siap menebas lehermu dengan
pedangku!"
Tangan Selendang Kubur bergerak ke belakang, mau
pegang gagang pedang Jalaganda. Tapi itu hanya
gertakan belaka. Buktinya ia segera turunkan tangan
setelah Peri Malam sunggingkan senyum lebar dan
ucapkan kata,
"Tak mungkin kau mau tebas leherku pakai
pedangmu. Kau akan merasa sayang jika darahku
melumuri pedangmu. Aku tahu, kau bawa pedang itu
hanya untuk melawan Nyai Lembah Asmara! Pedang itu
adalah senjata pamungkasmu untuk merebut Suto dari
tangan Nyai!"
"Tapi jika kau ingin merampas Pendekar Mabuk, aku
pun siap tebaskan pedang ini ke lehermu, kapan saja aku
mau!"
"Kau tak akan mampu, Selendang Kubur," Peri
Malam cibirkan bibir dan berpaling membelakangi
Selendang Kubur, menatap ke arah bangunan ber-
benteng hitam keabu-abuan itu.
Selendang Kubur menghempaskan napas jengkel, ia
perdengarkan geram dari mulutnya. Saat ia ingin
bergerak maju, tangan Pujangga Keramat menghalangi
langkahnya. Selendang Kubur cepat menatap.
"Biar kubuktikan bahwa aku mampu menebas batang
lehernya!"
"Tak perlunya ada!" kata Pujangga Keramat.
Peri Malam balikkan badan, lalu berkata pada
Selendang Kubur, "Tepat apa kata dia, tak perlu kau
tebas batang leherku untuk saat ini. Kau hanya akan
buang-buang waktu dan tenaga. Aku tahu, saat ini waktu
dan tenagamu amat berguna buat loloskan Suto keluar
dari benteng itu! Tapi ketahuilah, Selendang Kubur... tak
semudah menimba air jika kau ingin loloskan Pendekar
Mabuk keluar dari benteng itu. Kau harus berhadapan
dengan Nyai Lembah Asmara yang punya ilmu cukup
tinggi, dan lebih tinggi dari kita bertiga! Kau akan mati
sia-sia jika nekat masuk ke sana dan mencari Suto."
"Mati itu nomor sepuluh. Nomor satu adalah loloskan
Suto dari cengkeraman mesra Nyai Lembah Asmara!"
Selendang Kubur ucapkan kata itu dengan mata
menyipit dendam.
"Itu pun tak mudah kau lakukan," kata Peri Malam
sambil lepaskan tawa mengikik. "Kau akan mati sebelum
sampai berhadapan dengan Nyai Lembah Asmara. Dia
punya anak buah berilmu tinggi semua. Tak ada yang
bisa masuk ke sana untuk menarik keluar Suto kecuali
aku!"
"Cuih...!" Selendang Kubur meludah ke samping.
"Ilmu kanuraganmu belum ada seujung kuku hitamku,
beraninya berlagak mau selamatkan Pendekar Mabuk
dari dalam sana?! Bercerminlah dulu, Peri Malam!"
"Jangan remehkan aku, Setan!" geram Peri Malam.
"Nyatanya beberapa kali kau bertemu denganku, kau tak
sanggup mengalahkan aku! Kalau aku tak punya rasa
kasihan padamu, sudah sejak kemarin nyawamu kukirim
ke neraka!"
"Mulut besar! Mari kita buktikan sekarang, siapa
yang harus pergi ke neraka. Kau atau aku! Hiaaat...!"
Selendang Kubur sentakkan kaki kirinya ke tanah dan
tubuhnya melayang terbang ke arah Peri Malam. Kaki
kanannya lurus ke samping dan berusaha menendang
kepala Peri Malam dengan tendangan miring.
"Hup...!"
Plak...!
Peri Malam sedikit lompatkan badan sambil kibaskan
tangannya untuk menangkis kaki Selendang Kubur.
Tangkisan itu cukup pelan, tapi membuat Selendang
Kubur terjengkang jatuh. Sementara itu, Peri Malam
sigap kembali berdiri, menunggu serangan berikutnya.
Selendang Kubur bisikkan kata di hatinya, "Lumayan
juga tangkisan tangannya. Dia salurkan tenaga dalamnya
tadi hingga bikin kakiku sedikit kesemutan!"
Di sisi lain, Peri Malam juga bisikkan kata dalam
hatinya, "Setan! Linu juga tulangku menangkis
tendangannya. Pasti dia salurkan tenaga dalamnya ke
kaki. Agaknya dia tidak main-main! Aku harus lebih
waspada lagi."
Melihat Selendang Kubur bangkit kembali, Peri
Malam segera sentakkan kaki ke tanah dan melesat naik
tubuhnya, berjungkir balik satu kali di udara.
Wuuus...!
Tepat pada saat itu, Selendang Kubur pun melesat
naik ke udara dan bersalto satu kali di udara. Wusss...!
Kedua tangan mereka siap di udara dengan tenaga
dalam yang tidak main-main. Wajah mereka sama-sama
tampakkan kegeraman dan nafsu untuk saling
membunuh.
Tiba-tiba Pujangga Keramat hentakkan kakinya ke
tanah dan lompatlah tubuhnya melayang maju ke
pertengahan antara dua perempuan itu. Dengan cepat
kedua kaki Pujangga Keramat sentakkan kaki ke kiri dan
ke kanan secara bersamaan.
Beegh... begh...!
Dua tendangan samping yang dilakukan secara
serentak itu mengenai perut dua perempuan itu.
Tendangan tersebut juga bukan tendangan main-main.
Buktinya dua-duanya sama-sama tersentak ke belakang,
bahkan sama-sama membentur pohon.
Jleeg...! Pujangga Keramat kembali berdiri sigap di
tanah setelah melakukan tendangan serentak, ia pandangi
kedua perempuan yang saling menahan rasa mual di
perut mereka, dan berusaha sama-sama berdiri lagi.
"Kebo dekil!" sentak Peri Malam. "Mengapa kau ikut
campur urusan kami, hah? Ini urusan perempuan!"
"Tak maksud punya aku ikut campur. Hanya aku
sekadar unjukkan rasa tak suka aku perselisihan kalian
dengan!"
"Ngomong apa kau ini, hah?!" Peri Malam makin
menyentak.
"Singkir dulu permusuhan!" kata Pujangga Keramat
kepada Selendang Kubur, lalu palingkan wajah pada Peri
Malam dan ucapkan kata,
"Sama-sama kalian punya ingin, sama-sama
selamatkan Suto, jadi sama-sama kalian satukan untuk
kekuatan menyerang!"
"O, kau berharap kita bersatu menyerang benteng itu
untuk selamatkan Pendekar Mabuk?!"
"Ya. Itulah maksud yang aku!"
"Selendang Kubur!" ketus Peri Malam setelah merasa
tetap bingung mengartikan kata-kata Pujangga Keramat.
"Coba jelaskan apa maksudnya?"
"Dia ingin kita bersatu menembus benteng itu,
membawa lari Suto!"
"Hmm...! Lalu, kau sendiri bagaimana?"
"Gagasannya cukup bagus. Kita satukan kekuatan
kita untuk mengalahkan Nyai Lembah Asmara. Kita
keluarkan Suto dari sana. Setelah itu kita adu nyawa
kita, siapa hidup dapatkan Suto!"
"Baik! Aku setuju!" jawab Peri Malam dengan tegas,
tanpa ada sedikit pun keraguan dan kegentaran.
*
* *