Chereads / Pendekar Mabuk / Chapter 41 - 005.Pendekar Mabuk - Murka Sang Nyai Eps41

Chapter 41 - 005.Pendekar Mabuk - Murka Sang Nyai Eps41

Episode 41

SEBUAH bangunan mirip istana kecil bertengger

megah di lereng sebuah bukit. Bukit itu adalah Bukit

Garinda. Dulu wilayah itu dikuasai oleh Nyai Guru

Betari Ayu. Kala itu, Betari Ayu punya persahabatan

baik dengan seorang teman yang bernama Wulandari.

Dan pada waktu Wulandari mendirikan Partai

Perempuan Sakti, Betari Ayu tidak mau bergabung,

tetapi sebagai tanda persahabatan ia pinjamkan tanah di

lereng Bukit Garinda itu kepada Wulandari. Waktu demi

waktu berlalu akhirnya tanah di lereng Bukit Garinda

dikuasai sepenuhnya oleh Wulandari, yang kemudian

dikenal dengan julukan Nyai Lembah Asmara.

Bangunan yang mirip istana kecil itu dikelilingi oleh

tembok tinggi yang menyerupai benteng. Batas salah

satu sisi tembok ada yang mencapai tepian pantai laut

utara. Bangunan itu berkesan megah, mempunyai pintu

gerbang yang jaraknya lebih dari seratus langkah dari

pusat bangunannya sendiri.

Di tanah yang jaraknya lebih dari seratus langkah itu,

dibangun pula rumah-rumah kecil yang merupakan

pemukiman para anak buah Nyai Lembah Asmara. Juga

dibangun tempat-tempat khusus untuk berlatih ilmu. Di

sana dipersiapkan sepasukan-prajurit wanita yang kelak

akan menjadi benteng utama dari negeri yang ingin

didirikan oleh Nyai Lembah Asmara. Mereka adalah

kaum wanita yang tangguh dan terpilih. Cantik dan

menggiurkan, adalah syarat utama untuk menjadi anak

buah Nyai Lembah Asmara. Di sana, cinta bebas

berkeliaran. Pria hanya merupakan barang yang bisa

dibeli dan dijadikan satu kebutuhan hidup bila sewaktu-

waktu diperlukan.

Nyai Lembah Asmara dan anak buahnya dikenal

sebagai perempuan-perempuan pemburu cinta yang tak

segan-segan membantai lelaki yang habis dikencaninya.

Mereka ditempa oleh Nyai Lembah Asmara untuk

menjadi perempuan yang berjaya di atas kaum lelaki

mana pun juga. Karena menurut ramalan seorang ahli

nujum dari Mongol yang pernah bertemu dengan Nyai.

Sang Nyai akan bisa berdiri sebagai ratu di atas segala

ratu di bumi ini, jika ia bisa mempunyai negara yang

seluruh punggawa dan prajuritnya adalah perempuan.

Sang Nyai rupanya benar-benar ingin menjadi ratu di

atas segala ratu di bumi.

Kaum lelaki jarang hadir di lingkungan kekuasaan

sang Nyai. Kalaupun ada lelaki di sana, mereka hanyalah

alat pemuas dahaga para wanita Bukit Garinda. Tak ada

lelaki yang masuk ke benteng tinggi itu keluar dalam

keadaan segar. Paling tidak mereka meninggalkan Bukit

Garinda dalam keadaan layu dan pucat bagai mayat.

Bahkan sering sekali mereka keluar dalam keadaan luka

parah dan tewas sebelum mencapai kaki bukit.

Nyai Lembah Asmara selalu menempa jiwa anak

buahnya untuk tidak terlalu banyak memberi kemanisan

kepada kaum lelaki. Bahkan mereka selalu dianjurkan

untuk tidak mudah memberi maaf atau ampun kepada

kaum lelaki. Sekali cabut pedang, pantang dimasukkan

kembali sebelum memenggal kepala seorang lelaki.

Tetapi terhadap lawan wanita, Nyai tidak menyalahkan

anak buahnya jika ada yang punya kebijakan ataupun

tenggang rasa.

Satu-satunya mantan murid Nyai yang melarikan diri

dari Bukit Garinda karena tak tahan terhadap kekangan

peraturan di sana adalah Peri Malam, yang kemudian

bertemu dengan penguasa Pulau Hantu berjuluk Si

Mawar Hitam, lalu diangkat sebagai muridnya. Pada

waktu itu, Peri Malam belum mempunyai ilmu tinggi

dan masih berada di jajaran para murid tingkat dasar.

Sayang pada waktu Peri Malam melihat Perawan

Sesat bersama Dirgo, si Manusia Sontoloyo itu, ia tidak

mengenali siapa Perawan Sesat. Karena pada waktu Peri

Malam meninggalkan Bukit Garinda, Perawan Sesat

belum menjadi anak buah Nyai Lembah Asmara. Peri

Malam hanya bisa simpulkan, bahwa Perawan Sesat

adalah perempuan yang membahayakan, karena dapat

merebut hati Pendekar Mabuk dengan kecantikan dan

daya tariknya yang aneh itu (Baca serial Pendekar

Mabuk dalam episode: "Perawan Sesat').

Pengejaran Peri Malam saat melihat Suto melarikan

Perawan Sesat ternyata menemui jalan buntu, ia

kehilangan jejak Pendekar Mabuk. Tapi rasa cinta yang

makin berkembang di hatinya, membuat Peri Malam

pantang menyerah untuk tetap mencari Suto Sinting, ia

selalu mengandalkan indera penciumannya untuk

melacak ke mana arah perginya Suto.

Sampai tiba pada langkah berikutnya, Peri Malam

mulai mencium bau keringat Suto yang punya aroma

tuak bumbung. Mata tajam Peri Malam segera melirik

sekeliling. Bahkan ia sentakkan kaki dan melenting di

udara untuk hinggap di salah satu dahan pohon. Dari

sana ia memandang segala penjuru, terutama ke arah

datangnya aroma keringat tuak itu.

"Pasti dia ada di sekitar sini," pikir Peri Malam. "Bau

keringatnya hanya samar-samar, itu berarti jaraknya

cukup jauh dari sini. Hmmm... agaknya aroma keringat

Pendekar Mabuk lebih tajam ke arah utara. Itu berarti dia

berada di sebelah utara sana! Aku harus melacaknya

terus!"

Kelebat bayangan kuning adalah kelebat gerakan Peri

Malam yang berpakaian kuning kunyit. Rambutnya yang

lurus melewati pundak masih diikat dengan rantai emas

berbatu merah delima di keningnya.

Bayangan kuning kunyit itu hinggap kembali ke

dahan pohon lain. Peri Malam lemparkan pandangan

mata ke arah jauh. Ia terkesiap sekejap dan hatinya

berkata,

"Oh, rupanya aku mendekati Bukit Garinda?!

Dinding bentengnya terlihat jelas dari sini. Dan anehnya

aroma keringat Suto semakin jelas pula. Apakah Suto

berada di dalam benteng sana? Celaka! Celaka kalau dia

ada di sana! Bukan hal mudah membebaskan Pendekar

Mabuk dari dalam benteng Bukit Garinda itu. Pasti aku

harus berhadapan dengan anak buah Nyai Lembah

Asmara. Ilmuku tak seimbang. Dia bukan lawanku.

Tapi, aku harus bisa menyelamatkan Suto dari

cengkeraman Nyai. Suto hanya akan dijadikan sapi

perahan saja di sana. Aku sendiri sangsi, apakah Suto

bisa melawan ilmunya Nyai jika ia melakukan

pembangkangan?! Dan yang paling berbahaya adalah

ilmu 'Racun Darah Asmara' milik Nyai! Suto tak akan

bisa melawan racun yang amat ganas itu!"

Peri Malam hentikan kecamuk hatinya. Bahkan ia

pun alihkan perhatian ke bawah pohon. Ternyata di sana

ada dua manusia yang terhenti langkahnya karena

memandang bangunan di lereng Bukit Garinda. Mereka

adalah seorang lelaki agak pendek dan sedikit gemuk,

bersama seorang perempuan berlilit selendang putih di

bagian pinggangnya, menyandang pedang di

punggungnya. Mereka adalah Pujangga Keramat dan

Selendang Kubur. Rupanya mereka sibuk mengamat-

amati bagian pintu gerbang benteng itu, sampai tak

menyadari ada sesosok tubuh bertahi lalat di sudut

dagunya diam mengawasi di atas kepala mereka.

"Aku yakin Suto ada di dalam benteng itu, Paman

Pujangga Keramat," kata Selendang Kubur menirukan

panggilan Suto terhadap Pujangga Keramat.

"Harus kita masuk bisa ke sana!" kata Pujangga

Keramat dengan susunan kata yang selalu harus disusun

kembali oleh lawan bicaranya.

"Tapi sebelum kita mendobrak masuk, ada baiknya

kalau kita selidiki dulu apakah Suto benar-benar ada di

sana, dan di sebelah mana. Jadi kita tidak buang-buang

waktu dan tenaga jika harus membantai habis orang-

orangnya Nyai Lembah Asmara."

"Setuju aku gagasanmu dengan!"

Kemudian, Pujangga Keramat memasukkan jari

telunjuknya ke mulut. Sebentar kemudian dikeluarkan

lagi. Jari telunjuk yang basah oleh ludahnya itu diangkat

ke atas dengan tangan teracung naik. Ia pejamkan mata

sebentar. Selendang Kubur memandangi dengan dahi

kerut. Heran melihat apa yang dilakukan Pujangga

Keramat.

Kejap berikut, Pujangga Keramat turunkan tangan

dan berkata,

"Suto memang ada benteng di dalam."

"Maksudmu, Suto ada di dalam benteng itu?"

"Ya!" jawabnya tegas.

Selendang Kubur manggut-manggut sambil menatap

bangunan itu. Hatinya membatin geli melihat cara

Pujangga Keramat melacak Suto.

"Cara yang dipakai seperti cara orang yang mencari

tahu arah angin berhembus. Tapi hebat juga dia, bisa

lacak Suto pakai jari telunjuk yang dibasahi."

Peri Malam yang bertengger di atas mereka juga

ingin tertawa geli melihat cara Pujangga Keramat

melacak Suto. Hampir saja ia hamburkan tawa kalau

tidak segera tutup mulutnya pakai tangan.

Pujangga Keramat berkata kepada Selendang Kubur,

"Aku tangkap Pendekar Mabuk dan seorang

perempuan."

"Pasti dia si Perawan Sesat itu!"

"Sesat bukan! Perempuan itu ada lalat bertahi di

dagunya, ada kuning kunyit di pakaiannya...."

"Peri Malam!" sahut Selendang Kubur cepat dan

terkejap. Ia segera palingkan wajah pandang Pujangga

Keramat. "Itu ciri-ciri Peri Malam!" katanya

menegaskan.

"Mungkin, ya!"

"Apakah dia berada bersama Suto?" tegang wajah

Selendang Kubur tak bisa disembunyikan.

"Bersama Suto tidak! Itu perempuan tidak ada Suto di

sampingnya."

"Lantas, ada di mana perempuan itu jika tidak ada di

samping Pendekar Mabuk?"

"Bertengger dia kepala kita di atas," jawab Pujangga

Keramat membingungkan Selendang Kubur.

Di atas pohon, Peri Malam menggerutu dalam hati,

"Sial! Rupanya orang itu tadi bukan hanya melacak

Suto, namun juga melacak diriku yang ada di atasnya.

Hm... tak ada guna aku tetap diam di sini!"

Saat Selendang Kubur kerutkan dahi untuk susun

kembali kata-kata Pujangga Keramat tadi, tahu-tahu

angin berhembus cepat dari atas kepalanya. Selendang

Kubur cepat lompatkan tubuh ke kanan, hindari

hembusan angin yang mencurigakan itu.

Jleeg...!

Hembusan angin hilang, Peri Malam menampakkan

diri. Ia tampakkan kedua kaki di tanah dengan mantap,

jarak empat langkah dari Selendang Kubur yang

bersebelahan dengan Pujangga Keramat. Peri Malam

segera sunggingkan senyum sinis pada Selendang

Kubur.

"Kita bertemu lagi, Selendang Kubur!" ucap Peri

Malam dengan sorot mata tajam.

Selendang Kubur tak mau kalah, ia ucapkan kata

pedas,

"Mungkin kau ingin serahkan nyawa padaku, Peri

Malam! Aku pun siap menebas lehermu dengan

pedangku!"

Tangan Selendang Kubur bergerak ke belakang, mau

pegang gagang pedang Jalaganda. Tapi itu hanya

gertakan belaka. Buktinya ia segera turunkan tangan

setelah Peri Malam sunggingkan senyum lebar dan

ucapkan kata,

"Tak mungkin kau mau tebas leherku pakai

pedangmu. Kau akan merasa sayang jika darahku

melumuri pedangmu. Aku tahu, kau bawa pedang itu

hanya untuk melawan Nyai Lembah Asmara! Pedang itu

adalah senjata pamungkasmu untuk merebut Suto dari

tangan Nyai!"

"Tapi jika kau ingin merampas Pendekar Mabuk, aku

pun siap tebaskan pedang ini ke lehermu, kapan saja aku

mau!"

"Kau tak akan mampu, Selendang Kubur," Peri

Malam cibirkan bibir dan berpaling membelakangi

Selendang Kubur, menatap ke arah bangunan ber-

benteng hitam keabu-abuan itu.

Selendang Kubur menghempaskan napas jengkel, ia

perdengarkan geram dari mulutnya. Saat ia ingin

bergerak maju, tangan Pujangga Keramat menghalangi

langkahnya. Selendang Kubur cepat menatap.

"Biar kubuktikan bahwa aku mampu menebas batang

lehernya!"

"Tak perlunya ada!" kata Pujangga Keramat.

Peri Malam balikkan badan, lalu berkata pada

Selendang Kubur, "Tepat apa kata dia, tak perlu kau

tebas batang leherku untuk saat ini. Kau hanya akan

buang-buang waktu dan tenaga. Aku tahu, saat ini waktu

dan tenagamu amat berguna buat loloskan Suto keluar

dari benteng itu! Tapi ketahuilah, Selendang Kubur... tak

semudah menimba air jika kau ingin loloskan Pendekar

Mabuk keluar dari benteng itu. Kau harus berhadapan

dengan Nyai Lembah Asmara yang punya ilmu cukup

tinggi, dan lebih tinggi dari kita bertiga! Kau akan mati

sia-sia jika nekat masuk ke sana dan mencari Suto."

"Mati itu nomor sepuluh. Nomor satu adalah loloskan

Suto dari cengkeraman mesra Nyai Lembah Asmara!"

Selendang Kubur ucapkan kata itu dengan mata

menyipit dendam.

"Itu pun tak mudah kau lakukan," kata Peri Malam

sambil lepaskan tawa mengikik. "Kau akan mati sebelum

sampai berhadapan dengan Nyai Lembah Asmara. Dia

punya anak buah berilmu tinggi semua. Tak ada yang

bisa masuk ke sana untuk menarik keluar Suto kecuali

aku!"

"Cuih...!" Selendang Kubur meludah ke samping.

"Ilmu kanuraganmu belum ada seujung kuku hitamku,

beraninya berlagak mau selamatkan Pendekar Mabuk

dari dalam sana?! Bercerminlah dulu, Peri Malam!"

"Jangan remehkan aku, Setan!" geram Peri Malam.

"Nyatanya beberapa kali kau bertemu denganku, kau tak

sanggup mengalahkan aku! Kalau aku tak punya rasa

kasihan padamu, sudah sejak kemarin nyawamu kukirim

ke neraka!"

"Mulut besar! Mari kita buktikan sekarang, siapa

yang harus pergi ke neraka. Kau atau aku! Hiaaat...!"

Selendang Kubur sentakkan kaki kirinya ke tanah dan

tubuhnya melayang terbang ke arah Peri Malam. Kaki

kanannya lurus ke samping dan berusaha menendang

kepala Peri Malam dengan tendangan miring.

"Hup...!"

Plak...!

Peri Malam sedikit lompatkan badan sambil kibaskan

tangannya untuk menangkis kaki Selendang Kubur.

Tangkisan itu cukup pelan, tapi membuat Selendang

Kubur terjengkang jatuh. Sementara itu, Peri Malam

sigap kembali berdiri, menunggu serangan berikutnya.

Selendang Kubur bisikkan kata di hatinya, "Lumayan

juga tangkisan tangannya. Dia salurkan tenaga dalamnya

tadi hingga bikin kakiku sedikit kesemutan!"

Di sisi lain, Peri Malam juga bisikkan kata dalam

hatinya, "Setan! Linu juga tulangku menangkis

tendangannya. Pasti dia salurkan tenaga dalamnya ke

kaki. Agaknya dia tidak main-main! Aku harus lebih

waspada lagi."

Melihat Selendang Kubur bangkit kembali, Peri

Malam segera sentakkan kaki ke tanah dan melesat naik

tubuhnya, berjungkir balik satu kali di udara.

Wuuus...!

Tepat pada saat itu, Selendang Kubur pun melesat

naik ke udara dan bersalto satu kali di udara. Wusss...!

Kedua tangan mereka siap di udara dengan tenaga

dalam yang tidak main-main. Wajah mereka sama-sama

tampakkan kegeraman dan nafsu untuk saling

membunuh.

Tiba-tiba Pujangga Keramat hentakkan kakinya ke

tanah dan lompatlah tubuhnya melayang maju ke

pertengahan antara dua perempuan itu. Dengan cepat

kedua kaki Pujangga Keramat sentakkan kaki ke kiri dan

ke kanan secara bersamaan.

Beegh... begh...!

Dua tendangan samping yang dilakukan secara

serentak itu mengenai perut dua perempuan itu.

Tendangan tersebut juga bukan tendangan main-main.

Buktinya dua-duanya sama-sama tersentak ke belakang,

bahkan sama-sama membentur pohon.

Jleeg...! Pujangga Keramat kembali berdiri sigap di

tanah setelah melakukan tendangan serentak, ia pandangi

kedua perempuan yang saling menahan rasa mual di

perut mereka, dan berusaha sama-sama berdiri lagi.

"Kebo dekil!" sentak Peri Malam. "Mengapa kau ikut

campur urusan kami, hah? Ini urusan perempuan!"

"Tak maksud punya aku ikut campur. Hanya aku

sekadar unjukkan rasa tak suka aku perselisihan kalian

dengan!"

"Ngomong apa kau ini, hah?!" Peri Malam makin

menyentak.

"Singkir dulu permusuhan!" kata Pujangga Keramat

kepada Selendang Kubur, lalu palingkan wajah pada Peri

Malam dan ucapkan kata,

"Sama-sama kalian punya ingin, sama-sama

selamatkan Suto, jadi sama-sama kalian satukan untuk

kekuatan menyerang!"

"O, kau berharap kita bersatu menyerang benteng itu

untuk selamatkan Pendekar Mabuk?!"

"Ya. Itulah maksud yang aku!"

"Selendang Kubur!" ketus Peri Malam setelah merasa

tetap bingung mengartikan kata-kata Pujangga Keramat.

"Coba jelaskan apa maksudnya?"

"Dia ingin kita bersatu menembus benteng itu,

membawa lari Suto!"

"Hmm...! Lalu, kau sendiri bagaimana?"

"Gagasannya cukup bagus. Kita satukan kekuatan

kita untuk mengalahkan Nyai Lembah Asmara. Kita

keluarkan Suto dari sana. Setelah itu kita adu nyawa

kita, siapa hidup dapatkan Suto!"

"Baik! Aku setuju!" jawab Peri Malam dengan tegas,

tanpa ada sedikit pun keraguan dan kegentaran.

*

* *