Episode 39
CEPAT sekali Perawan Sesat berlari dalam satu
lompatan demi lompatan bertenaga ringan, ia sengaja
menyuruh Suto mengikuti arah kepergiannya dengan
maksud untuk mengukur kecepatan gerak Suto
dibandingkan dirinya. Perawan Sesat tetap menunjukkan
kekerasan jiwanya, dan tak mau menampakkan rasa
tertariknya kepada Pendekar Mabuk. Bahkan ia sering
unjuk ilmu kepada Suto, yang oleh Suto hanya
ditertawakan dalam hati.
Seperti kali ini, ia berlari cepat sekali bagaikan
kilasan anak panah yang kecepatannya tak mampu
diikuti oleh pandangan mata. Ia sengaja menyuruh Suto
mengikutinya dan ia yakin Suto kebingungan mengikuti
gerakannya.
Pada satu tempat rindang, Perawan Sesat sengaja
berhenti dan berpaling ke belakang, ia tidak melihat Suto
di sana. Ia tertawa sendiri merasa berhasil memperdaya
Suto sehingga pria tampan bertubuh kekar itu tidak
mampu mengikuti kecepatan geraknya. Perawan Sesat
pun berseru,
"Hoi, Suto...! Ayo lekas susul aku! Jangan seperti
pengantin sunat langkahmu, Suto!"
Terdengar jawaban agak jauh, "Aku di sini, Perawan
Sesat!"
Seketika itu juga Perawan Sesat terperanjat kaget. Ia
palingkan wajah ke arah depan. Ternyata Pendekar
Mabuk sudah berdiri di atas sebuah pohon kira-kira dua
puluh langkah lebih dulu darinya. Suto berdiri sambil
bersandar pada sebatang pohon. Senyumnya mekar di
wajah tampannya, yang membuat Perawan Sesat
menggeram gemas sekali.
"Edan! Ternyata dia lebih cepat dariku! Dia sudah
ada di depanku...! Malu aku kalau tidak bisa melecehkan
dirinya!"
Wuuut...! Perawan Sesat melompat satu jejakan kaki.
Tubuhnya sudah mencapai tempat di mana Pendekar
Mabuk berdiri sambil menenggak tuaknya. Mata Suto
sudah mulai memerah, tanda mulai dihinggapi perasaan
mabuk. Tetapi agaknya Suto Sinting tetap mampu
mengendalikan segala rasa dan pikiran, bahkan tampak
lebih tajam dari sebelum ia dikuasai oleh
kemabukannya.
"Apakah arah Bukit Garinda masih jauh?" tanya Suto.
"Masih beberapa hari lagi," jawab Perawan Sesat.
"Kalau kita tempuh dengan kecepatan lari seperti tadi,
mungkin hanya memakan waktu sehari semalam. Kita
harus bisa tempuh dengan kecepatan siluman!"
"Apa itu kecepatan siluman?" Suto kerutkan dahi
mirip orang tolol. Sikapnya membuat Perawan Sesat
tertawa mirip kuntilanak. Tawa bersuara serak itu
terhenti, dan berganti kata-kata yang tetap bersuara
serak-serak basah,
"Kecepatan siluman adalah kecepatan batin yang
tidak menggunakan otot tubuh kita. Seperti misalnya kita
akan mencapai gundukan tanah yang membukit itu, kita
tak perlu berlari cepat seperti tadi. Cukup dengan satu
kedipan mata sudah bisa sampai ke puncak gundukan
tanah itu. Contohnya seperti ini...!"
Perawan Sesat segera tunjukkan kebolehan ilmu
silumannya, ia memejamkan mata sambil menarik napas
panjang-panjang. Dadanya menjadi penuh dengan
gumpalan napas. Tangannya bergerak memutar di depan
wajah bagai orang menari lemah gemulai. Jika napas
dihentakkan lewat hidung, maka tubuhnya akan lenyap
dan muncul di puncak gundukan tanah yang membukit
itu.
Sebelum ia hentakkan napas lewat hidung, tiba-tiba ia
mendengar suara Suto Sinting berseru, "Hoii... lekas!
Jangan lama-lama!"
Napas tak jadi dihentakkan. Begitu mata dibuka
Perawan Sesat kembali terperangah melihat Suto sudah
lebih dulu ada di atas gundukan tanah yang membukit
itu. Ia melambai-lambaikan tangan memanggil Perawan
Sesat.
Geram Perawan Sesat semakin menjadi. "Kurang
ajar! Dia lebih cepat pindahkan diri ke sana! Tinggi juga
ilmu orang itu! Aku kalah cepat dengan ilmu
silumannya. Rupanya ia tadi berlagak bodoh di
depanku!"
Segera Perawan Sesat menyusul Suto ke atas bukit.
Jllig...! Tubuhnya tiba dengan cepat di atas bukit-bukitan
itu. Tetapi ia kehilangan Pendekar Mabuk. Ia mencari-
cari Suto, yang ternyata sudah berada di bawah pohon
rindang, jauh darinya. Gerakan menenggak bumbung
tuak terlihat samar-samar. Sekali lagi Perawan Sesat
menggeram penuh kejengkelan.
"Dasar sinting! Didekati malah sudah kabur sejauh
itu. Edan betul dia! Aku tak bisa mencapai tempat sejauh
itu hanya dengan satu jurus saja. Harus memakai dua
jurus alias dua langkah siluman. Hmmm...! Dia benar-
benar mempermainkan aku! Membuatku malu jika
begini! Sayang sekali dia tampan dan menggairahkan.
Kalau tidak, sudah kuhajar habis dia!"
"Cepat...!" Suto Sinting melambai dengan suara kecil
karena jauhnya.
Perawan Sesat hanya menggeram dalam hati dan
berkata, "Pantas kalau Nyai Lembah Asmara terpikat
pada lelaki tanpa pusar itu, selain tampan dan
menggairahkan, ia juga berilmu tinggi! Ah, sulit sekali
aku menghindari rasa tertarikku kepadanya. Hasratku
sejak tadi menyala-nyala ingin mencumbunya. Tapi
agaknya ia tidak tergiur padaku. Hmmm... aku harus
menggunakan ilmu 'Pelet Sukma' biar dia terpikat dan
mau diajak bercumbu di bawah pohon itu!"
Kejap, berikutnya Perawan Sesat sudah tiba di tempat
Suto duduk santai di bawah pohon rindang. Dengan
cepat ia tatapkan pandangan matanya ke mata Suto.
Senyum Suto mekar ketika dipandang perempuan itu.
Kejap kemudian napas Perawan Sesat disentakkan lewat
hidung. Wusss...! Pelan tapi berbahaya, karena itulah
yang dinamakan ilmu 'Pelet Sukma' yang mampu
membuat setiap lelaki mabuk birahi.
Tetapi ada satu keanehan yang dirasakan oleh
Perawan Sesat. Ketika napasnya terhempas lewat hidung
tadi, tiba-tiba napas itu memantul balik terasa masuk
kembali ke dalam hidung. Namun hati Perawan Sesat
sangsi akan hal itu, karena perasaan seperti itu belum
pernah dialami. Peristiwa berbaliknya hembusan napas
itu belum pernah terjadi. Perawan Sesat tetap harapkan
Suto mulai tergiur dengan kemolekan tubuhnya.
Perawan Sesat mulai memamerkan belahan dadanya
yang sungguh montok itu.
Pendekar Mabuk tertawa kecil dengan mata merah
karena mabuk, ia segera berdiri dan Perawan Sesat ikut
berdiri. Kemudian dalam sekejap Suto melompat pergi
bagai tak peduli.
"Sutooo...!" Perawan Sesat bagai merengek tak mau
ditinggal, ia menyusul Suto dengan gairah cinta yang
meledak-ledak dalam dadanya, ia ingin memeluk Suto
dan mencumbunya habis-habisan. Tapi Suto sukar
ditangkapnya. Suto melesat lagi menjauh sambil
menghamburkan tawa bagaikan menggoda. Perawan
Sesat bertambah penasaran mendengar suara tawa Suto.
Ia mengejar untuk menangkap Suto dalam pelukan. Tapi
Suto melesat ke atas dan hinggap di salah satu dahan
pohon.
"Suto, turunlah! Peluklah aku, Suto!" seru Perawan
Sesat sambil sibuk merayapi tubuhnya sendiri.
Suto Sinting tertawa-tawa sambil duduk di dahan,
menenggak tuak dalam bumbung. Sesekali ia
memandang ke bawah, dan tawanya makin bertambah
melihat Perawan Sesat sibuk sendiri. Perawan Sesat baru
menyadari bahwa ilmu 'Pelet Sukma' yang membuat
seseorang jadi terpancing gairahnya itu telah membalik
dan mengenai dirinya sendiri. Akibatnya, Perawan Sesat
sendiri yang tak bisa mengendalikan gairah birahinya.
Setelah apa yang diinginkan tercapai oleh dirinya
sendiri, barulah Perawan Sesat menyadari hal itu dan
berkata di hatinya "Jahanam orang itu! Ilmu 'Pelet Sukma'-ku membalik
mengenai diriku sendiri. Sebaiknya aku tidak
menyerahkan Suto kepada Nyai Lembah Asmara! Akan
kupakai sendiri orang itu dengan segala caraku
menundukkan hatinya! Aku tak rela dan akan merasa
kehilangan besar jika Suto berada dalam pelukan Nyai
Lembah Asmara. Sebaiknya kubawa lari ke tempat lain
saja Pendekar Mabuk yang benar-benar memabukkan
hatiku itu! Peduli amat dengan tugas ini! Aku tak
sanggup menjalankan tugas, karena aku tak mampu
menghindari godaan hatiku ini!"
Kejap berikutnya, Perawan Sesat mendongak ke atas
dan berseru, "Kita lanjutkan perjalanan kita, Suto!"
"Apakah kau sudah selesai dengan pekerjaan
tanganmu?" ledek Suto membuat wajah Perawan Sesat
menjadi merah. Perempuan itu tidak melayani ejekan
tersebut, ia seolah-olah tidak mendengarnya. Kini ia
berseru kembali,
"Tidakkah kau ingin bertemu dengan kekasihmu;
Dyah Sariningrum?!"
Pancingan ini membuat Pendekar Mabuk turun dari
atas pohon dalam satu lompatan bagaikan terbang.
Rambutnya yang panjang meriap ke atas pada saat ia
meluncur ke bawah. Indah sekali dilihatnya, bagai
seekor rajawali gagah yang siap menerkam mangsanya.
Suto mulai oleng berdirinya karena pengaruh mabuk
tuak itu. Bahkan bicaranya pun mulai mengambang tak
tentu arah.
"Bawalah cepat aku kepadanya! Jangan bikin aku
bertambah rindu lagi kepada Dyah Sariningrum!"
"Ya, aku akan membawamu lekas-lekas ke sana. Dia
juga sudah lama menunggumu! Tapi ada satu
permintaan dariku sebagai syarat!"
"He he he... kamu mulai banyak tingkah, Perawan
Sesat! Apa syarat yang kau inginkan itu, hah?!" hardik
Pendekar Mabuk kemudian.
"Kau telah membuat pedang gadingku lenyap tak
berbekas!"
"He he he... itulah kehebatan ilmu 'Sembur Siluman'
yang kumiliki. Jangan hanya pedangmu, gunung pun
kalau kusembur dengan tuak dalam mulutku mampu
lenyap dalam sekejap. Tapi, itu hanya kekuatan ilmu
siluman yang serupa dengan sihir. Kudapatkan ilmu itu
perpaduan dari ilmu kakek guruku dan bibi guruku! He
he he...."
"Aku tak berani menghadap Dyah Sariningrum jika
aku kehilangan pedang gading itu. Sebab ia akan marah
padaku habis-habisan. Pedang itu adalah pedang
miliknya yang dipinjamkan padaku!"
"O ho ho ho... jadi itu pedang milik kekasihku?"
"Ya! Kalau kau tak bisa mengembalikan, aku tak
berani membawamu ke sana!" bujuk Perawan Sesat
dengan hati berdebar-debar.
"Untuk mengembalikan pedangmu, itu bukan
pekerjaan yang sulit. Tapi untuk menahan niatmu agar
tidak menggunakan pedang gading sebagai alat
pengumbar nafsu amarah, itu yang sulit! Aku tak berani
membuat pedang itu kembali lagi."
"Jika begitu, kita tak jadi menemui Dyah
Sariningrum. Karena Nyai Lembah Asmara akan murka
jika pedang gadingnya hilang."
"Nyai...?! O, jadi Dyah Sariningrum itu seorang
Nyai?"
"Ya!"
"Pantas Peramal Pikun tak berani menyebutkannya,"
kata Suto dengan suara mengayun bergelombang.
"Lekas wujudkan pedang itu!" kata Perawan Sesat
sambil serahkan gagang pedang yang masih dibawanya
dengan tujuan digunakan sebagai bukti kepada teman
atau gurunya tentang kehebatan ilmu Suto.
Gagang pedang dengan benang sutera merah di
bagian ujung bawahnya digenggam kuat oleh Pendekar
Mabuk. Matanya yang mulai seperti orang mengantuk
itu sebentar waktu melirik Perawan Sesat. Ia nyengir dan
berkata,
"Janjilah padaku, kau tidak akan mengumbar
amarahmu dengan menggunakan pedang ini!"
"Iya, iya! Aku berjanji! Cerewet kamu!" sentak
Perawan Sesat.
"O, kalau kamu katakan aku cerewet aku akan isi
pedang ini dengan sebuah pisang!"
"Sudahlah!" sentaknya lagi tak sabar. "Kau tidak
cerewet! Tapi cepat kembalikan pedangku itu!"
"Hei, kau bilang ini pedang milik Nyai Dyah
Sariningrum! Tapi sekarang kau bilang pedangku?!
Mana yang benar?!"
"Maksudku, itu pedang dalam tanggung jawabku.
Jadi sudah kuanggap seperti pedangku sendiri!"
"O ho ho ho... begitu rupanya!" Suto manggut-
manggut.
"Iya. Lekas, jangan banyak bicara lagi!" bentak
Perawan Sesat.
"Aih, kau bentak-bentak aku?! Aku tak mau!"
"Tidak, tidak! Aku tidak bentak kamu lagi!"
"Aku tidak mau!" Suto Sinting menggeleng dan
membuang pedang itu ke semak belukar.
"Jahanam kau! Kenapa kau buang gagang pedang
itu?! Dasar sinting!" Perawan Sesat bergegas ke semak
belukar untuk mengambil gagang pedangnya. Suto
hanya tertawa-tawa sambil buka tutup bumbung dan ia
kembali tenggak tuak di dalamnya.
"Benar-benar edan orang itu!" gerutu Perawan Sesat
sambil mencari gagang pedang yang tadi dibuang Suto.
"Habis ini kuhajar sebentar dia, biar tahu adat sedikit
terhadapku! Seenaknya saja dia buang gagang pedang
itu. Dia tidak tahu kalau di dalam gagang pedang masih
tersimpan racun yang mematikan dan bisa kugunakan
untuk membunuh dirinya!"
Langkah kaki menyusuri semak terhenti. Mata
Perawan Sesat terbelalak lebar, ia melihat gagang
pedangnya tergeletak di antara rerumputan ilalang. Tapi
kali ini mata pedangnya sudah kembali utuh seperti
sediakala. Rupanya Pendekar Mabuk telah
mengembalikan mata pedang gading yang lenyap oleh
ilmu 'Sembur Siluman'-nya itu. Tapi ia sengaja membuat
susah Perawan Sesat agar perempuan itu menggerutu
dan bersungut-sungut, ia sengaja permainkan perawan
galak berambut acak-acakan itu. Padahal Suto Sinting
bisa mengembalikan pedang itu seperti sediakala dengan
kekuatan matanya. Tapi ia tidak mau mengembalikan
dan menyerahkan pedang begitu saja kepada perempuan
bermata liar itu.
Melihat mata pedang kembali seperti sediakala, hati
Perawan Sesat merasa girang. Tapi keberaniannya untuk
bertindak semena-mena juga lebih membara. Dengan
bekal Pusaka Pedang Gading itu, Perawan Sesat merasa
sanggup melumpuhkan lawannya.
"Pedangmu sudah kembali, Nona! Alangkah baiknya
jika kita cepat-cepat menemui Nyai yang menungguku!"
kata Suto.
Perawan Sesat berkata, "Tidak sekarang, Suto! Aku
masih punya satu syarat lagi yang harus kau penuhi!"
"Kau punya syarat berapa sebenarnya, Nona?" tanya
Pendekar Mabuk gusar.
"Satu syarat lagi! Hanya satu! Setelah ini kau kuantar
menghadap Nyai! Aku bersumpah, tidak akan minta
syarat lagi!"
"He he he he... apa syarat yang kau inginkan, Nona?!"
"Layanilah cintaku!" Perawan Sesat segera mendekat.
Suto membelalakkan mata ngantuknya. Ia tertawa
keras sambil mundur beberapa langkah, tangannya
menuding-nuding Perawan Sesat.
"Kalau kau tak mau, kau tidak kuajak menghadap
Nyai, Suto!" bentak Perawan Sesat memanfaatkan rindu
di hati Suto sebagai senjata untuk mengancam dan
memperdayai Pendekar Mabuk itu.
Suto gelengkan kepala. "Itu tidak boleh terjadi, Nona
manis!"
"Harus terjadi!" tegas Perawan Sesat. "Dekatlah
kemari, Suto. Peluklah aku, Sayang...!"
"Hua ha ha ha ha... aku dipanggil sayang? Aduh,
Mak... kering darahku, melorot jantungku. Hua ha ha
ha...!" Pengaruh mabuk Pendekar Mabuk semakin tinggi.
Tawanya kian keras membuat Perawan Sesat bertambah
dongkol hatinya. Bahkan ia sempat berniat mencabut
pedang untuk memaksa Suto. Tapi ketika ingat bahwa
Suto Sinting masih bisa membuat lenyap pedangnya itu,
maka niat tersebut dibunuhnya sendiri. Perawan Sesat
hanya bisa membatin,
"Agaknya butuh kesabaran untuk menundukkan
lelaki yang satu ini. Bukan dengan kekuatan ilmu,
melainkan dengan kekuatan hati yang sabar dan tekun!
Percuma saja adu kekerasan dengan dia, tidak akan
membawa hasil apa-apa kecuali suasana yang semakin
lebih kacau lagi. Biarlah kusabarkan hatiku sampai tiba
saatnya ia sendiri membutuhkan diriku."
Segera Perawan Sesat ucapkan kata, "Baiklah, Suto!
Lupakan satu persyaratan itu. Jika kau tak bisa sekarang,
kapan waktu pun masih bisa kau melunasinya. Sekarang
kita pergi dari sini secepatnya, Suto!"
"Tapi aku tidak punya hutang janji padamu, Perawan
Sesat!"
"Terserah anggapanmu saat ini, karena aku tahu kamu
sedang kebanyakan minum tuak! Lupakan dulu
persyaratan satu itu!"
Perawan Sesat segera mengajak Pendekar Mabuk
untuk tinggalkan tempat, menjauhi arah Bukit Garinda.
Perawan Sesat memang bermaksud membawa lari Suto
ke tempat lain, yang sudah ada dalam benaknya.
Tetapi tiba-tiba di depan langkah Perawan Sesat dan
Pendekar Mabuk melesat benda kecil berbentuk bintang
dari lempengan baja tajam. Dan benda kecil itu melesat
cepat menimbulkan bunyi, ziing...! Kemudian benda itu
menancap di pohon persis di depan sebelah kiri Perawan
Sesat.
Juub... jub...!
Tertahan serentak langkah Perawan Sesat. Tertahan
pula tubuh limbung Pendekar Mabuk. Mata mereka
berkilas cepat menyapu sekeliling, tapi si pelempar
senjata rahasia berbentuk bintang itu tidak kelihatan
tempat persembunyiannya. Perawan Sesat segera sigap
dan berdiri dalam posisi siap menyerang. Matanya liar
penuh waspada.
*
* *