Chereads / Pendekar Mabuk / Chapter 37 - 005.Pendekar Mabuk - Murka Sang Nyai Eps37

Chapter 37 - 005.Pendekar Mabuk - Murka Sang Nyai Eps37

Episode 37

MELIHAT sikapnya tidak bermusuhan, Pujangga

Keramat pun ajukan tanya kepada Selendang Kubur,

"Selendang Kubur, kau tahukah di mana Pendekar

Mabuk ada?"

"Ada perlu pentingkah kau mencari Pendekar Mabuk,

Pujangga Keramat?"

"Penting sangat! Ki Gila Tuak mencari Suto suruh

aku. Ke mana-mana aku cari sudah dia, tapi kudengar

tidak kabarnya," kata Pujangga Keramat sambil ikuti

langkah kaki Selendang Kubur pelan-pelan. Mereka

bagaikan jalan seiring melewati bekas longsoran tanah.

"Aku dapat dari Ki Gila Tuak pesan penting untuk

Pendekar Mabuk," tambah Pujangga Keramat.

"Penting sekalikah itu?"

"Penting biasa luar!" jawab Pujangga Keramat

dengan sedikit ngotot, yang maksudnya menyatakan

bawah pesan itu luar biasa penting. Kemudian, kejap

berikutnya Pujangga Keramat serukan kata lagi dengan

semangat,

"Suto punya tugas satu kerjakan ia belum. Pusaka

Manik Intan yang ada di dasar telaga bersama Tuaknya

Setan itu, belum ambil ianya. Cemas Ki Gila Tuak

jadinya. Takut ia kalau Pusaka Manik Intan jatuh di

orang-orang sesat tangan."

"Pusaka Manik Intan?!" gumam Selendang Kubur

sambil menghentikan langkah di luar kesadarannya. Saat

ia termenung memikirkan kabar itu, Pujangga Keramat

sudah ucapkan kata lagi,

"Ki Gila Tuak suruh jaga aku itu telaga, sampai

datang Suto aku tak tahu. Karena itu aku carilah dia!"

Selendang Kubur sendiri baru ingat bahwa menurut

kabarnya, Pusaka Tuak Setan itu terkubur di dasar telaga

bersama satu pusaka lagi milik Bidadari Jalang, yaitu

Pusaka Manik Intan. Sedangkan Bidadari Jalang juga

merupakan gurunya Pendekar Mabuk yang dulu sering

tampil sebagai tokoh sesat, tapi sekarang sudah beralih

ke golongan putih sejak mempunyai murid Suto (Baca

serial Pendekar Mabuk dalam episode: "Bocah Tanpa

Pusar").

Terawang ingatan Selendang Kubur kepada Suto,

bahwa Pendekar Mabuk itu beberapa kali ia temui tapi

tak terlihat Cincin Manik Intan tersemat di jarinya. Itu

pertanda Pusaka Manik Intan belum ditemukan oleh

Suto. Sedangkan Pusaka Tuak Setan telah tertelan oleh

Suto pada saat diperebutkan dari tangan si Mawar Hitam

dari Pulau Hantu (Baca serial Pendekar Mabuk dalam

episode: "Pusaka Tuak Setan"). Selendang Kubur belum

mengetahui hal itu, sehingga hatinya pun bertanya-tanya,

apakah Tuak Setan berhasil dilenyapkan oleh Suto, atau

diminum oleh seseorang dari golongan sesat?

"Selendang Kubur," ucap Pujangga Keramat lagi,

"Jika tahu kau Suto di mana, tolong kasih aku tahu

tentang dianya. Dia harus cepat cari itu pusaka sebelum

jatuh ke orang-orang sesat tangan."

"Pujangga Keramat, sebenarnya aku tahu di mana

Pendekar Mabuk. Tapi keadaannya sangat tidak

memungkinkan untuk dihubungi secepat ini."

"Kasihlah tahu aku!" desak Pujangga Keramat.

"Dia ada di Bukit Garinda, sedang dalam bahaya.

Aku sendiri sedang menuju ke sana untuk membebaskan

Suto dari rencana jahat Nyai Lembah Asmara, penguasa

Bukit Garinda itu!"

Pujangga Keramat kerutkan dahi tajam-tajam. "Aku

pernah seperti dengarnya itu nama Nyai. Kalau tak salah,

dia ratu keji dingin darah!"

"Memang benar! Menurut keterangan dari guruku

juga begitu. Tapi aku tak takut, Pujangga Keramat. Aku

tidak gentar. Aku harus bisa membebaskan Suto dari

cengkeraman mesra Nyai Lembah Asmara itu!"

"Oho, ada cengkeraman mesra jugalah? Itu tanda

cemburu kau padanya! He he he...!" Pujangga Keramat

terkekeh jelek, tapi tidak menyakitkan hati, hanya

membuat Selendang Kubur sunggingkan senyum

malunya sedikit.

Pujangga Keramat goda hati perempuan itu, "Ada

hatilah kau padanya, Selendang Kubur?"

"Ya," jawab Selendang Kubur singkat tapi tegas.

"Suto cintalah juga dengan kau?"

"Aku tak tahu apakah dia cinta juga padaku atau

tidak, yang jelas aku tak rela kalau Pendekar Mabuk

berada dalam cengkeraman mesra Nyai Lembah

Asmara! Lebih baik aku bertarung sampai mati dengan

nyai keji itu!" Selendang Kubur tak sadar ucapkan kata

dalam geram amarah tertahan.

"Kuingat-ingatkan, jangan kaulah gegabah serang dia

nyai! Kau bisa binasalah di tangannya, Selendang

Kubur," Pujangga Keramat tampakkan sikap bijaknya.

Tapi Selendang Kubur agaknya kurang peduli dengan

saran itu, sehingga ia cepat ucapkan kata,

"Aku sudah siap mati untuk Pendekar Mabuk!"

Pujangga Keramat angguk-anggukkan kepala.

Renungkan kata-kata itu beberapa saat sambil

melangkahkan kaki pelan-pelan, lalu pada kejap berikut

dia berkata,

"Begitu kalau, ikut sajalah aku ke sana! Sama-sama

kita bebaskan Suto dari itu tangan nyai!"

"Kau mau ikut ke Bukit Garinda?"

"Iyalah! Kupunya tugas untuk Suto-nya sendiri!"

"Tapi bagaimana dengan tugasmu menjaga Manik

Intan itu?"

"Cepatlah aku pulangkan telaga setelah selesai

sampaikan pesan dari Suto gurunya."

Selendang Kubur tidak merasa keberatan. Sekalipun

susah diajak bicara, tapi Pujangga Keramat bisa menjadi

penambah kekuatan dalam penyerangan ke Bukit

Garinda. Tetapi ada satu hal yang membuat hati

Selendang Kubur gelisah, ia menangkap suara napas

orang dari suatu persembunyian, ia pun bisikkan kata

pada Pujangga Keramat,

"Tahukah kau ada yang mengintai kita, Pujangga

Keramat?"

"Ya, aku tahulah!" jawab Pujangga Keramat dengan

bahasa yang menurutnya sudah benar dan selalu indah.

"Kita jebak dia, Pujangga Keramat! Kita cepat

menghilang di balik gerombolan bebatuan di sebelah

kanan sana."

Pujangga Keramat hanya anggukkan kepala pelan.

Kejap berikutnya dua tokoh itu jejakkan kaki dan

melesat cepat bagaikan terbang. Menghilang di balik

gerombolan bebatuan yang menggugus. Dari sanalah

mata mereka saling berpencar, menyusuri tiap jengkal

tempat dengan liar.

"Ssst...!" colek Pujangga Keramat. "Ke timur

lihatlah!"

Selendang Kubur tetapkan pandang matanya ke arah

timur. Kepalanya kian tunduk merunduk. Di sana

tampak sosok tubuh sedikit gemuk berpakaian serba

hitam. Tepian pakaian orang itu dililit kain kuning emas

kecil. Wajah orang itu berkumis dan bercambang tipis.

Matanya sedikit sipit memancarkan kebengisan. Sebuah

pedang bersarung perak berukir ada di pinggang kirinya.

Pujangga Keramat kembali bisikkan kata,

"Ingatkah kau itu orang?"

"Ya. Kalau tak salah dia yang bernama Datuk Marah

Gadai!"

"Dia yang intai kita tadi sejak."

"Kurasa begitu. Tapi untuk apa dia intai kita?"

"Tak tahu akulah!" sambil Pujangga Keramat sedikit

angkat kepala dan pundaknya tanda tidak tahu-menahu

maksud Datuk Marah Gadai.

"Kita sikat dia sajalah!" bisik Pujangga Keramat lagi.

"Jangan dulu. Kita kepingin tahu dulu, apa maksud

dan tujuannya intai kita dari sana!" seraya Selendang

Kubur tahankan tangannya ke pundak Pujangga

Keramat.

Datuk Marah Gadai salah satu dari tokoh sakti yang

ingin menguasai tanah Jawa kelihatan sedang mencari-

cari barang intaiannya. Ia berdiri di sebuah batu,

terlindung semak ilalang tinggi bagian depannya, ia tak

tahu ada yang mengintainya dari samping kirinya.

Kejap berikutnya Datuk Marah Gadai tampak

kecewa. Kemudian ia tinggalkan tempat itu dalam satu

lompatan bertenaga ringan. Dan pada saat ia melesat

pergi, tampak pula sosok bayangan berpakaian hitam

pula yang menyusul kepergiannya. Sosok yang

menyusul itu sempat tertangkap oleh mata Selendang

Kubur. Hatinya mengucap kata bernada heran,

"Dirgo Mukti...?! Untuk apa dia menyusul Datuk

Marah Gadai? Atau mungkin mereka memang

bersepakat mengintaiku dari kejauhan?"

Dirgo Mukti, seorang pemuda tampan yang mengaku

dirinya Manusia Sontoloyo. Selama ini, Selendang

Kubur mengira Dirgo Mukti tidak punya niat jahat

kepadanya, selain niat ingin mencicipi kehangatan

tubuhnya dengan kenakalan hidung belangnya itu. Tapi

memang hal itu tak pernah diberikan oleh Selendang

Kubur. Dirgo Mukti yang pernah menolongnya dari luka

parah itu memang kecewa, tapi haruskah kekecewaan

Dirgo Mukti itu membuatnya bergabung dengan Datuk

Marah Gadai dan bekerja sama untuk menundukkan

dirinya? Atau, mungkin memang sejak dulu mereka

mempunyai jalinan hubungan akrab yang baru sekarang

diketahui Selendang Kubur?

Ternyata keadaan sesungguhnya tidak seperti dalam

kecamuk hati Selendang Kubur. Dirgo Mukti adalah

Dirgo Mukti, Datuk Marah Gadai adalah Datuk Marah

Gadai. Mereka tak punya hubungan, bahkan mereka

belum saling kenal secara hadap-hadapan. Mereka hanya

saling kenal nama dari mulut ke mulut saja. Jika hari itu

Dirgo Mukti melesat di belakang Datuk Marah Gadai,

itu hanyalah sesuatu yang bersifat kebetulan saja.

Kebetulan mereka sama-sama mendengar keterangan

Pujangga Keramat tadi mengenai cincin pusaka Manik

Intan, sehingga di dalam hati mereka saling mempunyai

keinginan untuk memiliki cincin tersebut.

Dari balik persembunyiannya tadi, Dirgo Mukti

sempat menangkap adanya orang lain yang juga

bersembunyi mengintai Selendang Kubur. Pada awal

tujuan Dirgo bersembunyi hanya untuk menjaga

keselamatan Selendang Kubur. Sebab bagaimanapun

juga alotnya perempuan itu, Dirgo Mukti masih punya

gairah untuk bercumbu dengan Selendang Kubur.

Namun demi ia melihat orang lain bersembunyi

mengintai Selendang Kubur, ia jadi curiga. Lebih curiga

lagi setelah dengar pula penuturan dari Pujangga

Keramat tentang pusaka cincin Manik Intan itu. Ketika

ia melihat lelaki sedikit gemuk itu melesat pergi, naluri

Dirgo mengatakan, bahwa lelaki itu pergi ke Telaga

Manik Intan. Maka segera ia ikuti kepergiannya. Karena

tiba-tiba dalam pikiran Dirgo Mukti timbul niat untuk

memiliki pusaka tersebut.

Dirgo Mukti mendengar adanya Pusaka Tuak Setan

dan Pusaka Manik Intan dari gurunya. Konon, Pusaka

Tuak Setan mampu mengeluarkan badai yang dapat

menyapu tanah Jawa dalam satu kali hembusan napas

seseorang yang telah meminumnya. Sedangkan Pusaka

Manik Intan adalah cincin yang bisa menyalurkan tenaga

dalam seratus kali lipat dari tenaga dalam yang

dikeluarkan oleh pemakainya. Dalam pikiran Dirgo

terbetik kata-kata.

"Kalau aku bisa memiliki cincin itu, maka aku pasti

bisa mengalahkan Pendekar Mabuk dalam pertarungan

bulan depan di Bukit Jagal. Dan kalau aku bisa

mengalahkan Suto, maka sebagai taruhannya Peri

Malam akan tunduk kepada cintaku, mau menerima

cintaku dan mau kuajak tidur bersama sepanjang masa.

Bisa tak bisa aku harus bisa mendapatkan Cincin Pusaka

Manik Intan itu!"

Memang benar pemikiran Dirgo Mukti. Ia perlu

memiliki cincin tersebut karena kekuatan dahsyat yang

ada di dalamnya. Cincin Pusaka Manik Intan adalah

cincin yang bukan sembarang cincin. Menurut penuturan

para tokoh tua di rimba persilatan, cincin itu adalah

jelmaan dari air mata seorang bidadari yang menangis.

Karena dendam tak bisa terlampiaskan, amarah bidadari

itu hanya bisa tercurah dalam bentuk tangis. Air mata itu

menggumpal dan membeku keras menjadi batu, yang

kemudian ditemukan oleh tokoh sakti pada zaman dulu

yang menjadi Guru dari si Gila Tuak dan Bidadari

Jalang, yaitu pasangan suami-istri Eyang Purbapati dan

Eyang Nini Galih.

Karena pusaka itu berbahaya di tangan Bidadari

Jalang yang lebih sering mengumbar nafsu angkara

murkanya, maka si Gila Tuak bersepakat untuk saling

menghancurkan atau menguburkan pusaka-pusaka yang

berbahaya bagi keselamatan orang banyak. Gila Tuak

menguburkan Pusaka Tuak Setan dan Bidadari Jalang

menguburkan Pusaka Manik Intan. Dan inilah adalah

siasat dari Gila Tuak yang ingin mengurangi ilmu

saudara seperguruannya itu agar kesesatan langkahnya

tidak terlalu banyak menimbulkan korban. Sebab jika

Bidadari Jalang memiliki cincin pusaka yang tercipta

dari tetesan air mata bidadari murka itu, maka habis

sudah seluruh penduduk bumi ini dibinasakan oleh

kemurkaannya.

Tetapi sejak Bidadari Jalang mengangkat Suto

sebagai muridnya juga, setelah banyak ilmunya

diturunkan kepada bocah tanpa pusar itu, maka

persoalan Cincin Manik Intan diserahkan sepenuhnya

kepada Suto. Bidadari Jalang tidak mau peduli apakah

cincin itu akan dimusnahkan atau dipakai sendiri oleh

Pendekar Mabuk, yang penting jangan sampai jatuh ke

tangan orang-orang sesat. Memang, si Gila Tuak

menyarankan agar cincin itu ikut dimusnahkan saja. Tapi

agaknya cincin itu punya pertalian jiwa dengan Pusaka

Tuak Setan. Di mana Tuak Setan berada di situ pula

cincin itu tinggal. Padahal Tuak Setan ada di dalam

tubuh Pendekar Mabuk, apakah cincin itu juga harus

berada di antara jari tangan Pendekar Mabuk?

Yang jelas cincin itu sekarang sedang dalam incaran

Datuk Marah Gadai. Dalam hati orang yang dari dulu

mengejar-ngejar Pusaka Tuak Setan itu berkata,

"Tak kuperoleh Pusaka Tuak Setan, asalkan Pusaka

Cincin Manik Intan itu kudapatkan, puaslah hatiku!

Sungguh aku tak menyangka kalau cincin itu masih ada

di dasar telaga. Tempo hari aku mencarinya sampai

susah payah, belum juga kutemukan. Kupikir telah

diambil oleh Suto Sinting, ternyata menurut keterangan

pelayan si Gila Tuak tadi, cincin tersebut masih ada di

dasar telaga. Sampai sehari penuh harus berendam pun,

aku tak merasa keberatan!"

Namun baru saja Datuk Marah Gadai pijakkan

kakinya di tanah tepi telaga, tahu-tahu hatinya

dikejutkan oleh munculnya sesosok pemuda tampan

yang melompat bagaikan terbang melalui atas kepalanya.

Pemuda itu mendaratkan kakinya tepat di depan Datuk

Marah Gadai dalam keadaan memunggungi. Jaraknya

antara lima langkah. Pemuda bersenjata kapak dua mata

itu tak lain adalah Dirgo Mukti yang mengangkat diri

sebagai Manusia Sontoloyo.

Dirgo Mukti segera balikkan badan menjadi saling

berhadapan dengan Datuk Marah Gadai. Orang yang

usianya antara sepuluh tahun lebih tua darinya itu segera

kerutkan kening sambil usapkan kumis sedikit. Dadanya

terbusung ke depan dengan kepala sedikit ditarik ke

belakang, lalu melontarkan tanya dengan suaranya yang

tergolong besar,

"Siapa kau, Anak Muda?!" tanya Datuk Marah Gadai

dengan lagak bijaknya.

"Rupanya kau tokoh baru di rimba persilatan ini,

sehingga tidak mengenali diriku!" kata Dirgo Mukti

dengan angkuhnya.

Datuk Marah Gadai serukan tawa bernada mengejek.

"Kau itu anak ingusan, mana mungkin aku

mengenalimu? Bukan karena aku tokoh baru di dunia

persilatan, tapi karena kau terlambat muncul karena

masih menetek ibumu, jadi aku tidak mengenalimu!"

"Bicaralah dengan tutur kata yang baik dan sopan,

Pak Tua!"

Makin terkekeh geli Datuk Marah Gadai dipanggil

dengan sebutan 'pak tua'. Baginya itu panggilan yang

belum waktunya muncul. Tapi karena yang menyerukan

adalah mulut bocah ingusan, Datuk Marah Gadai pun

merasa tidak perlu mempermasalahkannya. Yang

menjadi masalah adalah maksud dan tujuan anak muda

di depannya itu.

"Sebutkan namamu atau kuhabiskan nyawamu

sekarang juga?" Datuk mulai mengawali ancamannya

dengan sudut mata menatap bengis.

"Kurasa kau tak perlu mengancam Dirgo Mukti yang

sudah kesohor kesaktiannya ini, Pak Tua! Tentunya kau

pun pernah mendengar gelar kejayaanku sebagai

Manusia Sontoloyo, yang merupakan satu-satunya tokoh

tangguh yang sulit ditumbangkan!"

"Ha ha ha ha.... Manusia Sontoloyo! Nama baru yang

benar-benar nama untuk orang loyo. Ha ha ha...!"

"Tutup mulutmu, Kambing tua!" sentak Dirgo Mukti

dengan mata menatap tajam. Tetapi sentakannya itu

tidak membuat Datuk Marah Gadai hentikan tawanya,

melainkan justru pertambah keras tawanya yang

bergelak-gelak itu. Dirgo Mukti menggeram sambil

keraskan kepalan tangannya.

Kejap berikutnya, Datuk Marah Gadai ucapkan kata,

"Dirgo Mukti, seharusnya kau berhati-hati dalam

bicara dengan Datuk Marah Gadai ini!" sambil Datuk

tepukkan dada sendiri.

Dirgo Mukti sedikit picingkan mata pertanda pikirkan

sesuatu, ia pernah mendengar nama Datuk Marah Gadai,

tapi bukan dari gurunya, melainkan dari mulut

Selendang Kubur. Seingatnya, Selendang Kubur pernah

menceritakan bahwa orang yang bernama Datuk Marah

Gadai itu juga tokoh sakti yang sukar ditumbangkan. Hal

itu membuat Dirgo Mukti ingin sekali menjajalnya.

Datuk berkata lagi, "Ketahuilah, Dirgo Mukti, Datuk

Marah Gadai adalah orang yang sulit memberikan

ampunan bagi lawannya. Jadi kusarankan cepat angkat

kaki dari depanku jika kau punya maksud memusuhiku,

Sontoloyo!"

Dirgo Mukti sunggingkan senyum sinisnya. 'Tidak

ada aturan mundur dalam sejarah kependekaran Dirgo

Mukti! Apalagi aku tahu maksudmu datang ke telaga ini,

yaitu ingin mendapatkan Pusaka Cincin Manik Intan!

Hhmm...! Tak akan kubiarkan pusaka itu jatuh ke

tanganmu, Datuk Marah Gadai!"

Tadi, ketika Dirgo menyebutkan Cincin Manik Intan,

mata Datuk Marah Gadai terperanjat sekejap. Perasaan

bermusuhan tiba-tiba meletup keras di hatinya, sebab

Dirgo Mukti adalah orang pertama yang dianggapnya

jadi penghalang niatnya yang sudah yakin bahwa cincin

itu masih ada di dasar telaga. Karena itu, Datuk Marah

Gadai pun segera kepalkan kedua tangannya dan berkata

geram,

"Jangan harap kau bernapas esok pagi jika kau ingin

menguasai cincin pusaka itu juga, Sontoloyo!"

"Buktikan omonganmu! Aku ingin menakar seberapa

tinggi ilmu yang kau miliki sebenarnya, Datuk Marah

Gadai!"

"Kurang ajar! Anak kambing muda berani

menantangku?! Hiih...!"

Datuk Marah Gadai melancarkan pukulan jarak jauh

dengan sentakkan tangan kirinya ke depan. Tapi Dirgo

segera hentakkan kakinya dan melesat terbang ke arah

Datuk Marah Gadai dengan kaki miring melayang.

Datuk Marah Gadai segera silangkan tangan di atas

kepala untuk menangkis tendangan kaki lawannya.

Plakkk...! Kaki tertangkis, tangan kanan Datuk Marah

Gadai menghentak tepat mengenai dada si Manusia

Sontoloyo. Blegh...!

"Hegh...!" Dirgo Mukti tersentak dengan napas

tertahan, ia tak menyangka pukulan Datuk Marah Gadai

begitu keras, berat, dan cepat. Tubuhnya terlempar

cukup jauh dari pukulan itu. Datuk Marah Gadai segera

melompat mengejar Dirgo Mukti yang terjerembab

dalam jarak sepuluh langkah darinya. Sebuah pukulan

jarak jauh dihantamkan oleh Datuk Marah Gadai,

membuat Dirgo Mukti terpaksa melesat jauh lagi untuk

menghindari.

Ketika mereka baku hantam di sebelah sana, diam-

diam seseorang yang telah mendengar percakapan tadi

masuk ke dalam telaga. Melihat cara menceburkan diri

ke tengah telaga tanpa suara sedikit pun, jelaslah dia

orang berilmu tinggi. Air pun tak memercik banyak.

Jelas pula orang itu mengincar Pusaka Cincin Manik

Intan.

*

* *