Episode 37
MELIHAT sikapnya tidak bermusuhan, Pujangga
Keramat pun ajukan tanya kepada Selendang Kubur,
"Selendang Kubur, kau tahukah di mana Pendekar
Mabuk ada?"
"Ada perlu pentingkah kau mencari Pendekar Mabuk,
Pujangga Keramat?"
"Penting sangat! Ki Gila Tuak mencari Suto suruh
aku. Ke mana-mana aku cari sudah dia, tapi kudengar
tidak kabarnya," kata Pujangga Keramat sambil ikuti
langkah kaki Selendang Kubur pelan-pelan. Mereka
bagaikan jalan seiring melewati bekas longsoran tanah.
"Aku dapat dari Ki Gila Tuak pesan penting untuk
Pendekar Mabuk," tambah Pujangga Keramat.
"Penting sekalikah itu?"
"Penting biasa luar!" jawab Pujangga Keramat
dengan sedikit ngotot, yang maksudnya menyatakan
bawah pesan itu luar biasa penting. Kemudian, kejap
berikutnya Pujangga Keramat serukan kata lagi dengan
semangat,
"Suto punya tugas satu kerjakan ia belum. Pusaka
Manik Intan yang ada di dasar telaga bersama Tuaknya
Setan itu, belum ambil ianya. Cemas Ki Gila Tuak
jadinya. Takut ia kalau Pusaka Manik Intan jatuh di
orang-orang sesat tangan."
"Pusaka Manik Intan?!" gumam Selendang Kubur
sambil menghentikan langkah di luar kesadarannya. Saat
ia termenung memikirkan kabar itu, Pujangga Keramat
sudah ucapkan kata lagi,
"Ki Gila Tuak suruh jaga aku itu telaga, sampai
datang Suto aku tak tahu. Karena itu aku carilah dia!"
Selendang Kubur sendiri baru ingat bahwa menurut
kabarnya, Pusaka Tuak Setan itu terkubur di dasar telaga
bersama satu pusaka lagi milik Bidadari Jalang, yaitu
Pusaka Manik Intan. Sedangkan Bidadari Jalang juga
merupakan gurunya Pendekar Mabuk yang dulu sering
tampil sebagai tokoh sesat, tapi sekarang sudah beralih
ke golongan putih sejak mempunyai murid Suto (Baca
serial Pendekar Mabuk dalam episode: "Bocah Tanpa
Pusar").
Terawang ingatan Selendang Kubur kepada Suto,
bahwa Pendekar Mabuk itu beberapa kali ia temui tapi
tak terlihat Cincin Manik Intan tersemat di jarinya. Itu
pertanda Pusaka Manik Intan belum ditemukan oleh
Suto. Sedangkan Pusaka Tuak Setan telah tertelan oleh
Suto pada saat diperebutkan dari tangan si Mawar Hitam
dari Pulau Hantu (Baca serial Pendekar Mabuk dalam
episode: "Pusaka Tuak Setan"). Selendang Kubur belum
mengetahui hal itu, sehingga hatinya pun bertanya-tanya,
apakah Tuak Setan berhasil dilenyapkan oleh Suto, atau
diminum oleh seseorang dari golongan sesat?
"Selendang Kubur," ucap Pujangga Keramat lagi,
"Jika tahu kau Suto di mana, tolong kasih aku tahu
tentang dianya. Dia harus cepat cari itu pusaka sebelum
jatuh ke orang-orang sesat tangan."
"Pujangga Keramat, sebenarnya aku tahu di mana
Pendekar Mabuk. Tapi keadaannya sangat tidak
memungkinkan untuk dihubungi secepat ini."
"Kasihlah tahu aku!" desak Pujangga Keramat.
"Dia ada di Bukit Garinda, sedang dalam bahaya.
Aku sendiri sedang menuju ke sana untuk membebaskan
Suto dari rencana jahat Nyai Lembah Asmara, penguasa
Bukit Garinda itu!"
Pujangga Keramat kerutkan dahi tajam-tajam. "Aku
pernah seperti dengarnya itu nama Nyai. Kalau tak salah,
dia ratu keji dingin darah!"
"Memang benar! Menurut keterangan dari guruku
juga begitu. Tapi aku tak takut, Pujangga Keramat. Aku
tidak gentar. Aku harus bisa membebaskan Suto dari
cengkeraman mesra Nyai Lembah Asmara itu!"
"Oho, ada cengkeraman mesra jugalah? Itu tanda
cemburu kau padanya! He he he...!" Pujangga Keramat
terkekeh jelek, tapi tidak menyakitkan hati, hanya
membuat Selendang Kubur sunggingkan senyum
malunya sedikit.
Pujangga Keramat goda hati perempuan itu, "Ada
hatilah kau padanya, Selendang Kubur?"
"Ya," jawab Selendang Kubur singkat tapi tegas.
"Suto cintalah juga dengan kau?"
"Aku tak tahu apakah dia cinta juga padaku atau
tidak, yang jelas aku tak rela kalau Pendekar Mabuk
berada dalam cengkeraman mesra Nyai Lembah
Asmara! Lebih baik aku bertarung sampai mati dengan
nyai keji itu!" Selendang Kubur tak sadar ucapkan kata
dalam geram amarah tertahan.
"Kuingat-ingatkan, jangan kaulah gegabah serang dia
nyai! Kau bisa binasalah di tangannya, Selendang
Kubur," Pujangga Keramat tampakkan sikap bijaknya.
Tapi Selendang Kubur agaknya kurang peduli dengan
saran itu, sehingga ia cepat ucapkan kata,
"Aku sudah siap mati untuk Pendekar Mabuk!"
Pujangga Keramat angguk-anggukkan kepala.
Renungkan kata-kata itu beberapa saat sambil
melangkahkan kaki pelan-pelan, lalu pada kejap berikut
dia berkata,
"Begitu kalau, ikut sajalah aku ke sana! Sama-sama
kita bebaskan Suto dari itu tangan nyai!"
"Kau mau ikut ke Bukit Garinda?"
"Iyalah! Kupunya tugas untuk Suto-nya sendiri!"
"Tapi bagaimana dengan tugasmu menjaga Manik
Intan itu?"
"Cepatlah aku pulangkan telaga setelah selesai
sampaikan pesan dari Suto gurunya."
Selendang Kubur tidak merasa keberatan. Sekalipun
susah diajak bicara, tapi Pujangga Keramat bisa menjadi
penambah kekuatan dalam penyerangan ke Bukit
Garinda. Tetapi ada satu hal yang membuat hati
Selendang Kubur gelisah, ia menangkap suara napas
orang dari suatu persembunyian, ia pun bisikkan kata
pada Pujangga Keramat,
"Tahukah kau ada yang mengintai kita, Pujangga
Keramat?"
"Ya, aku tahulah!" jawab Pujangga Keramat dengan
bahasa yang menurutnya sudah benar dan selalu indah.
"Kita jebak dia, Pujangga Keramat! Kita cepat
menghilang di balik gerombolan bebatuan di sebelah
kanan sana."
Pujangga Keramat hanya anggukkan kepala pelan.
Kejap berikutnya dua tokoh itu jejakkan kaki dan
melesat cepat bagaikan terbang. Menghilang di balik
gerombolan bebatuan yang menggugus. Dari sanalah
mata mereka saling berpencar, menyusuri tiap jengkal
tempat dengan liar.
"Ssst...!" colek Pujangga Keramat. "Ke timur
lihatlah!"
Selendang Kubur tetapkan pandang matanya ke arah
timur. Kepalanya kian tunduk merunduk. Di sana
tampak sosok tubuh sedikit gemuk berpakaian serba
hitam. Tepian pakaian orang itu dililit kain kuning emas
kecil. Wajah orang itu berkumis dan bercambang tipis.
Matanya sedikit sipit memancarkan kebengisan. Sebuah
pedang bersarung perak berukir ada di pinggang kirinya.
Pujangga Keramat kembali bisikkan kata,
"Ingatkah kau itu orang?"
"Ya. Kalau tak salah dia yang bernama Datuk Marah
Gadai!"
"Dia yang intai kita tadi sejak."
"Kurasa begitu. Tapi untuk apa dia intai kita?"
"Tak tahu akulah!" sambil Pujangga Keramat sedikit
angkat kepala dan pundaknya tanda tidak tahu-menahu
maksud Datuk Marah Gadai.
"Kita sikat dia sajalah!" bisik Pujangga Keramat lagi.
"Jangan dulu. Kita kepingin tahu dulu, apa maksud
dan tujuannya intai kita dari sana!" seraya Selendang
Kubur tahankan tangannya ke pundak Pujangga
Keramat.
Datuk Marah Gadai salah satu dari tokoh sakti yang
ingin menguasai tanah Jawa kelihatan sedang mencari-
cari barang intaiannya. Ia berdiri di sebuah batu,
terlindung semak ilalang tinggi bagian depannya, ia tak
tahu ada yang mengintainya dari samping kirinya.
Kejap berikutnya Datuk Marah Gadai tampak
kecewa. Kemudian ia tinggalkan tempat itu dalam satu
lompatan bertenaga ringan. Dan pada saat ia melesat
pergi, tampak pula sosok bayangan berpakaian hitam
pula yang menyusul kepergiannya. Sosok yang
menyusul itu sempat tertangkap oleh mata Selendang
Kubur. Hatinya mengucap kata bernada heran,
"Dirgo Mukti...?! Untuk apa dia menyusul Datuk
Marah Gadai? Atau mungkin mereka memang
bersepakat mengintaiku dari kejauhan?"
Dirgo Mukti, seorang pemuda tampan yang mengaku
dirinya Manusia Sontoloyo. Selama ini, Selendang
Kubur mengira Dirgo Mukti tidak punya niat jahat
kepadanya, selain niat ingin mencicipi kehangatan
tubuhnya dengan kenakalan hidung belangnya itu. Tapi
memang hal itu tak pernah diberikan oleh Selendang
Kubur. Dirgo Mukti yang pernah menolongnya dari luka
parah itu memang kecewa, tapi haruskah kekecewaan
Dirgo Mukti itu membuatnya bergabung dengan Datuk
Marah Gadai dan bekerja sama untuk menundukkan
dirinya? Atau, mungkin memang sejak dulu mereka
mempunyai jalinan hubungan akrab yang baru sekarang
diketahui Selendang Kubur?
Ternyata keadaan sesungguhnya tidak seperti dalam
kecamuk hati Selendang Kubur. Dirgo Mukti adalah
Dirgo Mukti, Datuk Marah Gadai adalah Datuk Marah
Gadai. Mereka tak punya hubungan, bahkan mereka
belum saling kenal secara hadap-hadapan. Mereka hanya
saling kenal nama dari mulut ke mulut saja. Jika hari itu
Dirgo Mukti melesat di belakang Datuk Marah Gadai,
itu hanyalah sesuatu yang bersifat kebetulan saja.
Kebetulan mereka sama-sama mendengar keterangan
Pujangga Keramat tadi mengenai cincin pusaka Manik
Intan, sehingga di dalam hati mereka saling mempunyai
keinginan untuk memiliki cincin tersebut.
Dari balik persembunyiannya tadi, Dirgo Mukti
sempat menangkap adanya orang lain yang juga
bersembunyi mengintai Selendang Kubur. Pada awal
tujuan Dirgo bersembunyi hanya untuk menjaga
keselamatan Selendang Kubur. Sebab bagaimanapun
juga alotnya perempuan itu, Dirgo Mukti masih punya
gairah untuk bercumbu dengan Selendang Kubur.
Namun demi ia melihat orang lain bersembunyi
mengintai Selendang Kubur, ia jadi curiga. Lebih curiga
lagi setelah dengar pula penuturan dari Pujangga
Keramat tentang pusaka cincin Manik Intan itu. Ketika
ia melihat lelaki sedikit gemuk itu melesat pergi, naluri
Dirgo mengatakan, bahwa lelaki itu pergi ke Telaga
Manik Intan. Maka segera ia ikuti kepergiannya. Karena
tiba-tiba dalam pikiran Dirgo Mukti timbul niat untuk
memiliki pusaka tersebut.
Dirgo Mukti mendengar adanya Pusaka Tuak Setan
dan Pusaka Manik Intan dari gurunya. Konon, Pusaka
Tuak Setan mampu mengeluarkan badai yang dapat
menyapu tanah Jawa dalam satu kali hembusan napas
seseorang yang telah meminumnya. Sedangkan Pusaka
Manik Intan adalah cincin yang bisa menyalurkan tenaga
dalam seratus kali lipat dari tenaga dalam yang
dikeluarkan oleh pemakainya. Dalam pikiran Dirgo
terbetik kata-kata.
"Kalau aku bisa memiliki cincin itu, maka aku pasti
bisa mengalahkan Pendekar Mabuk dalam pertarungan
bulan depan di Bukit Jagal. Dan kalau aku bisa
mengalahkan Suto, maka sebagai taruhannya Peri
Malam akan tunduk kepada cintaku, mau menerima
cintaku dan mau kuajak tidur bersama sepanjang masa.
Bisa tak bisa aku harus bisa mendapatkan Cincin Pusaka
Manik Intan itu!"
Memang benar pemikiran Dirgo Mukti. Ia perlu
memiliki cincin tersebut karena kekuatan dahsyat yang
ada di dalamnya. Cincin Pusaka Manik Intan adalah
cincin yang bukan sembarang cincin. Menurut penuturan
para tokoh tua di rimba persilatan, cincin itu adalah
jelmaan dari air mata seorang bidadari yang menangis.
Karena dendam tak bisa terlampiaskan, amarah bidadari
itu hanya bisa tercurah dalam bentuk tangis. Air mata itu
menggumpal dan membeku keras menjadi batu, yang
kemudian ditemukan oleh tokoh sakti pada zaman dulu
yang menjadi Guru dari si Gila Tuak dan Bidadari
Jalang, yaitu pasangan suami-istri Eyang Purbapati dan
Eyang Nini Galih.
Karena pusaka itu berbahaya di tangan Bidadari
Jalang yang lebih sering mengumbar nafsu angkara
murkanya, maka si Gila Tuak bersepakat untuk saling
menghancurkan atau menguburkan pusaka-pusaka yang
berbahaya bagi keselamatan orang banyak. Gila Tuak
menguburkan Pusaka Tuak Setan dan Bidadari Jalang
menguburkan Pusaka Manik Intan. Dan inilah adalah
siasat dari Gila Tuak yang ingin mengurangi ilmu
saudara seperguruannya itu agar kesesatan langkahnya
tidak terlalu banyak menimbulkan korban. Sebab jika
Bidadari Jalang memiliki cincin pusaka yang tercipta
dari tetesan air mata bidadari murka itu, maka habis
sudah seluruh penduduk bumi ini dibinasakan oleh
kemurkaannya.
Tetapi sejak Bidadari Jalang mengangkat Suto
sebagai muridnya juga, setelah banyak ilmunya
diturunkan kepada bocah tanpa pusar itu, maka
persoalan Cincin Manik Intan diserahkan sepenuhnya
kepada Suto. Bidadari Jalang tidak mau peduli apakah
cincin itu akan dimusnahkan atau dipakai sendiri oleh
Pendekar Mabuk, yang penting jangan sampai jatuh ke
tangan orang-orang sesat. Memang, si Gila Tuak
menyarankan agar cincin itu ikut dimusnahkan saja. Tapi
agaknya cincin itu punya pertalian jiwa dengan Pusaka
Tuak Setan. Di mana Tuak Setan berada di situ pula
cincin itu tinggal. Padahal Tuak Setan ada di dalam
tubuh Pendekar Mabuk, apakah cincin itu juga harus
berada di antara jari tangan Pendekar Mabuk?
Yang jelas cincin itu sekarang sedang dalam incaran
Datuk Marah Gadai. Dalam hati orang yang dari dulu
mengejar-ngejar Pusaka Tuak Setan itu berkata,
"Tak kuperoleh Pusaka Tuak Setan, asalkan Pusaka
Cincin Manik Intan itu kudapatkan, puaslah hatiku!
Sungguh aku tak menyangka kalau cincin itu masih ada
di dasar telaga. Tempo hari aku mencarinya sampai
susah payah, belum juga kutemukan. Kupikir telah
diambil oleh Suto Sinting, ternyata menurut keterangan
pelayan si Gila Tuak tadi, cincin tersebut masih ada di
dasar telaga. Sampai sehari penuh harus berendam pun,
aku tak merasa keberatan!"
Namun baru saja Datuk Marah Gadai pijakkan
kakinya di tanah tepi telaga, tahu-tahu hatinya
dikejutkan oleh munculnya sesosok pemuda tampan
yang melompat bagaikan terbang melalui atas kepalanya.
Pemuda itu mendaratkan kakinya tepat di depan Datuk
Marah Gadai dalam keadaan memunggungi. Jaraknya
antara lima langkah. Pemuda bersenjata kapak dua mata
itu tak lain adalah Dirgo Mukti yang mengangkat diri
sebagai Manusia Sontoloyo.
Dirgo Mukti segera balikkan badan menjadi saling
berhadapan dengan Datuk Marah Gadai. Orang yang
usianya antara sepuluh tahun lebih tua darinya itu segera
kerutkan kening sambil usapkan kumis sedikit. Dadanya
terbusung ke depan dengan kepala sedikit ditarik ke
belakang, lalu melontarkan tanya dengan suaranya yang
tergolong besar,
"Siapa kau, Anak Muda?!" tanya Datuk Marah Gadai
dengan lagak bijaknya.
"Rupanya kau tokoh baru di rimba persilatan ini,
sehingga tidak mengenali diriku!" kata Dirgo Mukti
dengan angkuhnya.
Datuk Marah Gadai serukan tawa bernada mengejek.
"Kau itu anak ingusan, mana mungkin aku
mengenalimu? Bukan karena aku tokoh baru di dunia
persilatan, tapi karena kau terlambat muncul karena
masih menetek ibumu, jadi aku tidak mengenalimu!"
"Bicaralah dengan tutur kata yang baik dan sopan,
Pak Tua!"
Makin terkekeh geli Datuk Marah Gadai dipanggil
dengan sebutan 'pak tua'. Baginya itu panggilan yang
belum waktunya muncul. Tapi karena yang menyerukan
adalah mulut bocah ingusan, Datuk Marah Gadai pun
merasa tidak perlu mempermasalahkannya. Yang
menjadi masalah adalah maksud dan tujuan anak muda
di depannya itu.
"Sebutkan namamu atau kuhabiskan nyawamu
sekarang juga?" Datuk mulai mengawali ancamannya
dengan sudut mata menatap bengis.
"Kurasa kau tak perlu mengancam Dirgo Mukti yang
sudah kesohor kesaktiannya ini, Pak Tua! Tentunya kau
pun pernah mendengar gelar kejayaanku sebagai
Manusia Sontoloyo, yang merupakan satu-satunya tokoh
tangguh yang sulit ditumbangkan!"
"Ha ha ha ha.... Manusia Sontoloyo! Nama baru yang
benar-benar nama untuk orang loyo. Ha ha ha...!"
"Tutup mulutmu, Kambing tua!" sentak Dirgo Mukti
dengan mata menatap tajam. Tetapi sentakannya itu
tidak membuat Datuk Marah Gadai hentikan tawanya,
melainkan justru pertambah keras tawanya yang
bergelak-gelak itu. Dirgo Mukti menggeram sambil
keraskan kepalan tangannya.
Kejap berikutnya, Datuk Marah Gadai ucapkan kata,
"Dirgo Mukti, seharusnya kau berhati-hati dalam
bicara dengan Datuk Marah Gadai ini!" sambil Datuk
tepukkan dada sendiri.
Dirgo Mukti sedikit picingkan mata pertanda pikirkan
sesuatu, ia pernah mendengar nama Datuk Marah Gadai,
tapi bukan dari gurunya, melainkan dari mulut
Selendang Kubur. Seingatnya, Selendang Kubur pernah
menceritakan bahwa orang yang bernama Datuk Marah
Gadai itu juga tokoh sakti yang sukar ditumbangkan. Hal
itu membuat Dirgo Mukti ingin sekali menjajalnya.
Datuk berkata lagi, "Ketahuilah, Dirgo Mukti, Datuk
Marah Gadai adalah orang yang sulit memberikan
ampunan bagi lawannya. Jadi kusarankan cepat angkat
kaki dari depanku jika kau punya maksud memusuhiku,
Sontoloyo!"
Dirgo Mukti sunggingkan senyum sinisnya. 'Tidak
ada aturan mundur dalam sejarah kependekaran Dirgo
Mukti! Apalagi aku tahu maksudmu datang ke telaga ini,
yaitu ingin mendapatkan Pusaka Cincin Manik Intan!
Hhmm...! Tak akan kubiarkan pusaka itu jatuh ke
tanganmu, Datuk Marah Gadai!"
Tadi, ketika Dirgo menyebutkan Cincin Manik Intan,
mata Datuk Marah Gadai terperanjat sekejap. Perasaan
bermusuhan tiba-tiba meletup keras di hatinya, sebab
Dirgo Mukti adalah orang pertama yang dianggapnya
jadi penghalang niatnya yang sudah yakin bahwa cincin
itu masih ada di dasar telaga. Karena itu, Datuk Marah
Gadai pun segera kepalkan kedua tangannya dan berkata
geram,
"Jangan harap kau bernapas esok pagi jika kau ingin
menguasai cincin pusaka itu juga, Sontoloyo!"
"Buktikan omonganmu! Aku ingin menakar seberapa
tinggi ilmu yang kau miliki sebenarnya, Datuk Marah
Gadai!"
"Kurang ajar! Anak kambing muda berani
menantangku?! Hiih...!"
Datuk Marah Gadai melancarkan pukulan jarak jauh
dengan sentakkan tangan kirinya ke depan. Tapi Dirgo
segera hentakkan kakinya dan melesat terbang ke arah
Datuk Marah Gadai dengan kaki miring melayang.
Datuk Marah Gadai segera silangkan tangan di atas
kepala untuk menangkis tendangan kaki lawannya.
Plakkk...! Kaki tertangkis, tangan kanan Datuk Marah
Gadai menghentak tepat mengenai dada si Manusia
Sontoloyo. Blegh...!
"Hegh...!" Dirgo Mukti tersentak dengan napas
tertahan, ia tak menyangka pukulan Datuk Marah Gadai
begitu keras, berat, dan cepat. Tubuhnya terlempar
cukup jauh dari pukulan itu. Datuk Marah Gadai segera
melompat mengejar Dirgo Mukti yang terjerembab
dalam jarak sepuluh langkah darinya. Sebuah pukulan
jarak jauh dihantamkan oleh Datuk Marah Gadai,
membuat Dirgo Mukti terpaksa melesat jauh lagi untuk
menghindari.
Ketika mereka baku hantam di sebelah sana, diam-
diam seseorang yang telah mendengar percakapan tadi
masuk ke dalam telaga. Melihat cara menceburkan diri
ke tengah telaga tanpa suara sedikit pun, jelaslah dia
orang berilmu tinggi. Air pun tak memercik banyak.
Jelas pula orang itu mengincar Pusaka Cincin Manik
Intan.
*
* *