Episode 34
MANUSIA Sontoloyo sengaja menghajar Peri Malam
dengan tangan kosong. Sebuah tendangan disentakkan
miring ke arah wajah Peri Malam. Tangan perempuan
bertahi lalat di sudut dagu kanannya itu mengibas
sentak ke arah samping. Tendangan itu meleset dari
sasaran. Tapi kejab berikutnya Dirgo Mukti berbalik dan
kaki satunya lagi berkelebat ke belakang.
Plook...!
Wajah Peri Malam telak-telak terkena tendangan
keras itu. Walau tak bertenaga dalam, namun sempat
membuat Peri Malam terhuyung-huyung tiga tindak.
Setelah berhasil menendang wajah Peri Malam, Dirgo
segera hentikan gerakan. Napasnya tetap teratur walau
ia telah lakukan banyak gerakan.
"Ini sebuah pelajaran berharga untukmu, Peri
Malam!" kata Dirgo Mukti dengan menahan kedongkolan
hatinya. "Lain kali, jangan suka ikut campur urusan
orang!"
"Aku tidak rela kau mengaku-ngaku sebagai Suto!"
"Apa urusanmu?!" sanggah Dirgo dengan kerutkan
dahi.
"Nama itu nama terhormat. Tak pantas dipakai oleh
orang berpenyakit kudis seperti kamu!" ejek Peri
Malam.
"Heh...," Dirgo tertawa satu sentakan. "Nama Suto
Sinting kok dikatakan nama terhormat! Menurutku
namaku lebih terhormat daripada nama Suto Sinting!"
"Tutup bacotmu!" sentak Peri Malam dengan kasar.
Serta-merta ia jejakkan kaki dan melayang menyerang
dengan tendangan bertenaga dalam. Tendangan itu
dihindari oleh Dirgo Mukti dengan cara merundukkan
kepala. Tubuh Peri Malam lewat di atas kepala Dirgo,
dan tangan Dirgo bergerak nakal ke atas bagai
mencomot buah jambu.
"Aaauw...!" jerit Peri Malam kaget karena sesuatu
yang disembunyikan selama ini tercomot oleh tangan
Dirgo.
"Sontoloyo kotor!" sentaknya marah.
Kemudian tangan kirinya disodokkan ke depan
dalam keadaan menggenggam. Pukulan bertenaga
dalam melesat tanpa menyentuh sasaran. Gelombang
tenaga itu meluncur kuat ke arah Dirgo. Secepatnya
Dirgo melompat menghindari, tapi sentakan tangan
kedua dari Peri Malam berhasil mengenai sasaran.
Beegh...!
Tubuh Dirgo Mukti tersentak ke belakang dan kedua
kakinya sempat terangkat sedikit dari tanah. Ia merasa
seperti diseruduk seekor banteng mabuk. Dadanya
sedikit terasa sesak dan tubuhnya jatuh terhempas di
pasir pantai.
"Ini sebuah pelajaran berharga untukmu, Dirgo,"
kata Peri Malam mengutip kata-kata Dirgo tadi. "Lain
kali jangan coba-coba berani memegang bagian
terlarang dari tubuhku!"
Dirgo bangkit dengan menarik napas panjang-
panjang. Ia sunggingkan senyum meremehkan dan
berkata,
"Kalau begitu, aku boleh pegang tubuhmu yang
tidak terlarang!"
"Semua tubuhku terlarang dipegang oleh
tanganmu!" sentak Peri Malam dengan bersungut-sungut
cemberut. Ia palingkan wajah kembali menatap Dirgo
dan berkata,
"Hanya Suto yang boleh memegangnya!"
Benci sekali Dirgo jika mendengar nama murid
sinting si Gila Tuak itu disebutkan oleh Peri Malam.
Rasa-rasanya ia menjadi sangat rendah jika
dibandingkan dengan Suto. Panas hati mendengar
ucapan Peri Malam tadi membuat Dirgo ucapkan kata
pedas,
"Lelaki hina macam dia tak patut disebut namanya
di depanku!"
"Aku akan menyebutnya setiap saat. Karena Suto
memang seorang pendekar tanpa tanding yang layak
namanya diagungkan!"
"Dia tidak pantas bergelar pendekar!"
"Dia lebih pantas dari pada kamu!" bantah Peri
Malam dengan nada makin tegas dan keras.
Mulut Manusia Sontoloyo mencibir, "Hanya
kebetulan saja dia pernah belajar silat dari si Gila
Tuak, lantas orang kasih gelar pendekar padanya!
Sebenarnya dia tidak punya isi apa-apa! Kosong
melompong seperti rumah keong!"
Peri Malam tidak suka mendengar Suto diremehkan.
Ketus nadanya ia bicara pada Dirgo Mukti.
"Kau bilang dia kosong, tapi kau tak bisa
memukulnya! Hmm...! Pendekar tidak bisa memukul
lawan, itu namanya bukan pendekar, pendekar, yang
kerjanya tarik dokar ke mana-mana!"
"Aku bukan kusir!"
"Iya. Tapi kau kudanya!" sentak Peri Malam.
Wuug...! Sebuah tendangan bertenaga dalam kali
ini dilancarkan oleh Dirgo. Secepatnya Peri Malam
sentakkan tangan kanan menyamping dengan kekuatan
tenaga dalam juga.
Breeg...!
Kedua tenaga dalam itu bentrok. Peri Malam
berhasil membuang ke arah samping kanannya. Di sana
ada batu, dan batu itu pecah menjadi empat bagian.
Peri Malam palingkan pandang ke arah Dirgo.
Ternyata kedua tangan Dirgo sudah angkatkan sampai
batas pundaknya. Jari-jarinya mekar mengeras, kedua
kakinya merendah. Lalu tangan kanan berkelebat ke
depan dengan membengkokkan pergelangan tangannya.
Melalui punggung telapak tangan itu, Dirgo lepaskan
pukulan bertenaga dalam yang lebih besar lagi.
"Haiit...!" Peri Malam sentakkan tangannya ke
depan dada dalam keadaan jari-jari lurus ke atas. Dari
sisi telapak tangan keluar cahaya kebiru-biruan. Cahaya
itu melesat dan meledak di pertengahan jarak.
Duaaar...!
Dirgo Mukti berguncang tubuhnya akibat sentakan
ledakan tadi. Tapi Peri Malam terlempar dua langkah
jauhnya akibat sentakan ledakan tersebut. Ia jatuh
dalam posisi miring, lalu segera berguling.
Kemarahan Dirgo Mukti karena dibandingkan oleh
Suto belum habis. Ia masih ingin menghajar Peri Malam
yang menurutnya dianggap sebagai perempuan lancang
mulut.
Pada saat Peri Malam bergegas bangkit, sebuah
pukulan bertenaga tinggi melesat melalui dua totokan
jari tangannya. Pukulan itu mempunyai cahaya sinar
merah api. Wuuusss...!
Slaaap..! Duaar...!
Peri Malam terkesiap mendapat serangan sinar
merah api. Ia baru saja ingin melompat menghindari.
Tapi sinar api itu meledak di pertengahan karena
datangnya sinar hijau bening dari arah pepohonan tepi
pantai.
Dirgo Mukti cepat palingkan wajah memandang ke
arah pepohonan, begitu pula halnya dengan Peri
Malam. Lalu, keduanya sama-sama lihat kemunculan
seorang lelaki berpakaian serba coklat dengan
menenteng bumbung tuaknya. Siapa lagi dia kalau
bukan Suto Sinting, murid si Gila Tuak?
"Suto...!" pekik Peri Malam kegirangan.
Suto melangkah dengan santai dan tersenyum-
senyum kepada Dirgo. Tapi arah langkahnya menuju ke
Peri Malam, membuat Dirgo menjadi semakin dongkol.
"Suto...! Syukurlah kau tahu aku di sini..!" Peri
Malam memeluk tanpa canggung-canggung lagi. Suto
pun memeluk Peri Malam karena ingat perjuangannya
mempertahankan Tuak Setan dari tangan si Mawar
Hitam.
"Jahanam!" geram Dirgo Mukti dengan pelan.
Kemudian ia segera kirimkan kembali pukulan
bertenaga tinggi melalui kedua jari tangan yang
disentakkan ke depan. Sinar merah api menyala lagi
dan melesat ke arah Suto dan Peri Malam yang masih
berpelukan hangat.
Walau dalam keadaan sedang berpelukan, namun
mata Suto bisa melihat kilasan sinar merah api menuju
ke arahnya. Ia tidak melepaskan pelukan itu, melainkan
hanya menggeser bumbung tuaknya ke samping kiri Peri
Malam, dan sinar merah api itu menghantam bumbung
tuak dengan suara lirih, deeg...! Lalu, melesat kembali
ke arah semula tanpa padamkan sinarnya.
Melihat sinar merah api kembali ke arahnya, Dirgo
tercengang kaget dan buru-buru melompat ke arah
samping dengan satu sentakan ujung jempol kakinya.
Wuuttt...!
Sinar merah api itu lewat ke tempat kosong. Tapi
pada akhirnya membentur tebing karang yang agak
jauh dari tempat mereka. Benturan itu membuat
karang meledak.
Blaarr...!
Sebagian tebing karang menyembur dalam
pecahan, sisanya berguguran jatuh di perairan laut.
Ombak menelan guguran karang tersebut, membuat
mata Dirgo masih terasa memandanginya.
"Dari mana kau tahu aku di sini?"
"Ada kemungkinan kau rindu pada gurumu dan
berusaha menatap Pulau Hantu dari sini," jawab Suto
dengan tenang, seakan ia tidak melihat keberadaan
Dirgo Mukti di sebelah sana, dalam jarak tujuh langkah.
"Memang aku rindu pada guruku, tapi aku tak
berani pulang ke sana. Itu sama saja aku menyerahkan
nyawa kepada Guru!"
Makin panas hati Dirgo melihat tangan Peri Malam
merapi-rapikan pakaian Suto. Ia segera mengirim
pukulan bertenaga tinggi dari jarak jauh tanpa rupa.
Pukulan itu diarahkan ke bagian kaki. Karena Dirgo
Mukti sengaja ingin membuat kemesraan itu jadi
berantakan dengan tubuh berjungkir balik tak karuan.
Maka, tangan kirinya pun menyentak ke depan dengan
telapak tangan terbuka dan jari-jarinya mengarah ke
bawah.
Gelombang pukulan jarak jauh itu bagai merayap di
atas permukaan tanah. Pada saat itu, Suto sedang
mencubit pipi Peri Malam dan berkata,
"Kupikir kau mati kena pukulan gurumu sendiri.
Ternyata kau masih hidup dan semakin nakal!"
Duug...! Kaki Suto menghentak pelan ke tanah.
Gelombang pukulan jarak jauh milik Dirgo itu berbalik
arah dan lebih cepat serta lebih besar kekuatannya.
Dirgo Mukti merasakan kembalinya pukulan itu, hingga
ia perlu secepatnya berkelit pindah tempat.
Namun ia terlambat bergerak. Pukulan itu sudah
lebih dulu menghantam bagian kakinya hingga
membuat tanah menyembur naik. Dirgo Mukti
terpelanting bagai dilemparkan ke atas. Ia kurang
menjaga keseimbangan tubuhnya akibat rasa kagetnya
tadi. Maka, mau tak mau ia pun jatuh bergedebuk di
atas tanah berpasir.
Suara bergedebuk itulah yang membuat Peri Malam
sadarkan diri dan cepat palingkan wajah ke arah Dirgo.
Suto pun palingkan wajah ke sana sambil tersenyum.
Peri Malam merasa heran melihat Dirgo bagai orang
pontang-panting tanpa sebab. Perempuan itu pun
bertanya pelan, tujuannya kepada Suto.
"Kenapa dia?"
"Entahlah! Mungkin encoknya kambuh!"
Dirgo yang mendengar jawaban itu segera
menyentak dengan segunung kedongkolan di dalam
hatinya.
"Encok gundulmu!"
"Hei, sopan sedikit bicara dengan seorang
pendekar!" Peri Malam bernada galak mengingatkan
Dirgo Mukti. Makin panas hati Dirgo jadinya.
"Kalian yang tidak tahu sopan! Main peluk di
depanku!"
Peri Malam maju setindak dengan tolak pinggang
kiri, "Ih, kami mau main peluk atau main mata itu hak
kami? Tak perlu harus hiraukan kamu! Kenapa kamu
marah? Kalau merasa kurang terima, majulah sini...!
Biar kuremukkan seluruh gigimu itu!"
Dirgo mendengus kesal dan membatin "Hmmm...!
Terang saja dia berani bilang begitu karena di
belakangnya ada Suto. Pemuda itu benar-benar
bangsat! Kuserang dua kali dengan sembunyi-sembunyi
masih juga bisa membalikkan seranganku. Kurasa
memang dia punya ilmu sedikit lebih tinggi dariku.
Rasa-rasanya aku perlu memperdalam juru jurusku lagi,
dan mempelajari jurus 'Cakar Naga' secepatnya. Akan
kulawan ilmunya dengan 'Cakar Naga'-ku pada
pertarunganku kelak di Bukit Jagal!"
Tanpa mau bikin perkara lagi, Dirgo segera angkat
kaki dari tempat itu. Ia melesat tanpa pamit dengan
cepatnya. Peri Malam mau mengejar, tapi tangannya
ditahan oleh Suto. Dan ia senang sekali mendapat
sentakan menahan dari Suto. Hatinya bangga, seakan
dirinya sangat dikhawatirkan oleh Suto.
"Biar kukejar dia!" Peri Malam memancing sikap.
"Jangan. Tak perlu!" kata Suto dengan kalem.
"Kalau tidak kukejar dan kuremukkan dia masih
tetap akan menggangguku terus!"
"Jauhi dia supaya tidak diganggu olehnya," kata
Suto yang kedengaran lebih kalem sekarang dari pada
dulu. Sebab sekarang Suto memang menyadari bahwa
di dalam tubuhnya sudah bermukim Pusaka Tuak Setan.
Kalau dia mengumbar nafsu kemarahan, bisa-bisa
napasnya menyemburkan badai yang sangat dahsyat
dan membawa korban tak bersalah.
Sikap tenang dan kalem itu membuat Peri Malam
semakin menyukai Suto. Menurut pandangannya, Suto
semakin menarik saja. Hatinya kian ditumbuhi bunga
rimbun jika bertatap pandang dengan pendekar tampan
itu. Rasa-rasanya pelukan yang tadi dilakukan Suto
akan membekas selamanya dan meresap hangat
sepanjang masa di dalam hati.
Tiba-tiba Manusia Sontoloyo itu tampakkan diri
kembali dengan sebuah seruan dari atas batu karang
berjarak antara lima belas langkah di belakang Suto.
"Sutooo...!"
Peri Malam dan Suto sama-sama memandang. Peri
Malam denguskan napas tanda kesal hatinya.
"Hah...! Dia lagi, dia lagi...!"
"Dengar, Suto...!" seru Manusia Sontoloyo. "Ada
seorang perempuan cantik mencarimu. Dia bernama
Perawan Sesat! Sekarang sedang menuju ke Perguruan
Merpati Wingit karena menyangka dirimu ada di sana!
Dia membutuhkan kamu dan ingin membawamu pergi!"
"Jangan dengarkan omongannya!" sentak Peri
Malam mulai cemburu dan waswas. Ia sentakkan pula
tubuh Suto agar berpaling memandang ke arahnya. Tapi
kepala Suto masih kembali palingkan pandang ke arah
Dirgo Mukti, sebab Dirgo masih lanjutkan seruannya.
"Hati-hati, dia berilmu tinggi! Mungkin akan
membabi buta mengamuk jika kamu tidak mau ikuti
dengannya! Satu lagi, dia adalah perempuan cantik
yang menggairahkan! Dia lebih cantik dari Peri...!"
Wuuus...! Duaar..!
Kata-kata Dirgo tak terlanjutkan karena Peri Malam
mengirimkan pukulan jarak jauhnya yang lebih
bertenaga dalam tinggi lagi. Pukulan itu bersinar biru
dan melesat jauh ke tempat Dirgo. Tapi Dirgo cepat
menghindar dan menghilang, hingga sinar biru itu
mengenai batu yang dipakai pijakan kaki Dirgo Mukti.
Batu itu pun meledak menjadi serpihan-serpihan
lembut.
"Jangan dengarkan celoteh si Gila Sontoloyo itu!"
ucap Peri Malam dengan cemberut kesal.
"Perawan Sesat...?!" gumam Suto dengan kerutkan
dahi.
"Lupakan tentang perempuan itu!"
"Apa kau kenal dia?"
"Tidak. Tapi aku tadi melihat dia bercumbu di
sebelah sana dengan Dirgo. Tadi kudengar Dirgo
mengaku sebagai dirimu. Lalu, aku keluar dan
membeberkan rahasianya. Dirgo ditinggalkan oleh
Perawan Sesat. Aku salah ucap tadi. Untuk meyakinkan
perempuan itu, kukatakan bahwa Suto yang asli ada di
Perguruan Merpati Wingit. Lalu dia bergegas kesana
mencarimu dengan meninggalkan kemarahan kepada
Dirgo Mukti! Sudahlah, jangan pikirkan tentang dia!"
Peri Malam merajuk manja.
"Aku tidak memikirkan dia, tapi memikirkan orang-
orang Perguruan Merpati Wingit! Mereka bisa jadi
korban tak bersalah jika benar perempuan itu
mengamuk karena tidak menemukan aku di sana!"
"Itu urusan orang-orang Merpati Wingit! Bukan
urusanmu!"
"Aku pernah ditolong oleh mereka. Kau pun
diselamatkan dari luka dalammu oleh mereka! Tak bisa
kita berdiam diri begini saja!"
"Aku tak setuju kalau kau kembali ke Merpati
Wingit!"
"Aku harus kembali ke sana!" Suto bergegas
melangkah, tapi segera Peri Malam melompat dan
cepat menghadang langkah Suto.
"Jangan ke sana, Suto!"
"Aku hanya ingin melihat apa yang dilakukan
perempuan yang tak kukenal itu!"
"Kau pasti akan kembali kepada Betari Ayu!" nada
cemburu makin tampak jelas dari raut muka Peri
Malam.
"Aku memang harus kembali kepada Nyai Betari Ayu
untuk menjelaskan bahwa aku tidak ada hubungan apa-
apa dengan perempuan yang bernama Perawan Sesat
itu!"
"Tidak! Kamu tidak boleh ke sana! Betari Ayu akan
semakin kegirangan jika kau datang. Aku tahu dia
mencintaimu, Suto!"
"Itu hak dia! Aku tak bisa melarang!"
"Tapi kau melayaninya! Kau tidur dengannya
dan...."
"Cukup! Urusan itu kita bicarakan nanti saja!
Sekarang aku mau ke sana dan jangan halangi aku!"
"Tidak boleh!" Peri Malam rentangkan kedua
tangannya.
Suto nekat sentakkan kaki dan melesat pergi
menabrak tubuh Peri Malam. Akibatnya perempuan itu
terjengkang ke belakang dan jatuh di atas tanah
berpasir. Ia segera bangkit begitu melihat Suto sudah
lenyap dari pandangan matanya. Ia berseru,
"Sutooo...! Tunggu! Aku ikut...!"
Karena pada saat itu terlintas dalam pikiran Peri
Malam, jika ia tidak ikut mengawasi Suto, bisa-bisa
hubungan Suto dengan Betari Ayu semakin lengket. Ini
membuat ia kehilangan kesempatan untuk
menempatkan cintanya di samping hati Suto. Ia harus
mencegah hubungan itu agar tidak selengket karet.
Kelebatan Suto memang susah diikuti. Tapi Peri
Malam masih bisa menggunakan penciumannya melalui
udara. Bau keringat Suto telah melekat dalam
ingatannya. Bau keringat Pendekar Mabuk yang
mengandung tuak itulah yang menjadi penuntun Peri
Malam untuk menyusul kepergian Suto.
Suto sendiri tidak peduli apakah dia diikuti Peri
Malam atau tidak. Tetapi yang jelas firasatnya
mengatakan ada yang tak beres di Perguruan Merpati
Wingit. Firasat itu semakin kuat setelah di perjalanan
Suto menemukan tiga kuda tanpa penunggang. Bahkan
ia menemukan mayat Murbawati dan Widarti terkapar
di sekitar kuda itu.
"Gila! Ini pasti perbuatan Perawan Sesat. Mungkin
mereka bertemu dan didesak mengenai tempat
perguruan mereka namun tidak mengaku, akibatnya
mereka dibunuh secara keji! Hmmm...! Siapa
perempuan yang mengaku berjuluk Perawan Sesat itu?
Tak pernah kudengar namanya!" kata Suto sambil
matanya memandang ke sana-sini.
Saat itu Peri Malam datang menyusul. Ia ikut
terperanjat kaget melihat dua nyawa amblas dari raga
dua orang dari Merpati Wingit yang kala itu dikenal pula
olehnya. Peri Malam memandang Suto dan berkata
dengan nada pelan.
"Ada tiga kuda. Tapi mengapa hanya ada dua
mayat? Pasti ada satu lagi yang menjadi korban!"
"Ya. Benar. Lihatlah ke arah bawah pohon sana...!"
Peri Malam terkejut melihat mayat Sungko dalam
keadaan tanpa selembar benang di tubuhnya. Mayat
Sungko biru legam sekujur tubuhnya, pertanda
dihantam dengan pukulan tenaga dalam cukup tinggi.
*
* *