Episode 35
PERAWAN Sesat sungguh perempuan yang ganas.
Dia ibarat iblis cantik berdarah dingin. Siapa pun yang
menghalangi langkahnya, dibabatnya habis. Repotnya
lagi, dia memang punya ilmu cukup tinggi. Sukar
dijatuhkan lawan.
Ketika ia menemukan Perguruan Merpati Wingit, ia
dihadang oleh dua penjaga di pintu gerbang. Kedua
penjaga itu melarang dia masuk. Tanpa banyak
berdebat, kedua penjaga pintu gerbang itu dihantam
secara bersamaan hingga keduanya terkapar tak
bernyawa.
Brakkk...! Pintu gerbang Itu didobraknya dengan
sebuah tendangan berkekuatan tinggi. Pintu gerbang
itu bukan hanya membuka, namun juga terlepas dari
engselnya dan sempat terbang sampai tujuh langkah
jauhnya dari pintu.
Suara gaduh itu membuat mata para murid Merpati
Wingit terperanjat dan terbelalak kaget. Sosok
penampilan yang berambut awut-awutan dengan
pedang gading di punggung, mata tajam, wajah angker,
jelas melambangkan suatu permusuhan yang harus
segera diatasi.
Beberapa murid mengepung Perawan Sesat. Tak
ada gentar sedikit pun di hati Perawan Sesat. Ia bahkan
berseru,
"Mana yang namanya Suto! Aku butuh bertemu
dengan Suto!"
Salah seorang dari wakil para murid itu berkata, "Di
sini tidak ada Suto Sinting! Pemuda itu sudah pergi!"
"Dusta!" sentak Perawan Sesat. "Kudengar dia
berada di sini dalam perawatan lukanya!"
"Tidak ada! Keluar kau atau kami rajang-rajang
tubuhmu!" bentak salah satu wakil dari para murid.
"Aku tak akan pergi sebelum membawa Suto!"
"Bedebah kau! Seraaang...!"
Serentak para pengepung menyerang Perawan
Sesat. Mulanya mereka belum menggunakan senjata.
Namun, ketika kedua tangan Perawan Sesat
disentakkan ke samping dengan satu kekuatan tinggi,
para penyerang itu berjumpalitan. Ada yang terlempar
sejauh tujuh langkah, ada yang tersentak naik ke atas
dan jatuh dalam keadaan patah lehernya. Ada pula
yang langsung menyemburkan darah kental dari
mulutnya. Pendek cerita, satu kali gebrakan delapan
nyawa melayang.
Melihat delapan korban jatuh akibat gebrakan
Perawan Sesat, seorang berpakaian biru dengan rambut
pendek sebahu dan dililit kain ikat kepala warna merah
maju ke depan. Ia memberi isyarat agar para murid
tidak menyerang. Orang itu adalah wakil dari
Murbawati selama Murbawati pergi. Mereka tak tahu
bahwa Murbawati, dan dua temannya sudah menjadi
mayat akibat ulah perempuan berambut jabrik itu.
Perempuan yang tampil lebih kalem itu adalah
Suryadani, ilmunya setingkat dengan Murbawati.
"Siapa kamu dan mengapa mengamuk di wilayah
kami?"
"Tak perlu kau tahu siapa aku! Yang penting, aku
harus pergi membawa Suto Sinting, murid si Gila Tuak
itu!"
"Suto sudah tidak ada. Dia sudah pergi. Memang
mulanya dia kami rawat di sini, tapi setelah sembuh dia
pergi dari sini! Dia memang bukan murid perguruan
kami," tutur Suryadani dengan lebih kalem dan sabar.
"Aku perlu membuktikannya!" kata Perawan Sesat
dengan mata memancarkan kesan angker.
"Dengan cara apa kau mau membuktikannya?""
"Menggeledah tempat ini!"
"O, ini tempat terhormat! Tak bisa seenaknya kau
mengacak-acak tempat ini!"
"Kalau begitu aku harus memaksa untuk
menggeledah tempat ini!" sentak Perawan Sesat.
"Kalau kau memaksa begitu, maka aku pun
memaksa bertindak keras!" Suryadani tak mau kalah
gertak.
"Bagus!" Perawan Sesat melangkah ke samping
dengan mata melirik liar. Ia berkata dengan suara
semakin bermusuhan,
"Menyingkirlah, aku akan menggeledah tempat ini.
Atau berikan Suto supaya aku cepat pergi dari sini!"
"Tak ada Suto. Tak mau menyingkir!"
"Berarti kau memang cari mampus! Hiaaat...!"
Perawan Sesat hanya membentak dengan kaki
menghentak kuat ke tanah, tangan terangkat ke atas.
Belum lagi ia maju menyerang, Suryadani sudah
tumbang karena gelombang bentakannya yang
mempunyai kekuatan tenaga dalam cukup besar itu.
Suryadani segera bangkit berdiri dan membatin,
"Suaranya tak seberapa keras, tapi gelombang kekuatan
tenaga dalamnya begitu hebat! Oh, telingaku
berdarah...?!"
Suryadani memegangi cairan yang mengalir ke pipi
kiri. Ternyata memang darah yang keluar dari
telinganya. Kemudian dia memegang bagian depan
hidung. Darah juga mengalir walau tak banyak.
"Aku harus hati-hati dengannya," pikir Suryadani.
"Majulah kalau kau memang ingin mengusirku!"
sentak Perawan Sesat. Maka, Suryadani pun melompat
maju tiga langkah. Ia segera mencabut keris yang
terselip di pinggang kiri.
Srettt...!
Baru saja keris dicabut, Perawan Sesat
menghantamkan pukulannya dari jarak jauh melalui
sentakan tangan kirinya. Wuusss...!
Krak...!
Keris itu patah tiga tempat. Suryadani terperangah
kaget. Keris itu keris pusaka yang sekali sabet bisa bikin
lawan terbeset perutnya. Tapi mengapa sekarang
semudah itu dipatahkan oleh lawannya tanpa disentuh
sedikit pun.
Keris yang tinggal sisa gagangnya yang digenggam
itu segera dibuang. Suryadani sentakkan ujung kakinya
dan melesat naik ke udara. Bertepatan dengan itu,
Perawan Sesat pun sentakkan kakinya tanpa suara, dan
melesat naik tanpa maju. Ia hanya menunggu serangan
di atas.
Suryadani lancarkan pukulan gandanya. Wuuttt,
wuuttt...!
Plak, plak...! Pukulan ganda bisa ditangkis oleh
telapak tangan Perawan Sesat. Sebelum mereka
bergerak turun, tangan Perawan Sesat menghantam
kuat di dada Suryadani. Bagh...!
"Aahg...!" terpekik Suryadani dengan suara
tertahan.
Ia jatuh ke tanah, rubuh tak berkutik selain hanya
mengucurkan darah kental dari mulutnya. Pukulan di
dada itu membekas hangus bagai habis terbakar api
yang maha panas. Perawan Sesat segera sentakkan kaki
menendang tubuh Suryadani yang sudah parah itu.
Tubuh tersebut terjerembab dan telentang, kemudian
meregang nyawa. Mati.
Melihat Suryadani tak bernyawa lagi, para murid
sempat terbelalak kaget. Salah seorang memberi aba-
aba. "Kepuuung...!"
Lebih dari lima belas murid mengepung Perawan
Sesat berkeliling. Namun, sebelum mereka melakukan
penyerangan serempak, terdengar suara bijak berseru
dari depan bangunan joglo itu.
"Minggir semua...!"
Perintah pelan itu ditaati oleh para murid Merpati
Wingit. Mereka menyingkir ke samping, dan Perawan
Sesat menatap seraut wajah ayu berjubah kuning
dengan ikat kepala dari kain merah berbintik-bintik
kuning emas. Tali itu agak panjang, di kedua ujungnya
mempunyai logam seperti mata tombak ukuran kecil.
Perempuan ayu itu tak lain adalah Nyai Betari Ayu,
guru dan ketua di situ.
"Selamat datang di perguruan kami!" sapa Nyai
Betari Ayu dengan lebih tenang lagi ketimbang
Suryadani tadi. Ia langkahkan kaki maju dua tindak.
Matanya teduh memandang mata liar Perawan Sesat.
"Tak perlu basa-basi padaku! Yang kubutuhkan
adalah Suto!"
"Kalau tak salah penglihatanku," kata Betari Ayu,
"Kau adalah murid Nyai Lembah Asmara yang berjuluk
Perawan Sesat."
Terkesiap mata Perawan Sesat. Sedikit menyipit dia
memandang Betari Ayu. Tangan yang sudah diangkat ke
atas itu diturunkan dan sedikit mengendur. Namun
sikapnya masih jelas bermusuhan.
"Kau kenal dengan guruku?"
"Jelas kenal! Apa gurumu tak pernah bercerita
tentang Nyai Betari Ayu...?"
"Ya. Pernah. Beliau pernah punya teman bernama
Nyai Betari Ayu!"
"Itulah aku!"
"Oh...?!" semakin mengendur kekerasan urat tangan
Perawan Sesat. Semakin surut kebengisan di wajahnya.
Tapi kewaspadaannya masih tetap tinggi. Terbukti
ketika salah seorang murid membokongnya dengan
melemparkan pisau terbang ke arah punggung, Perawan
Sesat segera sentakkan jempol kakinya dan ia melesat
ke atas lalu putarkan tendangan dengan cepat.
Tendangan itu membuat pisau terbang melesat balik
dengan cepat sekali, dan menancap di leher
pemiliknya.
"Aaahg...!" terdengar suara pekik tertahan dari si
pembokong.
Untuk beberapa saat suasana hening kembali
setelah suara rubuhnya si pembokong. Perawan Sesat
kembali berdiri sigap berhadapan dengan Nyai Betari
Ayu. Kala itu Betari Ayu hanya sipitkan mata melihat
anak muridnya rubuh tertancap pisau. Betari Ayu hanya
tarik napasnya dan menghembuskan pelan-pelan.
"Perawan Sesat, pulanglah dan sampaikan salamku
kepada gurumu, Nyai Lembah Asmara!"
"Guruku akan menerima salammu kalau aku pulang
bersama Suto Sinting, pemuda tanpa pusar itu!"
"Suto tidak ada di sini, Perawan Sesat!"
"Aku belum percaya jika belum menggeledahnya!"
"Gurumu pasti percaya!" seraya Betari Ayu
sunggingkan senyum.
"Guru boleh percaya, tapi aku tidak semudah itu
mempercayaimu!"
"Aku keberatan jika kau menggeledah tempat ini!"
"Kalau begitu aku harus memaksanya!"
"Aku akan bertahan!"
"Kau akan kehilangan nyawamu, Betari Ayu!"
"Apa boleh buat demi pertahankan martabat
perguruan!"
Perempuan berpedang gading itu mendengus kesal.
Ia membatin, "Hmm... kalem-kalem tapi nyalinya besar
juga orang ini! Kalau kuserang dia, apakah Guru akan
menyalahkan aku? Ah, kurasa tidak! Karena tugasku
adalah merebut Suto dari tangan siapa pun!"
Betari Ayu sendiri sedang mencari jalan agar tidak
terjadi pertumpahan darah lagi. Tetapi, agaknya
Perawan Sesat ini orang yang sulit diajak damai.
Mungkin karena didikan dari gurunya yang pantang
melepaskan lawan jika sudah beradu pandang.
"Perawan Sesat, apakah artinya kau mengobrak-
abrik tempatku ini jika kau tidak menemukan Suto? Kau
hanya memperburuk keadaan hubunganku dengan
gurumu! Padahal aku sudah bertahan sabar untuk tidak
merampas tanah Bukit Garinda yang sebenarnya
kusewakan kepada gurumu, tapi sekarang agaknya mau
dimiliki oleh kalian! Jadi menurutku, sudahlah...
jangan kita bersitegang untuk masalah yang tidak
penting!"
"Kehadiran Suto di depan Nyai Guru Lembah Asmara
adalah hal yang sangat penting!" jawab Perawan Sesat.
"Apakah gurumu dalam keadaan sakit?"
"Tidak. Tapi Guru membutuhkan keturunan. Dia
butuh pembibit yang hanya bisa dilakukan oleh lelaki
tanpa pusar!"
"Aneh!" Betari Ayu kerutkan dahi.
"Memang aneh. Tapi itu bukan urusanmu. Itu urusan
pribadi Guru. Jadi jangan coba-coba kamu halangi
urusan pribadi guruku!"
"Aku tidak menghalangi. Kalau di sini ada Suto,
silakan bawa sendiri pemuda Itu. Tapi kurasa Suto akan
menolak, sebab dia sudah punya kekasih sendiri. Dyah
Sariningrum namanya...!"
Perawan Sesat diam termenung sebentar. Lalu,
matanya kembali terkesiap memandang Betari Ayu. Ia
berkata bagaikan menggumam,
"Jangan kau dustai diriku, Betari Ayu!"
"Tidak ada dusta dalam mulutku, Perawan Sesat!
Suto Sinting sangat mencintai perempuan itu sehingga
tak pernah mau bercinta dengan perempuan lain!"
"Omong kosong! Tak ada lelaki yang tak terpikat
oleh kecantikan Nyai Guru Lembah Asmara. Suto pasti
akan bergairah kepada beliau dan mau menjadi
pembibit keturunan Nyai Guru Lembah Asmara!"
"Terserah. Itu urusanmu dengan Suto. Tapi
urusanku dengan kamu kurasa sudah selesai. Suto tidak
ada di sini!"
"Aku curiga kau menyimpan di dalam kamar
pribadimu!"
"Itu tidak benar!"
"Kalau begitu aku harus masuk ke sana dan
membuktikan!"
"Kau harus melewati aku dulu, Perawan Sesat!"
"O, kau menantangku?!"
"Karena kau menghendaki pertarungan denganku!"
"Baik! Jangan menyesal kalau nyawamu kucabut
dalam tiga helaan napas, Betari Ayu!"
"Yang kusesali kalau nyawaku tak bisa kau cabut!"
"Bersiaplah untuk mati sekarang juga!"
"Aku sudah bersiap sejak tadi!"
Perawan Sesat merasa semakin ditantang. Maka
dengan cepat ia sentakkan tangannya ke depan kedua-
duanya. Wuuttt...! Sebuah gelombang pukulan tenaga
dalam yang amat besar menghantam tubuh Nyai Betari
Ayu.
Tapi dengan gerakan seperti menari, Betari Ayu
hadangkan tangan kanannya ke depan dada. Gelombang
pukulan yang besar tak berbentuk itu tertahan di depan
dada. Betari Ayu tetap berdiri dengan kedua kaki
merapat dan tangan kanan menahan di depan dada.
Wajahnya tak ada kekerasan sedikit pun. Bahkan
berkesan senyum tipis yang membikin Perawan Sesat
menjadi tambah penasaran.
Kedua tangan perawan gila itu mendorong ke depan
agar gelombang pukulan tenaga dalamnya tidak
membalik arah. Ia bagaikan mendorong sebongkah batu
sebesar gajah. Sekujur tubuhnya menjadi keras.
Berkeringat di sekitar kening dan lehernya. Tangannya
gemetar jelas karena dorongan yang memerlukan
pengerahan tenaga itu. Sementara yang menahan
hanya tenang-tenang saja. Tangan kirinya berada di
belakang, tangan kanannya tetap tegak dengan jari
menghadang ke atas.
Dalam satu kesempatan, Nyai Betari Ayu melihat
letak kaki Perawan Sesat dalam keadaan lemah satu
sisi. Maka, tangan kanannya itu disentakkan ke depan
seperti gerakan orang menari. Dan, tubuh perempuan
jabrik itu tersentak ke belakang, terpental lima
langkah jauhnya. Di sana ia rubuh dan terguling-guling
bagai dihempas badai besar.
Murid-murid yang memperhatikan adu tenaga
dalam itu menjadi tertegun bengong melihat kehebatan
gurunya. Tetapi murid yang ada di belakang gurunya
menjadi cemas karena tangan kiri Betari Ayu menjadi
berdarah. Tangan kiri itu semenjak tadi menggenggam
menahan kekuatan dorongan tenaga dalam lawan,
sampai kuku-kukunya masuk ke dalam kulit telapak
tangan. Maka basahlah tangan kiri itu oleh darah merah
segar.
Perawan Sesat merasa mendapat lawan yang cukup
tangguh. Ia segera bangkit dan mencoba
menghantamkan pukulan jurus lain yang lebih
berbahaya dari yang pertama tadi. Tetapi dengan
badan sedikit merendah dan tangan melambai bagai
menebarkan bunga, pukulan Perawan Sesat dapat
dihantam balik.
Untuk kedua kali Perawan Sesat terpental ke
belakang dan jatuh berguling-guling. Ia pun segera
menggeram kasar,
"Bangsat! Tak boleh dibuat main-main orang itu!"
Perawan Sesat terpaksa mencabut pedang
gadingnya itu. Srettt...! Tiba-tiba angin badai datang
bertiup di sekeliling wilayah perguruan itu. Pedang
tersebut ternyata bukan terbuat dari logam, melainkan
terbuat dari gading tanpa ukuran. Bentuknya pipih
dengan bagian kedua sisinya tipis bak pedang logam
yang tajam.
Beberapa murid perguruan berkerut dahi dan
menyangsikan ketajaman pedang gadis itu. Sebagian
dari mereka sempat mencibir dan merasa aneh melihat
pedang gading. Tetapi ketika pedang itu ditebaskan ke
depan, badai besar datang dengan cepatnya. Bukan
hanya tubuh manusia yang terpental, namun atap
bangunan joglo itu pun somplak ke atas dan berantakan
sebagian. Salah satu tiang penyangga atap patah.
Tubuh Nyai Betari Ayu juga terpental hingga
membentur dinding bangunan lainnya.
"Maju kau, Betari Ayu...!" teriak Perawan Sesat
dengan kedua tangan menggenggam gagang pedang
yang siap diayunkan lagi. Ia berdiri di tengah arena,
memandang orang-orang yang mengucurkan darah
lewat lubang telinga, hidung, dan mulut. Pada
umumnya mereka mengerang kesakitan dan tak mampu
berdiri lagi.
Darah juga keluar dari lubang hidung, mulut, dan
telinga Nyai Betari Ayu. Tapi ia masih mampu berdiri
dan melepaskan ikat kepalanya yang terbuat dari tali
sutera itu. Ia memutar-mutar tali kepala yang
mempunyai logam runcing di ujungnya itu. Wuung...!
Wuung...! Bunyinya mendengung bagai jutaan lebah
bergaung.
Tali sutera itu segera dilepaskan dan meluncur ke
arah Perawan Sesat. Ujung logamnya memercik-
mercikkan api melayang dengan berputar-putar. Namun
semua itu segera ditebas oleh pedang gading Perawan
Sesat. Wuuussh...!
Tali itu terpental membalik dalam putaran cepat.
Badai datang dari angin tebasan pedang gading. Tubuh-
tubuh yang sedang berusaha bangkit kembali terpental
dan mengeluarkan darah pada tiap lubangnya.
Nyai Betari Ayu sempat bertahan berdiri sambil
mengerahkan tenaga dalamnya. Pada saat itu tali ikat
kepalanya itu meluncur ke arahnya. Dengan sigap
tangan diajukan ke depan dan segera menyambar tali
yang melesat cepat itu.
"Pusaka Jerat Petir ini tidak mampu mengalahkan
pedang gading tersebut! Luar biasa kekuatan pedang
gading itu!" pikir Nyai Betari Ayu. Ia tetap bertahan
berdiri. Tapi kelemahan kakinya tak tertahankan hingga
ia pun jatuh. Banyak darah yang keluar dari mulutnya.
"Keluarkan Suto atau kuporak-porandakan tempat
ini!" teriak Perawan Sesat. Ia siap kibaskan pedang
gadingnya lagi.
Tetapi pada saat itu, sekelebat bayangan melintas
di atas kepala Perawan Sesat. Hampir saja Perawan
Sesat menusukkan pedangnya ketika ia segera
terperanjat melihat sosok pria berpakaian coklat,
menenteng tabung tuak di tangan kiri. Orang itu
menatap Perawan Sesat dengan pandangan lembut dan
senyum indah.
"Kau mencariku, Perawan Sesat?"
Tak bisa cepat Perawan Sesat menjawab, karena
matanya segera terpaku pandang ke arah wajah
tampan itu. Hatinya bergetar lemas bagai terhisap daya
pikat Suto yang sungguh membuat tangannya gemetar.
Namun, rupanya Perawan Sesat mencoba menentang
batinnya sendiri. Ia masih berusaha untuk bersikap
keras dan ganas.
"Kaukah yang bernama Suto Sinting?!"
"Tak salah dugaanmu, Perawan Sesat."
"Kau harus ikut aku menghadap guruku sekarang
juga!"
"Aku tidak bisa sebelum kau sembuhkan orang-
orang ini dan sebelum kau bangkitkan mereka yang
mati!"
"Kalau begitu aku perlu menyeretmu, Suto!"
"Jika itu yang terbaik bagimu, lakukanlah!" Suto
angkat bahu seakan pasrah.
"Kau tidak takut dengan pedangku ini, Suto?!"
"Pedang apa?! Kau tidak memegang pedang!"
Perawan Sesat mendongak ke atas memandang
pedangnya. Ia terperanjat setengah mati melihat
pedang itu hilang lenyap tanpa bekas. Yang tinggal
hanya bagian gagangnya yang masih dengan kuatnya
digenggam memakai kedua tangan. Seketika itu wajah
Perawan Sesat pucat pasi merasa kehilangan pedang. Ia
tak menyadari saat Suto melompati atas kepalanya,
Suto sempat semburkan tuak dari mulutnya. Memang
hanya sedikit, tapi punya kekuatan ilmu yang mampu
menghilangkan benda yang tersentuh percikan tuak itu.
Benda tersebut adalah pedang gading yang kini hilang
tak berbekas.
Pada saat mata Perawan Sesat memandang
terkesiap melihat pedangnya hilang, Suto
menyentakkan bumbung tuaknya ke depan. Bumbung
itu melayang cepat dan tubuh Suto terbawa melesat.
Bumbung itu menyodok dada Perawan Sesat dengan
kerasnya. Buueeggh...!
'Heegh....'" Perawan Sesat memekik tertahan,
tubuhnya terpental jauh ke belakang hingga mencapai
tempat pintu gerbang jatuh. Di sana tubuh itu rubuh
tertindih tubuh Suto yang tidak bisa mengendalikan
tenaga dalam dari dalam bumbung tuaknya. Bruukkk...!
"Heeegh...!" Perawan Sesat makin memekik
tertahan karena tertindih tubuh Suto. Dan pada saat itu
meleleh darah dari mulut Perawan Sesat yang
memejamkan mata menahan sakit.
Suto bergegas bangkit. Perawan Sesat mengerang
menahan rasa sakit di dadanya. Suto memperdengarkan
suara.
"Pulanglah dan jangan coba-coba temui aku lagi di
tempat ini!"
"Aku... harus pulang bersamamu, Suto!"
"Tidak bisa!"
"Kau harus bertemu dengan guruku!"
"Siapa gurumu itu?"
Perawan Sesat diam sebentar, lalu menjawab lirih.
"Dyah Sariningrum...."
"Hah...?!" Suto terpekik tertahan karena kaget.
Jantungnya pun berdetak-detak, kakinya gemetar
mendengar nama itu disebutkan.
"Beliau menunggumu sekian lama. Ingin sekali
bertemu denganmu!"
"Baik! Aku akan ke sana! Aku harus berikan
beberapa tuak dulu kepada Betari Ayu untuk mengobati
mereka yang terluka. Lalu, bawalah aku ke tempat
gurumu!"
Segera Suto melompat cepat dan menemui Betari
Ayu. Ia meninggalkan beberapa tuak dalam sebuah
cawan dan menyuruh Nyai Betari Ayu meminumkan
tuak itu kepada mereka yang terluka. Betari Ayu
bertanya,
"Kau sendiri mau ke mana, Suto...?"
"Urusan pribadi, Nyai!" jawab Suto
menyembunyikan tujuannya.
Segera ia menemui Perawan Sesat dan
mengajaknya pergi. Tapi karena Perawan Sesat dalam
keadaan luka parah di bagian dalam, maka Suto
terpaksa menggendong tubuh itu dan melesat bagaikan
anak panah menuju sasarannya.
"Sutooo...!" teriak Peri Malam yang baru tiba di
perguruan itu. Ia pun bergegas mengejar Suto walau
harus tertinggal beberapa jauh.
SELESAI
Ikuti Keseruan Kisah Petualangan Pendekar Mabuk
Suto Sinting Selanjutnya dalam episode:
MURKA SANG NYAI