Chereads / Pendekar Mabuk / Chapter 35 - 004.Pendekar Mabuk - Perawan Sesat Eps35

Chapter 35 - 004.Pendekar Mabuk - Perawan Sesat Eps35

Episode 35

PERAWAN Sesat sungguh perempuan yang ganas.

Dia ibarat iblis cantik berdarah dingin. Siapa pun yang

menghalangi langkahnya, dibabatnya habis. Repotnya

lagi, dia memang punya ilmu cukup tinggi. Sukar

dijatuhkan lawan.

Ketika ia menemukan Perguruan Merpati Wingit, ia

dihadang oleh dua penjaga di pintu gerbang. Kedua

penjaga itu melarang dia masuk. Tanpa banyak

berdebat, kedua penjaga pintu gerbang itu dihantam

secara bersamaan hingga keduanya terkapar tak

bernyawa.

Brakkk...! Pintu gerbang Itu didobraknya dengan

sebuah tendangan berkekuatan tinggi. Pintu gerbang

itu bukan hanya membuka, namun juga terlepas dari

engselnya dan sempat terbang sampai tujuh langkah

jauhnya dari pintu.

Suara gaduh itu membuat mata para murid Merpati

Wingit terperanjat dan terbelalak kaget. Sosok

penampilan yang berambut awut-awutan dengan

pedang gading di punggung, mata tajam, wajah angker,

jelas melambangkan suatu permusuhan yang harus

segera diatasi.

Beberapa murid mengepung Perawan Sesat. Tak

ada gentar sedikit pun di hati Perawan Sesat. Ia bahkan

berseru,

"Mana yang namanya Suto! Aku butuh bertemu

dengan Suto!"

Salah seorang dari wakil para murid itu berkata, "Di

sini tidak ada Suto Sinting! Pemuda itu sudah pergi!"

"Dusta!" sentak Perawan Sesat. "Kudengar dia

berada di sini dalam perawatan lukanya!"

"Tidak ada! Keluar kau atau kami rajang-rajang

tubuhmu!" bentak salah satu wakil dari para murid.

"Aku tak akan pergi sebelum membawa Suto!"

"Bedebah kau! Seraaang...!"

Serentak para pengepung menyerang Perawan

Sesat. Mulanya mereka belum menggunakan senjata.

Namun, ketika kedua tangan Perawan Sesat

disentakkan ke samping dengan satu kekuatan tinggi,

para penyerang itu berjumpalitan. Ada yang terlempar

sejauh tujuh langkah, ada yang tersentak naik ke atas

dan jatuh dalam keadaan patah lehernya. Ada pula

yang langsung menyemburkan darah kental dari

mulutnya. Pendek cerita, satu kali gebrakan delapan

nyawa melayang.

Melihat delapan korban jatuh akibat gebrakan

Perawan Sesat, seorang berpakaian biru dengan rambut

pendek sebahu dan dililit kain ikat kepala warna merah

maju ke depan. Ia memberi isyarat agar para murid

tidak menyerang. Orang itu adalah wakil dari

Murbawati selama Murbawati pergi. Mereka tak tahu

bahwa Murbawati, dan dua temannya sudah menjadi

mayat akibat ulah perempuan berambut jabrik itu.

Perempuan yang tampil lebih kalem itu adalah

Suryadani, ilmunya setingkat dengan Murbawati.

"Siapa kamu dan mengapa mengamuk di wilayah

kami?"

"Tak perlu kau tahu siapa aku! Yang penting, aku

harus pergi membawa Suto Sinting, murid si Gila Tuak

itu!"

"Suto sudah tidak ada. Dia sudah pergi. Memang

mulanya dia kami rawat di sini, tapi setelah sembuh dia

pergi dari sini! Dia memang bukan murid perguruan

kami," tutur Suryadani dengan lebih kalem dan sabar.

"Aku perlu membuktikannya!" kata Perawan Sesat

dengan mata memancarkan kesan angker.

"Dengan cara apa kau mau membuktikannya?""

"Menggeledah tempat ini!"

"O, ini tempat terhormat! Tak bisa seenaknya kau

mengacak-acak tempat ini!"

"Kalau begitu aku harus memaksa untuk

menggeledah tempat ini!" sentak Perawan Sesat.

"Kalau kau memaksa begitu, maka aku pun

memaksa bertindak keras!" Suryadani tak mau kalah

gertak.

"Bagus!" Perawan Sesat melangkah ke samping

dengan mata melirik liar. Ia berkata dengan suara

semakin bermusuhan,

"Menyingkirlah, aku akan menggeledah tempat ini.

Atau berikan Suto supaya aku cepat pergi dari sini!"

"Tak ada Suto. Tak mau menyingkir!"

"Berarti kau memang cari mampus! Hiaaat...!"

Perawan Sesat hanya membentak dengan kaki

menghentak kuat ke tanah, tangan terangkat ke atas.

Belum lagi ia maju menyerang, Suryadani sudah

tumbang karena gelombang bentakannya yang

mempunyai kekuatan tenaga dalam cukup besar itu.

Suryadani segera bangkit berdiri dan membatin,

"Suaranya tak seberapa keras, tapi gelombang kekuatan

tenaga dalamnya begitu hebat! Oh, telingaku

berdarah...?!"

Suryadani memegangi cairan yang mengalir ke pipi

kiri. Ternyata memang darah yang keluar dari

telinganya. Kemudian dia memegang bagian depan

hidung. Darah juga mengalir walau tak banyak.

"Aku harus hati-hati dengannya," pikir Suryadani.

"Majulah kalau kau memang ingin mengusirku!"

sentak Perawan Sesat. Maka, Suryadani pun melompat

maju tiga langkah. Ia segera mencabut keris yang

terselip di pinggang kiri.

Srettt...!

Baru saja keris dicabut, Perawan Sesat

menghantamkan pukulannya dari jarak jauh melalui

sentakan tangan kirinya. Wuusss...!

Krak...!

Keris itu patah tiga tempat. Suryadani terperangah

kaget. Keris itu keris pusaka yang sekali sabet bisa bikin

lawan terbeset perutnya. Tapi mengapa sekarang

semudah itu dipatahkan oleh lawannya tanpa disentuh

sedikit pun.

Keris yang tinggal sisa gagangnya yang digenggam

itu segera dibuang. Suryadani sentakkan ujung kakinya

dan melesat naik ke udara. Bertepatan dengan itu,

Perawan Sesat pun sentakkan kakinya tanpa suara, dan

melesat naik tanpa maju. Ia hanya menunggu serangan

di atas.

Suryadani lancarkan pukulan gandanya. Wuuttt,

wuuttt...!

Plak, plak...! Pukulan ganda bisa ditangkis oleh

telapak tangan Perawan Sesat. Sebelum mereka

bergerak turun, tangan Perawan Sesat menghantam

kuat di dada Suryadani. Bagh...!

"Aahg...!" terpekik Suryadani dengan suara

tertahan.

Ia jatuh ke tanah, rubuh tak berkutik selain hanya

mengucurkan darah kental dari mulutnya. Pukulan di

dada itu membekas hangus bagai habis terbakar api

yang maha panas. Perawan Sesat segera sentakkan kaki

menendang tubuh Suryadani yang sudah parah itu.

Tubuh tersebut terjerembab dan telentang, kemudian

meregang nyawa. Mati.

Melihat Suryadani tak bernyawa lagi, para murid

sempat terbelalak kaget. Salah seorang memberi aba-

aba. "Kepuuung...!"

Lebih dari lima belas murid mengepung Perawan

Sesat berkeliling. Namun, sebelum mereka melakukan

penyerangan serempak, terdengar suara bijak berseru

dari depan bangunan joglo itu.

"Minggir semua...!"

Perintah pelan itu ditaati oleh para murid Merpati

Wingit. Mereka menyingkir ke samping, dan Perawan

Sesat menatap seraut wajah ayu berjubah kuning

dengan ikat kepala dari kain merah berbintik-bintik

kuning emas. Tali itu agak panjang, di kedua ujungnya

mempunyai logam seperti mata tombak ukuran kecil.

Perempuan ayu itu tak lain adalah Nyai Betari Ayu,

guru dan ketua di situ.

"Selamat datang di perguruan kami!" sapa Nyai

Betari Ayu dengan lebih tenang lagi ketimbang

Suryadani tadi. Ia langkahkan kaki maju dua tindak.

Matanya teduh memandang mata liar Perawan Sesat.

"Tak perlu basa-basi padaku! Yang kubutuhkan

adalah Suto!"

"Kalau tak salah penglihatanku," kata Betari Ayu,

"Kau adalah murid Nyai Lembah Asmara yang berjuluk

Perawan Sesat."

Terkesiap mata Perawan Sesat. Sedikit menyipit dia

memandang Betari Ayu. Tangan yang sudah diangkat ke

atas itu diturunkan dan sedikit mengendur. Namun

sikapnya masih jelas bermusuhan.

"Kau kenal dengan guruku?"

"Jelas kenal! Apa gurumu tak pernah bercerita

tentang Nyai Betari Ayu...?"

"Ya. Pernah. Beliau pernah punya teman bernama

Nyai Betari Ayu!"

"Itulah aku!"

"Oh...?!" semakin mengendur kekerasan urat tangan

Perawan Sesat. Semakin surut kebengisan di wajahnya.

Tapi kewaspadaannya masih tetap tinggi. Terbukti

ketika salah seorang murid membokongnya dengan

melemparkan pisau terbang ke arah punggung, Perawan

Sesat segera sentakkan jempol kakinya dan ia melesat

ke atas lalu putarkan tendangan dengan cepat.

Tendangan itu membuat pisau terbang melesat balik

dengan cepat sekali, dan menancap di leher

pemiliknya.

"Aaahg...!" terdengar suara pekik tertahan dari si

pembokong.

Untuk beberapa saat suasana hening kembali

setelah suara rubuhnya si pembokong. Perawan Sesat

kembali berdiri sigap berhadapan dengan Nyai Betari

Ayu. Kala itu Betari Ayu hanya sipitkan mata melihat

anak muridnya rubuh tertancap pisau. Betari Ayu hanya

tarik napasnya dan menghembuskan pelan-pelan.

"Perawan Sesat, pulanglah dan sampaikan salamku

kepada gurumu, Nyai Lembah Asmara!"

"Guruku akan menerima salammu kalau aku pulang

bersama Suto Sinting, pemuda tanpa pusar itu!"

"Suto tidak ada di sini, Perawan Sesat!"

"Aku belum percaya jika belum menggeledahnya!"

"Gurumu pasti percaya!" seraya Betari Ayu

sunggingkan senyum.

"Guru boleh percaya, tapi aku tidak semudah itu

mempercayaimu!"

"Aku keberatan jika kau menggeledah tempat ini!"

"Kalau begitu aku harus memaksanya!"

"Aku akan bertahan!"

"Kau akan kehilangan nyawamu, Betari Ayu!"

"Apa boleh buat demi pertahankan martabat

perguruan!"

Perempuan berpedang gading itu mendengus kesal.

Ia membatin, "Hmm... kalem-kalem tapi nyalinya besar

juga orang ini! Kalau kuserang dia, apakah Guru akan

menyalahkan aku? Ah, kurasa tidak! Karena tugasku

adalah merebut Suto dari tangan siapa pun!"

Betari Ayu sendiri sedang mencari jalan agar tidak

terjadi pertumpahan darah lagi. Tetapi, agaknya

Perawan Sesat ini orang yang sulit diajak damai.

Mungkin karena didikan dari gurunya yang pantang

melepaskan lawan jika sudah beradu pandang.

"Perawan Sesat, apakah artinya kau mengobrak-

abrik tempatku ini jika kau tidak menemukan Suto? Kau

hanya memperburuk keadaan hubunganku dengan

gurumu! Padahal aku sudah bertahan sabar untuk tidak

merampas tanah Bukit Garinda yang sebenarnya

kusewakan kepada gurumu, tapi sekarang agaknya mau

dimiliki oleh kalian! Jadi menurutku, sudahlah...

jangan kita bersitegang untuk masalah yang tidak

penting!"

"Kehadiran Suto di depan Nyai Guru Lembah Asmara

adalah hal yang sangat penting!" jawab Perawan Sesat.

"Apakah gurumu dalam keadaan sakit?"

"Tidak. Tapi Guru membutuhkan keturunan. Dia

butuh pembibit yang hanya bisa dilakukan oleh lelaki

tanpa pusar!"

"Aneh!" Betari Ayu kerutkan dahi.

"Memang aneh. Tapi itu bukan urusanmu. Itu urusan

pribadi Guru. Jadi jangan coba-coba kamu halangi

urusan pribadi guruku!"

"Aku tidak menghalangi. Kalau di sini ada Suto,

silakan bawa sendiri pemuda Itu. Tapi kurasa Suto akan

menolak, sebab dia sudah punya kekasih sendiri. Dyah

Sariningrum namanya...!"

Perawan Sesat diam termenung sebentar. Lalu,

matanya kembali terkesiap memandang Betari Ayu. Ia

berkata bagaikan menggumam,

"Jangan kau dustai diriku, Betari Ayu!"

"Tidak ada dusta dalam mulutku, Perawan Sesat!

Suto Sinting sangat mencintai perempuan itu sehingga

tak pernah mau bercinta dengan perempuan lain!"

"Omong kosong! Tak ada lelaki yang tak terpikat

oleh kecantikan Nyai Guru Lembah Asmara. Suto pasti

akan bergairah kepada beliau dan mau menjadi

pembibit keturunan Nyai Guru Lembah Asmara!"

"Terserah. Itu urusanmu dengan Suto. Tapi

urusanku dengan kamu kurasa sudah selesai. Suto tidak

ada di sini!"

"Aku curiga kau menyimpan di dalam kamar

pribadimu!"

"Itu tidak benar!"

"Kalau begitu aku harus masuk ke sana dan

membuktikan!"

"Kau harus melewati aku dulu, Perawan Sesat!"

"O, kau menantangku?!"

"Karena kau menghendaki pertarungan denganku!"

"Baik! Jangan menyesal kalau nyawamu kucabut

dalam tiga helaan napas, Betari Ayu!"

"Yang kusesali kalau nyawaku tak bisa kau cabut!"

"Bersiaplah untuk mati sekarang juga!"

"Aku sudah bersiap sejak tadi!"

Perawan Sesat merasa semakin ditantang. Maka

dengan cepat ia sentakkan tangannya ke depan kedua-

duanya. Wuuttt...! Sebuah gelombang pukulan tenaga

dalam yang amat besar menghantam tubuh Nyai Betari

Ayu.

Tapi dengan gerakan seperti menari, Betari Ayu

hadangkan tangan kanannya ke depan dada. Gelombang

pukulan yang besar tak berbentuk itu tertahan di depan

dada. Betari Ayu tetap berdiri dengan kedua kaki

merapat dan tangan kanan menahan di depan dada.

Wajahnya tak ada kekerasan sedikit pun. Bahkan

berkesan senyum tipis yang membikin Perawan Sesat

menjadi tambah penasaran.

Kedua tangan perawan gila itu mendorong ke depan

agar gelombang pukulan tenaga dalamnya tidak

membalik arah. Ia bagaikan mendorong sebongkah batu

sebesar gajah. Sekujur tubuhnya menjadi keras.

Berkeringat di sekitar kening dan lehernya. Tangannya

gemetar jelas karena dorongan yang memerlukan

pengerahan tenaga itu. Sementara yang menahan

hanya tenang-tenang saja. Tangan kirinya berada di

belakang, tangan kanannya tetap tegak dengan jari

menghadang ke atas.

Dalam satu kesempatan, Nyai Betari Ayu melihat

letak kaki Perawan Sesat dalam keadaan lemah satu

sisi. Maka, tangan kanannya itu disentakkan ke depan

seperti gerakan orang menari. Dan, tubuh perempuan

jabrik itu tersentak ke belakang, terpental lima

langkah jauhnya. Di sana ia rubuh dan terguling-guling

bagai dihempas badai besar.

Murid-murid yang memperhatikan adu tenaga

dalam itu menjadi tertegun bengong melihat kehebatan

gurunya. Tetapi murid yang ada di belakang gurunya

menjadi cemas karena tangan kiri Betari Ayu menjadi

berdarah. Tangan kiri itu semenjak tadi menggenggam

menahan kekuatan dorongan tenaga dalam lawan,

sampai kuku-kukunya masuk ke dalam kulit telapak

tangan. Maka basahlah tangan kiri itu oleh darah merah

segar.

Perawan Sesat merasa mendapat lawan yang cukup

tangguh. Ia segera bangkit dan mencoba

menghantamkan pukulan jurus lain yang lebih

berbahaya dari yang pertama tadi. Tetapi dengan

badan sedikit merendah dan tangan melambai bagai

menebarkan bunga, pukulan Perawan Sesat dapat

dihantam balik.

Untuk kedua kali Perawan Sesat terpental ke

belakang dan jatuh berguling-guling. Ia pun segera

menggeram kasar,

"Bangsat! Tak boleh dibuat main-main orang itu!"

Perawan Sesat terpaksa mencabut pedang

gadingnya itu. Srettt...! Tiba-tiba angin badai datang

bertiup di sekeliling wilayah perguruan itu. Pedang

tersebut ternyata bukan terbuat dari logam, melainkan

terbuat dari gading tanpa ukuran. Bentuknya pipih

dengan bagian kedua sisinya tipis bak pedang logam

yang tajam.

Beberapa murid perguruan berkerut dahi dan

menyangsikan ketajaman pedang gadis itu. Sebagian

dari mereka sempat mencibir dan merasa aneh melihat

pedang gading. Tetapi ketika pedang itu ditebaskan ke

depan, badai besar datang dengan cepatnya. Bukan

hanya tubuh manusia yang terpental, namun atap

bangunan joglo itu pun somplak ke atas dan berantakan

sebagian. Salah satu tiang penyangga atap patah.

Tubuh Nyai Betari Ayu juga terpental hingga

membentur dinding bangunan lainnya.

"Maju kau, Betari Ayu...!" teriak Perawan Sesat

dengan kedua tangan menggenggam gagang pedang

yang siap diayunkan lagi. Ia berdiri di tengah arena,

memandang orang-orang yang mengucurkan darah

lewat lubang telinga, hidung, dan mulut. Pada

umumnya mereka mengerang kesakitan dan tak mampu

berdiri lagi.

Darah juga keluar dari lubang hidung, mulut, dan

telinga Nyai Betari Ayu. Tapi ia masih mampu berdiri

dan melepaskan ikat kepalanya yang terbuat dari tali

sutera itu. Ia memutar-mutar tali kepala yang

mempunyai logam runcing di ujungnya itu. Wuung...!

Wuung...! Bunyinya mendengung bagai jutaan lebah

bergaung.

Tali sutera itu segera dilepaskan dan meluncur ke

arah Perawan Sesat. Ujung logamnya memercik-

mercikkan api melayang dengan berputar-putar. Namun

semua itu segera ditebas oleh pedang gading Perawan

Sesat. Wuuussh...!

Tali itu terpental membalik dalam putaran cepat.

Badai datang dari angin tebasan pedang gading. Tubuh-

tubuh yang sedang berusaha bangkit kembali terpental

dan mengeluarkan darah pada tiap lubangnya.

Nyai Betari Ayu sempat bertahan berdiri sambil

mengerahkan tenaga dalamnya. Pada saat itu tali ikat

kepalanya itu meluncur ke arahnya. Dengan sigap

tangan diajukan ke depan dan segera menyambar tali

yang melesat cepat itu.

"Pusaka Jerat Petir ini tidak mampu mengalahkan

pedang gading tersebut! Luar biasa kekuatan pedang

gading itu!" pikir Nyai Betari Ayu. Ia tetap bertahan

berdiri. Tapi kelemahan kakinya tak tertahankan hingga

ia pun jatuh. Banyak darah yang keluar dari mulutnya.

"Keluarkan Suto atau kuporak-porandakan tempat

ini!" teriak Perawan Sesat. Ia siap kibaskan pedang

gadingnya lagi.

Tetapi pada saat itu, sekelebat bayangan melintas

di atas kepala Perawan Sesat. Hampir saja Perawan

Sesat menusukkan pedangnya ketika ia segera

terperanjat melihat sosok pria berpakaian coklat,

menenteng tabung tuak di tangan kiri. Orang itu

menatap Perawan Sesat dengan pandangan lembut dan

senyum indah.

"Kau mencariku, Perawan Sesat?"

Tak bisa cepat Perawan Sesat menjawab, karena

matanya segera terpaku pandang ke arah wajah

tampan itu. Hatinya bergetar lemas bagai terhisap daya

pikat Suto yang sungguh membuat tangannya gemetar.

Namun, rupanya Perawan Sesat mencoba menentang

batinnya sendiri. Ia masih berusaha untuk bersikap

keras dan ganas.

"Kaukah yang bernama Suto Sinting?!"

"Tak salah dugaanmu, Perawan Sesat."

"Kau harus ikut aku menghadap guruku sekarang

juga!"

"Aku tidak bisa sebelum kau sembuhkan orang-

orang ini dan sebelum kau bangkitkan mereka yang

mati!"

"Kalau begitu aku perlu menyeretmu, Suto!"

"Jika itu yang terbaik bagimu, lakukanlah!" Suto

angkat bahu seakan pasrah.

"Kau tidak takut dengan pedangku ini, Suto?!"

"Pedang apa?! Kau tidak memegang pedang!"

Perawan Sesat mendongak ke atas memandang

pedangnya. Ia terperanjat setengah mati melihat

pedang itu hilang lenyap tanpa bekas. Yang tinggal

hanya bagian gagangnya yang masih dengan kuatnya

digenggam memakai kedua tangan. Seketika itu wajah

Perawan Sesat pucat pasi merasa kehilangan pedang. Ia

tak menyadari saat Suto melompati atas kepalanya,

Suto sempat semburkan tuak dari mulutnya. Memang

hanya sedikit, tapi punya kekuatan ilmu yang mampu

menghilangkan benda yang tersentuh percikan tuak itu.

Benda tersebut adalah pedang gading yang kini hilang

tak berbekas.

Pada saat mata Perawan Sesat memandang

terkesiap melihat pedangnya hilang, Suto

menyentakkan bumbung tuaknya ke depan. Bumbung

itu melayang cepat dan tubuh Suto terbawa melesat.

Bumbung itu menyodok dada Perawan Sesat dengan

kerasnya. Buueeggh...!

'Heegh....'" Perawan Sesat memekik tertahan,

tubuhnya terpental jauh ke belakang hingga mencapai

tempat pintu gerbang jatuh. Di sana tubuh itu rubuh

tertindih tubuh Suto yang tidak bisa mengendalikan

tenaga dalam dari dalam bumbung tuaknya. Bruukkk...!

"Heeegh...!" Perawan Sesat makin memekik

tertahan karena tertindih tubuh Suto. Dan pada saat itu

meleleh darah dari mulut Perawan Sesat yang

memejamkan mata menahan sakit.

Suto bergegas bangkit. Perawan Sesat mengerang

menahan rasa sakit di dadanya. Suto memperdengarkan

suara.

"Pulanglah dan jangan coba-coba temui aku lagi di

tempat ini!"

"Aku... harus pulang bersamamu, Suto!"

"Tidak bisa!"

"Kau harus bertemu dengan guruku!"

"Siapa gurumu itu?"

Perawan Sesat diam sebentar, lalu menjawab lirih.

"Dyah Sariningrum...."

"Hah...?!" Suto terpekik tertahan karena kaget.

Jantungnya pun berdetak-detak, kakinya gemetar

mendengar nama itu disebutkan.

"Beliau menunggumu sekian lama. Ingin sekali

bertemu denganmu!"

"Baik! Aku akan ke sana! Aku harus berikan

beberapa tuak dulu kepada Betari Ayu untuk mengobati

mereka yang terluka. Lalu, bawalah aku ke tempat

gurumu!"

Segera Suto melompat cepat dan menemui Betari

Ayu. Ia meninggalkan beberapa tuak dalam sebuah

cawan dan menyuruh Nyai Betari Ayu meminumkan

tuak itu kepada mereka yang terluka. Betari Ayu

bertanya,

"Kau sendiri mau ke mana, Suto...?"

"Urusan pribadi, Nyai!" jawab Suto

menyembunyikan tujuannya.

Segera ia menemui Perawan Sesat dan

mengajaknya pergi. Tapi karena Perawan Sesat dalam

keadaan luka parah di bagian dalam, maka Suto

terpaksa menggendong tubuh itu dan melesat bagaikan

anak panah menuju sasarannya.

"Sutooo...!" teriak Peri Malam yang baru tiba di

perguruan itu. Ia pun bergegas mengejar Suto walau

harus tertinggal beberapa jauh.

SELESAI

Ikuti Keseruan Kisah Petualangan Pendekar Mabuk

Suto Sinting Selanjutnya dalam episode:

MURKA SANG NYAI