Chereads / Pendekar Mabuk / Chapter 31 - 004.Pendekar Mabuk - Perawan Sesat Eps31

Chapter 31 - 004.Pendekar Mabuk - Perawan Sesat Eps31

Episode 31

HANYA Singo Bodong yang tahu persis mengenai

kematian Dewi Murka. Hanya Singo Bodong yang

melihat jelas Perawan Sesat telah membuat jiwa Dewi

Murka benar-benar nungging. Tapi siapa yang kenal

Dewi Murka di antara penduduk desa itu? Toh pada saat

Dewi Murka menginap beberapa hari di rumah keluarga

Gito Gepuk, ia memperkenalkan diri sebagai Wulansih,

nama aslinya.

Kalau saja mereka tahu nama Dewi Murka, maka

kematiannya akan tersebar ke mana-mana sebagai

kematian murid Perguruan Merpati Wingit. Kalau

kematian Dewi Murka tersebar, maka seorang pemuda

berparas ganteng berpakaian hitam-hitam dengan

senjata kapak dua mata itu tidak akan terus-menerus

mencarinya. Pemuda yang memiliki senjata kapak Kebo

Geni ini tidak lain adalah Manusia Sontoloyo, yang

dikenal dengan nama panggilan Dirgo Mukti.

Mengapa Dirgo mencari Dewi Murka beberapa hari

ini?

Itu adalah tugas. Tugas yang turun dan dikeluarkan

dari mulut Selendang Kubur, Selendang Kubur bersedia

memberikan kehangatan tubuhnya kepada Dirgo, jika

Dirgo Mukti sudah kembali memengal kepala Dewi

Murka.

Kala itu, pertempuran Selendang Kubur dengan

Dewi Murka sama-sama mengakibatkan luka dalam di

kedua belah pihak. Mereka saling berpisah untuk

lakukan pengobatan masing-masing. Selendang Kubur

bertemu dengan Dirgo, lalu ditolong dari keadaan

parahnya, dibawa ke dalam gua tempat tinggal Dirgo,

di pesisir pantai Karang Siru.

Sebagai lelaki yang normal, Dirgo bisa menilai

kecantikan dan kemulusan tubuh Selendang Kubur yang

tidak jauh berbeda nilainya dengan Peri Malam.

Sekalipun hati Dirgo terbakar cinta kepada Peri Malam,

namun melihat kemontokan dada Selendang Kubur dan

daya tarik lainnya, Dirgo tidak menolak untuk

mengulurkan tangannya mencari pelepas dahaga.

Selendang Kubur kala itu dalam keadaan pingsan,

lalu segera dibawa masuk ke dalam gua dan

dirawatnya.

"Lukanya terlalu parah," gumam Dirgo Mukti sambil

memperhatikan tubuh Selendang Kubur yang dibujurkan

di atas pembaringannya.

"Dia terkena pukulan tenaga dalam yang tinggi di

dua tempat, jantung dan ulu hati. Terlambat sedikit

pengobatannya, melayang sudah nyawa si cantik yang

menggairahkan ini. Hmmm... aku harus segera

menolongnya. Dengan begitu, dia berhutang nyawa

padaku dan setidaknya tidak keberatan membayar

hutangnya dengan kehangatan tubuhnya beberapa kali."

Tetapi Manusia Sontoloyo itu sedikit ragu setelah

mempertimbangkannya. Ia membatin kembali,

"Pengobatan ini tidak cukup dengan penyaluran

hawa murni ke dalam tubuhnya. Ia harus mendapat

resapan getar nadi dari sekujur tubuhku. Dan resapan

getar nadi ini belum pernah kulakukan kepada siapa

pun. Guru pernah berpesan untuk tidak melakukan

pengobatan melalui resapan getar nadi jika tidak

benar-benar terpaksa. Karena jika aku gagal melakukan

resapan getar nadi, maka nyawaku sendiri akan

melayang pergi dari ragaku. Tapi..., keadaan

perempuan cantik ini mempunyai dua luka yang

berbahaya dan harus cepat penanganannya. Hmmm...

wajahnya makin pucat dan membiru. Agaknya pukulan

tenaga dalam yang tepat mengenai sudut jantungnya

ini mengandung kekuatan racun berbahaya...!"

Manusia Sontoloyo akhirnya memutuskan untuk

melakukan pengobatan resapan getar nadi. Tanpa ragu-

ragu ia melepas pakaian Selendang Kubur. Kalau saja

Selendang Kubur tidak dalam keadaan pingsan lama,

tentu ia akan memberontak dan menolak. Justru

karena keadaan pingsan itulah Manusia Sontoloyo

berani melakukan pengobatan cara resapan getar nadi.

"Wah, indah sekali tubuh perempuan ini...?!"

gumam Dirgo. Matanya tak berkedip menatap

kemulusan tubuh yang sudah tanpa selembar benang

pun itu. "Kalau saja tak ada luka membiru di bagian ulu

hati dan dada kirinya, sudah pasti tubuh ini akan mulus

dan menggiurkan. Hmmm... dadanya begini montok

dan kencang. Benar-benar sepasang dada yang

menantang untuk bertanding cinta. Sayang sekali dia

dalam keadaan terluka parah. Setidaknya kusalurkan

dulu hawa murniku melalui telapak tanganku!."

Pada umumnya orang melakukan penyaluran hawa

murni ke dalam tubuh si sakit dengan cara

menempelkan kedua telapak tangan ke bagian yang

terluka. Tetapi Manusia Sontoloyo membalikkan

tangannya, ia menggunakan punggung telapak tangan

untuk menyalurkan hawa murninya ke dalam tubuh

Selendang Kubur.

Beberapa saat lamanya hal itu ia lakukan, hingga

akhirnya detak jantung Selendang Kubur kembali

normal. Tapi Selendang Kubur masih belum siuman!

Tentu saja, sebab masih ada luka berat di ulu hatinya.

Luka itu memang berhubungan dengan luka dibagian

jantung, sebab mempunyai saluran darah yang

membawa racun. Racun itu menyebar di seluruh tubuh

dan menjadi beku pada bagian ulu hati yang terluka. Ini

bisa menyebabkan pembusukan segera terjadi pada

bagian ulu hati tersebut. Pembekuan racun pada luka

itulah yang harus disembuhkan dengan resapan getar

nadi.

Maka, Manusia Sontoloyo pun segera melepaskan

seluruh pakaiannya. Kini ia telungkupkan badan ke

tubuh Selendang Kubur. Kedua kakinya diusahakan

menggapit bagian paha dan betis Selendang Kubur.

Kedua tangannya memeluk bagian dada sampai

punggung. Mulutnya mengatup rapat ke mulut

Selendang Kubur. Lalu, pelukan dan gapitan itu

diperkuat.

Beberapa helaan napas berikutnya, tubuh Dirgo

Mukti mulai tampak berkeringat. Tubuh itu menjadi

pucat sedikit demi sedikit. Keringatnya semakin

bertambah. Bahkan pada bagian betis kakinya yang

berbulu itu pun mengeluarkan butiran keringat. Sampai

pada telapak kakinya pun berkeringat pula. Dan tubuh

perempuan yang dipeluk erat dalam keadaan seperti

itu, mengeluarkan keringat berwarna kekuning-

kuningan dari tiap lubang pori-pori tubuhnya.

Setelah keringat yang keluar dari pori-pori kulit

tubuh Selendang Kubur itu berubah menjadi bening,

maka Dirgo pun segera menghentikan resapan getar

nadinya. Ia terengah-engah dan jatuh lemas begitu

turun dari ranjang. Sementara perempuan yang habis

menjalani pengobatan aneh itu dalam keadaan seperti

tertidur nyenyak. Wajah pucatnya mulai surut, warna

legam di dada dan ulu hati pun mulai memudar.

Dirgo membiarkan perempuan itu masih telentang

tanpa selembar benang pun. Beberapa saat setelah itu,

manakala napas Dirgo sudah kembali teratur,

keletihannya lenyap sudah, maka Dirgo Mukti segera

ambil kain dan air tawar untuk membersihkan tubuh

Selendang Kubur.

Dengan penuh gairah Dirgo membasuh tubuh yang

kini benar-benar tampak mulus, karena warna legam di

kedua lukanya sudah hilang. Tetapi Selendang Kubur

masih belum bisa siuman walau napasnya telah teratur.

Ketika ia dibasuh dengan kain basah sekujur tubuhnya,

ia masih diam saja.

"Indah sekali tubuh ini. Semuanya serba kencang,

sampai ke bagian pantatnya. Hmm, hmm, hmm...!"

gemas Dirgo dengan nakal, ia remas gumpalan

gumpalan yang bisa menimbulkan birahi itu.

Semakin lama kenakalannya semakin bertambah

jalang. Bukan hanya diremas saja bagian-bagian yang

menggumpal penuh tantangan itu, namun juga dipagut-

pagutnya beberapa saat.

"Selagi pingsan kurasa ia tak akan tahu kalau aku

telah menikmati tubuhnya," pikir Dirgo dengan binal.

Maka, ia pun bergegas kembali melepas apa saja yang

melekat di tubuhnya. Ia kembali bersikap seakan

hendak melakukan resapan getar nadi.

Tetapi lelaki yang bergelar Manusia Sontoloyo itu

mulai dilanda rasa kecewa.

"Kurang ajar! Dia mengunci kedua pahanya hingga

tak bisa dibuka sedikit pun!" geram Dirgo Mukti.

Rupanya ia menjadi penasaran. Dirgo sentakkan

tangannya dengan menggunakan kekuatan tenaga

dalam untuk mendorong sesuatu yang berat. Tetapi

kedua paha Selendang Kubur terkunci rapat, tetap saja

tak bisa direnggangkan sedikit pun. Dirgo mencobanya

sekali lagi dengan jurus 'Sigar Jambe'. Kedua tangannya

merapat pada bagian pergelangan, lalu disentakkan ke

depan dengan bergerak membuka tanpa menyentuh

paha itu. Tapi ternyata kedua paha tetap merapat

kuat. Hanya sedikit terguncang tubuh Selendang Kubur,

namun tidak membuat terpisah kedua kakinya.

"Edan!" sentak Dirgo, yang akhirnya menyerah

kalah. Ia tak bisa lakukan apa yang ia inginkan. Tanpa

sadar hasratnya kala itu sudah hilang karena

kedongkolan hati dan lelahnya tenaga untuk membuka

paha. Bahkan penggunaan jurus 'Sigar Jambe' itu telah

menguras tenaganya karena selalu membalik masuk ke

dalam dirinya.

Hari berikutnya, saat Selendang Kubur telah lama

sadar dari pingsannya, Dirgo mencoba mendekati

dengan kenakalan tangannya. Tetapi Selendang Kubur

berkelit dan menepisnya dengan perasaan tak suka

kepada tindakan itu.

"Jangan begitu, Selendang Kubur. Aku telah

bersusah payah menolongmu, menyelamatkan nyawamu

dari luka parah itu, jika aku meminta upah satu kali

saja, bukankah itu tindakan yang bijaksana?"

"Aku tidak mempunyai kebijakan seperti itu."

"Tapi aku telah menyembuhkan lukamu, Selendang

Kubur!"

"Aku tak keberatan kau kembalikan diriku seperti

keadaan semula," jawab Selendang Kubur dengan keras

kepala.

Terdengar helaan napas Dirgo dalam kejap

berikutnya, "Nasibku selalu buruk jika sudah berurusan

dengan perempuan!"

Selendang Kubur tetap tegak terbujur dengan

kedua tangan terlipat di dada. Ia dengarkan apa pun

yang Dirgo Mukti ucapkan.

"Berulang kali aku jatuh cinta pada perempuan,

berulang kali cintaku selalu ditolak."

"Urusan pribadi seperti itu sulit sekali dijajaki

maknanya. Barangkali kau sangka aku benci padamu.

Barangkali kau sangka aku menghinamu. Dan barangkali

kau sangka aku jijik padamu. Tapi menurutku memang

begitulah sikap pribadi yang harus kumiliki."

Selendang Kubur geserkan langkah dan duduk di

atas batuan karang. Ucapannya berlanjut dari sana,

tertuju untuk Dirgo yang ada tepat di samping kirinya.

"Manusia punya pendirian dan sikap, punya

penilaian dan anggapan, yang belum tentu satu dengan

lainnya sama. Kalau kau lebih banyak berpikir dengan

gairahmu, aku lebih banyak berpikir dengan dendamku.

Kalau kau lebih bangga dengan kemesraanmu, aku lebih

bangga kalau dapatkan kepala Dewi Murka. Semua

punya alasan masing-masing yang tak mudah dipahami

orang lain."

Dirgo Mukti geserkan langkah dan bungkukkan

badan, lalu ia berucap, "Kau sungguh simpan dendam

kesumat dengan Dewi Murka?"

"Ya. Aku ingin penggal kepalanya. Siapa pun dapat

hadiahkan penggalan kepala Dewi, akan kuanggap

sebagai orang yang patut dihormati!"

Termasuk aku?"

"Tak peduli dirimu atau gelandangan mana pun

juga, jika ia persembahkan hadiah padaku berupa

penggalan kepala Dewi Murka, ia adalah manusia yang

patut kuhormati dan kudekati hatinya."

Kata-kata itu punya pengertian lain buat Manusia

Sontoloyo. Ia anggap dirinya mendapat tugas dan

perintah langsung dari mulut Selendang Kubur. Ia

merasa, dengan menghadiahkan penggalan kepada

Dawl Murka, maka Selendang Kubur akan pasrah

menyerahkan kehangatan tubuhnya yang makin lama

makin menantang gairah membakar birahi itu.

Dengan modal anggapan itu, Manusia Sontoloyo

memburu Dewi Murka ke arah selatan, sesuai

keterangan dari Selendang Kubur tentang arah pelarian

Dewi Murka. Tak heran jika Manusia Sontoloyo itu

merambah ke pesisir selatan untuk mencari seorang

perempuan berbaju serba hitam, bersenjata trisula,

dan bernama Dewi Murka.

Tapi ketika langkahnya hendak beralih dari

menyusuri pantai ke kedalaman hutan, mendadak

langkah itu terhenti. Dirgo Mukti melompat mundur

dalam satu sentakan kaki yang melenting tinggi di

udara. Sebuah pohon kelapa rubuh tepat di depannya

halangi langkahnya.

"Tak mungkin pohon itu rubuh sendiri. Batang dan

daunnya masih segar. Pasti ada orang yang hendak

berbuat jahat padaku, atau ingin menghadang

langkahku! Hemmm... mana orang itu?" pikir Dirgo.

*

* *