Episode 31
HANYA Singo Bodong yang tahu persis mengenai
kematian Dewi Murka. Hanya Singo Bodong yang
melihat jelas Perawan Sesat telah membuat jiwa Dewi
Murka benar-benar nungging. Tapi siapa yang kenal
Dewi Murka di antara penduduk desa itu? Toh pada saat
Dewi Murka menginap beberapa hari di rumah keluarga
Gito Gepuk, ia memperkenalkan diri sebagai Wulansih,
nama aslinya.
Kalau saja mereka tahu nama Dewi Murka, maka
kematiannya akan tersebar ke mana-mana sebagai
kematian murid Perguruan Merpati Wingit. Kalau
kematian Dewi Murka tersebar, maka seorang pemuda
berparas ganteng berpakaian hitam-hitam dengan
senjata kapak dua mata itu tidak akan terus-menerus
mencarinya. Pemuda yang memiliki senjata kapak Kebo
Geni ini tidak lain adalah Manusia Sontoloyo, yang
dikenal dengan nama panggilan Dirgo Mukti.
Mengapa Dirgo mencari Dewi Murka beberapa hari
ini?
Itu adalah tugas. Tugas yang turun dan dikeluarkan
dari mulut Selendang Kubur, Selendang Kubur bersedia
memberikan kehangatan tubuhnya kepada Dirgo, jika
Dirgo Mukti sudah kembali memengal kepala Dewi
Murka.
Kala itu, pertempuran Selendang Kubur dengan
Dewi Murka sama-sama mengakibatkan luka dalam di
kedua belah pihak. Mereka saling berpisah untuk
lakukan pengobatan masing-masing. Selendang Kubur
bertemu dengan Dirgo, lalu ditolong dari keadaan
parahnya, dibawa ke dalam gua tempat tinggal Dirgo,
di pesisir pantai Karang Siru.
Sebagai lelaki yang normal, Dirgo bisa menilai
kecantikan dan kemulusan tubuh Selendang Kubur yang
tidak jauh berbeda nilainya dengan Peri Malam.
Sekalipun hati Dirgo terbakar cinta kepada Peri Malam,
namun melihat kemontokan dada Selendang Kubur dan
daya tarik lainnya, Dirgo tidak menolak untuk
mengulurkan tangannya mencari pelepas dahaga.
Selendang Kubur kala itu dalam keadaan pingsan,
lalu segera dibawa masuk ke dalam gua dan
dirawatnya.
"Lukanya terlalu parah," gumam Dirgo Mukti sambil
memperhatikan tubuh Selendang Kubur yang dibujurkan
di atas pembaringannya.
"Dia terkena pukulan tenaga dalam yang tinggi di
dua tempat, jantung dan ulu hati. Terlambat sedikit
pengobatannya, melayang sudah nyawa si cantik yang
menggairahkan ini. Hmmm... aku harus segera
menolongnya. Dengan begitu, dia berhutang nyawa
padaku dan setidaknya tidak keberatan membayar
hutangnya dengan kehangatan tubuhnya beberapa kali."
Tetapi Manusia Sontoloyo itu sedikit ragu setelah
mempertimbangkannya. Ia membatin kembali,
"Pengobatan ini tidak cukup dengan penyaluran
hawa murni ke dalam tubuhnya. Ia harus mendapat
resapan getar nadi dari sekujur tubuhku. Dan resapan
getar nadi ini belum pernah kulakukan kepada siapa
pun. Guru pernah berpesan untuk tidak melakukan
pengobatan melalui resapan getar nadi jika tidak
benar-benar terpaksa. Karena jika aku gagal melakukan
resapan getar nadi, maka nyawaku sendiri akan
melayang pergi dari ragaku. Tapi..., keadaan
perempuan cantik ini mempunyai dua luka yang
berbahaya dan harus cepat penanganannya. Hmmm...
wajahnya makin pucat dan membiru. Agaknya pukulan
tenaga dalam yang tepat mengenai sudut jantungnya
ini mengandung kekuatan racun berbahaya...!"
Manusia Sontoloyo akhirnya memutuskan untuk
melakukan pengobatan resapan getar nadi. Tanpa ragu-
ragu ia melepas pakaian Selendang Kubur. Kalau saja
Selendang Kubur tidak dalam keadaan pingsan lama,
tentu ia akan memberontak dan menolak. Justru
karena keadaan pingsan itulah Manusia Sontoloyo
berani melakukan pengobatan cara resapan getar nadi.
"Wah, indah sekali tubuh perempuan ini...?!"
gumam Dirgo. Matanya tak berkedip menatap
kemulusan tubuh yang sudah tanpa selembar benang
pun itu. "Kalau saja tak ada luka membiru di bagian ulu
hati dan dada kirinya, sudah pasti tubuh ini akan mulus
dan menggiurkan. Hmmm... dadanya begini montok
dan kencang. Benar-benar sepasang dada yang
menantang untuk bertanding cinta. Sayang sekali dia
dalam keadaan terluka parah. Setidaknya kusalurkan
dulu hawa murniku melalui telapak tanganku!."
Pada umumnya orang melakukan penyaluran hawa
murni ke dalam tubuh si sakit dengan cara
menempelkan kedua telapak tangan ke bagian yang
terluka. Tetapi Manusia Sontoloyo membalikkan
tangannya, ia menggunakan punggung telapak tangan
untuk menyalurkan hawa murninya ke dalam tubuh
Selendang Kubur.
Beberapa saat lamanya hal itu ia lakukan, hingga
akhirnya detak jantung Selendang Kubur kembali
normal. Tapi Selendang Kubur masih belum siuman!
Tentu saja, sebab masih ada luka berat di ulu hatinya.
Luka itu memang berhubungan dengan luka dibagian
jantung, sebab mempunyai saluran darah yang
membawa racun. Racun itu menyebar di seluruh tubuh
dan menjadi beku pada bagian ulu hati yang terluka. Ini
bisa menyebabkan pembusukan segera terjadi pada
bagian ulu hati tersebut. Pembekuan racun pada luka
itulah yang harus disembuhkan dengan resapan getar
nadi.
Maka, Manusia Sontoloyo pun segera melepaskan
seluruh pakaiannya. Kini ia telungkupkan badan ke
tubuh Selendang Kubur. Kedua kakinya diusahakan
menggapit bagian paha dan betis Selendang Kubur.
Kedua tangannya memeluk bagian dada sampai
punggung. Mulutnya mengatup rapat ke mulut
Selendang Kubur. Lalu, pelukan dan gapitan itu
diperkuat.
Beberapa helaan napas berikutnya, tubuh Dirgo
Mukti mulai tampak berkeringat. Tubuh itu menjadi
pucat sedikit demi sedikit. Keringatnya semakin
bertambah. Bahkan pada bagian betis kakinya yang
berbulu itu pun mengeluarkan butiran keringat. Sampai
pada telapak kakinya pun berkeringat pula. Dan tubuh
perempuan yang dipeluk erat dalam keadaan seperti
itu, mengeluarkan keringat berwarna kekuning-
kuningan dari tiap lubang pori-pori tubuhnya.
Setelah keringat yang keluar dari pori-pori kulit
tubuh Selendang Kubur itu berubah menjadi bening,
maka Dirgo pun segera menghentikan resapan getar
nadinya. Ia terengah-engah dan jatuh lemas begitu
turun dari ranjang. Sementara perempuan yang habis
menjalani pengobatan aneh itu dalam keadaan seperti
tertidur nyenyak. Wajah pucatnya mulai surut, warna
legam di dada dan ulu hati pun mulai memudar.
Dirgo membiarkan perempuan itu masih telentang
tanpa selembar benang pun. Beberapa saat setelah itu,
manakala napas Dirgo sudah kembali teratur,
keletihannya lenyap sudah, maka Dirgo Mukti segera
ambil kain dan air tawar untuk membersihkan tubuh
Selendang Kubur.
Dengan penuh gairah Dirgo membasuh tubuh yang
kini benar-benar tampak mulus, karena warna legam di
kedua lukanya sudah hilang. Tetapi Selendang Kubur
masih belum bisa siuman walau napasnya telah teratur.
Ketika ia dibasuh dengan kain basah sekujur tubuhnya,
ia masih diam saja.
"Indah sekali tubuh ini. Semuanya serba kencang,
sampai ke bagian pantatnya. Hmm, hmm, hmm...!"
gemas Dirgo dengan nakal, ia remas gumpalan
gumpalan yang bisa menimbulkan birahi itu.
Semakin lama kenakalannya semakin bertambah
jalang. Bukan hanya diremas saja bagian-bagian yang
menggumpal penuh tantangan itu, namun juga dipagut-
pagutnya beberapa saat.
"Selagi pingsan kurasa ia tak akan tahu kalau aku
telah menikmati tubuhnya," pikir Dirgo dengan binal.
Maka, ia pun bergegas kembali melepas apa saja yang
melekat di tubuhnya. Ia kembali bersikap seakan
hendak melakukan resapan getar nadi.
Tetapi lelaki yang bergelar Manusia Sontoloyo itu
mulai dilanda rasa kecewa.
"Kurang ajar! Dia mengunci kedua pahanya hingga
tak bisa dibuka sedikit pun!" geram Dirgo Mukti.
Rupanya ia menjadi penasaran. Dirgo sentakkan
tangannya dengan menggunakan kekuatan tenaga
dalam untuk mendorong sesuatu yang berat. Tetapi
kedua paha Selendang Kubur terkunci rapat, tetap saja
tak bisa direnggangkan sedikit pun. Dirgo mencobanya
sekali lagi dengan jurus 'Sigar Jambe'. Kedua tangannya
merapat pada bagian pergelangan, lalu disentakkan ke
depan dengan bergerak membuka tanpa menyentuh
paha itu. Tapi ternyata kedua paha tetap merapat
kuat. Hanya sedikit terguncang tubuh Selendang Kubur,
namun tidak membuat terpisah kedua kakinya.
"Edan!" sentak Dirgo, yang akhirnya menyerah
kalah. Ia tak bisa lakukan apa yang ia inginkan. Tanpa
sadar hasratnya kala itu sudah hilang karena
kedongkolan hati dan lelahnya tenaga untuk membuka
paha. Bahkan penggunaan jurus 'Sigar Jambe' itu telah
menguras tenaganya karena selalu membalik masuk ke
dalam dirinya.
Hari berikutnya, saat Selendang Kubur telah lama
sadar dari pingsannya, Dirgo mencoba mendekati
dengan kenakalan tangannya. Tetapi Selendang Kubur
berkelit dan menepisnya dengan perasaan tak suka
kepada tindakan itu.
"Jangan begitu, Selendang Kubur. Aku telah
bersusah payah menolongmu, menyelamatkan nyawamu
dari luka parah itu, jika aku meminta upah satu kali
saja, bukankah itu tindakan yang bijaksana?"
"Aku tidak mempunyai kebijakan seperti itu."
"Tapi aku telah menyembuhkan lukamu, Selendang
Kubur!"
"Aku tak keberatan kau kembalikan diriku seperti
keadaan semula," jawab Selendang Kubur dengan keras
kepala.
Terdengar helaan napas Dirgo dalam kejap
berikutnya, "Nasibku selalu buruk jika sudah berurusan
dengan perempuan!"
Selendang Kubur tetap tegak terbujur dengan
kedua tangan terlipat di dada. Ia dengarkan apa pun
yang Dirgo Mukti ucapkan.
"Berulang kali aku jatuh cinta pada perempuan,
berulang kali cintaku selalu ditolak."
"Urusan pribadi seperti itu sulit sekali dijajaki
maknanya. Barangkali kau sangka aku benci padamu.
Barangkali kau sangka aku menghinamu. Dan barangkali
kau sangka aku jijik padamu. Tapi menurutku memang
begitulah sikap pribadi yang harus kumiliki."
Selendang Kubur geserkan langkah dan duduk di
atas batuan karang. Ucapannya berlanjut dari sana,
tertuju untuk Dirgo yang ada tepat di samping kirinya.
"Manusia punya pendirian dan sikap, punya
penilaian dan anggapan, yang belum tentu satu dengan
lainnya sama. Kalau kau lebih banyak berpikir dengan
gairahmu, aku lebih banyak berpikir dengan dendamku.
Kalau kau lebih bangga dengan kemesraanmu, aku lebih
bangga kalau dapatkan kepala Dewi Murka. Semua
punya alasan masing-masing yang tak mudah dipahami
orang lain."
Dirgo Mukti geserkan langkah dan bungkukkan
badan, lalu ia berucap, "Kau sungguh simpan dendam
kesumat dengan Dewi Murka?"
"Ya. Aku ingin penggal kepalanya. Siapa pun dapat
hadiahkan penggalan kepala Dewi, akan kuanggap
sebagai orang yang patut dihormati!"
Termasuk aku?"
"Tak peduli dirimu atau gelandangan mana pun
juga, jika ia persembahkan hadiah padaku berupa
penggalan kepala Dewi Murka, ia adalah manusia yang
patut kuhormati dan kudekati hatinya."
Kata-kata itu punya pengertian lain buat Manusia
Sontoloyo. Ia anggap dirinya mendapat tugas dan
perintah langsung dari mulut Selendang Kubur. Ia
merasa, dengan menghadiahkan penggalan kepada
Dawl Murka, maka Selendang Kubur akan pasrah
menyerahkan kehangatan tubuhnya yang makin lama
makin menantang gairah membakar birahi itu.
Dengan modal anggapan itu, Manusia Sontoloyo
memburu Dewi Murka ke arah selatan, sesuai
keterangan dari Selendang Kubur tentang arah pelarian
Dewi Murka. Tak heran jika Manusia Sontoloyo itu
merambah ke pesisir selatan untuk mencari seorang
perempuan berbaju serba hitam, bersenjata trisula,
dan bernama Dewi Murka.
Tapi ketika langkahnya hendak beralih dari
menyusuri pantai ke kedalaman hutan, mendadak
langkah itu terhenti. Dirgo Mukti melompat mundur
dalam satu sentakan kaki yang melenting tinggi di
udara. Sebuah pohon kelapa rubuh tepat di depannya
halangi langkahnya.
"Tak mungkin pohon itu rubuh sendiri. Batang dan
daunnya masih segar. Pasti ada orang yang hendak
berbuat jahat padaku, atau ingin menghadang
langkahku! Hemmm... mana orang itu?" pikir Dirgo.
*
* *