Chereads / Pendekar Mabuk / Chapter 30 - 004.Pendekar Mabuk - Perawan Sesat Eps30

Chapter 30 - 004.Pendekar Mabuk - Perawan Sesat Eps30

Episode 30

SINAR matahari pagi menerobos mulut gua. Peramal

Pikun terpaksa bersedia membantu Perawan Sesat

mencari Suto Sinting. Tapi orang tua renta itu tidak

tahu ke mana arahnya. Suto bisa ada di mana saja,

menurutnya.

Satu hal yang membuat Peramal Pikun bingung,

bagaimana ia harus keluar dari gua bertebing tegak

lurus itu. Tapi hatinya segera merasa lega setelah dia

ingat pada Perawan Sesat di sampingnya, tentunya

Perawan Sesat tidak akan tinggal diam.

"Naiklah ke punggungku," kata Perawan Sesat.

"Aku...?!" Peramal Pikun menepuk dadanya sendiri.

"Iya. Kamu naik ke punggungku. Kugendong

memanjat tebing terjal ini!" kata Perawan Sesat sambil

menyentak.

Sambil tetap memegangi tongkat, Peramal Pikun

mau tak mau naik ke punggung, digendong belakang

oleh Perawan Sesat.

"Pegang yang erat!"

"Ya," jawab Peramal Pikun sambil membayangkan,

mungkin dulu beginilah ia dibawa oleh Perawan Sesat

ke dalam gua itu.

"Hei, ada yang mengganjal di punggungku dengan

keras! Apa ini? Jangan main-main kamu, Tua renta!"

"Tongkatku yang mengganjal!"

"Tongkat yang mana?!"

"Tunggu kucabut sebentar," dan Peramal Pikun

membetulkan letak tongkat putihnya. Sebentar

diunjukkan kepada Perawan Sesat.

"Tongkat yang ini maksudku!"

"Ya sudah! Pegangan yang kuat. Jatuh tidak

kutanggung!"

Peramal Pikun sangka dirinya akan dibawa terbang

oleh Perawan Sesat. Tapi nyatanya tidak begitu.

Dengan menggunakan ilmu aneh, Perawan Sesat

merayap dinding tebing bertegak lurus itu dengan

cepat. Kaki dan tangannya bagaikan mengandung

perekat yang amat kuat. Ia merayap cepat seperti

seekor cicak menggendong makanannya.

Crap... crap... crap... crap...!

Dalam waktu singkat, tubuh mereka sudah sampai

di dataran atas tebing. Perawan Sesat sentakkan

punggungnya ke depan, dan tubuh Peramal Pikun

terlempar jatuh telentang dengan meringis.

"Uh...! Patah tulang pinggangku kalau begini

caranya!"

"Cepatlah bangkit! Jangan seperti bayi yang belum

disapih!" perintah Perawan Sesat dengan tegasnya.

Peramal Pikun berjingkat bangkit dalam satu

sentakan pinggang. Jleeg...! Kejap berikutnya ia sudah

berdiri tegak dengan kedua kaki sedikit merendah.

Lalu, kedua kaki itu ditegakkannya. Ia berkata kepada

perempuan yang punya keahlian merayap dinding itu.

"Aku tak tahu arah mana yang pertama kali harus

kita tuju. Seperti kataku tadi, Suto bisa ada di mana

saja. Artinya dia susah dicari dan ditentukan

tempatnya."

"Baik. Kalau begitu kita berpencar. Kau ke utara

dan aku ke selatan!" kata Perawan Sesat.

"Kalau aku temukan Suto, bagaimana aku harus

menghubungimu?"

"Tahan napasmu, panggil namaku tiga kali,

hembuskan napas ke atas. Paham?"

"Paham. Kalau itu kulakukan, kau pasti akan

datang?"

"Kalau tidak, untuk apa aku memberi tahu

caranya!"

Setelah ucapkan kata itu, Perawan Sesat melesat

pergi bagaikan kilat menuju ke arah selatan. Peramal

Pikuh sempat terbengong dalam gerutuannya.

"Siapa saja kalau mendengar namanya dipanggil ya

akan datang!" sambil ia segera langkahkan kaki ke arah

utara.

Perawan Sesat tiba di sebuah desa. Desa itu pernah

disinggahi Suto. Bahkan Suto pernah bermalam di

rumah keluarga Kriyo Suntuk yang amat kagum dengan

kisah kependekaran. (Baca serial Pendekar Mabuk

dalam episode: "Darah Asmara Gila"). Didesa itu ada

kedai, dan di kedai itu Suto pun pernah singgah untuk

mengisi tuak dalam bumbungnya. Di sana, ia pun

pernah bertemu dengan lelaki berkumis tebal dan

berbadan besar, tinggi, jari tangannya sebesar pisang

dalam arti kiasannya. Lelaki itu bernama Singo Bodong.

Kedai itu sekarang dalam keadaan ramai pembeli.

Perawan Sesat sengaja datang bersinggah di kedai itu.

Sekadar minum adalah alasan yang tepat untuk

bertanya ke sana-sini tentang Suto Sinting. Ia duduk di

bangku pojok, sementara di bangku sudut

berseberangan ada pula perempuan yang ikut

nongkrong di situ, berpakaian serba hitam dengan

trisula terselip di pinggang kanannya.

Kehadiran Perawan Sesat menjadi pusat perhatian

para pembeli di kedai itu, karena rambut acak-acakan

dan wajah cantik sangat menarik perhatian setiap

orang. Pedang gading berukir itu pun membuat banyak

mata mengaguminya.

"Minum...!"katanya kepada pemilik kedai, seorang

perempuan berbadan kurus.

"Kopi atau teh panas, Nona?"

"Arak!" jawab Perawan Sesat.

Wajah cantik yang sangar sempat bikin gemetar

pria muda yang ada di samping kirinya. Pria muda itu

pun segera pindah tempat duduk, dan mata Perawan

Sesat memperhatikan dengan tajam, berkesan liar dan

ganas.

Minggirnya pria muda itu, lelaki berikat kepala

putih dengan baju merah lusuh menjadi orang terdekat

jaraknya dari Perawan Sesat. Kepada lelaki itu Perawan

Sesat serukan tanya,

"Hei, kau kenal dengan lelaki bernama Suto

Sinting?! Kalau kenal, tunjukkan di mana tempatnya.

Aku perlu bertemu dengannya!"

"Hmmm... anu... saya... saya tidak mengenalnya,

Nona!"

"Bodoh!"

"Iya. Hmmm... memang bodoh saya ini!" lelaki

berbaju merah itu merendahkan diri dengan wajah

pucat. Baru disentak dengan kata 'bodoh' saja wajahnya

sudah langsung serupa dengan mayat.

Arak pesanan disediakan oleh pemilik kedai.

Perawan Sesat meneguknya dengan rakus. Dua orang

pemuda berseberangan arah dengannya saling ber-

kasak-kusuk,

"Sayang sekali, cantik-cantik tapi rakus, ya?"

"Ssst...! Bukan begitu. Yang benar, sayang sekali

rakus-rakus tapi cantik. Itu tidak akan menyinggung

perasaannya kalau dia mendengarnya."

"Ih, eh... rambutnya habis terkena racun apa ya,

kok bisa awut-awutan begitu? Jangan-jangan dia habis

diperkosa?"

"Ssst...! Jangan bilang begitu. Yang benar,

rambutnya habis memperkosa siapa. Itu tidak akan

menyinggung perasaannya...."

Wuuut...! Sepotong jadah atau ketan bakar tiba-

tiba melesat cepat masuk ke mulut orang yang sedang

bicara. Jruub...! Orang itu jadi mendelik, tak lagi bisa

berucap kata apa pun kecuali,

"Uhmm... uhhmmm... uuhmmm...!'' sambil tuding-

tuding mulutnya sendiri. Maksudnya minta bantuan

temannya untuk mencopotkan ketan bakar yang

melesak masuk ke mulut. Tapi temannya berlagak tidak

mendengar, berlagak tundukkan kepala tak berani

berkutik.

Perawan Sesat serukan kata, "Siapa di antara kalian

yang tahu lelaki bersama Suto?! Ada atau tidak?!"

Tak ada yang menjawab. Semua diam dan

ketakutan. Perawan Sesat lemparkan pandangan ke

pemilik kedai. Perempuan tua yang kurus kering itu

buru-buru gelengkan kepala sebelum ditanya.

Perawan Sesat sentakkan suara kepada lelaki yang

tertunduk di samping kirinya orang yang tersumbat

ketan bakar di mulutnya.

"Hai, kau tahu tentang Suto Sinting?! Hei... aku

tanya padamu, Baju kuning!"

Orang itu merasa ditanya, tapi tak berani jawab

apa pun. Tak berani juga dongakkan wajah atau

tatapkan matanya ke arah perempuan berambut awut-

awutan itu. Sikap takutnya bikin hati Perawan Sesat

makin jengkel. Sepotong pisang goreng dicomot, lalu

dilemparkan ke orang itu. Wuuttt...!

Tapp...!

Ada tangan yang bisa menangkap lemparan cepat

pisang goreng tersebut. Tangan itu milik perempuan

berpakaian hitam dan bermata sedikit lebar. Sekarang

perempuan itu tatap mata Perawan Sesat dengan

berani.

Entah apa yang ada di benak Perawan Sesat, yang

jelas ia tidak ulangi lagi lemparan tersebut. Ia diam

dan meneguk arak pesanannya. Tetapi pada saat itu

perempuan yang pegang pisang goreng lemparan

Perawan Sesat tadi mengibaskan tangannya cepat-

cepat. Pisang itu berubah jadi busuk dan mengeluarkan

belatung menjijikkan. Beberapa orang di dekatnya

tersentak sampai ada yang menumpahkan makanan.

Perawan Sesat hanya melirik sekejap sambil

bangkit berdiri. Ia lemparkan sekeping uang kepada

pemilik kedai, lalu ia tinggalkan kedai itu dengan

langkah-langkah tegasnya.

Perempuan yang berpakaian hitam segera

mengikuti Perawan Sesat secara diam-diam. Bulu

kuduknya merinding sebentar membayangkan gumpalan

belatung yang terpegang oleh tangannya tadi. Jelas

belatung itu bikinan dari perempuan berambut jabrik.

Ia tahu hal itu, sehingga ia makin penasaran

mengikutinya.

Perawan Sesat bukan tidak tahu dirinya diikuti. Ia

sengaja memancing di satu tempat sepi. Penguntitnya

sebentar-sebentar bersembunyi di balik pohon.

Perawan Sesat pura-pura tak tahu.

Tapi pada satu tikungan jalan, penguntitnya

terperangah karena kehilangan jejak. Orang yang

diikutinya itu hilang bagaikan asap tersapu angin begitu

membelok di gugusan cadas yang menjadi bagian dari

salah satu lereng bukit kapur. Penguntit itu layangkan

pandangan mata ke mana-mana sampai ke atas bukit

kapur itu.

"Oh, dia sudah di sana?!" gumam hati perempuan

bersenjatakan trisula putih berkilauan itu.

Perawan Sesat sengaja berdiri di atas bukit kapur

menghadap ke arah penguntitnya. Ia gerakkan

telunjuknya memanggil si penguntit dengan sikap

menantang. Perempuan berpakaian serba hitam merasa

ditantang dan segera sentakkan kaki. Wesss...!

Tubuhnya melompat ke salah satu lereng pendek,

melompat lagi ke lereng yang lebih tinggi, sampai

akhirnya sama-sama berdiri di atas puncak bukit kapur

yang tak seberapa tinggi itu.

"Sejak dari warung matamu sudah menguntitku

terus!" kata Perawan Sesat dengan nada dingin. "Apa

perlumu mengikutiku?!"

"Aku tak suka kau menyebutkan nama kekasihku!"

"Siapa kekasihmu?"

"Suto Sinting!"

Wajah dingin Perawan Sesat sunggingkan senyum

yang amat kaku. Ia perdengarkan ejekannya.

"Suto Sinting amat bodoh kalau mau jadi kekasih

orang macam kau! Masih banyak perempuan cantik di

dunia ini, mengapa dia pilih seekor kambing gunung

untuk menjadi kekasihnya?"

"Bangsat kau! Jaga mulutmu, Perempuan busuk! Di

dunia ini tidak ada perempuan lain yang pantas jadi

kekasih Pendekar Mabuk kecuali Dewi Murka."

Perawan Sesat perdengarkan tawanya yang

mengikik penuh kesan hinaan. Perempuan yang

berpakaian serba hitam itu geletukkan giginya.

Perawan Sesat tak tahu, bahwa Dewi Murka saat itu

sebenarnya dalam keadaan rapuh. Mudah dilumpuhkan.

Karena, Dewi Murka baru beberapa hari yang lalu

terkena pukulan hebat dari Selendang Kubur, teman

seperguruannya.

Mereka bertarung di sebuah pantai karena perasaan

iri Dewi Murka melihat Selendang Kubur tampak mesra

bersama Suto. Keduanya sama-sama menaruh hati pada

Suto Sinting. Sampai-sampai Dewi Murka tega

memfitnah teman seperguruannya dan mendesak

Selendang Kubur untuk segera pulang ke padepokan

dengan alasan dipanggil oleh gurunya, yaitu Nyai Betari

Ayu. Padahal tujuan Dewi Murka hanya untuk

menyingkirkan Selendang Kubur dari sisi Suto Sinting.

Pertarungan itu membuat keduanya sama-sama terluka

berat. Keduanya sama-sama saling menghindar untuk

menunggu waktu penyembuhan tiba. Setelah itu

keduanya sama-sama akan bertarung lagi sampai mati.

(Untuk jelasnya baca serial Pendekar Mabuk dalam

episode: "Darah Asmara Gila").

Kini dalam perjalanan pulangnya, Dewi Murka

memerlukan waktu beristirahat beberapa hari. Dan ia

mendapat tumpangan di sebuah rumah salah satu

penduduk desa tadi. Mestinya Dewi Murka masih harus

beristirahat dua hari lagi, sambil melakukan

penyembuhan terhadap dirinya. Tapi, kehadiran

Perawan Sesat membuatnya panas hati dan merasa

tidak rela jika Suto dicari perempuan berambut acak-

acakan itu. Pikirnya,

"Perempuan ini harus kusingkirkan juga, supaya

kelak hubunganku dengan Suto tak ada yang

mengganggu lagi!"

Itulah sebabnya dia menguntit Perawan Sesat dan

melayani tantangan di atas bukit kapur. Sekalipun

kesehatannya belum pulih, Dewi Murka tak pernah

merasa gentar beradu tanding dengan Perawan Sesat.

"Dewi Murka! Tak peduli siapa dirimu, yang jelas

kau tahu di mana Suto Sinting! Tunjukkan padaku

tempatnya atau kau kutelan habis di bukit ini juga!"

"Jangan anggap diriku kecil, Perempuan Jabrik!

Gunung pun bisa kuhancurkan apalagi kepalamu yang

mirip landak itu!"

"Jahanam!" geram Perawan Sesat dengan kedua

tangan telah menggenggam kuat-kuat. "Boleh kau

berkoar di depan orang lain, tapi jangan sekali-kali

berkoar di depan Perawan Sesat!"

"Berkoar di depanmu sama saja berkoar di depan

orang gila! Kenapa harus takut?!" sambil Dewi Murka

tersenyum sinis.

Panas hati Perawan Sesat tak bisa dikendalikan

lagi. Ia segera menggeram panjang bagaikan seekor

macan, lalu kakinya menghentak satu kali ke tanah.

Duuggg...!

Buurrr...!

Bukit kapur itu bergetar. Bagian bawahnya rontok

sebagian. Bongkah-bongkah tanah kapur yang ada di

bagian bawah melesat ke sana-sini. Dewi Murka

merasakan bukit kapur itu sedikit rendah dan menyusut

dari ketinggian semula. Itu pertanda bagian bawah

bukit itu melesat ke dalam tanah atau hancur di

beberapa bagian.

Dewi Murka berkata dalam hatinya, "Gila! Bukit ini

menjadi rendah sedikit dari semula. Hentakan kakinya

terasa dahsyat walaupun mungkin berlaku hanya untuk

seonggok bukit kapur seperti ini. Tapi aku tak perlu

gentar menghadapinya. Dia belum tahu jurus-jurus

dahsyatku!"

Terdengar suara Perawan Sesat menghentak,

"Tunjukkan kesaktianrnu kalau kau benar-benar bisa

meruntuhkan sebuah gunung!"

Dewi Murka tersenyum tipis. Berkesan lebih kalem

dari Perawan Sesat. Lalu, ia pun menghentakkan kaki

kanannya ke tanah dengan keras. Duugg...!

Krakk...! Tanah bagian atas bukit terbelah retak.

Terpisah bagian tengah jarak antara Dewi Murka

dengan Perawan Sesat. Dengan satu hentakan kaki

pula, Perawan Sesat kembalikan posisi retaknya tanah

itu. Duug...! Kreep...!

Terkesiap mata Dewi Murka melihat keretakan

kembali merapat dan pulih seperti sediakala.

Sepertinya tak pernah terjadi keretakan.

Di sisi lain, jauh di bawah bukit kapur itu, sepasang

mata mengawasi peristiwa itu dari balik semak pohon.

Sepasang mata itu berulang kali terbelalak melihat

kedua perempuan tersebut beradu kesaktian ilmunya.

Sepasang mata itu milik seorang lelaki berkumis yang

memperkenalkan dirinya kepada Suto beberapa waktu

yang lalu dengan nama: Singo Bodong.

Percakapan Perawan Sesat di kedai itu

didengarnya, karena kebetulan ia sedang buang air

kecil di belakang kedai. Mestinya ia ada di kedai itu.

Tapi karena ingin buang air kecil, ia minta izin kepada

pemilik kedai untuk ke kamar mandi. Ketika ia mau

keluar kembali, ia dengar suara Perawan Sesat

menyebutkan nama Suto Sinting. Ia tak jadi keluar,

karena ingin tahu apa yang dilakukan perempuan

berambut jabrik itu. Dan diam-diam ia pun menguntit

kepergian Perawan Sesat yang diikuti oleh Dewi Murka

sampai di bukit kapur.

Dari tempat persembunyiannya Singo Bodong

membatin, "Kedua perempuan itu manusia atau iblis

sampai punya kekuatan tenaga dalam seperti itu. Aku

saja yang berbadan sebegini besar belum tentu bisa

gerakkan bukit kapur itu, eh... mereka yang jenisnya

perempuan dengan badan selangsing itu bisa bikin bukit

retak dan menjadi rendah sedikit dari asalnya. Gila itu

dua perempuan."

Mata Singo Bodong yang lebar itu kembali

mengikuti peristiwa di atas bukit kapur. Agaknya kali

ini Perawan Sesat sudah merasa cukup pamer ilmunya.

Melihat lawannya tidak merasa gentar sedikit pun,

Perawan Sesat segera sentakkan kedua kakinya dan

tubuhnya pun melesat terbang bagaikan seekor harimau

hendak menerkam mangsanya.

Pada saat itu Dewi Murka pun melompat

menyambut tubuh lawan yang melayang. Kedua

perempuan itu saling beradu kecepatan pukulan di

udara.

Plak, plak, plak...! Buugh, bugh...!

"Heegh...!" terdengar suara Dewi Murka memekik

tertahan. Tubuhnya terlempar ke belakang dan jatuh

bagai karung basah.

Brukkk...!

Perawan Sesat sudah sejak tadi daratkan kakinya

dengan sigap di tanah berkapur itu. Ia berdiri tegak

dengan tegarnya, memandang lawannya yang jatuh

terkulai dan memuntahkan darah hitam dari mulutnya.

Bahkan dari telinga dan hidung Dewi Murka juga

mengeluarkan darah hitam kemerah-merahan.

Dewi Murka berusaha untuk bangkit. Ia mencabut

trisula dari pinggangnya. Matanya memandang dengan

sedikit membeliak. Tetapi sebelum ia sempat bangkit,

ia sudah kembali jatuh terkulai. Tubuhnya terjajar di

tanah berkapur. Telantang menghadap langit.

Semburan darah hitam kemerahan itu kembali keluar

dari mulutnya bersama tubuh yang menyentak kejang

satu kali.

Perawan Sesat hempaskan napas lega, lalu

tinggalkan tempat itu tanpa mengucap sepatah kata

pun. Ia tampak tidak peduli sekali dengan keadaan

lawannya. Cepat ia melompat, cepat pula ia melesat

hilang.

Singo Bodong kehilangan jejaknya. Bingung mencari

ke mana perginya Perawan Sesat, sebagai sosok

perempuan yang dikagumi ilmu dan kecepatan gerak

tangannya tadi. Karena tak bisa mengejar dan

mengikuti jejak kepergian Perawan Sesat, lelaki

berkumis tebal melintang itu segera naik dengan susah

payah ke bukit kapur. Tepat ketika ia sampai di sana,

Dewi Murka hembuskan napasnya yang terakhir.

*

* *