Chereads / Pendekar Mabuk / Chapter 24 - 003.Pendekar Mabuk - Darah Asmara Gila Eps24

Chapter 24 - 003.Pendekar Mabuk - Darah Asmara Gila Eps24

Episode 24

MATAHARI pantai semakin tinggi, tapi dua

perempuan itu tak peduli sengatan panas dari langit itu.

Mereka berhadap-hadapan dengan masing-masing sinar

mata memancarkan permusuhan.

Murid sinting si Gila Tuak hanya duduk di atas

gundukan batu, di tempat yang teduh dengan sesekali

menenggak tuaknya. Suto merasa tak perlu ikut campur

urusan perempuan. Biarlah perempuan-perempuan itu

menyelesaikan urusan mereka, dan Suto hanya menjadi

pihak penonton saja.

Suto tidak tahu, bahwa perselisihan kedua perempuan

itu adalah karena kecemburuan terhadap dirinya. Suto

tidak tahu bahwa dirinya itulah yang menjadi penyebab

perselisihan Selendang Kubur dengan Peri Malam. Suto

hanya membatin,

"Kebetulan sekali aku tidak perlu susah-susah

mencari Selendang Kubur. Selesai urusan dengan Peri

Malam, baru dia harus selesaikan urusan denganku

tentang Pusaka Tuak Setan itu. Tapi bagaimana kalau

Selendang Kubur mati di tangan Peri Malam? Aku tidak

bisa mendapatkan Pusaka Tuak Setan. Pastilah Tuak

Setan sudah ia sembunyikan di suatu tempat dan hanya

dia yang tahu. Hmm... kalau begitu aku harus

menjaganya jangan sampai ia mati dan jangan sampai ia

kabur lagi!"

Kedua perempuan itu sama-sama berdiri dengan kaki

tegak dan sedikit melebar. Dada mereka sama-sama

membusung ke depan, karena memang keduanya sama-

sama montok. Wajah mereka sama-sama keras, karena

mereka sama-sama menahan rasa cemburu.

"Selendang Kubur!" kata Peri Malam dengan ketus

dan tegas. "Tinggalkan tempat ini atau kuhabisi riwayat

hidupmu?"

"Aku mau pergi dari sini kalau kau serahkan kedua

hal yang kucari itu!" jawab Selendang Kubur tak kalah

ketus dan tegas.

"Tak perlu kau banyak bicara, Selendang Kubur!

Yang jelas kau telah mengganggu kemesraanku dengan

Suto Sinting!"

Peri Malam sengaja batasi omongan, supaya

Selendang Kubur tidak menyebut-nyebut tentang Pusaka

Tuak Setan. Sebab, jika Selendang Kubur melontarkan

keinginannya untuk meminta Pusaka Tuak Setan, maka

Suto yang ada di bawah pohon itu akan mendengar, dan

tentunya Suto menjadi tahu bahwa Pusaka Tuak Setan

ada di tangan Peri Malam. Ini yang dihindari Peri

Malam. Karena menurutnya, Suto belum mengetahui di

mana Pusaka Tuak Setan itu berada.

"Peri Malam! Kau tidak layak mendapatkan

kemesraan darinya, karena kau seorang perempuan hina.

Kau durjana dan kotor!"

"Tutup mulutmu Selendang Kubur!" sentak Peri

Malam memotong. "Jangan sangka dirimu bukan

perempuan kotor! Aku tahu kau sudah bukan perawan

lagi. Aku tahu kau sudah serahkan kehormatanmu

kepada Trenggono!"

"Jahanam! Kaulah yang telah menyerahkan

kesucianmu kepada Trenggono, lima purnama sebelum

dia kita hancurkan!"

Peri Malam sengaja serukan suara ketika berkata

begitu, supaya didengar oleh Suto, dan supaya Suto tahu

bahwa Selendang Kubur sudah tidak perawan lagi. Ini

adalah siasat Peri Malam untuk meruntuhkan minat yang

menurut dugaannya ada di dalam hati Suto.

Siasat itu diketahui oleh Selendang Kubur, maka ia

pun membalas tuduhan serupa dengan suara lebih keras

lagi, walau apa yang dikatakan itu tidak benar. Tapi ia

berharap agar Suto pun mendengar dan

mempertimbangkan keputusannya untuk tetap mendekati

Peri Malam atau meninggalkannya.

Sementara itu, Suto yang duduk santai sambil

memperhatikan perselisihan kedua perempuan itu hanya

manggut-manggut dan membatin, "Ooo... ke-duanya

sudah sama-sama blong. He he he...!"

Mata Selendang Kubur melirik sekejap ke arah Suto.

Ia melihat Suto tertawa kecil. Hatinya semakin panas

dan geram kepada Peri Malam, karena menurutnya tawa

kecil Suto itu adalah menertawakan dirinya yang

dianggap sudah tak perawan lagi itu.

Sebaliknya, Peri Malam juga lirikkan matanya ke

arah Suto dan ia juga melihat senyum tipis Suto. Hati

Peri Malam bertambah benci kepada Selendang Kubur,

karena sangkanya senyuman Suto itu sebagai senyuman

ejekan yang menganggap dirinya sudah bukan gadis lagi.

Tak heran jika kejap berikutnya kedua perempuan itu

sama-sama sentakkan kakinya dan melesat di udara

dengan cepat. Pukulan mereka beradu di udara dalam

gerakan yang cukup cepat. Plak, plak!

Keduanya sama-sama bersalto ke belakang. Kejap

berikut keduanya telah sama-sama mendaratkan kaki ke

tanah. Peri Malam berdiri dengan kaki tegak sedikit

melebar. Napas tertarik dan terhempas lepas dengan

dada tetap membusung.

Selendang Kubur berdiri dengan kaki tegak, tapi

tangan kanannya memegangi dada kiri, dan wajahnya

tampak menahan sakit. Dari sudut mulutnya tampak

darah kental keluar tak seberapa banyak, itu pertanda ia

terkena pukulan langsung dari tangan Peri Malam.

Pukulan itu sudah tentu mempunyai kekuatan tenaga

dalam yang dapat meremukkan tulang dada. Kalau saja

Selendang Kubur tidak melapisi dirinya dengan

kekuatan tenaga dalam juga, maka tulang dadanya saat

itu sudah jebol dan mungkin ia tak lagi melihat matahari

pantai.

Selendang Kubur membatin, "Jahanam itu punya

kecepatan yang luar biasa! Berat juga pukulannya.

Dadaku seperti terbakar bagian dalamnya. Tapi aku tak

boleh menyerah. Aku harus membalasnya. Malu kalau

harus menyerah di depan Suto. Rendah sekali harga

diriku!"

Melihat Peri Malam maju dua tindak, Selendang

Kubur pun segera melangkah maju dua tindak juga.

Tangan kanannya sudah tidak lagi memegangi dada yang

terkena pukulan tadi.

"Selendang Kubur! Sayangilah nyawamu. Jangan

paksakan diri melawanku, karena ilmumu masih cetek.

Kau masih perlu berguru lagi selama belasan tahun

untuk menyamai ilmuku!"

"Pukulanmu belum seberapa berat buatku, Peri

Malam! Seratus pukulan seperti itu masih sanggup

kuterima dengan dada terbuka. Tapi coba kau rasakan

pukulan 'Merpati Puber' dariku, hiaaat....!"

Tubuh berpakaian merah dadu itu meluncur cepat di

udara dan berputar bagaikan baling-baling hendak

menerobos gunung. Begitu cepat putarannya sampai

mata Peri Malam tak bisa melihat gerakan tangan

Selendang Kubur, ia coba sentakkan kaki kanannya

dalam gerak tendangan berputar. Tapi belum sempat

kaki itu mengenai sasarannya, Selendang Kubur sudah

lebih dulu menghantam punggung Peri Malam dengan

satu pukulan telapak tangan bertenaga dalam cukup

besar. Buugh...!

"Ahhg...!"

Bruuk...! Peri Malam tersentak jatuh dalam keadaan

tengkurap. Wajahnya hampir-hampir beradu dengan batu

di hadapannya. Tapi pada saat itu Peri Malam sentakkan

kepala ke atas karena rasa sakit di punggung, sehingga

wajahnya tak jadi terbentur batu.

Selesai lancarkan pukulan 'Merpati Puber', Selendang

Kubur pijakkan kakinya di tanah. Kedua tangan siap

direntangkan ke atas. Satu pukulan lagi akan dilancarkan

dan itu pasti akan membuat tubuh Peri Malam hancur

lebur. Karena pukulan yang mau dilancarkan adalah

pukulan andal yang menjadi simpanan ilmunya dari

ketiga jurus sakti simpanannya itu.

"Tahan!" tiba-tiba terdengar suara Suto serukan kata.

Mau tak mau Selendang Kubur palingkan muka ke arah

Suto Sinting. Saat itu Suto berdiri, mau mendekat, tapi

langkahnya sedikit limbung.

"Apa maksudmu menahan pukulanku, hah?!" bentak

Selendang Kubur.

Suto nyengir lalu perdengarkan suara sumbangnya,

"Membunuh itu hal yang mudah, tapi mengampuni

lawan adalah hal yang sulit! Dulu kudapatkan wejangan

seperti itu dari guruku."

"Mungkin benar kata gurumu. Tapi tahukah kau, tak

ada ampun lagi buat perempuan macam dia, hah?!"

Peri Malam sudah berusaha bangkit. Mulutnya

semburkan darah segar saat tadi terkena pukulan

'Merpati Puber'. Tapi ia masih bisa menahan rasa sakit

yang menjalar di sekujur tubuhnya. Kalau saja ia

teruskan pertarungan itu, ia masih sanggup

menumbangkan Selendang Kubur dengan jurus-jurus

maut yang belum sempat dikeluarkan.

Tetapi ia menangkap adanya bahaya dari percakapan

Suto dengan Selendang Kubur. Rahasia Tuak Setan akan

terbongkar dari mulut Selendang Kubur. Sudah tentu

Suto akan berada di pihak Selendang Kubur dan segera

menyerangnya jika Suto tahu pusaka itu ada padanya.

Demi menyelamatkan pusaka dari tangannya, juga

demi menyelamatkan hubungannya dengan Suto di kelak

kemudian hari, Peri Malam terpaksa harus menghilang

sementara dari depan kedua manusia itu. Tanpa ragu

sedikit pun. Peri Malam sentakkan kakinya dan

melesatlah tubuh sekalnya itu. Dalam satu lompatan ia

telah mencapai dahan di atas sebuah pohon. Dari sana ia

serukan kata,

"Kutangguhkan niat membunuhmu, Selendang

Kubur! Aku harus menghadiri pertemuan penting

dengan para tokoh tua. Tapi ingat, suatu saat kita

bertemu, kita harus tentukan siapa yang berhak hidup

lebih lama lagi di antara kita berdua!"

Selesai berkata begitu, tubuh Peri Malam melenting

lebih tinggi lagi. Mencapai dahan berikutnya dengan

satu putaran salto. Kemudian secepat kilat ia menghilang

pergi dari pandangan Suto dan Selendang Kubur.

"Jahanam! Pencuri! Jangan lari kau...!" teriak

Selendang Kubur.

Dengan satu hentakan kaki, tubuh Selendang Kubur

pun segera melesat cepat. Tujuannya mengejar Peri

Ma!am. Tapi Suto segera mengibaskan tangan kirinya

seperti menghalau ayam. Dan tiba-tiba tubuh Selendang

Kubur terjungkal di udara, lalu jatuh di samping batu

besar. Brukkk...!

Satu gerakan tangan yang sepertinya tidak bertenaga

itu telah membuat pengejaran Selendang Kubur tertunda.

Perempuan itu semakin dongkol hatinya, ia cepat-cepat

berdiri dan menatap Suto dengan mata melotot garang.

"Mengapa kau halangi aku yang mau mengejarnya?!

Rupanya kau memang ada di pihaknya, Suto!"

"He he he...," Suto tertawa dengan mata sedikit sayu

karena pengaruh tuaknya. "Siapa bilang aku ada di

pihaknya?"

"Lalu, mengapa kau menahanku dan tak rela jika aku

mengejarnya?"

"Karena kau punya urusan pribadi denganku, Anak

Cantik!" Suto kembali tertawa sambil memegangi

bumbung tuak.

Begitu mendengar Suto menyebutkan adanya urusan

pribadi, hati Selendang Kubur jadi berdebar-debar.

Hatinya membatin.

"Apakah dia bermaksud bicarakan masalah

perasaanku dan perasaannya? Apakah dia sebenarnya

tidak menaruh hati pada Peri Malam? Tapi tadi kulihat

mereka berciuman, iih... jijik aku mengenangnya!"

Wajah itu semakin cemberut. Selendang Kubur

singkapkan rambutnya yang terjurai ke depan wajah.

Hidungnya yang bangir dengan bibir bak kuncup mawar

itu terpasang jelas menantang sorot pandangan mata

Suto. Ia berdiri dengan satu kaki naikkan ke atas

permukaan batu yang agak tinggi, ia biarkan Suto dekati

dirinya sampai jarak tiga langkah.

"Urusan pribadi apa maksudmu, hah?!" tanyanya

dengan ketus. "Bukankah kau punya urusan pribadi

dengan setan genit tadi?! Bukankah kau telah puas

bermesraan dengan peri bobrok tadi?! Masih kurang

puaskan kau memperoleh kemesraan darinya?!"

Suto tahu nada cemburu meluncur lewat kata-kata itu,

Suto tertawa karena ada salah anggapan di antara dirinya

dan Selendang Kubur. Suto juga tahu, Selendang Kubur

menyangka urusan pribadi itu berkaitan dengan masalah

dari hati ke hati, padahal yang dimaksud Suto adalah

urusan Pusaka Tuak Setan.

Sengaja Suto duduk di batu agak tinggi, hingga

kakinya tetap menapak di tanah tapi pantatnya

diletakkan di tepian batu itu. Ia berada di samping kanan

Selendang Kubur dalam jarak hanya satu langkah.

Selendang Kubur layangkan pandangan matanya ke

arah laut dengan sedikit menyipit, karena saat itu ia

berkata,

"Tak kusangka kau jatuh cinta pada durjana! Hal

seperti inilah yang dulu kumaksudkan, bahwa aku ingin

menjagamu. Dari sentuhan tangan dan pelukan

perempuan lain itulah aku menjagamu. Karena pelukan

dan sentuhan tangan perempuan lain itu lebih tinggi

bahayanya dari ilmu kesaktian mana pun juga!"

"He he he..., kau benar-benar lucu, Selendang Kubur.

Sekian waktu aku mencarimu, sampai kudatangi

perguruanmu, ternyata setelah kutemukan dirimu, kau

curahkan kecemburuan itu! Aku tak sangka kalau akan

mendapat curahan kecemburuan sebanyak ini darimu!"

"Aku tidak cemburu!" sentaknya munafik, sambil ia

palingkan wajah menatap Suto dengan mata tajam.

Lalu ia katupkan mulut dan diam, tak peduli dengan

suara tawa Suto yang sudah dipengaruhi oleh tuak yang

memabukkan itu. Tetapi di hati perempuan itu terjadi

suatu percakapan kecil.

"Benarkah dia datang ke Perguruan Merpati Wingit?

Untuk apa dia ke sana? Oh, dia bilang tadi untuk

mencariku? Benarkah sampai sebegitu repot dia

mencariku? Oh, tak kusangka jika hal itu benar

dilakukannya. Tak mungkin ia tak memiliki hasrat

padaku jika sampai memburuku ke sana. Sayang dia tak

mau tunjukkan hasratnya secara terang-terangan padaku,

sehingga aku tak bisa mengerti dengan jelas dan pasti.

Sebab aku sendiri tak mau tunjukkan hasratku lebih

dulu. Aku malu."

Suto perdengarkan suaranya setelah ia meneguk dua

kali tuak dari bumbungnya.

"Aku bertemu dengan Dewi Murka, juga bertemu

dengan gurumu Nyai Guru Betari Ayu. Bahkan aku

sempat bicara panjang lebar dengan gurumu di taman

yang indah itu."

"Apa...?! Kau bicara dengan Guru? Kau diajak ke

taman itu?!"

"Ya," jawab Suto polos. "Aku kagum sekali."

"Kagum pada guruku?"

"Kagum pada taman yang indah itu," jawab Suto

mengalihkan sangkaan, karena ia tahu arah pertanyaan

Selendang Kubur itu.

Selendang Kubur kembali katupkan mulutnya.

Kembali pula hatinya berkata, "Kalau dia dibawa oleh

Guru ke taman itu, berarti Guru punya perhatian

istimewa padanya. Oh, apakah Guru juga mempunyai

rasa suka pada Suto?"

"Bahkan aku sempat bermalam di sana. Satu malam,"

tambah Suto.

Selendang Kubur semakin terperanjat. "Kau

bermalam di sana?! Hmmm... dengan siapa? Dengan

siapa kau tidur di sana?'

"Dengan seseorang," jawab Suto menggoda,

membuat hati Selendang Kubur semakin penasaran.

"Siapa orang itu?! Sebutkan namanya! Dewi Murka?"

"Bukan."

"Murbawati?"

"Bukan."

"Lalu... lalu siapa? Siapa orang yang tidur denganmu,

Suto?"

"Pembayun!" jawab Suto.

"Oooh..," Selendang Kubur menghempaskan

napasnya dengan lega. Pembayun adalah lelaki yang

paling rajin dan mencintai pekerjaannya sebagai perawat

kuda. Usianya sudah empat puluh lima tahun, dan sangat

setia merawat kuda milik Betari Ayu.

"Sangkamu aku tidur dengan perempuan?"

"Jangan lagi kau datang ke sana!" Selendang Kubur

tak sadar berkata bagai seorang ratu memberi perintah

larangan kepada bawahannya. Suto menertawakan

dengan suara pelan. Selendang Kubur jadi malu sendiri

setelah menyadari larangannya itu.

"Kehadiranmu di sana hanya akan mengganggu

perhatian para murid yang sedang belajar dan berlatih

memusatkan pikiran," Selendang Kubur menutupi

kecemasannya.

"Ke mana aku harus mencarimu jika tidak ke sana,

Selendang Kubur. Aku benar-benar bingung saat itu.

Aku tak tahu kau ada di mana. Karena ketika aku

muncul dari Telaga Manik Intan itu, kau sudah hilang

dan Paman Sugiri dalam keadaan terkapar luka."

Hati Selendang Kubur masih berdebar indah

mendengar Suto bingung mencarinya. Bahkan ia sangka

dirinya dapat membuat Suto mabuk kepayang karena

rindu ingin bertemu. Tapi untuk memastikan sangkaan

indahnya itu, Selendang Kubur pun menanyakannya

kepada Suto.

"Untuk apa kau mencariku sampai kebingungan

begitu?"

"Karena aku harus meminta Pusaka Tuak Setan

darimu."

"Apa...?!" Selendang Kubur terkejut dan segera

kerutkan dahi, belalakan matanya yang indah itu.

Suto hanya tersenyum kalem dengan mata seperti

orang mengantuk karena mulai mabuk, ia pandangi mata

Selendang Kubur yang tak berkedip itu, lalu ia tertawa

geli sendiri sambil berkata, "Matamu itu enak dicolok.

He he he...!"

"Suto!" sentak Selendang Kubur. "Jadi kau

mencariku ke mana-mana hanya untuk mendapatkan

Pusaka Tuak Setan?"

"Ya. Benar."

"Kau kira akulah orang yang merampas Guci Tuak

Setan dari tangan Pujangga Kramat itu?'

"Siapa lagi kalau bukan dirimu, Selendang Kubur.

Karena saat itu yang ada di tepi sendang hanya kau dan

Paman Sugiri."

Kecewa hati Selendang Kubur. Bunga-bunga indah

yang mekar di hati karena dugaan mesra tadi, kini

menjadi layu dan sebagian rontok berguguran, ia pun

sedikit jauhkan diri dari Suto dan berkata dengan dahi

masih berkerut tegang.

"Ketahuilah, Suto..., bukan aku pencuri Pusaka Tuak

Setan itu. Kalau kau ingin merebut Tuak Setan, kejarlah

Peri Malam sekarang juga! Dialah orang yang merampas

Pusaka Tuak Setan dari tangan Pujangga Kramat pada

saat kau menyelam ke dalam telaga untuk yang kedua

kalinya."

"Jangan bergurau. Selendang Kubur!"

"Aku tidak bergurau!" sentak Selendang Kubur. "Peri

Malam itulah orang yang mempunyai senjata jarum

beracun, yang juga mengenai tubuh Dewi Murka

beberapa waktu yang lalu. Pada saat dia menyerang

Pujangga Kramat dengan jarum beracunnya, aku ada di

atas pohon. Sangkanya tak ada orang lain di situ,

karenanya ia mudah saja mengambil Pusaka Tuak Setan

dari tangan Pujangga Kramat. Ia tidak tahu aku ada di

atas pohon. Dan begitu kutahu ia membawa lari Tuak

Setan, maka kukejar dia sampai ke mana pun larinya.

Dan yang terakhir kutemukan dia di sini sedang

berpelukan denganmu! Itulah sebabnya aku tadi sempat

benci padamu. Kau bercinta dengan pencuri pusaka yang

menjadi hak milikmu sebagai murid sinting si Gila Tuak,

sementara susah payah aku berusaha merebut pusaka itu

untuk menyelamatkannya dari tangan orang-orang tak

bertanggung jawab, seperti halnya Peri Malam dan

gurunya."

Suto terbengong sejenak, kemudian bertanya, "Apa

hubungannya Tuak Setan dengan gurunya Peri

Malam?!"

"Dia mencuri Pusaka Tuak Setan bukan untuk

dirinya, tapi untuk gurunya! Dia lakukan hal itu hanya

sekadar patuh pada perintah sang Guru! Kalau kau tak

percaya, mari kita buktikan!"

Suto tertegun. Matanya semburat merah karena

mabuk.

*

* *