Episode 24
MATAHARI pantai semakin tinggi, tapi dua
perempuan itu tak peduli sengatan panas dari langit itu.
Mereka berhadap-hadapan dengan masing-masing sinar
mata memancarkan permusuhan.
Murid sinting si Gila Tuak hanya duduk di atas
gundukan batu, di tempat yang teduh dengan sesekali
menenggak tuaknya. Suto merasa tak perlu ikut campur
urusan perempuan. Biarlah perempuan-perempuan itu
menyelesaikan urusan mereka, dan Suto hanya menjadi
pihak penonton saja.
Suto tidak tahu, bahwa perselisihan kedua perempuan
itu adalah karena kecemburuan terhadap dirinya. Suto
tidak tahu bahwa dirinya itulah yang menjadi penyebab
perselisihan Selendang Kubur dengan Peri Malam. Suto
hanya membatin,
"Kebetulan sekali aku tidak perlu susah-susah
mencari Selendang Kubur. Selesai urusan dengan Peri
Malam, baru dia harus selesaikan urusan denganku
tentang Pusaka Tuak Setan itu. Tapi bagaimana kalau
Selendang Kubur mati di tangan Peri Malam? Aku tidak
bisa mendapatkan Pusaka Tuak Setan. Pastilah Tuak
Setan sudah ia sembunyikan di suatu tempat dan hanya
dia yang tahu. Hmm... kalau begitu aku harus
menjaganya jangan sampai ia mati dan jangan sampai ia
kabur lagi!"
Kedua perempuan itu sama-sama berdiri dengan kaki
tegak dan sedikit melebar. Dada mereka sama-sama
membusung ke depan, karena memang keduanya sama-
sama montok. Wajah mereka sama-sama keras, karena
mereka sama-sama menahan rasa cemburu.
"Selendang Kubur!" kata Peri Malam dengan ketus
dan tegas. "Tinggalkan tempat ini atau kuhabisi riwayat
hidupmu?"
"Aku mau pergi dari sini kalau kau serahkan kedua
hal yang kucari itu!" jawab Selendang Kubur tak kalah
ketus dan tegas.
"Tak perlu kau banyak bicara, Selendang Kubur!
Yang jelas kau telah mengganggu kemesraanku dengan
Suto Sinting!"
Peri Malam sengaja batasi omongan, supaya
Selendang Kubur tidak menyebut-nyebut tentang Pusaka
Tuak Setan. Sebab, jika Selendang Kubur melontarkan
keinginannya untuk meminta Pusaka Tuak Setan, maka
Suto yang ada di bawah pohon itu akan mendengar, dan
tentunya Suto menjadi tahu bahwa Pusaka Tuak Setan
ada di tangan Peri Malam. Ini yang dihindari Peri
Malam. Karena menurutnya, Suto belum mengetahui di
mana Pusaka Tuak Setan itu berada.
"Peri Malam! Kau tidak layak mendapatkan
kemesraan darinya, karena kau seorang perempuan hina.
Kau durjana dan kotor!"
"Tutup mulutmu Selendang Kubur!" sentak Peri
Malam memotong. "Jangan sangka dirimu bukan
perempuan kotor! Aku tahu kau sudah bukan perawan
lagi. Aku tahu kau sudah serahkan kehormatanmu
kepada Trenggono!"
"Jahanam! Kaulah yang telah menyerahkan
kesucianmu kepada Trenggono, lima purnama sebelum
dia kita hancurkan!"
Peri Malam sengaja serukan suara ketika berkata
begitu, supaya didengar oleh Suto, dan supaya Suto tahu
bahwa Selendang Kubur sudah tidak perawan lagi. Ini
adalah siasat Peri Malam untuk meruntuhkan minat yang
menurut dugaannya ada di dalam hati Suto.
Siasat itu diketahui oleh Selendang Kubur, maka ia
pun membalas tuduhan serupa dengan suara lebih keras
lagi, walau apa yang dikatakan itu tidak benar. Tapi ia
berharap agar Suto pun mendengar dan
mempertimbangkan keputusannya untuk tetap mendekati
Peri Malam atau meninggalkannya.
Sementara itu, Suto yang duduk santai sambil
memperhatikan perselisihan kedua perempuan itu hanya
manggut-manggut dan membatin, "Ooo... ke-duanya
sudah sama-sama blong. He he he...!"
Mata Selendang Kubur melirik sekejap ke arah Suto.
Ia melihat Suto tertawa kecil. Hatinya semakin panas
dan geram kepada Peri Malam, karena menurutnya tawa
kecil Suto itu adalah menertawakan dirinya yang
dianggap sudah tak perawan lagi itu.
Sebaliknya, Peri Malam juga lirikkan matanya ke
arah Suto dan ia juga melihat senyum tipis Suto. Hati
Peri Malam bertambah benci kepada Selendang Kubur,
karena sangkanya senyuman Suto itu sebagai senyuman
ejekan yang menganggap dirinya sudah bukan gadis lagi.
Tak heran jika kejap berikutnya kedua perempuan itu
sama-sama sentakkan kakinya dan melesat di udara
dengan cepat. Pukulan mereka beradu di udara dalam
gerakan yang cukup cepat. Plak, plak!
Keduanya sama-sama bersalto ke belakang. Kejap
berikut keduanya telah sama-sama mendaratkan kaki ke
tanah. Peri Malam berdiri dengan kaki tegak sedikit
melebar. Napas tertarik dan terhempas lepas dengan
dada tetap membusung.
Selendang Kubur berdiri dengan kaki tegak, tapi
tangan kanannya memegangi dada kiri, dan wajahnya
tampak menahan sakit. Dari sudut mulutnya tampak
darah kental keluar tak seberapa banyak, itu pertanda ia
terkena pukulan langsung dari tangan Peri Malam.
Pukulan itu sudah tentu mempunyai kekuatan tenaga
dalam yang dapat meremukkan tulang dada. Kalau saja
Selendang Kubur tidak melapisi dirinya dengan
kekuatan tenaga dalam juga, maka tulang dadanya saat
itu sudah jebol dan mungkin ia tak lagi melihat matahari
pantai.
Selendang Kubur membatin, "Jahanam itu punya
kecepatan yang luar biasa! Berat juga pukulannya.
Dadaku seperti terbakar bagian dalamnya. Tapi aku tak
boleh menyerah. Aku harus membalasnya. Malu kalau
harus menyerah di depan Suto. Rendah sekali harga
diriku!"
Melihat Peri Malam maju dua tindak, Selendang
Kubur pun segera melangkah maju dua tindak juga.
Tangan kanannya sudah tidak lagi memegangi dada yang
terkena pukulan tadi.
"Selendang Kubur! Sayangilah nyawamu. Jangan
paksakan diri melawanku, karena ilmumu masih cetek.
Kau masih perlu berguru lagi selama belasan tahun
untuk menyamai ilmuku!"
"Pukulanmu belum seberapa berat buatku, Peri
Malam! Seratus pukulan seperti itu masih sanggup
kuterima dengan dada terbuka. Tapi coba kau rasakan
pukulan 'Merpati Puber' dariku, hiaaat....!"
Tubuh berpakaian merah dadu itu meluncur cepat di
udara dan berputar bagaikan baling-baling hendak
menerobos gunung. Begitu cepat putarannya sampai
mata Peri Malam tak bisa melihat gerakan tangan
Selendang Kubur, ia coba sentakkan kaki kanannya
dalam gerak tendangan berputar. Tapi belum sempat
kaki itu mengenai sasarannya, Selendang Kubur sudah
lebih dulu menghantam punggung Peri Malam dengan
satu pukulan telapak tangan bertenaga dalam cukup
besar. Buugh...!
"Ahhg...!"
Bruuk...! Peri Malam tersentak jatuh dalam keadaan
tengkurap. Wajahnya hampir-hampir beradu dengan batu
di hadapannya. Tapi pada saat itu Peri Malam sentakkan
kepala ke atas karena rasa sakit di punggung, sehingga
wajahnya tak jadi terbentur batu.
Selesai lancarkan pukulan 'Merpati Puber', Selendang
Kubur pijakkan kakinya di tanah. Kedua tangan siap
direntangkan ke atas. Satu pukulan lagi akan dilancarkan
dan itu pasti akan membuat tubuh Peri Malam hancur
lebur. Karena pukulan yang mau dilancarkan adalah
pukulan andal yang menjadi simpanan ilmunya dari
ketiga jurus sakti simpanannya itu.
"Tahan!" tiba-tiba terdengar suara Suto serukan kata.
Mau tak mau Selendang Kubur palingkan muka ke arah
Suto Sinting. Saat itu Suto berdiri, mau mendekat, tapi
langkahnya sedikit limbung.
"Apa maksudmu menahan pukulanku, hah?!" bentak
Selendang Kubur.
Suto nyengir lalu perdengarkan suara sumbangnya,
"Membunuh itu hal yang mudah, tapi mengampuni
lawan adalah hal yang sulit! Dulu kudapatkan wejangan
seperti itu dari guruku."
"Mungkin benar kata gurumu. Tapi tahukah kau, tak
ada ampun lagi buat perempuan macam dia, hah?!"
Peri Malam sudah berusaha bangkit. Mulutnya
semburkan darah segar saat tadi terkena pukulan
'Merpati Puber'. Tapi ia masih bisa menahan rasa sakit
yang menjalar di sekujur tubuhnya. Kalau saja ia
teruskan pertarungan itu, ia masih sanggup
menumbangkan Selendang Kubur dengan jurus-jurus
maut yang belum sempat dikeluarkan.
Tetapi ia menangkap adanya bahaya dari percakapan
Suto dengan Selendang Kubur. Rahasia Tuak Setan akan
terbongkar dari mulut Selendang Kubur. Sudah tentu
Suto akan berada di pihak Selendang Kubur dan segera
menyerangnya jika Suto tahu pusaka itu ada padanya.
Demi menyelamatkan pusaka dari tangannya, juga
demi menyelamatkan hubungannya dengan Suto di kelak
kemudian hari, Peri Malam terpaksa harus menghilang
sementara dari depan kedua manusia itu. Tanpa ragu
sedikit pun. Peri Malam sentakkan kakinya dan
melesatlah tubuh sekalnya itu. Dalam satu lompatan ia
telah mencapai dahan di atas sebuah pohon. Dari sana ia
serukan kata,
"Kutangguhkan niat membunuhmu, Selendang
Kubur! Aku harus menghadiri pertemuan penting
dengan para tokoh tua. Tapi ingat, suatu saat kita
bertemu, kita harus tentukan siapa yang berhak hidup
lebih lama lagi di antara kita berdua!"
Selesai berkata begitu, tubuh Peri Malam melenting
lebih tinggi lagi. Mencapai dahan berikutnya dengan
satu putaran salto. Kemudian secepat kilat ia menghilang
pergi dari pandangan Suto dan Selendang Kubur.
"Jahanam! Pencuri! Jangan lari kau...!" teriak
Selendang Kubur.
Dengan satu hentakan kaki, tubuh Selendang Kubur
pun segera melesat cepat. Tujuannya mengejar Peri
Ma!am. Tapi Suto segera mengibaskan tangan kirinya
seperti menghalau ayam. Dan tiba-tiba tubuh Selendang
Kubur terjungkal di udara, lalu jatuh di samping batu
besar. Brukkk...!
Satu gerakan tangan yang sepertinya tidak bertenaga
itu telah membuat pengejaran Selendang Kubur tertunda.
Perempuan itu semakin dongkol hatinya, ia cepat-cepat
berdiri dan menatap Suto dengan mata melotot garang.
"Mengapa kau halangi aku yang mau mengejarnya?!
Rupanya kau memang ada di pihaknya, Suto!"
"He he he...," Suto tertawa dengan mata sedikit sayu
karena pengaruh tuaknya. "Siapa bilang aku ada di
pihaknya?"
"Lalu, mengapa kau menahanku dan tak rela jika aku
mengejarnya?"
"Karena kau punya urusan pribadi denganku, Anak
Cantik!" Suto kembali tertawa sambil memegangi
bumbung tuak.
Begitu mendengar Suto menyebutkan adanya urusan
pribadi, hati Selendang Kubur jadi berdebar-debar.
Hatinya membatin.
"Apakah dia bermaksud bicarakan masalah
perasaanku dan perasaannya? Apakah dia sebenarnya
tidak menaruh hati pada Peri Malam? Tapi tadi kulihat
mereka berciuman, iih... jijik aku mengenangnya!"
Wajah itu semakin cemberut. Selendang Kubur
singkapkan rambutnya yang terjurai ke depan wajah.
Hidungnya yang bangir dengan bibir bak kuncup mawar
itu terpasang jelas menantang sorot pandangan mata
Suto. Ia berdiri dengan satu kaki naikkan ke atas
permukaan batu yang agak tinggi, ia biarkan Suto dekati
dirinya sampai jarak tiga langkah.
"Urusan pribadi apa maksudmu, hah?!" tanyanya
dengan ketus. "Bukankah kau punya urusan pribadi
dengan setan genit tadi?! Bukankah kau telah puas
bermesraan dengan peri bobrok tadi?! Masih kurang
puaskan kau memperoleh kemesraan darinya?!"
Suto tahu nada cemburu meluncur lewat kata-kata itu,
Suto tertawa karena ada salah anggapan di antara dirinya
dan Selendang Kubur. Suto juga tahu, Selendang Kubur
menyangka urusan pribadi itu berkaitan dengan masalah
dari hati ke hati, padahal yang dimaksud Suto adalah
urusan Pusaka Tuak Setan.
Sengaja Suto duduk di batu agak tinggi, hingga
kakinya tetap menapak di tanah tapi pantatnya
diletakkan di tepian batu itu. Ia berada di samping kanan
Selendang Kubur dalam jarak hanya satu langkah.
Selendang Kubur layangkan pandangan matanya ke
arah laut dengan sedikit menyipit, karena saat itu ia
berkata,
"Tak kusangka kau jatuh cinta pada durjana! Hal
seperti inilah yang dulu kumaksudkan, bahwa aku ingin
menjagamu. Dari sentuhan tangan dan pelukan
perempuan lain itulah aku menjagamu. Karena pelukan
dan sentuhan tangan perempuan lain itu lebih tinggi
bahayanya dari ilmu kesaktian mana pun juga!"
"He he he..., kau benar-benar lucu, Selendang Kubur.
Sekian waktu aku mencarimu, sampai kudatangi
perguruanmu, ternyata setelah kutemukan dirimu, kau
curahkan kecemburuan itu! Aku tak sangka kalau akan
mendapat curahan kecemburuan sebanyak ini darimu!"
"Aku tidak cemburu!" sentaknya munafik, sambil ia
palingkan wajah menatap Suto dengan mata tajam.
Lalu ia katupkan mulut dan diam, tak peduli dengan
suara tawa Suto yang sudah dipengaruhi oleh tuak yang
memabukkan itu. Tetapi di hati perempuan itu terjadi
suatu percakapan kecil.
"Benarkah dia datang ke Perguruan Merpati Wingit?
Untuk apa dia ke sana? Oh, dia bilang tadi untuk
mencariku? Benarkah sampai sebegitu repot dia
mencariku? Oh, tak kusangka jika hal itu benar
dilakukannya. Tak mungkin ia tak memiliki hasrat
padaku jika sampai memburuku ke sana. Sayang dia tak
mau tunjukkan hasratnya secara terang-terangan padaku,
sehingga aku tak bisa mengerti dengan jelas dan pasti.
Sebab aku sendiri tak mau tunjukkan hasratku lebih
dulu. Aku malu."
Suto perdengarkan suaranya setelah ia meneguk dua
kali tuak dari bumbungnya.
"Aku bertemu dengan Dewi Murka, juga bertemu
dengan gurumu Nyai Guru Betari Ayu. Bahkan aku
sempat bicara panjang lebar dengan gurumu di taman
yang indah itu."
"Apa...?! Kau bicara dengan Guru? Kau diajak ke
taman itu?!"
"Ya," jawab Suto polos. "Aku kagum sekali."
"Kagum pada guruku?"
"Kagum pada taman yang indah itu," jawab Suto
mengalihkan sangkaan, karena ia tahu arah pertanyaan
Selendang Kubur itu.
Selendang Kubur kembali katupkan mulutnya.
Kembali pula hatinya berkata, "Kalau dia dibawa oleh
Guru ke taman itu, berarti Guru punya perhatian
istimewa padanya. Oh, apakah Guru juga mempunyai
rasa suka pada Suto?"
"Bahkan aku sempat bermalam di sana. Satu malam,"
tambah Suto.
Selendang Kubur semakin terperanjat. "Kau
bermalam di sana?! Hmmm... dengan siapa? Dengan
siapa kau tidur di sana?'
"Dengan seseorang," jawab Suto menggoda,
membuat hati Selendang Kubur semakin penasaran.
"Siapa orang itu?! Sebutkan namanya! Dewi Murka?"
"Bukan."
"Murbawati?"
"Bukan."
"Lalu... lalu siapa? Siapa orang yang tidur denganmu,
Suto?"
"Pembayun!" jawab Suto.
"Oooh..," Selendang Kubur menghempaskan
napasnya dengan lega. Pembayun adalah lelaki yang
paling rajin dan mencintai pekerjaannya sebagai perawat
kuda. Usianya sudah empat puluh lima tahun, dan sangat
setia merawat kuda milik Betari Ayu.
"Sangkamu aku tidur dengan perempuan?"
"Jangan lagi kau datang ke sana!" Selendang Kubur
tak sadar berkata bagai seorang ratu memberi perintah
larangan kepada bawahannya. Suto menertawakan
dengan suara pelan. Selendang Kubur jadi malu sendiri
setelah menyadari larangannya itu.
"Kehadiranmu di sana hanya akan mengganggu
perhatian para murid yang sedang belajar dan berlatih
memusatkan pikiran," Selendang Kubur menutupi
kecemasannya.
"Ke mana aku harus mencarimu jika tidak ke sana,
Selendang Kubur. Aku benar-benar bingung saat itu.
Aku tak tahu kau ada di mana. Karena ketika aku
muncul dari Telaga Manik Intan itu, kau sudah hilang
dan Paman Sugiri dalam keadaan terkapar luka."
Hati Selendang Kubur masih berdebar indah
mendengar Suto bingung mencarinya. Bahkan ia sangka
dirinya dapat membuat Suto mabuk kepayang karena
rindu ingin bertemu. Tapi untuk memastikan sangkaan
indahnya itu, Selendang Kubur pun menanyakannya
kepada Suto.
"Untuk apa kau mencariku sampai kebingungan
begitu?"
"Karena aku harus meminta Pusaka Tuak Setan
darimu."
"Apa...?!" Selendang Kubur terkejut dan segera
kerutkan dahi, belalakan matanya yang indah itu.
Suto hanya tersenyum kalem dengan mata seperti
orang mengantuk karena mulai mabuk, ia pandangi mata
Selendang Kubur yang tak berkedip itu, lalu ia tertawa
geli sendiri sambil berkata, "Matamu itu enak dicolok.
He he he...!"
"Suto!" sentak Selendang Kubur. "Jadi kau
mencariku ke mana-mana hanya untuk mendapatkan
Pusaka Tuak Setan?"
"Ya. Benar."
"Kau kira akulah orang yang merampas Guci Tuak
Setan dari tangan Pujangga Kramat itu?'
"Siapa lagi kalau bukan dirimu, Selendang Kubur.
Karena saat itu yang ada di tepi sendang hanya kau dan
Paman Sugiri."
Kecewa hati Selendang Kubur. Bunga-bunga indah
yang mekar di hati karena dugaan mesra tadi, kini
menjadi layu dan sebagian rontok berguguran, ia pun
sedikit jauhkan diri dari Suto dan berkata dengan dahi
masih berkerut tegang.
"Ketahuilah, Suto..., bukan aku pencuri Pusaka Tuak
Setan itu. Kalau kau ingin merebut Tuak Setan, kejarlah
Peri Malam sekarang juga! Dialah orang yang merampas
Pusaka Tuak Setan dari tangan Pujangga Kramat pada
saat kau menyelam ke dalam telaga untuk yang kedua
kalinya."
"Jangan bergurau. Selendang Kubur!"
"Aku tidak bergurau!" sentak Selendang Kubur. "Peri
Malam itulah orang yang mempunyai senjata jarum
beracun, yang juga mengenai tubuh Dewi Murka
beberapa waktu yang lalu. Pada saat dia menyerang
Pujangga Kramat dengan jarum beracunnya, aku ada di
atas pohon. Sangkanya tak ada orang lain di situ,
karenanya ia mudah saja mengambil Pusaka Tuak Setan
dari tangan Pujangga Kramat. Ia tidak tahu aku ada di
atas pohon. Dan begitu kutahu ia membawa lari Tuak
Setan, maka kukejar dia sampai ke mana pun larinya.
Dan yang terakhir kutemukan dia di sini sedang
berpelukan denganmu! Itulah sebabnya aku tadi sempat
benci padamu. Kau bercinta dengan pencuri pusaka yang
menjadi hak milikmu sebagai murid sinting si Gila Tuak,
sementara susah payah aku berusaha merebut pusaka itu
untuk menyelamatkannya dari tangan orang-orang tak
bertanggung jawab, seperti halnya Peri Malam dan
gurunya."
Suto terbengong sejenak, kemudian bertanya, "Apa
hubungannya Tuak Setan dengan gurunya Peri
Malam?!"
"Dia mencuri Pusaka Tuak Setan bukan untuk
dirinya, tapi untuk gurunya! Dia lakukan hal itu hanya
sekadar patuh pada perintah sang Guru! Kalau kau tak
percaya, mari kita buktikan!"
Suto tertegun. Matanya semburat merah karena
mabuk.
*
* *