Episode 26
ALANGKAH kaget hati Peri Malam melihat
kehadiran Suto di rumah penduduk desa itu. Cepat sekali
ingatan Peri Malam pada Pusaka Tuak Setan dan
bayangan Selendang Kubur. Peristiwa di Pantai Karang
Saru itu mencekam membuat guncang hati Peri Malam.
"Kucari-cari kau, ternyata ada di sini," kata Suto
dengan suara sumbang karena pengaruh mabuknya
masih ada.
Peri Malam segera ambil sikap tenang seakan tidak
merasa pernah berbuat salah apa pun. Lalu Peri Malam
berkata riang.
"Kuharap kau datang sendirian di malam ini. Bukan
bersama Selendang Kubur."
"Ya, memang aku sendirian. Cuma diantar oleh Kang
Rejo, yang rumahnya di sebelah itu."
Pemilik rumah yang dihuni Peri Malam segera
muncul dan ikut menemui Suto. Peri Malam
memperkenalkan Suto kepada keluarga Kriyo Suntuk
yang terdiri dari istrinya dan kelima anaknya.
"Ini orang yang kuceritakan tadi. Ini yang namanya
Pendekar Mabuk, Suto Sinting! Ya ini si orang sakti
yang kuceritakan sebagai murid tokoh sakti kesohor
bergelar si Gila Tuak itu!"
Anak-anak Kriyo Suntuk tampak bangga dan kagum
melihat tubuh perkasa Suto, Belum lagi anak gadis
Kriyo Suntuk yang sudah berusia antara delapan belas
tahun, sangat terpesona melihat ketampanan Suto walau
bermata sedikit merah karena mabuk. Suto jadi
dikerumuni oleh mereka, ditanyai ini-itu, dijamu dengan
makanan lezat, dan dipaksa untuk bercerita tentang
kehebatan ilmu-ilmunya.
Suto sempat berbisik kepada Peri Malam, "Apa-apaan
ini sebenarnya? Mengapa mereka terkagum-kagum
sekali padaku?"
"Kuceritakan tentang kehebatanmu dan kehebatan
gurumu. Mereka suka dengan cerita-cerita
kependekaran. Mereka kagum mendengar ceritaku.
Kagum terhadap dirimu. Jadi, jangan kecewakan
mereka, toh mereka berikan kita tumpangan untuk
bermalam di rumah ini!"
"Bermalam? Siapa bilang aku mau bermalam di sini?
Aku hanya akan numpang tidur saja!" kata Suto sedikit
mengacau.
Mereka duduk di tikar, di pelataran samping rumah.
Bahkan kala itu datang juga beberapa tetangga sekeliling
rumah Kriyo Suntuk.
Pendekar Mabuk yang saat itu memang sedang
mabuk bercerita apa saja yang pernah dialaminya.
Bahkan apa yang pernah didengarnya dari mulut para
tokoh tua di dunia persilatan, diceritakan pula kepada
mereka. Dan mereka tampak senang, hanyut dalam cerita
tersebut.
Satu-satunya orang yang datang ke situ dan sangat
tertarik sekali dengan cerita Suto adalah seorang lelaki
berkumis tebal. Dialah yang tadi mengaku bernama
Singo Bodong. Lelaki ini bahkan sering berdecak
terkagum-kagum terhadap cerita tentang jurus-jurus sakti
yang pernah dilihat oleh Suto.
Sampai menjelang pagi, mereka baru merasa puas.
Anak bungsu Kriyo Suntuk tertidur di pangkuan
emaknya. Tetapi Katri, anak gadis Kriyo Suntuk yang
berusia antara delapan belas tahun itu, masih betah
memandangi wajah ganteng Suto Sinting.
Suto tak tahan kantuk lagi. Ia terbaring di tikar itu
sambil memeluk bumbung tuaknya. Ketika ia terbangun,
hari sudah siang, matahari pancarkan sinar-nya dengan
galak. Dan Katri adalah orang pertama yang menyambut
kebangunan Suto dengan senyum manis, semanis
senyum perawan desa yang berkulit hitam manis.
"Mau kubuatkan secangkir teh manis, Kang Suto?"
"Tidak. Terima kasih. Aku sudah cukup puas kalau
sudah minum tuak ini. Eh, di mana Peri Malam? Masih
tidur?"
"Peri Malam...?!" Katri berkerut heran. "Maksudmu
Yu Sundari? Pendekar perempuan temanmu itu toh,
Kang?"
"Iya. Mana dia?"
"Ooo... sudah dari tadi pagi pergi, Kang. Sebelum
pergi, dia larang kami membangunkan Kang Suto.
Katanya kalau Kang Suto sedang tidur dan dibangunkan,
rumah ini bisa rubuh dipancalnya! Jadi kami tidak ada
yang berani membangunkan Kang Suto!"
"Celaka! Ini pasti kelicikannya!" pikir Suto. "Aku tak
sempat bicara padanya tentang Tuak Setan itu. Hmmm...
pandai sekali ia mengalihkan suasana sampai aku tak
punya kesempatan bicara padanya."
Suto hanya mengetahui arah kepergian Peri Malam,
yaitu ke arah selatan. Dalam perhitungan Suto,
perempuan licik itu tak mungkin berlari cepat, karena ia
masih punya luka bekas pukulan Selendang Kubur. Tak
mungkin sembuh sehari-dua hari. Maka, dengan suatu
keyakinan penuh, Suto mengejar Peri Malam ke arah
selatan dengan kecepatan larinya yang melebihi
melesatnya anak panah.
Tepat ketika Suto tiba di kaki bukit, ia memandang
kelebatan orang berpakaian kuning kunyit yang sedang
berada di lereng bukit. Tak salah lagi dugaan Suto, orang
itu adalah Peri Malam.
Suto berkelebat lewat. Daun-daun di kanan kirinya
berserakan jatuh akibat hembusan angin larinya Suto. Ia
sengaja memotong jalan melalui tepian jurang, ia
melompat di atas daun demi daun yang digunakan
sebagai pijakan kakinya.
Bukit itu bagian atasnya gundul. Tak ada tanaman
kecuali rumput dan ilalang tak seberapa tinggi. Tapi
pada permukaan bukit benar-benar kering tanpa
tanaman. Hanya bebatuan yang ada di sana, bagai bisul-
bisul tersumbul dari dada seorang perawan.
Di salah satu batu, Suto duduk menunggu. Karena ia
tahu arah perjalanan Peri Malam akan melewati puncak
bukit, lalu menuruninya dan menyeberang sebuah desa
nelayan, setelah itu akan mencapai pantai. Dari pantai itu
pasti Peri Malam bertolak menuju Pulau Hantu, untuk
menemui gurunya si Mawar Hitam.
Perhitungan Suto tepat. Beberapa saat ia tunggui Peri
Malam di puncak bukit itu, akhirnya muncul juga
perempuan cantik berotak licik itu.
"Lamban sekali gerakanmu!" sapa Suto pertama kali
saat mata Peri Malam itu beradu pandang dengannya.
Peri Malam tampak kaget dan cemas, tapi segera
disembunyikan perasaan itu.
"Kupikir kau masih tidur," kata Peri Malam menutup
keresahan.
"Tak bisa tidur nyenyak aku, sebelum Pusaka Tuak
Setan kau serahkan padaku."
Terkesiap mata Peri Malam mendengar ucapan itu. Ia
berusaha menutup rahasianya yang sudah jelas
terbongkar dari mulut Selendang Kubur. Lagak
bodohnya masih dicoba sebagai penutup rahasia.
"Pusaka Tuak Setan apa maksudmu, Suto?"
"Guci kecil, berisi tuak. Kau rampas dari tangan
Pujangga Kramat ketika di tepi Telaga Manik Intan. Kau
lumpuhkan pelayan guruku dengan jarum beracun
milikmu itu!"
"Kau sedang mabuk saat ini, Suto."
"Aku sudah tidur, itu berarti aku sudah bebas dari
mabuk," kata Suto tetap dengan kalem. Matanya tak
berubah pandang. Tertuju lurus ke wajah Peri Malam,
membuat perempuan itu makin gelisah.
"Aku tidak tahu soal pusaka itu. Siapa bilang aku
menyerang Pujangga Kramat di tepi telaga? Telaganya
yang mana, aku juga tidak tahu."
"Selendang Kubur sudah jelaskan semuanya, Peri
Malam. Jangan kau berdusta lagi!"
"Itu rekaan Selendang Kubur! Jangan mau percaya
dengan mulut perempuan macam dia! Dia berusaha
mengarang cerita seperti itu, supaya kau bermusuhan
denganku dan dia bebas mencintaimu."
"Ini persoalan pusaka! Bukan persoalan asmara!"
"Tapi asmara itulah yang membikin ribut tentang
pusaka! Kau telah dipengaruhi olehnya, Suto! Aku tak
tahu apa-apa tentang Pusaka Tuak Setan!"
"Serahkan Tuak Setan itu padaku, Sundari," sambil
tangan Suto terjulur tengadah meminta pusaka tersebut.
Sambungnya lagi.
"Aku tak ingin bertarung melawanmu hanya untuk
berebut pusaka setan itu! Aku tak bisa melukai wanita
secantik dirimu, Sundari. Jangan paksa aku
menyakitimu...."
Dengan tutur kata pelan, Sundari berkata, "Apakah
kau mencintaiku sungguh, Suto?"
"Kau bisa tahu setelah kau berikan pusaka itu padaku,
karena dengan memberikan pusaka itu padaku, itu
berarti aku harus membalas kebaikan yang setimpal,
kebaikan yang setimpal itu tentunya merupakan sesuatu
yang amat berharga dalam hidupmu!"
Dalam pengertian Peri Malam, sesuatu yang amat
berharga dalam hidupnya adalah sebuah cinta sejati dari
pria seperti Suto. Tapi ia lupa bahwa Suto itu sinting, ia
hanya terpengaruh oleh bayangan hatinya sendiri,
sehingga pada akhirnya ia pun berkata, "Baik. Akan
kuserahkan kembali padamu. Tapi setelah itu bawalah
aku pergi bersamamu, Suto!" Peri Malam pun
mengeluarkan guci kecil satu genggaman tangan yang
disembunyikan di balik pinggangnya. Guci itu pun
diserahkan kepada Suto. "Terimalah, Suto. Inilah bukti
bahwa aku sungguh mencintaimu...."
Seperti badai melintas di depan mereka berdua, tiba-
tiba guci kecil itu lenyap dari tangan Peri Malam
sebelum jatuh ke tangan Suto. Kedua tubuh mereka pun
terpental ke belakang secara bersamaan. Sesuatu yang
berkelebat bagaikan badai lewat tadi mempunyai angin
berkekuatan tenaga dalam cukup tinggi.
Suto terjengkang dan sempat terkapar, sedangkan
Peri Malam terpental dan punggungnya membentur batu.
Ia menyeringai dan merasakan sesak pernapasan
dadanya, ia berusaha untuk bangkit, yang ternyata lebih
dulu Suto yang berdiri tegak. Kedua mata mereka
memandang ke arah samping, dan tak salah lagi dugaan
Suto, seseorang telah berdiri di atas batu dengan tawa
yang terkekeh-kekeh.
Orang itu berambut abu-abu digulung naik. Badannya
agak bungkuk, pakaiannya abu-abu dengan jubah biru
lusuh hampir serupa dengan warna pakaian dalamnya
yang abu-abu itu. Orang itu menyelipkan sebuah senjata
berupa tengkorak kambing bertongkat pendek kira-kira
dua jengkal. Tongkat itu pun terbuat dari tulang
punggung binatang sejenis kerbau atau entah apa. Orang
itu mempunyai wajah yang keriput kempot dan peot
dengan gigi berjarak renggang karena ompong.
Siapa lagi si tua bongkok dan kempot itu selain
gurunya Peri Malam yang bergelar si Mawar Hitam.
Rupanya ia datang tepat pada waktunya. Dan sekarang
Pusaka Tuak Setan itu berada dalam genggamannya, ia
tertawa-tawa kegirangan memandangi guci kecil itu.
"Guru...," sapa Sundari dengan rasa takut. Sapaan
lemah itu membuat tawa Mawar Hitam hilang seketika.
Mata cekungnya memandang tajam pada Peri Malam,
dan ia mengumpat.
"Mulid sesat! Mulid bodoh! Sudah dapatkan pusaka
mau selahkan olang lain! Dasal mulid otak kebo!"
"Guru, maafkan aku! Karena... karena aku tahu
pusaka itu sebenarnya bukan hak milik kita, melainkan
milik Suto Sinting ini!"
"Pelsetan dengan Suto! Kamu telgoda sama
ketampanan wajahnya! Padahal ketampanan itu adalah
lacun! Lacun yang mematikan!" sentak perempuan tua
yang tidak bisa menyebutkan huruf R.
"Mawar Hitam," kata Suto dengan berusaha tetap
tenang. "Jangan bikin perkara denganku. Aku memang
masih muda. Tapi aku tak pernah merasa segan
membunuh raga tuamu jika pusaka itu tak kau serahkan
padaku!"
"Hik hik hik hik...," Mawar Hitam tertawa.
"Beltahun-tahun kutunggu kesempatan ini, tak mungkin
bisa kudiamkan begitu saja. Kau, mulid si Gila Tuak,
kasih tahu sama gulumu, sekalanglah saatnya dia halus
tunduk padaku. Kalena sebental lagi aku akan minum
Tuak Setan ini, dan aku akan jadi olang telkuat di antala
tokoh-tokoh limba pelsilatan...!"
"Kuingatkan sekali lagi, Mawar Hitam! Serahkan
pusaka itu atau aku bertindak sekarang juga?!"
"Hih, anak ingus mau coba tantang aku? Hih,
kuhanculkan batok kepalamu dengan pusaka Tengkolak
Lial ini...!"
Melihat Mawar Hitam mencabut senjatanya yang
bernama Tengkorak Liar itu, Peri Malam menjadi sangat
cemas. Sebab ia tahu, gurunya jarang menggunakan
senjata Tengkorak Liar itu. Jika senjata itu digunakan,
atau dicabut dari pinggangnya, itu pertanda akan ada
korban nyawa cepat atau lambat. Karena itu, Peri Malam
segera mendekati Suto dan berbisik,
"Mundurlah, Suto...! Kalau dia cabut senjata itu,
sangat berbahaya bagi dirimu. Biar aku yang
menjinakkan kemarahannya, Suto!"
"Aku tak peduli, Peri Malam!"
"Hei, Sundali...!" seru Mawar Hitam. "Kau kasih dia
pengeltian, jangan coba-coba menantang kemarahanku,
supaya dia selamat dan bisa jadi suamimu! Kalau dia
mau, kukawinkan kau dengannya di Pulau Hantu kapan
saja kalian siap!"
"Tidak, Guru! Pusaka itulah tanda cintaku kepadanya.
Berikan pusaka itu, Guru!" sentak Peri Malam dengan
beraninya.
"Mulid sesat! Kau pun belani menentangku, hah?!
Kau pellu tahu, bagaimana aku hanculkan si tampan
yang bodoh itu! Hiaaah...!"
Mawar Hitam sentakkan tangan kanannya yang sudah
memegang senjata Tengkorak Liarnya itu. Kilatan
cahaya perak meluncur cepat dari kedua mata tengkorak
kambing. Suto segera silangkan bumbung tuaknya
dengan badan sedikit merendah. Tapi, Peri Malam
berteriak cemas.
"Suto, jangan tahan serangan itu! Hindari!"
Karena Suto tak ada tanda-tanda akan bergerak
menghindar, maka Peri Malam pun melesat maju
menghadang sinar perak itu. Ia berdiri di depan Suto
sambil berteriak,
"Jangan, Guru...!"
Suto menyapu kaki Peri Malam dengan cepat. Tubuh
Peri Malam rubuh seketika. Sinar perak melesat
melewati atas tubuh Peri Malam, dan segera diterima
oleh bumbung tuaknya Suto.
Craasss...! Cahaya memercik ketika sinar perak itu
mengenai bumbung tuak. Cahaya tersebut membalik ke
arah Mawar Hitam. Serta-merta nenek keriput itu
kibaskan senjatanya dari samping kiri ke samping kanan.
Wuuugh...!
Kibasan angin itu membentur sinar perak dan
terjadilah ledakan kuat dari kedua benturan itu. Blarrr...!
Suto melompat dan bersalto di udara. Tetapi Peri
Malam terlambat menghindari gelombang ledakan
tersebut.
"Uhhg...!"
Bruukk...! Tubuh Peri Malam terlempar tiga langkah
ke belakang. Mulutnya menyemburkan darah segar,
membasah di pakaian kuningnya. Wajahnya pucat
seketika, ia masih bisa membuka matanya, namun tak
mampu lagi bicara, ia ingin bangkit, namun hanya
mampu duduk bersandar pada batu sambil memegangi
bagian dada.
"Sundari...?!" desis Suto dalam cemas.
"Awas...!" ucapnya lirih, membuat Suto berpaling
pada Mawar Hitam. Rupanya saat itu Mawar Hitam
lancarkan serangan kembali dengan sentakkan tengkorak
kambingnya.
Suto merasakan datangnya gelombang panas yang
menyerang ke arahnya. Suto cepat jejakkan kaki ke
tanah dan berkelebat jungkir balik di angkasa dalam
gerakan maju. Pukulan tenaga dalam yang mempunyai
daya panas cukup tinggi itu melesat menemui tempat
kosong. Tapi pada saat itu, kaki Suto sudah berpijak di
batu atasnya Mawar Hitam.
"Hiaaah...!" sentak Suto sambi! meluncurkan
tendangan ke arah kepala nenek bungkuk itu.
Plakkk...!
Mawar Hitam terkena tendangan pada pelipisnya.
Tendangan itu bertenaga dalam besar. Tubuh Mawar
Hitam terpental melayang akibat tendangan itu. Suto
segera mengejarnya dengan satu kali sentakan kaki,
tubuhnya melayang ke arah Mawar Hitam.
Jlig...! Kakinya berpijak ke tanah. Mawar Hitam yang
terkapar segera layangkan kakinya menendang pangkal
paha Suto. Namun tangan Suto lebih cepat gerakkan
bumbung bambu tuak. Plokk...! Kaki itu dihantam
memakai bumbung yang bertenaga dalam cukup tinggi.
Pukulan itu bukan saja membuat kaki Mawar Hitam
terpelanting ke samping, namun juga merasa tulang
keringnya remuk, hingga ia sempat memekik tertahan.
"Uuhhg...!"
Suto segera sodokkan bumbung bambu ke wajah
Mawar Hitam. Tapi dengan cepat Mawar Hitam
berguling ke samping. Wuusss...! Proook...!
Batu sebesar kerbau duduk itu hancur tanpa
memercikkan debu sedikit pun akibat terkena sodokan
bambu bumbung tuak. Batu itu langsung surut dan
menjadi serpihan-serpihan selembut pecahan kaca.
Pada saat itu Mawar Hitam segera bangkit dan duduk,
lalu senjatanya dibabatkan ke kaki Suto. Tak kalah
lincah Suto menghindar dengan satu kali sentakan ujung
jempol kakinya, ia melenting di udara dan bersalto
mundur satu kali. Sementara angin yang ditimbulkan
dari kibasan senjata tengkorak kambing itu begitu
besarnya, hingga batu besar setinggi tubuh Suto itu
terlempar dan menggelinding jatuh melintasi lereng
bukit.
"Jahanam busuk kau, Suto!" geram gurunya Peri
Malam, ia masih bisa paksakan diri untuk berdiri walau
satu kakinya telah remuk.
Kejap berikutnya, Suto kerahkan tenaganya dengan
kembangkan jemari tangan yang terangkat sebatas dada.
Rupanya ia melakukan kekuatan menghisap dari jarak
jauh hingga jemari tangan kirinya yang tidak memegangi
bumbung tuak itu tampak bergetar.
Mawar Hitam tak jadi kirimkan pukulan jarak
jauhnya, karena ia harus mempertahankan guci kecil di
tangan kirinya itu. Ia bertahan memegangi guci yang
nyaris terlepas itu. Begitu kuatnya daya hisap tenaga
Suto, sampai kulit tubuh nenek itu terkelupas sedikit
demi sedikit, khususnya di bagian pergelangan tangan
kiri.
Mawar Hitam tetap bertahan menggenggam Guci
Tuak Setan dengan mati-matian. Kekuatannya terpusat
pada genggamannya itu, hingga jari jemarinya tampak
berdarah. Kuku-kukunya nyaris terlepas karena daya
hisap tenaga Suto yang dinamakan ilmu 'Serap Sukma',
warisan ilmunya si Gila Tuak.
Rupanya kekuatan ilmu 'Serap Sukma' sudah tak bisa
dilawan lagi. Guci itu pun melesat terbang, lepas dari
genggaman Mawar Hitam. Segera nenek bungkuk itu
sentakkan tangan kanannya yang masih memegang
tengkorak kambing, dan tangan kiri pun menyentak ke
arah Suto. Akibatnya, guci yang melayang di udara itu
pecah, tubuh Suto sendiri kena pukulan jarak jauh pada
saat ia berbalik membelakangi Mawar Hitam untuk
melompat meraih guci itu.
"Aaahhg...!"
Suto jatuh berlutut, sedikit melengkung ke belakang
karena terkena pukulan punggungnya. Kepala Suto
terdongak ke atas dengan mulut ternganga melontarkan
suara pekik tertahan. Pada saat itulah guci di atasnya
pecah, cairan hijau kehitam-hitaman yang kental itu
tumpah keluar, dan jatuh masuk ke dalam mulut Suto.
Glek...! Cairan itu tertelan oleh Suto. Mawar Hitam
berteriak keras karena kecewanya.
"Jahanaaam...! Hiaaah...!"
Mawar Hitam bergerak maju dengan satu lompatan
dan memukul kepala Suto dengan senjatanya. Tapi dari
arah belakang, tiba-tiba sebuah cahaya merah berkilat
cepat melesat menghantam punggung Mawar Hitam.
Cahaya itu datang dari tangan Peri Malam.
"Aaahg...!" tubuh Mawar Hitam pun jatuh
terpelanting dan menyemburkan darah kental dari
mulutnya. Tetapi ia tampak masih tangguh untuk
memberi pukulan balasan. Tangan kirinya yang berdarah
karena kulitnya hampir copot itu disentakkan ke arah
Peri Malam.
Wuugh...! Sebuah pukulan menghantam ke arah dada
Peri Malam. Dalam keadaan lemas, Peri Malam sempat
jatuhkan diri dari sandarannya. Akibatnya, pukulan itu
mengenai batu, dan batu itu hancur lebur dalam sentakan
keras. Pecahannya beterbangan ke mana-mana.
Peri Malam sudah tak bisa ingat apa-apa lagi. Tapi
Mawar Hitam masih bisa sentakkan kakinya dan melesat
pergi bagaikah siluman menembus awan. Ia lakukan hal
itu setelah ia merasa dirinya terluka cukup berat,
termasuk akibat serangan dari muridnya sendiri itu. Dan
juga, ia melihat Suto terkapar tak bergerak dengan tubuh
mulai berasap. Itulah saatnya Mawar Hitam tinggalkan
bukit.
Tubuh Suto sendiri terus berasap, makin lama makin
jelas kepulan asap putih kehitam-hitaman. Bahkan dalam
keadaan terbaring di samping bumbungnya, tubuh itu
bergerak-gerak bagai ayam disembelih. Kakinya
berkelojotan, disusul dengan kedua tangan yang
tersentak-sentak.
Suto maupun Peri Malam tak tahu bahwa kejap
berikutnya, seorang perempuan cantik berdiri tertegun
memandang ke arah Suto. Matanya terbelalak tegang
saat ia menyebut nama, "Suto...?!"
SELESAI
PENDEKAR MABUK
Ikuti kisah selanjutnya!!!!!!!!
Serial Pendekar Mabuk Suto Sinting dalam episode:
PERAWAN SESAT