Episode 25
MENURUT Suto, mereka tidak perlu mengejar Peri
Malam. Sebab tadi ia melihat ada perahu di celah
bebatuan karang. Suto ingat cerita Peramal Pikun
tentang gurunya Peri Malam, yaitu seorang tokoh tua
yang sedang menunggu saat terbaik untuk melawan
Bidadari Jalang. Suto ingat, bahwa Guru dari Peri
Malam adalah Mawar Hitam yang tinggal di Pulau
Hantu. Tentunya menjadi penguasa di Pulau Hantu
tersebut. Menurut perhitungan Suto, cepat atau lambat
pasti Peri Malam akan kembali datang ke pantai itu dan
menuju ke Pulau Hantu memakai perahu tersebut.
Tetapi, Selendang Kubur mempunyai pemikiran lain
lagi.
"Mungkin saja dia akan pulang ke Pulau Hantu
menyerahkan Pusaka Tuak Setan kepada gurunya. Tapi
bagaimana jika ia nekat menjadi murid murtad?!"
"Apa maksudmu?"
"Karena dia tahu kekuatan dahsyat di dalam Tuak
Setan itu, maka dia meminum sendiri tuak tersebut.
Bukankah dengan begitu dia bisa kalahkan gurunya
sendiri?"
"Hmmm... ya. Memang bisa saja terjadi begitu!" kata
Suto sambil menutup bumbung yang habis diteguk
isinya. Kemudian ia bertanya kepada Selendang Kubur.
"Apa dia berani menjadi murid murtad?"
"Aku lihat dia mulai jatuh cinta padamu."
"Hei, apa hubungannya murid murtad dengan jatuh
cinta?"
"Dia bernafsu ingin mendapatkan kau. Dia harus
singkirkan banyak saingannya, termasuk diriku. Untuk
itu dia perlu ilmu yang lebih hebat dan lebih dahsyat.
Tak heran jika ia paksakan diri untuk menjadi murid
murtad dengan meminum Tuak Setan itu. Dengan
minum Tuak Setan, dia akan berilmu tinggi dan dapat
menyingkirkan saingannya, lalu dia dapat memiliki
dirimu."
"He he he... aku tidak cinta sama dia, juga sama yang
lainnya. Aku sudah punya kekasih sendiri."
"Kau akan dipaksanya bertekuk lutut di hadapannya,
dan dipaksa juga agar mau menerima cintanya, agar mau
melayani dirinya dan... kau tak akan berkutik karena kau
kalah sakti dengannya, jika dia meminum Tuak Setan
itu."
Suto kerutkan dahi setelah mencerna kata-kata
Selendang Kubur. Lalu, dia bertanya dengan suara
semakin sumbang.
"Apa dia tahu kekuatan yang ada pada Tuak Setan
itu?"
"Tahu atau tidak, yang penting sekarang kejarlah dia.
Rebut kembali Tuak Setan itu. Aku akan
mendampingimu dan menjagamu!"
Suto tertawa parau, "He he he he... aku mau kau
mendampingiku, tapi jangan sering-sering memandangi
tubuhku. Karena aku tahu kau punya kekuatan pandang
yang bisa menembus pakaianku dan bisa melihat bagian
dalamku. Aku malu jika kau begitu, Selendang Kubur!
He he he he...!"
"Kututup kekuatan itu dari tadi. Jika tidak, aku tak
akan bisa menahan gejolak birahiku."
Sambil ucapkan kata begitu, Selendang Kubur
melangkah ke celah-celah karang. Rupanya ia mencari
perahu yang disembunyikan Peri Malam. Begitu perahu
itu ditemukan, Selendang Kubur segera sentakkan
tangannya ke arah perahu itu. Melesat seberkas sinar
kuning, dan meledaklah perahu itu terkena kilatan sinar
kuning. Blaarrr...! Praakkk...!
"Hei, mengapa kau ledakkan perahu itu?!" seru Suto.
"Biar dia tidak bisa lari ke Pulau Hantu!" jawab
Selendang Kubur.
"Dia bisa pakai ilmu peringan tubuhnya untuk
menyeberangi lautan ini!"
"Tak mungkin bisa. Buktinya dia siapkah perahu, itu
artinya dia tak bisa menyeberangi lautan dengan
mengandalkan ilmu peringan tubuhnya."
"Yah, bisa juga dia buat lagi!"
"Kita berangkat sekarang, Suto!"
"Boleh saja!" kata Suto dengan mata sedikit merah.
Mereka bersiap untuk meninggalkan Pantai Karang
Saru. Tapi tiba-tiba terdengar suara orang berseru dari
belakang mereka.
"Tunggu!"
Serta-merta mereka palingkan wajah. Selendang
Kubur terperanjat melihat orang yang baru saja datang
dan menahan langkahnya.
"Dewi...?!" desis Selendang Kubur dengan perasaan
tak suka.
"O, ya! Dia yang bernama Dewi Murka. Aku ingat!"
kata Suto sambil cengar-cengir karena mabuk.
"Untuk apa kau menahanku, Dewi! Dan untuk apa
kau datang kemari menemui kami?!" suara Selendang
Kubur bernada ketus,
"Jangan ikut campur urusan orang lain, Selendang
Kubur! Suto punya urusan sendiri dan kau juga punya
urusan sendiri!"
"Apa hakmu melarangku?"
"Aku telah diangkat resmi menjadi wakil Guru.
Tugasku kemari untuk menjemputmu. Kau dipanggil
oleh Nyai Guru, Selendang Kubur!"
Selendang Kubur bingung sejenak, ia membatin,
"Apa benar Guru memanggilku? Apa benar Dewi
diangkat menjadi wakil Guru secara resmi? Jangan-
jangan dia hanya ingin mengelabuhiku, supaya aku
meninggalkan Suto dan dia sendiri akan menggantikan
kedudukanku di samping Suto!"
Terdengar Dewi Murka keluarkan perintah tegas,
"Cepat pulang sekarang juga, Selendang Kubur!"
"Bagaimana dengan dirimu sendiri?"
"Aku akan ke tempat lain, karena ada tugas dari
Guru!"
Selendang Kubur sunggingkan senyum dingin. "Tadi
kau bilang mau menjemputku, itu berarti kau dan aku
pulang bersama. Sekarang kau bilang ada tugas ke
tempat lain, itu berarti aku harus pulang sendiri. Aku
tahu jalan pikiranmu, Dewi Murka! Kau ingin
menggantikan diriku sebagai pendamping Suto!"
"Jaga bicaramu dengan wakil Guru, Selendang
Kubur!"
"Persetan dengan kedudukanmu yang sekarang!
Kurasa kududukan itu pun palsu adanya, Dewi!"
"Kau harus segera pulang! Guru memanggilmu!"
sentak Dewi Murka.
"Persetan juga dengan panggilan Guru!" Lalu,
Selendang Kubur menarik tangan Suto sambil berkata,
"Jangan hiraukan dia, Suto! Kita harus berangkat
sekarang juga!"
"Larasati..!" seru Dewi Murka memanggil nama asli
Selendang Kubur, ia melangkah beberapa tindak.
"Jangan memaksa diriku berlaku kasar padamu,
Larasati!"
Selendang Kubur terpancing kemarahannya dan
membalikkan badan serta memisahkan diri dari Suto. Ia
melesat lompat ke tempat yang datar dan bersuara
lantang.
"Dewi, apa maumu sebenarnya, hah?!"
"Menyuruhmu pulang!"
"Kalau aku tak mau, apa tindakanmu?!"
"Terpaksa aku harus menyeretmu pulang, Larasati!"
"Apa kau kira mampu, hah?!" tantang Selendang
Kubur yang merasa kedamaiannya bersama Suto
diganggu oleh kemunculan Dewi Murka.
Kejap berikutnya tubuh Dewi Murka melesat dan
hinggap di atas gundukan batu. Ia berdiri dengan tegak
dan tampak menantang juga. Kejap lain, Selendang
Kubur pun melompat ke atas gugusan karang dan berdiri
dengan sigap, siap menghadapi serangan Dewi Murka.
Sejurus kemudian, Dewi Murka perdengarkan
suaranya yang tegas.
"Dengar, Larasati...! Guru telah perintahkan aku
untuk memaksamu pulang. Tak bisa hidup, mati pun tak
apa! Guru telah tugaskan aku untuk membawamu pulang
dalam keadaan hidup atau mati! Paham?!"
"Tak mungkin Guru keluarkan tugas begitu untukmu!
Aku bukan murid bersalah. Aku tidak melanggar
peraturan perguruan!"
"Siapa bilang?!" sergah Dewi Murka, "Kau menjadi
murid bersalah dan dianggap telah murtad!"
"Hei, apa salahku?!" Selendang Kubur kian keras
kerutkan keningnya karena heran.
"Jangan berlagak bodoh, Larasati! Sejak kepergianmu
tempo hari dari perguruan, ternyata kau telah berhasil
mencuri Kitab Wedar Kesuma!"
"Gila kau!"
"Kitab Wedar Kesuma telah hilang dari tempatnya.
Siapa lagi pencurinya jika bukan kau, Larasati! Karena
sejak saat itu kau tidak berani pulang ke perguruan!"
"Itu fitnah! Itu praduga yang kau timbulkan sendiri,
karena kau takut Guru akan memilihku sebagai
penggantinya!" sanggah Selendang Kubur sambil
menuduh balik kepada Dewi Murka.
"Jika kau tidak merasa bersalah, kau pasti pulang,
Larasati!"
"Aku akan pulang, tapi tidak sekarang! Aku masih
harus menemani Pendekar Mabuk untuk satu persoalan
yang amat penting!"
"Tidak bisa. Sekarang juga kau harus pulang atau
kuseret dalam keadaan sudah menjadi bangkai?!''
"Kalau kau memang mampu, lakukanlah!" sentak
Selendang Kubur dengan berani.
"Baik. Akan kulakukan tugasku!" geram Dewi
Murka. Rupanya ia tidak main-main dan bukan sekadar
menggertak. Terbukti ia segera mencabut trisulanya dari
pinggang.
Diam-diam Suto juga punya dugaan yang sama
dengan kata hati Selendang Kubur tadi.
"Tak mungkin Dewi Murka dapat tugas dari Guru
untuk menyuruh Selendang Kubur pulang. Kudengar
tadi dia mau pergi ke tempat lain. Mana mungkin dia
akan melepaskah pencuri kitab pulang sendiri tanpa
pengawalan ketat? Bohong dia! Aku tahu dia punya
maksud ingin mendekatiku. Karena waktu aku ada di
perguruannya, dia sempat dekati aku dan berbisik saat
gurunya jauh dariku. Ia bilang ingin membantuku
mencari Selendang Kubur, ia bilang, dirinya siap
menjadi pendampingku ke mana saja aku pergi. Jelas dia
punya urusan pribadi dengan Selendang Kubur. Dan
juga kepentingan pribadi padaku. Pasti dia iri melihat
Selendang Kubur dekat denganku."
Suto tertawa pelan sambil geleng-gelengkan kepala.
Sejenak ia menjadi penonton pertarungan Selendang
Kubur dengan Dewi Murka. Saat berikutnya hatinya
berkata,
"Aku tahu, kedua perempuan itu ingin mendapat
tempat di hatiku. Tapi mereka tidak tahu bahwa hatiku
hanya tersedia tempat untuk Dyah Sariningrum. Mereka
tak bisa menyingkirkan bayangan Dyah Sariningrum
dari ingatanku. Jadi sebaiknya, kutinggalkan saja kedua
perempuan itu."
Maka, tanpa setahu Selendang Kubur maupun Dewi
Murka, Suto melesat pergi dari Pantai Karang Saru.
Sekalipun keadaan mabuk, tapi Suto tetap mampu
melesat bagaikan kilat. Bahkan lebih cepat dibandingkan
gerakannya jika ia tidak sedang mabuk.
Sampai di tengah hutan, Suto berhenti untuk
membuka bumbung tuaknya, ia meneguk beberapa kali,
sedikit-sedikit tuak itu ditelannya. Kemudian, hati Suto
sempat ucapkan kata,
"Aku harus temui Peramal Pikun. Aku yakin dia tahu
tentang Dyah Sariningrum. Dia merahasiakannya dariku.
Tapi nanti aku harus bisa mendesaknya dengan berbagai
cara."
Tapi tiba-tiba hatinya diguncang kebimbangan.
"Mencari si tua Peramal Pikun atau mencari Peri
Malam?" kata hati Suto. "Keduanya sama-sama penting.
Menurutku dugaan Selendang Kubur tadi memang bisa
saja terjadi. Tuak Setan diminum oleh Peri Malam.
Kalau tuak itu sudah telanjur diminumnya, tentu aku
akan mengalami kesulitan untuk mengalahkan Peri
Malam. Bisa jadi pertempuranku dengannya membawa
korban lain yang tak bersalah. Jika begitu, sebaiknya
kucari lebih dulu Peri Malam untuk menyelamatkan
Pusaka Tuak Setan itu!"
Kepak sayap seekor burung hinggap di atas pohon
yang dipakai beristirahat oleh Suto. Kepak sayap burung
lainnya, hinggap juga di pohon satunya lagi. Makin lama
kepak sayap burung semakin banyak beterbangan di atas
Suto. Itu menandakan petang sebentar lagi tiba. Dan hati
Suto berucap kata,
"Aku harus cari desa. Aku mau menumpang tidur di
salah satu rumah. Kebetulan tuakku mulai menipis. Aku
harus cari kedai untuk menambah tuak di bumbungku!"
Sebuah desa ditemukan tak jauh dari hutan itu. Desa
tersebut termasuk desa nelayan. Di sana ada kedai, dan
di kedai itu Suto menambahkan tuak ke dalam
bumbungnya.
Seorang lelaki berkumis lebat melintang sedang
makan di kedai tersebut. Matanya yang lebar itu
sebentar-sebentar melirik Suto dengan perasaan tak suka.
Lelaki berkumis itu mengenakan pakaian serba hitam
dengan ikat kepala dari kain batik. Duduknya tak kenal
sopan kaki kanan ditaruh di atas bangku, sebentar-
sebentar tangannya dikibaskan membuat makanan yang
menempel di jari-jemarinya yang sebesar pisang itu
memercik ke mana-mana.
Salah satu butiran sisa makanan jatuh dan menempel
di lengan Suto. Tanpa banyak bicara Suto menyentil sisa
makanan itu. Sentilan tersebut di arahkan ke suatu
tempat. Sisa makanan itu melesat ke arah kendi yang ada
di depan lelaki berkumis tebal itu.
Tang...! Prakkk...!
Kendi itu pecah bagai dilempar batu sebesar
genggaman tangan. Lelaki berkumis yang punya badan
tinggi besar itu menggeram dengan mata jelalatan. Ia
mencari di sekelilingnya orang yang melemparkan batu
dan memecahkan kendi di depannya. Tapi tak satu pun
ada yang dicurigainya.
"Bangsat! Siapa yang berani pecahkan kendiku ini?!"
bentaknya ke arah tiga lelaki lain yang ada di bangku
samping.
Pemilik kedai seorang perempuan tua yang sudah
keriput wajahnya. Perempuan itu ketakutan melihat mata
lelaki berkumis membelalak lebar, penuh luapan amarah.
"Sudahlah, Kang. Jangan hiraukan. Biar kuganti
kendimu. Aku masih punya banyak kendi dan
minuman."
"Iya. Tapi kendi ini berisi arak Kebalen! Harganya
mahal!"
Pemilik kedai itu berkata, "Di sini juga jual arak
Kebalen, Kang. Biarlah kuganti satu kendi penuh!"
"Baiklah kalau kau mau menggantinya. Sebab aku
tidak bisa minum tuak yang mirip air kencing kuda itu!
Aku harus minum arak Kebalen, arak paling terkenal dan
paling mahal!"
"Ini, Kang...," kata ibu pemilik kedai. "Ini arak
Kebalen satu kendi."
"Baiklah. Beri aku sekendil tuak!"
"Untuk apa, Kang?"
"Buat cuci tangan, Goblok!" bentaknya. Pemilik
kedai itu menggeragap sambil bergegas menyiapkan
tuak satu kendil berukuran kecil. Pada saat itu, lelaki
berkumis melintang dan berbadan seperti kebo itu
melirik sinis pada Suto. Meski tahu dilirik, Suto diam
saja dan pura-pura tidak memperhatikan lelaki yang
sedang unjuk keberanian dan kegalakannya itu.
"Ini tuaknya, Kang? Apa masih kurang?" tanya
pemilik kedai.
"Sudah. Cukup."
Seorang lelaki kurus berbaju merah lusuh bertanya
kepada lelaki berkumis tebat itu.
"Kang, apa tidak merasa sayang kalau tuak sebegitu
banyak dipakai untuk cuci tangan?'
"Sudah biasa!" jawab lelaki itu. "Aku kalau habis
makan, cuci tangannya harus pakai tuak. Tuak seperti ini
kalau di rumahku tidak diminum, tapi buat cuci tangan
atau cuci kaki kalau habis kena tanah becek!"
Tangan lelaki berkumis itu segera masuk ke kendil
berisi tuak. Tapi kejap berikutnya dia memekik keras,
kaget dan heran. Tangannya ditarik kuat-kuat.
"Bangsat! Kenapa tuaknya panas?!" sambil ia gebrak
meja. Pemilik kedai semakin gemetar.
"Ta... tadi... tadi tidak panas, Kang."
"Tidak panas dengkulmu! Pegang! Celupkan
tanganmu ke dalam tempat ini! Ayo, coba celupkan
tanganmu!" perintah itu mendesak dan membuat pemilik
kedai menurutinya karena takut.
Tangan pemilik kedai dicelupkan ke dalam kendil
berisi tuak. Perempuan itu tidak merasa kepanasan,
bahkan agak lama merendamkan tangan ke dalam
kendi!.
"Tidak panas, Kang. Dingin begini kok dibilang
panas?"
Lelaki berkumis tertegun bengong melihat tangan
perempuan keriput itu direndam di dalam kendil berisi
tuak. Di sisi lain, Suto tetap diam, tapi dalam hatinya ia
tertawa geli melihat kepongahan lelaki berkumis.
"Coba...!" kata lelaki itu. Tangan pemilik kedai
diangkat, tangan lelaki itu masuk ke dalam kendil.
"Aaauh...!" ia memekik keras. Lelaki itu cepat angkat
tangannya keluar dari kendil. Tangan itu mengepul.
Jarinya bengkak lebih besar dan berwarna kemerah-
merahan. Pemilik kedai pun belalakkan mata dengan
rasa heran dan takut. Begitu pula orang lain yang ada di
situ. Hanya Suto yang tetap tenang dan tak perhatikan
hal itu.
Suto tahu, bahwa dirinya sedang dicurigai oleh lelaki
berkumis tebal. Tapi Suto juga tahu, bahwa lelaki itu
tidak punya alasan untuk bikin persoalan dengan Suto.
Sebagai pelampiasan kemarahannya, lelaki berkumis itu
segera menampar wajah pemilik kedai sambil berkata,
"Pasti kamu yang bikin usil. Hihh...!"
Tap...! Tangan yang berkelebat mau menampar pipi
pemilik kedai itu jadi terhalang oleh bumbung tuak yang
disodokkan Suto. Barulah saat itu lelaki berkumis
menggeram dengan mata melotot bagai ingin menelan
Suto bulat-bulat.
"Kau mau unjuk diri di kampung ini, hah? Kau belum
tahu kondangnya Singo Bodong ini!" sambil lelaki
berkumis menepuk dadanya sendiri dengan tangan kiri.
"Kenalkan, kalau kamu mau tahu, aku inilah Singo
Bodong, tukang beset kulit manusia!"
Suto tersenyum-senyum saja. Singo Bodong menjadi
semakin geram.
"Rupanya kau perlu diberi pelajaran sedikit, Anak
Ingusan!"
Tangan kiri Singo Bodong berkelebat meluncurkan
pukulan ke wajah Suto. Tapi dengan cepat Suto
merundukkan kepala dan tangannya berkelebat
menghantam iga Singo Bodong menggunakan punggung
telapak tangan. Plook...!
Tubuh Singo Bodong mental lebih dari lima langkah
jauhnya. Padahal hanya mendapat pukulan ringan dari
punggung tangan Suto yang kiri. Tapi menurutnya
pukulan itu melebihi serudukan tiga ekor kerbau.
Bukan hanya Singo Bodong, tapi setiap orang yang
ada di situ mulai menaruh curiga pada Suto. Pemuda
tampan itu pasti bukan orang sembarangan dan sudah
tentu berilmu tinggi. Karena itu ketika Singo Bodong
berdiri sambil menyeringai, ia segera mundur beberapa
pijak dengan rasa takut.
"Apa yang mau kau sampaikan padaku?" tanya Suto.
"Hammm... hmmm... anu... tidak. Eh, anu... maaf.
Maafkan aku, Satria gagah...!"
"Namaku bukan Satria! Namaku Suto Sinting...!"
Suto memperkenalkan diri. Kebetulan ada orang yang
mendengarnya, yaitu lelaki berpakaian merah lusuh yang
tadi ikut makan di kedai itu. Lelaki tersebut segera
mendekati Suto dengan sopan.
"Mak.... Maksudnya, Tuan adalah... adalah Suto
Sinting, murid dari si Gila Tuak?"
"Betul. Dari mana kau tahu?"
"Mak.... Maksudnya... Tuan adalah Suto Sinting,
yang bergelar Pendekar Mabuk?"
"Betul!" sentak Suto jengkel. "Tahu dari mana
kamu?"
Orang kurus berpakaian merah itu menjawab dengan
masih gemetar.
"Tad... tadi, saya dengar ada orang yang bercerita
tentang diri Tuan Pendekar, menyebut-nyebut nama Suto
Sinting yang berilmu tinggi dan... dan si Gila Tuak yang
kesohor di rimba persilatan itu."
"Siapa yang menceritakan diriku?"
"Orangnya ada di rumah tetangga saya. Dia... dia
numpang bermalam di sana."
"Siapa yang menceritakan diriku? Itu
pertanyaannya!"
"O, anu... anu... namanya saya tidak tahu. Tapi dia
banyak cerita pada keluarga tetangga saya tentang
kehidupan di rimba persilatan. Dia... dia jagoan
perempuan. Cantik dan montok. Eh... anu... maksud
saya... dadanya... anu...!"
"Jagoan perempuan? Cantik dan montok?"
"Bet... betot, eh... betul!"
"Memakai pakaian kuning?"
"Iya!"
"Hmmm... Peri Malam ada di sini rupanya!" pikir
Suto, lalu ia berkata kepada orang itu, "Antarkan aku
menemuinya!"
"Ba... ba... baik!"
*
* *