Chereads / Pendekar Mabuk / Chapter 25 - 003.Pendekar Mabuk - Darah Asmara Gila Eps25

Chapter 25 - 003.Pendekar Mabuk - Darah Asmara Gila Eps25

Episode 25

MENURUT Suto, mereka tidak perlu mengejar Peri

Malam. Sebab tadi ia melihat ada perahu di celah

bebatuan karang. Suto ingat cerita Peramal Pikun

tentang gurunya Peri Malam, yaitu seorang tokoh tua

yang sedang menunggu saat terbaik untuk melawan

Bidadari Jalang. Suto ingat, bahwa Guru dari Peri

Malam adalah Mawar Hitam yang tinggal di Pulau

Hantu. Tentunya menjadi penguasa di Pulau Hantu

tersebut. Menurut perhitungan Suto, cepat atau lambat

pasti Peri Malam akan kembali datang ke pantai itu dan

menuju ke Pulau Hantu memakai perahu tersebut.

Tetapi, Selendang Kubur mempunyai pemikiran lain

lagi.

"Mungkin saja dia akan pulang ke Pulau Hantu

menyerahkan Pusaka Tuak Setan kepada gurunya. Tapi

bagaimana jika ia nekat menjadi murid murtad?!"

"Apa maksudmu?"

"Karena dia tahu kekuatan dahsyat di dalam Tuak

Setan itu, maka dia meminum sendiri tuak tersebut.

Bukankah dengan begitu dia bisa kalahkan gurunya

sendiri?"

"Hmmm... ya. Memang bisa saja terjadi begitu!" kata

Suto sambil menutup bumbung yang habis diteguk

isinya. Kemudian ia bertanya kepada Selendang Kubur.

"Apa dia berani menjadi murid murtad?"

"Aku lihat dia mulai jatuh cinta padamu."

"Hei, apa hubungannya murid murtad dengan jatuh

cinta?"

"Dia bernafsu ingin mendapatkan kau. Dia harus

singkirkan banyak saingannya, termasuk diriku. Untuk

itu dia perlu ilmu yang lebih hebat dan lebih dahsyat.

Tak heran jika ia paksakan diri untuk menjadi murid

murtad dengan meminum Tuak Setan itu. Dengan

minum Tuak Setan, dia akan berilmu tinggi dan dapat

menyingkirkan saingannya, lalu dia dapat memiliki

dirimu."

"He he he... aku tidak cinta sama dia, juga sama yang

lainnya. Aku sudah punya kekasih sendiri."

"Kau akan dipaksanya bertekuk lutut di hadapannya,

dan dipaksa juga agar mau menerima cintanya, agar mau

melayani dirinya dan... kau tak akan berkutik karena kau

kalah sakti dengannya, jika dia meminum Tuak Setan

itu."

Suto kerutkan dahi setelah mencerna kata-kata

Selendang Kubur. Lalu, dia bertanya dengan suara

semakin sumbang.

"Apa dia tahu kekuatan yang ada pada Tuak Setan

itu?"

"Tahu atau tidak, yang penting sekarang kejarlah dia.

Rebut kembali Tuak Setan itu. Aku akan

mendampingimu dan menjagamu!"

Suto tertawa parau, "He he he he... aku mau kau

mendampingiku, tapi jangan sering-sering memandangi

tubuhku. Karena aku tahu kau punya kekuatan pandang

yang bisa menembus pakaianku dan bisa melihat bagian

dalamku. Aku malu jika kau begitu, Selendang Kubur!

He he he he...!"

"Kututup kekuatan itu dari tadi. Jika tidak, aku tak

akan bisa menahan gejolak birahiku."

Sambil ucapkan kata begitu, Selendang Kubur

melangkah ke celah-celah karang. Rupanya ia mencari

perahu yang disembunyikan Peri Malam. Begitu perahu

itu ditemukan, Selendang Kubur segera sentakkan

tangannya ke arah perahu itu. Melesat seberkas sinar

kuning, dan meledaklah perahu itu terkena kilatan sinar

kuning. Blaarrr...! Praakkk...!

"Hei, mengapa kau ledakkan perahu itu?!" seru Suto.

"Biar dia tidak bisa lari ke Pulau Hantu!" jawab

Selendang Kubur.

"Dia bisa pakai ilmu peringan tubuhnya untuk

menyeberangi lautan ini!"

"Tak mungkin bisa. Buktinya dia siapkah perahu, itu

artinya dia tak bisa menyeberangi lautan dengan

mengandalkan ilmu peringan tubuhnya."

"Yah, bisa juga dia buat lagi!"

"Kita berangkat sekarang, Suto!"

"Boleh saja!" kata Suto dengan mata sedikit merah.

Mereka bersiap untuk meninggalkan Pantai Karang

Saru. Tapi tiba-tiba terdengar suara orang berseru dari

belakang mereka.

"Tunggu!"

Serta-merta mereka palingkan wajah. Selendang

Kubur terperanjat melihat orang yang baru saja datang

dan menahan langkahnya.

"Dewi...?!" desis Selendang Kubur dengan perasaan

tak suka.

"O, ya! Dia yang bernama Dewi Murka. Aku ingat!"

kata Suto sambil cengar-cengir karena mabuk.

"Untuk apa kau menahanku, Dewi! Dan untuk apa

kau datang kemari menemui kami?!" suara Selendang

Kubur bernada ketus,

"Jangan ikut campur urusan orang lain, Selendang

Kubur! Suto punya urusan sendiri dan kau juga punya

urusan sendiri!"

"Apa hakmu melarangku?"

"Aku telah diangkat resmi menjadi wakil Guru.

Tugasku kemari untuk menjemputmu. Kau dipanggil

oleh Nyai Guru, Selendang Kubur!"

Selendang Kubur bingung sejenak, ia membatin,

"Apa benar Guru memanggilku? Apa benar Dewi

diangkat menjadi wakil Guru secara resmi? Jangan-

jangan dia hanya ingin mengelabuhiku, supaya aku

meninggalkan Suto dan dia sendiri akan menggantikan

kedudukanku di samping Suto!"

Terdengar Dewi Murka keluarkan perintah tegas,

"Cepat pulang sekarang juga, Selendang Kubur!"

"Bagaimana dengan dirimu sendiri?"

"Aku akan ke tempat lain, karena ada tugas dari

Guru!"

Selendang Kubur sunggingkan senyum dingin. "Tadi

kau bilang mau menjemputku, itu berarti kau dan aku

pulang bersama. Sekarang kau bilang ada tugas ke

tempat lain, itu berarti aku harus pulang sendiri. Aku

tahu jalan pikiranmu, Dewi Murka! Kau ingin

menggantikan diriku sebagai pendamping Suto!"

"Jaga bicaramu dengan wakil Guru, Selendang

Kubur!"

"Persetan dengan kedudukanmu yang sekarang!

Kurasa kududukan itu pun palsu adanya, Dewi!"

"Kau harus segera pulang! Guru memanggilmu!"

sentak Dewi Murka.

"Persetan juga dengan panggilan Guru!" Lalu,

Selendang Kubur menarik tangan Suto sambil berkata,

"Jangan hiraukan dia, Suto! Kita harus berangkat

sekarang juga!"

"Larasati..!" seru Dewi Murka memanggil nama asli

Selendang Kubur, ia melangkah beberapa tindak.

"Jangan memaksa diriku berlaku kasar padamu,

Larasati!"

Selendang Kubur terpancing kemarahannya dan

membalikkan badan serta memisahkan diri dari Suto. Ia

melesat lompat ke tempat yang datar dan bersuara

lantang.

"Dewi, apa maumu sebenarnya, hah?!"

"Menyuruhmu pulang!"

"Kalau aku tak mau, apa tindakanmu?!"

"Terpaksa aku harus menyeretmu pulang, Larasati!"

"Apa kau kira mampu, hah?!" tantang Selendang

Kubur yang merasa kedamaiannya bersama Suto

diganggu oleh kemunculan Dewi Murka.

Kejap berikutnya tubuh Dewi Murka melesat dan

hinggap di atas gundukan batu. Ia berdiri dengan tegak

dan tampak menantang juga. Kejap lain, Selendang

Kubur pun melompat ke atas gugusan karang dan berdiri

dengan sigap, siap menghadapi serangan Dewi Murka.

Sejurus kemudian, Dewi Murka perdengarkan

suaranya yang tegas.

"Dengar, Larasati...! Guru telah perintahkan aku

untuk memaksamu pulang. Tak bisa hidup, mati pun tak

apa! Guru telah tugaskan aku untuk membawamu pulang

dalam keadaan hidup atau mati! Paham?!"

"Tak mungkin Guru keluarkan tugas begitu untukmu!

Aku bukan murid bersalah. Aku tidak melanggar

peraturan perguruan!"

"Siapa bilang?!" sergah Dewi Murka, "Kau menjadi

murid bersalah dan dianggap telah murtad!"

"Hei, apa salahku?!" Selendang Kubur kian keras

kerutkan keningnya karena heran.

"Jangan berlagak bodoh, Larasati! Sejak kepergianmu

tempo hari dari perguruan, ternyata kau telah berhasil

mencuri Kitab Wedar Kesuma!"

"Gila kau!"

"Kitab Wedar Kesuma telah hilang dari tempatnya.

Siapa lagi pencurinya jika bukan kau, Larasati! Karena

sejak saat itu kau tidak berani pulang ke perguruan!"

"Itu fitnah! Itu praduga yang kau timbulkan sendiri,

karena kau takut Guru akan memilihku sebagai

penggantinya!" sanggah Selendang Kubur sambil

menuduh balik kepada Dewi Murka.

"Jika kau tidak merasa bersalah, kau pasti pulang,

Larasati!"

"Aku akan pulang, tapi tidak sekarang! Aku masih

harus menemani Pendekar Mabuk untuk satu persoalan

yang amat penting!"

"Tidak bisa. Sekarang juga kau harus pulang atau

kuseret dalam keadaan sudah menjadi bangkai?!''

"Kalau kau memang mampu, lakukanlah!" sentak

Selendang Kubur dengan berani.

"Baik. Akan kulakukan tugasku!" geram Dewi

Murka. Rupanya ia tidak main-main dan bukan sekadar

menggertak. Terbukti ia segera mencabut trisulanya dari

pinggang.

Diam-diam Suto juga punya dugaan yang sama

dengan kata hati Selendang Kubur tadi.

"Tak mungkin Dewi Murka dapat tugas dari Guru

untuk menyuruh Selendang Kubur pulang. Kudengar

tadi dia mau pergi ke tempat lain. Mana mungkin dia

akan melepaskah pencuri kitab pulang sendiri tanpa

pengawalan ketat? Bohong dia! Aku tahu dia punya

maksud ingin mendekatiku. Karena waktu aku ada di

perguruannya, dia sempat dekati aku dan berbisik saat

gurunya jauh dariku. Ia bilang ingin membantuku

mencari Selendang Kubur, ia bilang, dirinya siap

menjadi pendampingku ke mana saja aku pergi. Jelas dia

punya urusan pribadi dengan Selendang Kubur. Dan

juga kepentingan pribadi padaku. Pasti dia iri melihat

Selendang Kubur dekat denganku."

Suto tertawa pelan sambil geleng-gelengkan kepala.

Sejenak ia menjadi penonton pertarungan Selendang

Kubur dengan Dewi Murka. Saat berikutnya hatinya

berkata,

"Aku tahu, kedua perempuan itu ingin mendapat

tempat di hatiku. Tapi mereka tidak tahu bahwa hatiku

hanya tersedia tempat untuk Dyah Sariningrum. Mereka

tak bisa menyingkirkan bayangan Dyah Sariningrum

dari ingatanku. Jadi sebaiknya, kutinggalkan saja kedua

perempuan itu."

Maka, tanpa setahu Selendang Kubur maupun Dewi

Murka, Suto melesat pergi dari Pantai Karang Saru.

Sekalipun keadaan mabuk, tapi Suto tetap mampu

melesat bagaikan kilat. Bahkan lebih cepat dibandingkan

gerakannya jika ia tidak sedang mabuk.

Sampai di tengah hutan, Suto berhenti untuk

membuka bumbung tuaknya, ia meneguk beberapa kali,

sedikit-sedikit tuak itu ditelannya. Kemudian, hati Suto

sempat ucapkan kata,

"Aku harus temui Peramal Pikun. Aku yakin dia tahu

tentang Dyah Sariningrum. Dia merahasiakannya dariku.

Tapi nanti aku harus bisa mendesaknya dengan berbagai

cara."

Tapi tiba-tiba hatinya diguncang kebimbangan.

"Mencari si tua Peramal Pikun atau mencari Peri

Malam?" kata hati Suto. "Keduanya sama-sama penting.

Menurutku dugaan Selendang Kubur tadi memang bisa

saja terjadi. Tuak Setan diminum oleh Peri Malam.

Kalau tuak itu sudah telanjur diminumnya, tentu aku

akan mengalami kesulitan untuk mengalahkan Peri

Malam. Bisa jadi pertempuranku dengannya membawa

korban lain yang tak bersalah. Jika begitu, sebaiknya

kucari lebih dulu Peri Malam untuk menyelamatkan

Pusaka Tuak Setan itu!"

Kepak sayap seekor burung hinggap di atas pohon

yang dipakai beristirahat oleh Suto. Kepak sayap burung

lainnya, hinggap juga di pohon satunya lagi. Makin lama

kepak sayap burung semakin banyak beterbangan di atas

Suto. Itu menandakan petang sebentar lagi tiba. Dan hati

Suto berucap kata,

"Aku harus cari desa. Aku mau menumpang tidur di

salah satu rumah. Kebetulan tuakku mulai menipis. Aku

harus cari kedai untuk menambah tuak di bumbungku!"

Sebuah desa ditemukan tak jauh dari hutan itu. Desa

tersebut termasuk desa nelayan. Di sana ada kedai, dan

di kedai itu Suto menambahkan tuak ke dalam

bumbungnya.

Seorang lelaki berkumis lebat melintang sedang

makan di kedai tersebut. Matanya yang lebar itu

sebentar-sebentar melirik Suto dengan perasaan tak suka.

Lelaki berkumis itu mengenakan pakaian serba hitam

dengan ikat kepala dari kain batik. Duduknya tak kenal

sopan kaki kanan ditaruh di atas bangku, sebentar-

sebentar tangannya dikibaskan membuat makanan yang

menempel di jari-jemarinya yang sebesar pisang itu

memercik ke mana-mana.

Salah satu butiran sisa makanan jatuh dan menempel

di lengan Suto. Tanpa banyak bicara Suto menyentil sisa

makanan itu. Sentilan tersebut di arahkan ke suatu

tempat. Sisa makanan itu melesat ke arah kendi yang ada

di depan lelaki berkumis tebal itu.

Tang...! Prakkk...!

Kendi itu pecah bagai dilempar batu sebesar

genggaman tangan. Lelaki berkumis yang punya badan

tinggi besar itu menggeram dengan mata jelalatan. Ia

mencari di sekelilingnya orang yang melemparkan batu

dan memecahkan kendi di depannya. Tapi tak satu pun

ada yang dicurigainya.

"Bangsat! Siapa yang berani pecahkan kendiku ini?!"

bentaknya ke arah tiga lelaki lain yang ada di bangku

samping.

Pemilik kedai seorang perempuan tua yang sudah

keriput wajahnya. Perempuan itu ketakutan melihat mata

lelaki berkumis membelalak lebar, penuh luapan amarah.

"Sudahlah, Kang. Jangan hiraukan. Biar kuganti

kendimu. Aku masih punya banyak kendi dan

minuman."

"Iya. Tapi kendi ini berisi arak Kebalen! Harganya

mahal!"

Pemilik kedai itu berkata, "Di sini juga jual arak

Kebalen, Kang. Biarlah kuganti satu kendi penuh!"

"Baiklah kalau kau mau menggantinya. Sebab aku

tidak bisa minum tuak yang mirip air kencing kuda itu!

Aku harus minum arak Kebalen, arak paling terkenal dan

paling mahal!"

"Ini, Kang...," kata ibu pemilik kedai. "Ini arak

Kebalen satu kendi."

"Baiklah. Beri aku sekendil tuak!"

"Untuk apa, Kang?"

"Buat cuci tangan, Goblok!" bentaknya. Pemilik

kedai itu menggeragap sambil bergegas menyiapkan

tuak satu kendil berukuran kecil. Pada saat itu, lelaki

berkumis melintang dan berbadan seperti kebo itu

melirik sinis pada Suto. Meski tahu dilirik, Suto diam

saja dan pura-pura tidak memperhatikan lelaki yang

sedang unjuk keberanian dan kegalakannya itu.

"Ini tuaknya, Kang? Apa masih kurang?" tanya

pemilik kedai.

"Sudah. Cukup."

Seorang lelaki kurus berbaju merah lusuh bertanya

kepada lelaki berkumis tebat itu.

"Kang, apa tidak merasa sayang kalau tuak sebegitu

banyak dipakai untuk cuci tangan?'

"Sudah biasa!" jawab lelaki itu. "Aku kalau habis

makan, cuci tangannya harus pakai tuak. Tuak seperti ini

kalau di rumahku tidak diminum, tapi buat cuci tangan

atau cuci kaki kalau habis kena tanah becek!"

Tangan lelaki berkumis itu segera masuk ke kendil

berisi tuak. Tapi kejap berikutnya dia memekik keras,

kaget dan heran. Tangannya ditarik kuat-kuat.

"Bangsat! Kenapa tuaknya panas?!" sambil ia gebrak

meja. Pemilik kedai semakin gemetar.

"Ta... tadi... tadi tidak panas, Kang."

"Tidak panas dengkulmu! Pegang! Celupkan

tanganmu ke dalam tempat ini! Ayo, coba celupkan

tanganmu!" perintah itu mendesak dan membuat pemilik

kedai menurutinya karena takut.

Tangan pemilik kedai dicelupkan ke dalam kendil

berisi tuak. Perempuan itu tidak merasa kepanasan,

bahkan agak lama merendamkan tangan ke dalam

kendi!.

"Tidak panas, Kang. Dingin begini kok dibilang

panas?"

Lelaki berkumis tertegun bengong melihat tangan

perempuan keriput itu direndam di dalam kendil berisi

tuak. Di sisi lain, Suto tetap diam, tapi dalam hatinya ia

tertawa geli melihat kepongahan lelaki berkumis.

"Coba...!" kata lelaki itu. Tangan pemilik kedai

diangkat, tangan lelaki itu masuk ke dalam kendil.

"Aaauh...!" ia memekik keras. Lelaki itu cepat angkat

tangannya keluar dari kendil. Tangan itu mengepul.

Jarinya bengkak lebih besar dan berwarna kemerah-

merahan. Pemilik kedai pun belalakkan mata dengan

rasa heran dan takut. Begitu pula orang lain yang ada di

situ. Hanya Suto yang tetap tenang dan tak perhatikan

hal itu.

Suto tahu, bahwa dirinya sedang dicurigai oleh lelaki

berkumis tebal. Tapi Suto juga tahu, bahwa lelaki itu

tidak punya alasan untuk bikin persoalan dengan Suto.

Sebagai pelampiasan kemarahannya, lelaki berkumis itu

segera menampar wajah pemilik kedai sambil berkata,

"Pasti kamu yang bikin usil. Hihh...!"

Tap...! Tangan yang berkelebat mau menampar pipi

pemilik kedai itu jadi terhalang oleh bumbung tuak yang

disodokkan Suto. Barulah saat itu lelaki berkumis

menggeram dengan mata melotot bagai ingin menelan

Suto bulat-bulat.

"Kau mau unjuk diri di kampung ini, hah? Kau belum

tahu kondangnya Singo Bodong ini!" sambil lelaki

berkumis menepuk dadanya sendiri dengan tangan kiri.

"Kenalkan, kalau kamu mau tahu, aku inilah Singo

Bodong, tukang beset kulit manusia!"

Suto tersenyum-senyum saja. Singo Bodong menjadi

semakin geram.

"Rupanya kau perlu diberi pelajaran sedikit, Anak

Ingusan!"

Tangan kiri Singo Bodong berkelebat meluncurkan

pukulan ke wajah Suto. Tapi dengan cepat Suto

merundukkan kepala dan tangannya berkelebat

menghantam iga Singo Bodong menggunakan punggung

telapak tangan. Plook...!

Tubuh Singo Bodong mental lebih dari lima langkah

jauhnya. Padahal hanya mendapat pukulan ringan dari

punggung tangan Suto yang kiri. Tapi menurutnya

pukulan itu melebihi serudukan tiga ekor kerbau.

Bukan hanya Singo Bodong, tapi setiap orang yang

ada di situ mulai menaruh curiga pada Suto. Pemuda

tampan itu pasti bukan orang sembarangan dan sudah

tentu berilmu tinggi. Karena itu ketika Singo Bodong

berdiri sambil menyeringai, ia segera mundur beberapa

pijak dengan rasa takut.

"Apa yang mau kau sampaikan padaku?" tanya Suto.

"Hammm... hmmm... anu... tidak. Eh, anu... maaf.

Maafkan aku, Satria gagah...!"

"Namaku bukan Satria! Namaku Suto Sinting...!"

Suto memperkenalkan diri. Kebetulan ada orang yang

mendengarnya, yaitu lelaki berpakaian merah lusuh yang

tadi ikut makan di kedai itu. Lelaki tersebut segera

mendekati Suto dengan sopan.

"Mak.... Maksudnya, Tuan adalah... adalah Suto

Sinting, murid dari si Gila Tuak?"

"Betul. Dari mana kau tahu?"

"Mak.... Maksudnya... Tuan adalah Suto Sinting,

yang bergelar Pendekar Mabuk?"

"Betul!" sentak Suto jengkel. "Tahu dari mana

kamu?"

Orang kurus berpakaian merah itu menjawab dengan

masih gemetar.

"Tad... tadi, saya dengar ada orang yang bercerita

tentang diri Tuan Pendekar, menyebut-nyebut nama Suto

Sinting yang berilmu tinggi dan... dan si Gila Tuak yang

kesohor di rimba persilatan itu."

"Siapa yang menceritakan diriku?"

"Orangnya ada di rumah tetangga saya. Dia... dia

numpang bermalam di sana."

"Siapa yang menceritakan diriku? Itu

pertanyaannya!"

"O, anu... anu... namanya saya tidak tahu. Tapi dia

banyak cerita pada keluarga tetangga saya tentang

kehidupan di rimba persilatan. Dia... dia jagoan

perempuan. Cantik dan montok. Eh... anu... maksud

saya... dadanya... anu...!"

"Jagoan perempuan? Cantik dan montok?"

"Bet... betot, eh... betul!"

"Memakai pakaian kuning?"

"Iya!"

"Hmmm... Peri Malam ada di sini rupanya!" pikir

Suto, lalu ia berkata kepada orang itu, "Antarkan aku

menemuinya!"

"Ba... ba... baik!"

*

* *