Chereads / Pendekar Mabuk / Chapter 23 - 003.Pendekar Mabuk - Darah Asmara Gila Eps23

Chapter 23 - 003.Pendekar Mabuk - Darah Asmara Gila Eps23

Episode 23

DIRGO Mukti segera kibaskan tangan kanannya ke

arah Suto. Dengan cepat Suto meraih bumbung dari

punggung dan halangkan bumbung ke depannya.

Craap...!

Sebuah pisau kecil bertali rumbai merah dari benang

sutera menancap di bumbung tersebut. Pisau itu

kepulkan asap sedikit. Setelah itu Suto cabut pisau kecil

itu dan membuangnya dengan seenaknya ke samping.

"Untuk apa kau pamerkan mainan anak kecil itu? He

he he...!" Suto melompat turun dari atas batu, melangkah

dengan sedikit limbung. Bukan karena pengaruh pisau

kecil tadi, tapi karena sejak tadi rupanya ia sudah cukup

banyak minum tuak dan sedikit mabuk. Tapi matanya

belum sayu, hanya sedikit merah di tepiannya.

Dirgo Mukti terkejut melihat kenyataan yang ada.

Rasa herannya makin bertambah setelah melihat pisau

itu dibuang seenaknya oleh Suto ke samping kanan dan

mengenai sebongkah batu. Batu itu pecah dengan

menimbulkan bunyi yang pelan.

"Bisa menangkis lemparan pisauku saja sudah

termasuk hebat, apalagi bisa mengisi pisau itu dengan

tenaga dalamnya hingga bikin batu itu pecah tanpa suara,

jelas lebih hebat," kata Dirgo di dalam hatinya yang

terkagum-kagum. "Mestinya bambu itu pecah meledak

ketika tertancap pisauku, tapi mengapa kali ini tidak?

Hmmm... siapa sebenarnya orang ini?! Aku belum

pernah jumpa dengannya."

Lain lagi kata hati Peri Malam saat melihat kenyataan

itu.

"Pemuda tampan itu benar-benar hebat. Rasa-rasanya

inilah kesempatan yang baik untuk menghajar Dirgo

Mukti. Kuadu saja Dirgo dengan murid sinting Gila

Tuak itu. Pasti Dirgo tak akan berani menggangguku

lagi, dan aku tak perlu terlibat bentrokan dengan Dirgo,

sesuai pesan Guru."

Langkah gontai Suto menuju ke arah Peri Malam.

Perempuan itu sengaja mendekat untuk memancing

kemarahan Dirgo.

"Siapa kau sebenarnya, sehingga berani mengusik

urusanku dengan Peri Malam, hah?!" Dirgo Mukti

menyentak dengan melangkah setindak ke samping

kirinya. Kini Suto dan Peri Malam sama-sama berdiri

berjajar menghadap Dirgo Mukti.

Saat itu, Suto menyuruh Peri Malam untuk menjawab

pertanyaan Dirgo itu, "Jelaskan padanya siapa aku. Kau

pasti tahu!"

Tanpa banyak ragu, Peri Malam pun berkata dengan

suara jelas.

"Dia adalah Suto Sinting, murid si Gila Tuak yang

punya julukan Pendekar Mabuk."

"Nah, sudah jelas?" tanya Suto pada Dirgo Mukti

dengan mengejek sinis.

Dirgo Mukti diam. Tapi batinnya berkata, "Murid Si

Gila Tuak...?! Oh, ya... aku kenal nama si Gila Tuak,

tapi belum pernah bertemu satu kali pun. Guru memang

pernah cerita tentang si Gila Tuak, tokoh sakti yang

namanya ada di papan atas dunia persilatan. Lalu, apa

urusannya Suto Sinting ini dengan Peri Malam? Apakah

dia kekasihnya Peri Malam? Kalau begitu, dia adalah

musuh utamaku dalam merebut hati Peri Malam!"

Sebenarnya hati Dirgo Mukti mulai ciut begitu

mendengar Suto adalah murid si Gila Tuak. Tapi karena

ia menganggap Suto adalah kekasih Peri Malam,

keberaniannya kembali menyala-nyala. Bahkan dengan

beraninya dia berucap kata kepada Suto.

"Kita perlu beradu nyawa, Suto! Jangan kamu sangka

Manusia Sontoloyo tak berani menghadapi murid sinting

si Gila Tuak. Demi mempertahankan kehormatan cinta,

mari kita tentukan nyawa siapa yang berhak hidup

berdampingan dengan Peri Malam!"

"Kau menantangku, Dirgo?!"

"Ya!"

Dirgo Mukti segera mencabut senjatanya, kapak dua

mata. Sambil cabut senjata Dirgo Mukti berseru,

"Lekas, cabut senjatamu, Suto! Aku ingin tahu

apakah senjatamu bisa mengalahkan Kapak Kebo Geni-

ku ini!"

"Jangan...."

Peri Malam menyahut, "Ya, jangan di sini! Memang

sebaiknya jangan di pantai ini."

Suto terbengong lagi dan ingin berkata kepada Peri

Malam, tapi selalu didahului oleh Dirgo Mukti.

"Baik. Di mana tempatnya terserah dirimu, Sutol Di

mana pun tempatnya aku siap mengadakan pertarungan

berdarah denganmu, demi mendapatkan cinta Peri

Malam!"

Suto tarik napas, tahan rasa dongkol atas

kesalahpahaman itu. Kali ini ia ingin bicara lagi tapi

selalu disahut Peri Malam.

"Maksudku begini, Dirgo...."

"Soal tempat pertarungan, silakan kau yang

menentukan," kata Peri Malam. "Kapan waktunya,

silakan pilih sendiri. Karena kau yang menantang

pertarungan, maka kau yang tentukan segalanya."

"Baik! Aku suka dengan ketegasan seperti itu!" kata

Dirgo Mukti. "Kita tentukan pertarungan kita di Bukit

Jagal, dua purnama mendatang! Jika kau memang murid

si Gila Tuak, kau pasti datang dalam dua purnama

mendatang di Bukit Jagal. Di sana aku sudah

menunggumu!"

Selesai bicara begitu, Dirgo Mukti jejakkan kaki dan

melesat pergi secepat kilat. Suto tak sempat lagi ucapkan

kata apa pun. Ia hanya pandangi gerakan Dirgo Mukti

yang melesat lincah bagaikan terbang dari batu ke batu

lainnya.

Peri Malam juga ikut pandangi kepergian Dirgo

Mukti sambil hamburkan tawa mengikik geli bagaikan

kuntilanak pulang pagi.

"Kik kik kik..,, hatinya pasti robek tercabik-cabik

olah kemunculanmu, Suto! Biar tahu rasa dia. Berulang

kali dia ganggu aku dengan rayuan-rayuan yang bikin

aku muak dan mau muntah, seperti orang habis telan

anak tikus. Hik hik hik...!"

Suto tidak ikut hamburkan tawa. Senyum pun

tersimpan dalam sisi kejengkelan hati. Sekarang saatnya

dia bisa bicara apa yang ingin dia bicarakan sejak tadi.

"Apa maksudmu menyambung ucapanku dengan

yang tidak benar begitu?"

"Apakah maksudmu bukan seperti yang kukatakan

tadi?" Peri Malam berlagak bodoh.

"Aku tidak ingin bertarung melawannya!"

"O, kalau begitu aku salah duga tadi!"

"Memang salah!"

"Maaf kalau begitu!'' ucap Peri Malam berlagak ketus

sambil melangkahkan kaki menuju bawah pohon mahoni

yang rindang itu.

Sampai di sana ia duduk. Matanya memandang Suto

yang masih berdiri dalam jarak sepuluh langkah.

Berdebar hati Peri Malam setiap menatap mata murid si

Gila Tuak itu. Gelisah jiwanya menerima rasa indah

yang mekar berbunga-bunga di dalam hatinya.

"Luar biasa daya pikatnya. Ingin aku tenggelam

dalam pelukannya. Ah, setan! Sulit sekali aku menolak

kehadiran bayangannya!" gerutu resah hati Peri Malam.

Suto menghentikan langkah tiga tindak ke depan Peri

Malam. Pandangan matanya tetap tertuju ke wajah Peri

Malam. Perempuan itu pun menatapnya dan berkata,

"Duduklah," sambil ia tepuk batu di sampingnya,

seakan menuntun agar Suto duduk di batu sebelahnya

itu.

"Aku sedang memikirkan tantangan Dirgo."

"Apakah kau takut?"

Suto masih berdiri. Kali ini ia tersenyum indah

mengarah pada wajah Peri Malam. Darah Peri Malam

bagai disedot naik ke ubun-ubun kepalanya hingga

dirinya terasa melayang-layang nikmat melihat

senyuman itu.

"Aku bukan takut kepadanya. Aku hanya benci

kesalahpahaman ini. Seharusnya kau tidak menyambung

kata-kataku seperti tadi. Aku tak mau bertarung

melawan orang yang tidak punya salah padaku."

"Tapi kau tadi menyerangnya."

"Itu sekadar mengingatkan sikapnya. Aku tak suka

melihat perempuan dibuat mainan, seperti kau tadi."

"Benar. Aku juga tidak suka dipaksa untuk menjadi

istrinya. Lebih tepat lagi, dia akan paksa aku melayani

nafsu birahinya. Apakah kau suka melihat perempuan

menderita begitu?"

"Tidak."

"Itulah sebabnya aku menyambung kata-katamu sejak

tadi."

"Apa maksudmu? Jelaskan!"

"Kalahkanlah dia, biar tidak semena-mena mengejar

cintaku karena merasa berilmu tinggi."

"Jadi aku harus bertarung dengan Dirgo?"

"Tak ada jalan lain untuk menyingkirkan cintanya."

"Kenapa tidak kau hadapi sendiri?"

"Pesan guruku, aku tak boleh memancing keributan

dengan Dirgo."

"Kenapa?"

"Tak dijelaskan oleh Guru," jawab Peri Malam.

"Kalau begitu, carilah pendekar lain untuk

menyingkirkan cintanya. Jangan aku!"

"Tak ada pendekar lain yang bisa membuat hatiku

terpikat. Tak ada lelaki lain yang bisa menumbuhkan

cinta di hatiku."

"Tapi aku juga tidak mempunyai cinta padamu."

Peri Malam bangkit dari duduknya, ia melangkah

lebih dekat. Jaraknya kurang dari satu langkah dari

depan Suto. Pandangan matanya lebih dalam menatap,

dan ucapannya lirih berkata,

"Anggap saja kau punya cinta padaku, supaya kau

mau singkirkan cinta Manusia Sontoloyo itu!"

"Mana bisa...?!" Suto angkat bahu. "Aku mempunyai

idaman hati sendiri."

"Untuk saat ini saja, anggap kau mencintaiku.

Singkirkan cintanya supaya kita bebas memadu kasih,

Suto."

"Mana bisa?! Aku tak pernah tahu hangatnya

pelukanmu."

Peri Malam dibuat gemas-gemas mesra. Kemudian,

dengan tanpa ragu dan tak mampu menahan gejolak

hatinya, ia dekatkan wajah ke pipi Suto. Lalu, sebuah

ciuman hangat melekat di pipi murid sinting si Gila

Tuak itu.

Ciuman yang kedua dari Peri Malam mendarat saat

Suto sedikit palingkan wajah. Karena Suto palingkan

wajah maka ciuman itu tidak melekat di pipi, melainkan

menyentuh di bibir Suto. Crupp...!

"Oh...?!" Peri Malam cepat undurkan wajah.

"Kenapa?"

"Terlalu hangat," jawab Peri Malam dalam bisik

tersekat. Lalu, ia sunggingkan senyum malu dan

tundukkan wajahnya. Terdengar suara tawa Suto mirip

gumam satria pujaan negara. Rambut perempuan itu

diusapnya dengan lembut. Terasa usapannya sampai

melingkupi permukaan hati Peri Malam. Begitu indah

dan mendebarkan.

Pelan-pelan Peri Malam angkatkan wajahnya, lalu

berucap lirih.

"Tak inginkah kau mengulang ciuman tadi?"

"Mana bisa?"

"Kenapa tidak bisa?"

"Karena ada sepasang mata yang memperhatikan

kita."

Terkesip Peri Malam seketika, ia segera palingkan

muka ke belakang, dan ternyata di sana sudah berdiri

seorang perempuan berpakaian merah dadu dengan

rambut digulung naik ke atas.

Cepat-cepat Peri Malam jauhkan jarak dengan Suto

Sinting. Wajah Peri Malam menjadi berang, ia

layangkan pandang mata bencinya ke wajah perempuan

yang berdiri antara sepuluh tindak darinya itu.

"Keparat!" geram Peri Malam, ia naikkan suara, "Kau

belum jera juga mengusik pribadiku, Selendang

Kubur?!"

"Justru sekarang urusan kita sudah lebih pribadi, Peri

Malam!" kata Selendang Kubur dengan suara dingin

memercikkan benci. Sikapnya berdiri menandakan

dirinya telah siap bertempur mengadu nyawa dengan

Peri Malam.

*

* *