Episode 21
SEMAK belukar di dalam hutan bagai dihempaskan
oleh angin ribut, sementara alam berdiam tenang.
Hembusan angin sepoi-sepoi menghadirkan semilir
segar. Tapi dedaunan belukar itu menjadi rontok dan
rubuh bagai dilanda topan sejurus.
Kecepatan seseorang berilmu tinggi dalam larinya
mampu membuat dedaunan gugur. Kecepatan orang
yang berlari ini ternyata masih ditambah lagi kecepatan
orang yang mengejar di belakangnya. Napas-napas
terengah berat terdengar jelas. Engahan napas itu
berhenti ketika orang yang berlari cepat tiba di tepian
sungai berbatu-batu terjal.
Tubuh kurus bermata cekung dengan rambut panjang
acak-acakan itu akhirnya melompat dengan
menggunakan ilmu peringan tubuhnya. Sungai yang
lebar itu dilaluinya dengan sekali bersalto, hingga di
salah satu pucuk batu, melenting lagi dan bersalto
kembali, hinggap di batu yang lain. Begitu seterusnya
sampai orang kurus kering berjenggot kelabu itu tiba di
seberang sungai. Sampai di sana tubuhnya rubuh juga
karena kelelahan.
Sementara itu dari tempat munculnya orang kurus itu
muncul juga orang sedikit gemuk, berkumis tebal
dengan cambang tipis. Orang itu bermata kecil agak
sipit, namun berkesan bengis. Dia tak lain adalah Datuk
Marah Gadai yang sedang mengejar musuhnya yang
kurus kering itu, tak lain adalah Cadaspati.
Dari seberang sungai Datuk Marah Gadai berseru
lantang,
"Cadaspati! Ke mana pun kau lari pasti akan kukejar
dan kudapatkan! Ingat, kau terluka oleh pukulanku dan
tak akan sanggup berlari lebih jauh lagi! Sebaiknya,
serahkan saja benda itu padaku supaya aku bisa
menyembuhkan lukamu!"
Cadaspati yang disangka telah berhasil membawa lari
Pusaka Tuak Setan itu hanya menggeram dari
tempatnya, ia mencoba bangkit dengan terhuyung-
huyung karena menahan luka. Lalu, ketika ia melihat
Datuk Marah Gadai memetik dua lembar daun jati muda,
mata Cadaspati semakin tegang.
Dua lembar daun jati yang masih muda itu
dilemparkan ke sungai. Datuk Marah Gadai segera
menggunakan ilmu meringankan tubuhnya, dan
melompat ke arah daun itu. Kini dua telapak kakinya
berdiri di atas dua lembar daun jati yang tetap
mengambang di air walau mendapat beban seberat tubuh
Datuk Marah Gadai.
"Hiaaat...!" Datuk Marah Gadai sentakkan kaki
kanannya dengan kedua tangan mengeras diangkat ke
atas. Dua lembar daun jati itu meluncur terbang
melintasi sungai dengan membawa tubuh Datuk Marah
Gadai di atasnya. Wuusss...!
Melihat lawannya terbang cepat ke arahnya,
Cadaspati mengerahkan sisa tenaganya. Satu tangannya
yang tidak ikut terluka, yaitu tangan kirinya, merapat di
ketiak dan telapak tangan itu menghadap ke depan.
Tangan tersebut dihentakkan dengan sebuah teriakan.
'"Guntur Colok Sukma'...!"
Dari telapak tangan itu meluncur keluar sinar merah
membara yang sebenarnya kumpulan dari jarum-jarum
yang menyala bara. Ratusan jarum merah itu melesat ke
arah Datuk Marah Gadai. Secepatnya kaki Datuk Marah
Gadai sentakkan diri di atas lembar daun jati, lalu
tubuhnya melenting tinggi dan berjungkir balik di
angkasa. Wuugh, wuugh...!
Gerombolan jarum merah itu melesat menghantam
dua lembar daun jati yang telah kosong itu. Daun
tersebut hanya bergerak sedikit, lalu berubah menjadi
serpihan-serpihan kering tak berwarna hijau lagi,
melainkan abu-abu.
Ilmu 'Guntur Colok Sukma' milik Cadaspati melesat
dengan sia-sia. Sebab kejap berikutnya tubuh Datuk
Marah Gadai sudah berdiri di depan Cadaspati dengan
berangnya. Meski kecil tapi mata itu memandang
setajam pisau cukur, membuat Cadaspati yang
menyadari keadaannya terluka menjadi sedikit waswas.
"Cadaspati!" kata Datuk Marah Gadai dengan suara
geram angker. "Tak akan ada orang yang bisa
menyembuhkan lukamu selain aku. Jadi, sekarang juga
serahkan Pusaka Tuak Setan itu padaku. Kau akan
kusembuhkan!"
"Persetan dengan omonganmu, Datuk Marah Gadai!
Berulangkali sudah kukatakan, aku tidak memiliki
pusaka itu!"
"Kau telah menyelam di dalam Telaga Manik Intan!"
"Aku mandi di sana!"
"Adakah orang mandi tanpa melepas pakaian?!"
senyum sinis Datuk Marah Gadai membuat Cadaspati
menjadi semakin benci. Orang berpakaian abu-abu itu
hanya membatin,
"Sial amat nasibku! Menyelam di telaga mencari
sampai lama tapi pusaka itu tidak kudapat. Sekarang
malahan aku dituduh membawa Pusaka Tuak Setan itu!
Repotnya lagi, orang kuat ini tidak mau percaya dengan
kata-kataku. Sepertinya aku memang harus bertempur
habis-habisan dengannya untuk membuktikan bahwa
aku tidak membawa Pusaka Tuak Setan!"
Maka dari kantong jubahnya di bagian belakang,
Cadaspati pun mengeluarkan senjatanya yang berupa
cambuk tiga lidah. Cambuk itu terdiri dari tiga tali satu
gagang. Setiap tali mempunyai ujung bersenjata. Dua
tali berujung senjata seperti pisau kecil, satu tali
berujung bola besi berduri berukuran sebesar jeruk
peras. Panjang masing-masing tali sama, tapi warna
talinya berbeda, yaitu merah, hitam, dan putih. Cambuk
yang bertali putih itulah yang berujung bola besi baja
berduri.
"Datuk Marah Gadai!" geram Cadaspati dengan mata
dinginnya. "Untuk membuktikan kebenaran kata-kataku,
aku siap bertarung denganmu sampai habis nyawaku!"
"Bagus!" kata Datuk Marah Gadai sambil tersenyum
sinis. "Jangan sangka aku takut melihat cambuk sapimu
itu! Buktikan dengan nyawamu bahwa kau memang
tidak memiliki pusaka itu, biar puas hatiku."
"Bersiaplah menerima kematianmu sendiri, Datuk
Busuk!" geram murid Malaikat Tanpa Nyawa yang telah
kehilangan ilmu 'Inti Neraka'-nya itu (Baca serial
Pendekar Mabuk dalam episode: "Bocah Tanpa Pusar").
Dengan gerakan amat cepat, tangan kiri yang
memegangi cambuk itu melecut ke depan, ke arah tubuh
Datuk Marah Gadai. Satu kali lecutan, tiga cambuk
mengeluarkan nyala api yang berbeda-beda. Nyala api
itu memercik dan menimbulkan suara menggelegar
bagai hendak meruntuhkan langit. Blaarrr...!
Glegeerrr...!
Tepian sungai berguncang bagai dilanda gempa
sekejap. Bebatuan retak dalam jarak sepuluh langkah
dari tempat lecutan cambuk. Tubuh Datuk Marah Gadai
pun terpental ke samping membentur batu. Lengan
kirinya koyak dan berdarah. Bukan karena terkena
lecutan cambuk, melainkan karena robek terkoyak
pecahan batu runcing yang dijadikan tempat benturan
tubuhnya.
"Jahanam...!" geram Datuk Marah Gadai dengan
semakin beringas, ia pun segera mencabut pedangnya
yang bersarung logam perak berukir itu. Pedang
sepanjang ukuran lengan orang dewasa itu dihunus
dengan gerakan cepat. Srettt...!
Duueerr...!
Lepasnya pedang dari sarungnya saja sudah
menimbulkan suara ledakan menggelegar. Gerakan
mencabut pedang itu menimbulkan gelombang
bertenaga dalam cukup dahsyat, sehingga sebongkah
batu berukuran sebesar bocah usia sepuluh tahun itu
terlempar ke arah Cadaspati bersama batu-batu kecil
lainnya.
Cambuk tiga lidah dilecutkan di udara, kilatan
cahayanya yang keluar dari masing-masing ujung
cambuk membentur batu yang melayang dan membuat
beberapa batu besar itu pecah tanpa suara. Tinggal
bebatuan kecil yang terus melayang dan menghujani
tubuh Cadaspati.
Orang kurus murid Malaikat Tanpa Nyawa itu
terdorong ke belakang beberapa tindak, karena batu-batu
itu rupanya mempunyai kekuatan tenaga dalam yang
lumayan, dan selain menerpa tubuh juga mendorong
tubuh ceking itu dengan satu sentakan beruntun. Tetapi
dorongan itu tidak membuat tubuh kurus Cadaspati
menjadi tumbang, ia masih bisa berdiri dan memandang
ke arah pedang Datuk Marah Gadai.
Pedang itu seperti baru diangkat dari perapian.
Berpijar merah membara, dengan disertai bau hangus di
sekelilingnya. Pedang yang menyerupai besi mau
ditempa itu segera bergerak menebas ke arah leher
Cadaspati walau masih dalam jarak antara lima langkah.
Tapi sekalipun pedang itu tidak sampai menyentuh
tubuh Cadaspati, lelaki bermata cekung itu
berjumpalitan menghindari gelombang panas yang
menyerangnya dengan cepat. Wuuus...
"Ahgh...!" Cadaspati terpekik tertahan. Kakinya
sempat tersapu hawa panas dari kibasan pedang tersebut.
Kaki itu menjadi lembek bagai habis tersiram bubur besi
panas. Cadaspati menyeringai. Kekuatannya semakin
berkurang.
"Kau masih tidak mau menyerahkan pusaka itu,
Cadaspati?!" Datuk Marah Gadai mengancam.
"Aku sudah tidak menganggap berurusan dengan
Pusaka Tuak Setan lagi. Aku sudah menganggap
berurusan denganmu karena aku harus menuntut balas
luka-lukaku, Bangsat! Hiaaat...!"
Blaaarrr...!
Kembali tepian sungai diguncang gempa sekejap,
karena cambuk tiga lidah dilecutkan ke arah tubuh Datuk
Marah Gadai. Tubuh itu juga kembali terpental lima
tindak ke samping belakang. Brukkk...! Datuk pun rubuh
dengan tangan masih mencoba menopang badan di atas
sebuah batu hitam.
Keadaan Datuk Marah Gadai yang setengah
tengkurap itu membuat Cadaspati mempunyai
kesempatan emas untuk melecutkan cambuknya ke
punggung Datuk Marah Gadai, Maka, dengan cepat
Cadaspati lecutkan cambuk itu ke arah punggung dalam
satu pekikan membunuh.
"Hiaaaht...!"
Wuuuttt...! Blaarrr...!
Glegaarrr...!
Gemuruh suara gempa di tepian sungai. Batu-batu
pecah dengan sendirinya, karena pada saat cambuk
melesat, Datuk Marah Gadai kibaskan pedangnya ke
atas. Tiga cambuk ditangkisnya. Benturan dua senjata itu
menimbulkan gelegar keras yang mengguncang bumi.
Tiga cambuk itu putus seketika oleh pedang milik Datuk
Marah Gadai yang jarang digunakan jika bukan dalam
keadaan sangat terpaksa. Putusnya cambuk tiga lidah
itulah yang membuat timbulnya gemuruh mengguncang
bumi.
Tubuh kurus kering itu terlempar ke atas bagai
mendapat sentakan kuat sekali dari dasar bumi. Tubuh
itu melayang dan berusaha mendarat ke tanah dengan
kedua kakinya. Tetapi, Datuk Marah Gadai berteriak
keras dan panjang.
"Hiaaat...!"
Ia jejakkan kaki ke tanah, dan tubuhnya pun
melenting tinggi ke arah turunnya tubuh Cadaspati.
Dalam keadaan mengadu raga itu, Datuk Marah Gadai
sentakkan pedangnya ke depan. Wuuutttt...! Crasss...!
"Aaahg...!" terdengar suara pekik tertahan dari
Cadaspati.
Bluukk...! Tubuhnya jatuh ke tanah seperti nangka
busuk jatuh dari atas pohon. Tubuh itu menyala merah
bagaikan terpanggang api yang amat panas. Bekas luka
tusukan pedang di dadanya tampak menganga lebar dan
membara. Cairan yang keluar bukan seperti darah,
namun seperti magma gunung berapi.
Tubuh murid Malaikat Tanpa Nyawa itu tersentak-
sentak di tanah tanpa suara. Nyala bara yang bagai
membakar bagian dalam tubuh itu lama-lama meredup.
Lalu, hilang sama sekali. Yang tinggal hanya sisa
bangkai tak bernyawa, mengepulkan asap sisa
pembakaran. Namun pakaiannya masih utuh, tak ikut
terbakar atau terpanggang api sedikit pun.
Datuk Marah Gadai berdiri tegak di samping mayat
Cadaspati. Napasnya terengah satu kali. Pedangnya yang
merah membara masih digenggam di tangan kanannya.
Kemudian pedang itu segera dimasukkan ke dalam
sarungnya. Sreett...! Wuugh...! Bunyinya cukup
menggidikkan.
Tanp menunggu lama-lama, Datuk Marah Gadai
segera menggeledah pakaian mayat yang hitam berasap
itu. Sampai beberapa saat ia menggeledah, akhirnya
menyentakkan makian dengan nada kemarahan.
"Jahanam busuk! Ternyata dia tidak mempunyai
Pusaka tuak Setan! Babi buntung! Kalau tahu dia benar-
benar tidak membawa Pusaka Tuak Setan, tak sudi aku
mengejar-ngejarnya sampai mencabut pedang pusakaku!
Puih...!"
Datuk Marah Gadai berdiri tegak sambil bertolak
pinggang dengan wajah memendam sejuta kekecewaan
yang bercampur kedongkolan hati. Ia memandang
sekeliling sambil berkata dalam batinnya.
"Kalau begitu, Pusaka Tuak Setan benar-benar masih
ada di dalam telaga tersebut. Atau, mungkinkah sudah
diambil oleh murid si Gila Tuak yang masih ingusan
itu?! Hmmm... kalau begitu aku harus mencoba
mencarinya di dalam dasar telaga itu. Jika memang tidak
kutemukan Tuak Setan di sana, aku akan memburu
murid si Gila Tuak yang konyol itu!"
Datuk Marah Gadai melirik ke satu arah. Ada sesuatu
yang ia curigai di balik tiga batang pohon pisang di
bagian atas tanggul sungai, ia yakin di sana ada orang.
Maka, ia sentakkan tangannya ke sana, ia kirimkan
pukulan jarak jauhnya yang membuat tiga batang pisang
itu jebol dan tumbang berentakan dalam sekejap.
Dari balik tiga batang aisang yang tumbang itu
muncul sesosok tubuh yang melesat dengan lincahnya
menghindari pukulan tadi. Tubuh itu mendaratkan
kakinya tak jauh dari Datuk Marah Gadai, berjarak
antara tujuh langkah, ia berpakaian kuning kunyit dan
berparas cantik menarik. Siapa lagi kalau bukan paras
cantik milik Peri Malam.
"Rupanya kau yang mau membokongku dari
belakang, Peri Malam!" tuduh Datuk Marah Gadai yang
sudah mengenal perempuan itu.
"Jaga mulutmu, Datuk!" sentak Peri Malam. "Tak ada
watak dalam diri Peri Malam untuk membokong
seseorang dari belakang!"
"Jadi kau minta dari depan?" sambil senyum nakal
Datuk Marah Gadai terlihat jelas. Tapi mendapat
sambutan sinis dari Peri Malam.
"Tua bangka tak tahu adat!" geram Peri Malam tak
takut sedikit pun. Mungkin karena ia tahu, Datuk Marah
Gadai pernah lari terbirit-birit ketika melawan gurunya,
jadi sikap Peri Malam pun menjadi sangat berani pada
lelaki yang usianya jauh lebih tua darinya itu.
"Lantas apa maksudmu mengintai dari balik pohon
itu?"
"Aku hanya ingin tahu apa yang terjadi di sini,
sampai timbulkan guncangan hebat pada bumi. Rupanya
kau sedang pamer ilmu dan kesaktianmu pada tikus
ceking ini!"
"Jadi, kau tak ada urusan apa-apa denganku?"
"Ada baiknya kita mengurus diri kita masing-masing,
Datuk. Itu pun belum tentu kita becus, apalagi mau
mengurus diri orang lain!" kata Peri Malam dengan
ketusnya.
"Kalau begitu, aku pun harus pergi secepatnya,
sebelum segalanya menjadi terlambat!" Datuk Marah
Gadai pun menjejakkan kakinya ke tanah dan kejap
berikutnya ia telah melesat bersalto naik dan sampai di
tepi tanggul. Kemudian ia melompat hilang tanpa peduli
dengan seruan Peri Malam yang mengecamnya dengan
kalimat.
"Tak akan bisa kau menguasai tanah Jawa, Marah
Gadai...!"
Peri Malam mencibir sinis, ia tahu, bahwa Datuk
Marah Gadai sangat bernafsu sekali untuk menjadi
penguasa rimba persilatan di seluruh tanah Jawa. Tetapi
Peri Malam yakin, cita-cita Datuk Marah Gadai itu tak
akan berhasil, karena lelaki itu belum bisa mengalahkan
gurunya. Apalagi sebentar lagi Peri Malam akan
menyerahkan Pusaka Tuak Setan kepada gurunya. Sudah
pasti semua orang sakti di rimba persilatan tanah Jawa
ini akan disapu habis oleh gurunya dengan kekuatan
maha dahsyat yang dinamakan kekuatan 'Napas Tuak
Setan'.
Sebenarnya perempuan berhidung bangir dengan tahi
lalat di sudut dagu kanannya yang membuatnya cantik
itu ingin segera meninggalkan mayat hangus itu. Namun
tiba-tiba langkahnya terhenti karena tahu-tahu seorang
lelaki tua berselempang kain putih dengan rambut
panjang putih meriap, telah berdiri dan menghadang
langkahnya.
Orang tua renta berbadan kurus itu memandang sedih
pada mayat Cadaspati, kemudian memandang dendam
pada Peri Malam. Tongkatnya digenggam kuat-kuat
ketika ia berkata dengan nada datar.
"Perawan kencur! Cukup tinggi ilmumu sampai bisa
menewaskan adikku Cadaspati!"
Peri Malam kerutkan dahi. Ia tidak kenal siapa orang
itu. Ia tidak tahu, bahwa orang tua berkumis tipis dengan
badan kurus kering itu adalah kakak dari Cadaspati yang
bergelar Peramal Pikun. Peri Malam hanya tahu, bahwa
orang yang dihadapannya jelas tokoh tua yang tidak
enteng ilmunya. Namun Peri Malam tidak merasa gentar
jika harus bertarung dengan tokoh tua itu.
"Siapa kau, Bandot?! Mengapa sikapmu bermusuhan
denganku? Tidak tahukah kau bahwa aku adalah murid
si Mawar Hitam yang tersohor itu?!"
"Aku tahu! Aku kenal si Mawar Hitam yang diam di
Pulau Hantu. Dan aku tahu kau adalah muridnya yang
bernama Sundari, yang berjuluk Peri Malam!"
"Bagus kalau kau tahu semuanya!" kata Peri Malam.
"Lalu, apa maksudmu menghadang langkahku. Bandot
Tua?!"
"Menuntut balas kematian adikku!"
"Buka matamu lebar-lebar, Bandot Tua! Buka juga
telingamu yang kopok itu! Jangan salah kau menuntut
balas atas kematian tikus sawah itu padaku!"
"Jaga mulutmu jika tak ingin kutumbuk dengan
tongkat ini! Hih...!"
Cepat sekali Peramal Pikun sentakkan ujung
tongkatnya ke mulut Peri Malam. Tapi tangan
perempuan itu pun tak kalah cepat kibaskan ke samping
untuk menangkis tongkat itu. Trrak...! Terdengar bunyi
bagaikan kayu besi saling beradu.
"Boleh juga kekuatan tenaga dalamnya, sampai suara
tongkatku gemeretak ditangkisnya," batin Peramal
Pikun. "Tangannya sudah terlatih menjadi baja dalam
serentak. Tak sia-sia gadis kencur ini menjadi murid si
Mawar Hitam!"
Sementara itu, Peri Malam pun membatin, "Tinggi
juga ilmu tenaga dalamnya. Pasti yang ia salurkan lewat
tongkatnya tadi hanya sebagian kecil. Kalau tidak ada
tenaga dalam tersalur di tongkatnya, pasti tongkat kayu
itu telah patah! Tanganku sempat merasakan linu sedikit
di bagian pergelangannya."
Peramal Pikun masih tetap memandang dingin
dengan wajahnya yang biasanya cengar-cengir menjadi
bengis. Itu pasti disebabkan hatinya berkabung atas
kematian adiknya. Bahkan dengan datar pula ia berkata
kepada Peri Malam.
"Jangan kau mengelak dari tuntutan dendamku, Peri
Malam! Hutang nyawa harus dibalas dengan nyawa.
Hutang darah dibalas dengan darah. Tak ada sempat lagi
untuk tertawa, karena sebentar lagi nyawa dan ragamu
akan terpisah."
Kata-kata itu disepelekan oleh Peri Malam. Bibir
manis itu mencibir, bikin hati Peramal Pikun makin
getir.
"Jangan bikin persoalan denganku, kalau raga tuamu
tak ingin dipatah-patahkan oleh guruku!"
Genggaman tangan Peramal Pikun pada tongkatnya
semakin kuat dan gemetar, ia pun menggeram,
"Persetan dengan gurumu! Kalau perlu kutumbuk
lumat sekalian dengan tongkatku, hiaah...!"
Wuusss...! Tongkat dikibaskan menghantam kepala
Peri Malam. Tapi dengan cepat perempuan itu
tundukkan kepala. Tongkat menebas udara bebas. Peri
Malam segera hantamkan tangannya ke wajah Peramal
Pikun.
Taapp...! Pukulan menggenggam yang dialiri tenaga
dalam oleh Peri Malam itu ditahan dengan telapak
tangan Peramal Pikun. Telapak tangan itu akan patah
jika tanpa dialiri tenaga dalam yang cukup tinggi.
Satu tangan Peramal Pikun yang memegang tongkat
siap menyodokkan tongkatnya ke perut Peri Malam.
Tapi tiba-tiba sekelebat bayangan coklat menerabas di
pertengahan kedua tangan yang saling beradu kekuatan
tenaga dalam itu. Prasss...!
Kedua orang tersebut terjengkang ke belakang bagai
sama-sama habis diseruduk kerbau liar. Mereka sama-
sama bergegas bangkit dan siap saling adu tenaga dalam
lagi. Tapi sebuah suara berseru dari sisi samping mereka.
"Tahan!"
Keduanya saling palingkan wajah memandang
pemuda berpakaian coklat itu. Peri Malam terperanjat,
namun cepat sembunyikan rasa kaget. Peramal Pikun
menyipitkan mata dan berkata, "Lagi-lagi kamu mau ikut
campur urusanku, Suto!"
Suto Sinting tersenyum menyeringai, lalu berkata,
"Mana imbang, tokoh tua seperti kamu melawan dara
cantik macam dia, Peramal Pikun?!"
"Peduli apa dengan cantiknya dia! Aku harus
menuntut balas atas kematian adikku di tangan dia,
Suto!"
Peri Malam menukas kata, "Bukan aku
pembunuhnya!"
"Kalau bukan kau, siapa?! Yang ada di sini hanya kau
dan mayat adikku!" sentak Peramal Pikun.
"Datuk Marah Gadai yang membunuh adikmu,
Bandot Tua! Aku hanya menjadi penonton saja! Dia
pergi ke selatan sebelum kau datang dari utara!" suara
Peri Malam terdengar lantang juga.
"Nah, kau dengar sendiri, Peramal Pikun!" kata Suto.
Peramal Pikun agak sangsi, ia masih menatap tajam
pada Peri Malam. Lalu, ia perdengarkan suaranya yang
kembali datar.
"Jangan kau coba-coba mengelabui pikiranku, Peri
Malam!"
"Bangunkan mayat adikmu, dan tanyalah sendiri
padanya!"
Setelah berkata begitu, Peri Malam sentakkan kaki.
Tubuhnya melesat tinggi dan bersalto satu kali. Dalam
kejap berikutnya dia sudah ada di atas tanggul sungai,
kemudian melesat pergi dengan satu lompatan bertenaga
dalam yang membuatnya cepat menghilang dari
pandangan mata Peramal Pikun maupun Suto Sinting.
Setelah meneguk tuaknya dua kali, Suto pun berkata,
"Kurasa apa yang dikatakan memang benar, Peramal
Pikun! Bukankah Datuk Marah Gadai sejak dari tepi
telaga sudah mengejar adikmu yang kini jadi bangkai
ini? Aku yakin bukan perempuan itu yang membunuh
adikmu, Peramal Pikun."
"Kalau begitu, akan kucari Datuk Marah Gadai untuk
bikin perhitungan pribadi denganku!"
"Terserah kau, Peramal Pikun. Tapi tolong jelaskan
padaku, siapa perempuan beringas tadi, Peramal Pikun?
Kau pasti mengenalnya."
"Peri Malam," jawab Peramal Pikun. "Dia murid
nenek peot yang bergelar si Mawar Hitam, yang
menguasai Pulau Hantu. Dia tokoh tua yang sedang
menunggu saat terbaik untuk membalas dendam dengan
musuh bebuyutannya yang bergelar Bidadari Jalang."
Suto terperanjat sekejap. Tapi ia bisa lekas tenangkan
diri begitu mendengar nama bibi gurunya disebutkan.
"Mengapa ia bermusuhan dengan Bidadari Jalang?"
tanya Suto dengan rasa ingin tahu.
"Bidadari Jalang melukai hati si Mawar Hitam
semasa nenek itu masih muda dan jelita. Suami dari
Mawar Hitam yang berjuluk Pendekar Tanduk Dewa
direbut oleh Bidadari Jalang. Perkawinan itu menjadi
hancur karena ulah Bidadari Jalang. Itu sebabnya,
Mawar Hitam punya dendam pada Bidadari Jalang. Tapi
dendam itu tidak pernah kesampaian, karena ilmu yang
dimiliki Bidadari Jalang cukup tinggi, bahkan lebih
tinggi dibanding ilmu Mawar Hitam. Maka, Mawar
Hitam pun menyingkirkan diri dari rimba persilatan, ia
hanya akan muncul lagi jika sudah mendapatkan
kesaktian yang bisa menandingi Bidadari Jalang."
"Lalu, bagaimana dengan Pendekar Tanduk Dewa
itu?"
"Dia patah hati, merasa dipermainkan cintanya oleh
Bidadari Jalang, ia sudah tak mau lagi kembali pada
Mawar Hitam, ia mengasingkan diri di Gunung Tujuh
Batu, sampai sekarang tak pernah lagi muncul di
permukaan bumi."
Suto manggut-manggut mendengarkan penjelasan itu.
Semakin hari semakin banyak yang ia tahu tentang
kejelekan bibi gurunya, yang pada umumnya bertitik
tolak dari masalah cinta dan lelaki. Bahkan ia pun tahu
bahwa bibi gurunya itu punya urusan dengan Nyai Guru
Betari Ayu yang pernah menceritakan penyakitnya dan
mendendam kepada Bidadari Jalang. Betari Ayu
menyebut bibi gurunya Suto dengan julukan Racun
Biadab! Tapi Suto tetap berlagak tidak tahu menahu
tentang Bidadari Jalang.
"Suto, tak ada waktu lagi bagiku untuk berbincang-
bincang denganmu. Aku harus mengejar Datuk Marah
Gadai!"
"Tunggu sebentar, Peramal Pikun...!" cegah Suto.
"Aku tahu kau pandai meramal dengan bekal
pengetahuan dan pengalamanmu yang banyak. Tapi
bisakah kau mengetahui siapa perempuan yang bernama
Dyah Sariningrum itu?"
Peramal Pikun sentakkan mata, jadi melebar tegas.
Wajahnya yang tampak terkejut itu tiba-tiba segera
mengendur dan berkata, "Aku tidak tahu siapa dia!"
Suto tersenyum. "Aku tahu kau dusta padaku,
Peramal Pikun. Tolong sebutkan di mana orang yang
bernama Dyah Sariningrum itu berada, Peramal Pikun!"
Wajah tua itu tampak menggeragap, walaupun pada
akhirnya ia bersikap tenang dan berkata,
"Aku tak kenal nama perempuan itu. Aku tak tahu di
mana dia berada. Jangan tanyakan padaku, Suto!"
"Tapi mengapa telingamu berdarah!"
Peramal Pikun semakin kaget, ia pegang telinganya.
Ternyata dari lubang telinganya itu mengalir darah
kental yang segar. Tak begitu banyak, tapi cukup
membuat wajahnya makin pucat. Ada rasa takut yang
bersembunyi di balik wajah tuanya itu. Peramal Pikun
pun segera berkata, "Sekali waktu kita akan bertemu,
Suto!"
Setelah berkata begitu, Peramal Pikun melompat ke
atas tanggul sungai melalui pijakan batu di sampingnya.
Sebelum Suto bicara lagi, Peramal Pikun lenyapkan diri
dalam pengejarannya terhadap Datuk Marah Gadai.
Suto hanya membatin, "Apa sebab telinga Peramal
Pikun berdarah? Apakah ia mendapat serangan tenaga
dalam dari seseorang yang bersembunyi di sekitar sini?
Tapi menurut inderaku, tak ada orang di sekitar sini.
Hmmm... aku yakin, Peramal Pikun tahu persis siapa dan
di mana Dyah Sariningrum itu. Haruskah aku
mendesaknya? Oh, tidak! Aku tidak perlu mengejarnya
dulu. Aku lebih tertarik mengejar Peri Malam yang
cantik dan berdada sekal itu. Tapi... untuk apa aku
mengejarnya? Hanya sekadar menggoda kecantikannya
atau ingin bersahabat dengannya? Ah, tak tahu aku,
kenapa aku ingin mengejarnya!"
*
* *