Episode 18
PERAMAL Pikun pergi dengan berkelebat bagaikan
angin atau hantu siang hari. Suto tidak peduli lagi
dengan kepergian Peramal Pikun. Hasratnya untuk
mandi begitu kuat, tak bisa ditahan lagi. Bahkan
dalam hatinya ia berkata.
"Siapa tahu habis mandi bisa bertemu dengan
Dyah Sariningrum. Setidaknya bunga rindu di hati
yang belum pernah bertemu ini akan terpupus habis."
Suto mulai meletakkan bumbung tuaknya. Baru
sana ia mau membuka baju, tiba-tiba ia dikejutkan
oleh suara orang berlari cepat ke arahnya. Suto buru-
buru merapatkan bajunya kembali dengan wajah
celingak-celinguk penuh curiga.
Dari kerumunan semak di seberang telaga, muncul
sesosok tubuh berbaju merah dan bercelana hitam.
Suto menghempaskan napas dan menggeram jengkel
dalam hatinya.
"Kau membuatku terkejut, Paman Giri!"
Orang yang dipanggil sebagai Paman Giri itu tak
lain adalah Pujangga Kramat, manusia yang tak
pernah benar dalam bicaranya. Orang tersebut segera
mendekati Suto dan berkata dengan napas masih
terengah-engah.
"Itu perempuan desak aku! Desak aku itu
perempuan!"
"Paman ini mau ngomong apa kok desak-desakan
sama perempuan?"
"Itu perempuan,..!"
"Perempuan itu?" Suto tertawa dalam suara tawa
mabuknya yang terkekeh-kekeh. "Mengapa wajahmu
memar begitu, Paman? Ada apa, huk?"
"Ya, itu perempuan desak aku ketemu dia sama
Guru."
"Maksud Paman Giri, ada perempuan mendesak
Paman untuk bertemu dengan Guru?"
"Betul sangat!"
"Sangat betul!" Suto membenarkan susunan
katanya. "Lalu, apa yang membuat Paman
menyusulku kemari, huk?"
"Bahaya itu perempuan. Ganas jago dan. Dia
masuk nekat dalam ke gua. Ki Gila Tuak ditantangnya
pasti."
"Guru ditantang perempuan itu?"
"Begitu mestinya dugaanku. Dibunuh bisa guru
olehnya."
"Guru bisa dibunuh olehnya? Ah, tak mungkin itu,
Paman Guru pasti bisa mengatasi seorang
perempuan. Huk...!"
"Datang cepatlah bantu Guru selamatkan."
"Aku mau mandi."
"Dulu tundalah!"
"Tundalah dulu!" sentak Suto membetulkan
kalimat.
"Iya. Dulu tundalah mandimu. Dari keganasan
perempuan itu selamatkan gurumu!"
"Ah, pusing aku mengartikan bahasamu, Paman!
Aku mau mandi!"
"Tahanlah!"
"Huk..., tak bisa kutahan. Aku mau bertemu
dengan Dyah Sariningrum. Malu aku, huk... kalau tak
segera mandi."
"Tega kepada kau Guru, hancurlah dia oleh
perempuan itu?!"
"Tega tak aku Guru kepada dan... aduh, kenapa
bahasaku jadi ikut-ikutan kacau begini?!"
"Pergi cepatlah ke sana!"
"Aku mau mandi! Tahu...?!" sentak Suto merasa
jengkel akhirnya. Sentakan itu membuat Pujangga
Kramat menjadi ciut nyali. Sentakan itu sepertinya
mempunyai kekuatan tersendiri yang bisa
mempengaruhi keberanian seseorang menjadi surut.
Jika bukan berilmu tinggi, orang itu akan menjadi
penurut. Itulah kekuatan ilmu 'Sentak Bidadari' yang
diturunkan oleh Bidadari Jalang kepada Suto.
Suto segera melepaskan bajunya dengan gerakan
susah-payah karena mabuk. Pujangga Kramat
diminta untuk membantu menarikkan bajunya.
Karena keberanian yang surut, Pujangga Kramat
menuruti perintah itu tanpa banyak bicara.
Tetapi pada saat itu Suto sempat mendengar
detak jantung di balik kerimbunan pohon. Mata Suto
yang seperti orang mengantuk itu segera melirik ke
arah rimbunan pohon. Baju yang telah dilepaskan
segera dikenakan kembali. Pujangga Kramat
memandang dengan heran, tak mengerti maksud
Suto.
la segera menghentakkan kaki kanannya ke tanah.
Hentakan kaki itu bukan sembarang hentakan.
Hentakan itu mempunyai kekuatan tenaga dalam
yang bisa membuat air telaga di tepian sebelah
seberang memercik ke arah rimbunan semak yang
dicurigai Suto. Crattt...!
"Auh...!" terdengar suara pekik dari rimbunan
semak.
Pujangga Kramat terperanjat dan berkata, "Orang
ada rimbunan semak dibalik."
"Aku tahu, ada orang di balik rimbunan semak.
Sebaiknya suruh keluar dia dari sana dan bicara
padaku apa maunya!"
"Itu suara perempuan. Perempuan itu jangan-
jangan mau yang lawan gurumu dan bonyokkan
mukaku."
"Kau takut, Paman?" Suto tersenyum geli.
"Takut tidak. Jera iya."
Suto tertawa terkekeh, la berseru, "Perempuan di
balik semak, keluarlah dari sana! Aku tak jadi mandi.
Percuma kau tunggu aku di sana, tak bisa kau intip
aku dari sana!"
Merasa persembunyiannya sudah diketahui,
perempuan yang ada di balik rimbunan semak itu pun
akhirnya menampakkan wajah. la keluar dari sana
dengan satu lompatan tanpa menimbulkan suara
gemerisik daun. Padahal tubuhnya jelas menyentuh
dedaunan.
"Aku tidak bermaksud mengintipmu, Suto!" kata
perempuan itu setelah berdiri dengan kaki tegak
sedikit merenggang, tampak sigap dan tegar.
"Oh, rupanya kau, Selendang Kubur!" Suto
memandang dengan mata merahnya yang mirip orang
mengantuk. Pandangan mata itu tertuju lekat ke sorot
pandangan mata Selendang Kubur. Pada saat itu,
Pujangga Kramat berbisik,
"Ini perempuan bersama tadi dengan perempuan
membonyokkan wajahku. Punya teman dia masuk ke
gua, temui Ki Gila Tuak."
"Hmmm... ya, ya. Aku paham dengan maksudmu,"
sambil Suto mengangguk-angguk. la biarkan
Selendang Kubur berjalan mendekat.
Suto segera berkata, "Selendang Kubur, temanmu
mengamuk dan masuk ke tempat istirahatnya guruku.
Tolong ingatkan padanya, aku segera datang dan
akan menyeretnya keluar dari gua dengan kasar!"
"Tidak. Dewi Murka tidak bermaksud jahat
menemui gurumu. la masih tidak percaya bahwa
persoalan tadi sudah kita selesaikan. la bahkan tidak
ingat bahwa ia telah bertemu kamu. Jadi, ia nekat
masuk ke dalam gua untuk menemui gurumu dan
meminta maaf atas sikap mencurigakan dari
Murbawati, teman kami."
"O, begitu?"
"Percayalah padaku, Suto! Dewi Murka tidak akan
perbuat jahat kepada gurumu."
"Bagus kalau begitu! Huk...!" ia masih sesekali
celukan. "Lantas mengapa dia bikin bonyok wajah
Paman Giri ini?"
"Barangkali Pujangga Kramat menghalangi niat
baiknya hingga ia melakukan kekerasan."
"O, begitu?"
"Kami orang-orang Perguruan Merpati Wingit tidak
suka mencari persoalan dengan orang lain."
"Bagus. Lalu, apa perlumu datang kemari?"
"Menjagamu," jawab Selendang Kubur sambil
memalingkan pandangan mata ke arah lain.
"Jawabanmu sungguh lucu bagiku," Suto tertawa.
"Jawaban itu hanya alasan belaka yang dibuat-buat.
Aku tahu, kau kemari, huk... untuk mengintip aku
mandi!"
Mata Selendang Kubur menyipit, tanda tak suka
dengan tuduhan itu. la pun berkata dengan tegas dan
berkesan ketus.
"Kalau aku mau, tak perlu aku mengintipmu
mandi. Cukup dengan keadaan seperti ini, aku sudah
bisa melihatmu telanjang."
"Hah...?l" Pujangga Kramat terkejut. la segera
merapatkan kedua pahanya dan menutupkan
tangannya ke bawah.
Suto tidak demikian. Suto hanya tertawa pelan,
setengah tidak percaya pada kata-kata Selendang
Kubur. la berkata,
"Jangan menyombongkan ilmu di depanku,
Selendang Kubur."
"Aku tidak menyombongkan ilmu. Memang aku
bisa melihat tubuhmu tanpa pakaian walaupun kau
mengenakan baju rangkap tujuh dari kulit kerbau
sekalipun. Aku mempunyai 'Candra Tembus Pandang'.
Dan hanya aku satu-satunya murid Perguruan Merpati
Wingit yang menoleh ilmu 'Candra Tembus Pandang'."
Senyum Suto tipis dan masih berkesan tidak
percaya.
"Kau mempunyai tahi lalat di bawah pinggulmu!"
kata Selendang Kubur setelah menatap Suto
beberapa saat.
Suto terperanjat kaget, karena kata-kata itu
memang benar. Lebih terkejut lagi setelah Selendang
Kubur berkata,
"Kau tidak mempunyai pusar, dan ada noda hitam
semacam tompel kecil di atas pahamu yang kanan,
dekat dengan tulang pinggul."
Menggeragap bingung Suto menghadapi
perempuan berhidung mancung dan bermata bundar
itu. Salah tingkah ia menyembunyikan dirinya, karena
apa yang dikatakan Selendang Kubur mengandung
kebenaran semua. Suto jadi percaya bahwa
Selendang Kubur mampu mempunyai sorot mata
tembus pandang. Akibatnya, Suto segera
bersembunyi di belakang Pujangga Kramat. Tetapi
Pujangga Kramat pun segera bergeser berdirinya,
pindah ke belakang Suto sambil merapatkan kaki dan
kedua tangan mendekap bagian bawah.
Suto kebingungan, maka ia segera berpindah
tempat kembali ke belakang Pujangga Kramat.
Karena malu dipandang, Pujangga Kramat lari dan
bersembunyi di balik pohon besar. Hanya kepalanya
yang nongol dan berseru,
"Bersembunyi cepat pohon di balik!"
Buru-buru Suto mengambil bumbungnya dan lari
ke balik pohon. Selendang Kubur tertawa malu dan
berbalik wajah, memunggungi Suto. Dari sana ia
berseru.
"Pohon itu pun masih bisa kutembus dengan
pandanganku, Suto!"
"Celaka! Perempuan itu bikin aku susah berdiri
saja?!" gerutu hati Suto. "Pantas waktu jumpa di atas
gua, dia bicara denganku memalingkan wajahnya, tak
berani menatapku. Rupanya dia punya kekuatan
tembus pandang, dan tak enak hati melihat tembus
keadaan tubuhku saat itu. Kupikir ia bersikap tidak
sopan padaku."
Suto yang salah tingkah itu segera mengambil
keputusan untuk menceburkan diri ke telaga.
Setidaknya dengan begitu ia bisa menyembunyikan
tubuhnya dan bisa memanfaatkan waktu untuk
mandi.
Maka, serta-merta Suto melompat dari balik pohon
setelah melemparkan bumbungnya ke tangan
Pujangga Kramat. Lompatannya bersalto satu kali
dan, byuurrr...!
Selendang Kubur terperanjat kaget dan segera
menatap ke arah telaga. la sedikit tegang dengan
berseru kepada Pujangga Kramat.
"Apakah dia bunuh diri?"
"Tidak dia bunuh diri, mandi tapi," jawab Pujangga
Kramat yang membuat Selendang Kubur
merenungkan arti kata sebenarnya. Setelah
memahami makna kata-kata itu, Selendang Kubur
tampak lega. la segera melesatkan tubuhnya dengan
menggunakan ilmu peringan tubuh yang cukup tinggi,
melompat bagaikan terbang dan hinggap di atas
sebuah pohon. Duduk di dahan berukuran besar.
la bagai seorang penjaga yang menunggu
majikannya sedang mandi. Matanya memandang
sekeliling, mengawasi kalau-kalau ada bahaya datang
pada waktu Suto sedang mandi. la siap menghalau
bahaya itu sebelum bahaya mendekati Suto.
Semakin lama semakin berkerut cemas dahi
Selendang Kubur. Suto tidak timbul-timbul ke
permukaan air telaga. Hati Selendang Kubur menjadi
cemas sekali, takut kalau-kalau Suto tenggelam di
telaga itu. Maka, ia pun berseru kepada Pujangga
Kramat yang masih bersembunyi di belakang pohon.
"Hai, Pujangga Kramat...! Apakah dia bisa
berenang?"
"Entahlah!" jawab Pujangga Kramat. "Tak pernah
melihatnya aku berenang, tak pernah melihatnya aku
tenggelam!"
Selendang Kubur tidak mengerti bahwa Suto
mempunyai kekuatan menahan napas cukup lama.
Suto yang punya niat untuk sekadar mandi itu
menjadi punya minat lain, yaitu ingin menyelam ke
dasar telaga yang konon menjadi kuburan Pusaka
Tuak Setan. Suto ingin mengetahui apakah Cadaspati
benar sudah membawa lari Pusaka Tuak Setan, atau
memang tidak menemukan apa-apa di telaga itu.
Air di pertengahan berwarna keruh, tapi di bagian
mendekati dasar telaga berwarna bening lagi. Mata
Sumo sempat melihat benda yang separonya
terkubur tanah dasar telaga. Benda itu sangat
mencurigakan. Letaknya tepat ada di tengah dasar
telaga. Suto bergegas berenang mendekatinya.
"Hei, itu seperti benda berbentuk guci?!" pikir Suto.
Lalu, ia menghentakkan tanah yang menimbun
separo benda itu. Dan, ternyata benda tersebut
adalah guci berlumut, dibungkus dengan anyaman
pandan sebagai tempat guci yang juga berlumut,
bahkan ada beberapa rumah keong kecil-kecil
melekat di anyaman pandan.
"Inilah guci yang kulihat pada saat aku bersemadi
di dalam gua. Berarti guci inilah yang disebut Pusaka
Tuak Setan?! Hmmm... kelihatannya keras sekali dan
sukar dihancurkan dengan tangan kosong. Sebaiknya
kuhancurkan di darat saja. Aku harus segera muncul
ke permukaan!"
Suto bergegas berenang naik. Dalam hatinya ia
sempat berkata, "Jadi, apa yang direbutkan oleh
Cadaspati dan Datuk Marah Gadai itu? Ternyata
Cadaspati memang tidak memiliki Pusaka Tuak
Setan!"
Selendang Kubur merasa lega begitu melihat
kepala Suto muncul dari kedalaman air telaga. la
tidak segera mendekatinya, karena ia tahu hal itu
akan membuat Suto malu dan tak jadi naik ke darat.
Selendang Kubur hanya duduk diam di atas pohon.
Tapi pandangan matanya selalu tertuju pada tubuh
Suto yang berpakaian basah kuyup.
Pandangan mata yang semula menemukan
keindahan dan membuat bibirnya menyunggingkan
senyum itu, tiba-tiba berubah menjadi sedikit tegang.
Rupanya pandangan mata perempuan berselendang
putih di pinggangnya itu telah menangkap sebuah
benda berukuran kecil di tangan Suto. Benda itu
berbentuk guci kuno yang ukurannya sebesar
genggaman tangan Suto.
"Pusaka Tuak Setan!" gumam Selendang Kubur
dengan hati berdebar-debar. "Tuak itukah yang
dikatakan sebagai Tuak Setan dan dapat
menimbulkan bencana besar jika disalahgunakan?
Seingatku Guru pernah menceritakan kehebatan tuak
itu, yang dapat mendatangkan badai topan lewat
hembusan napas orang yang meminum tuak tersebut.
Oh, jelas orang itu akan menjadi sakti dan tak
terkalahkan menghadapi lawan manapun juga! Jelas
orang tersebut menjadi raja di atas segala raja di
tanah Jawa ini. Hmmm...," Selendang Kubur masih
tetap diam, hanya mengangguk-anggukkan
kepalanya.
"Paman Giri, Pusaka Tuak Setan kutemukan!" kata
Suto kepada Pujangga Kramat. Orang berperut agak
buncit itu memandang tak berkedip dengan perasaan
kagum. Hatinya berdebar-debar.
Sementara Guci Tuak Setan itu diperhatikan oleh
Pujangga Kramat, Suto memikirkan satu keanehan
pada dirinya. la berkata dalam hati, "Rasa puyeng di
kepalaku jadi hilang? Hei... jalanku pun tadi tidak
limbung lagi. Apakah mabukku telah hilang akibat aku
menyelam di air telaga itu? Atau mabukku hilang
akibat aku memegang Guci Tuak Setan ini?"
"Suto," kata Pujangga Kramat. "Satu ada lagi
pusaka terkubur Tuak Setan bersama!"
"Maksudmu, ada satu pusaka lagi yang terkubur
bersama Tuak Setan ini? Oh, ya... aku ingat! Cincin
Manik Intan."
"Ya. Ambillah. Ki Gila Tuak menyuruh
menghancurkan pusaka dua-duanya!"
Suto berpikir beberapa saat, kemudian kepalanya
mengangguk-angguk. Mulutnya mengeluarkan kata
pelan.
"Ya, satu lagi pusaka milik Bibi Guru masih ada di
dasar telaga. Sebaiknya kuambil sekarang juga. Aku
tadi melihatnya di sana!"
"Ambillah, orang lain sebelum mengambilnya!"
"Baik, Paman Giri. Bawalah dulu guci kuno ini, aku
akan menyelam kembali ke dasar telaga."
"Lama-lama jangan. Nanti hilang napasmu."
Suto segera melompat kembali ke dalam telaga.
Tindakannya itu membuat Selendang Kubur merasa
heran dan perlu berkerut dahi.
"Mengapa ia kembali masuk ke dalam telaga?"
pikir Selendang Kubur. "Apakah dia meneruskan
mandinya atau ada sesuatu yang tertinggal di dasar
kubur? Mungkin sebuah atau dua buah pusaka lagi
yang masih ada di sana. Hmmmm...! Sebaiknya
kutunggu saja hasilnya."
Pada saat Suto menyelam di dasar telaga kembali,
tiba-tiba hatinya menjadi gundah dan resah. Ada
sesuatu yang membuat hatinya begitu. la berusaha
melupakan keresahan tersebut dan tetap mencari
Cincin Manik Intan. Anehnya, cincin itu tidak
ditemukan.
Suto mengorek tanah di tempat Pusaka Tuak
Setan tadi ditemukan, namun cincin itu tidak ada.
Suto bertambah gelisah karena tidak mudah
menemukan cincin itu. Hasratnya ingin naik ke
permukaan air menjadi semakin besar. Sampai-
sampai timbul pertanyaan di batinnya.
"Ada apa di atas? Mengapa hasratku ingin muncul
ke permukaan menjadi begitu besar? Mengapa cincin
itu sendiri hilang? Tadi kulihat kilau batuannya ada di
sini? Ke mana larinya cincin itu?"
Cukup lama Suto menahan kegundahan hati.
Cukup lama pula Suto menyelam mencari cincin itu.
Akhirnya ia tak tahan dengan keresahan hatinya,
maka ia pun segera muncul di permukaan telaga.
"Paman Giri, aku tidak...," kata-kata Suto terhenti
seketika. Pandangan matanya menemukan sesuatu
yang amat mengejutkan. Mata Suto pun melebar. la
segera jejakkan kakinya yang ada di dalam air, dan
tubuhnya melesat terbang dari kedalaman air, lalu ia
bersalto satu kali di udara. Kakinya mendarat dengan
tegar di samping sesosok tubuh yang terbujur kaku
membiru.
"Paman Giri...!" Suto menyentakkan kata untuk
membangunkan Pujangga Kramat. Ternyata orang itu
masih belum bisa membuka matanya. Sekujur
tubuhnya menjadi pucat kebiru-biruan. Di bagian
lehernya ada jarum. Suto mencabut jarum itu.
Diamatinya beberapa saat, dan ternyata jarum itu
serupa dengan jarum beracun yang mengenai
punggung Dewi Murka.
"Celaka! Pusaka Tuak Setan tidak ada di tangan
Paman Giri! Pasti ada yang telah mencuri atau
merebutnya dengan terlebih dulu merubuhkan Paman
Giri memakai jarum beracun. Hmmmm... Selendang
Kubur... di mana dia? Mengapa Selendang Kubur pun
hilang? Benarkah Selendang Kubur yang merebut
Pusaka Tuak Setan itu?"
Suto bergegas mengambil bumbung tempat tuak
yang masih tetap bersandar di bawah pohon. Tapi
dalam hatinya ia masih berkata,
"Jika benar Selendang Kubur telah mencuri Pusaka
Tuak Setan dan meminum tuaknya, maka dia adalah
satu-satunya orang yang bisa menghancur leburkan
tanah Jawa! Keparat! Ke mana perginya Selendang
Kubur? Pulang ke perguruannya? Hmmm... jelas tak
mungkin! Jadi, ke mana aku harus mencari
Selendang Kubur?"
SELESAI
Segera menyusul!!!
Serial Pendekar Mabuk Suto Sinting
dalam episode:
DARAH ASMARA GILA