Chereads / Pendekar Mabuk / Chapter 18 - 002.Pendekar Mabuk - Pusaka Tuak Setan Eps18

Chapter 18 - 002.Pendekar Mabuk - Pusaka Tuak Setan Eps18

Episode 18

PERAMAL Pikun pergi dengan berkelebat bagaikan

angin atau hantu siang hari. Suto tidak peduli lagi

dengan kepergian Peramal Pikun. Hasratnya untuk

mandi begitu kuat, tak bisa ditahan lagi. Bahkan

dalam hatinya ia berkata.

"Siapa tahu habis mandi bisa bertemu dengan

Dyah Sariningrum. Setidaknya bunga rindu di hati

yang belum pernah bertemu ini akan terpupus habis."

Suto mulai meletakkan bumbung tuaknya. Baru

sana ia mau membuka baju, tiba-tiba ia dikejutkan

oleh suara orang berlari cepat ke arahnya. Suto buru-

buru merapatkan bajunya kembali dengan wajah

celingak-celinguk penuh curiga.

Dari kerumunan semak di seberang telaga, muncul

sesosok tubuh berbaju merah dan bercelana hitam.

Suto menghempaskan napas dan menggeram jengkel

dalam hatinya.

"Kau membuatku terkejut, Paman Giri!"

Orang yang dipanggil sebagai Paman Giri itu tak

lain adalah Pujangga Kramat, manusia yang tak

pernah benar dalam bicaranya. Orang tersebut segera

mendekati Suto dan berkata dengan napas masih

terengah-engah.

"Itu perempuan desak aku! Desak aku itu

perempuan!"

"Paman ini mau ngomong apa kok desak-desakan

sama perempuan?"

"Itu perempuan,..!"

"Perempuan itu?" Suto tertawa dalam suara tawa

mabuknya yang terkekeh-kekeh. "Mengapa wajahmu

memar begitu, Paman? Ada apa, huk?"

"Ya, itu perempuan desak aku ketemu dia sama

Guru."

"Maksud Paman Giri, ada perempuan mendesak

Paman untuk bertemu dengan Guru?"

"Betul sangat!"

"Sangat betul!" Suto membenarkan susunan

katanya. "Lalu, apa yang membuat Paman

menyusulku kemari, huk?"

"Bahaya itu perempuan. Ganas jago dan. Dia

masuk nekat dalam ke gua. Ki Gila Tuak ditantangnya

pasti."

"Guru ditantang perempuan itu?"

"Begitu mestinya dugaanku. Dibunuh bisa guru

olehnya."

"Guru bisa dibunuh olehnya? Ah, tak mungkin itu,

Paman Guru pasti bisa mengatasi seorang

perempuan. Huk...!"

"Datang cepatlah bantu Guru selamatkan."

"Aku mau mandi."

"Dulu tundalah!"

"Tundalah dulu!" sentak Suto membetulkan

kalimat.

"Iya. Dulu tundalah mandimu. Dari keganasan

perempuan itu selamatkan gurumu!"

"Ah, pusing aku mengartikan bahasamu, Paman!

Aku mau mandi!"

"Tahanlah!"

"Huk..., tak bisa kutahan. Aku mau bertemu

dengan Dyah Sariningrum. Malu aku, huk... kalau tak

segera mandi."

"Tega kepada kau Guru, hancurlah dia oleh

perempuan itu?!"

"Tega tak aku Guru kepada dan... aduh, kenapa

bahasaku jadi ikut-ikutan kacau begini?!"

"Pergi cepatlah ke sana!"

"Aku mau mandi! Tahu...?!" sentak Suto merasa

jengkel akhirnya. Sentakan itu membuat Pujangga

Kramat menjadi ciut nyali. Sentakan itu sepertinya

mempunyai kekuatan tersendiri yang bisa

mempengaruhi keberanian seseorang menjadi surut.

Jika bukan berilmu tinggi, orang itu akan menjadi

penurut. Itulah kekuatan ilmu 'Sentak Bidadari' yang

diturunkan oleh Bidadari Jalang kepada Suto.

Suto segera melepaskan bajunya dengan gerakan

susah-payah karena mabuk. Pujangga Kramat

diminta untuk membantu menarikkan bajunya.

Karena keberanian yang surut, Pujangga Kramat

menuruti perintah itu tanpa banyak bicara.

Tetapi pada saat itu Suto sempat mendengar

detak jantung di balik kerimbunan pohon. Mata Suto

yang seperti orang mengantuk itu segera melirik ke

arah rimbunan pohon. Baju yang telah dilepaskan

segera dikenakan kembali. Pujangga Kramat

memandang dengan heran, tak mengerti maksud

Suto.

la segera menghentakkan kaki kanannya ke tanah.

Hentakan kaki itu bukan sembarang hentakan.

Hentakan itu mempunyai kekuatan tenaga dalam

yang bisa membuat air telaga di tepian sebelah

seberang memercik ke arah rimbunan semak yang

dicurigai Suto. Crattt...!

"Auh...!" terdengar suara pekik dari rimbunan

semak.

Pujangga Kramat terperanjat dan berkata, "Orang

ada rimbunan semak dibalik."

"Aku tahu, ada orang di balik rimbunan semak.

Sebaiknya suruh keluar dia dari sana dan bicara

padaku apa maunya!"

"Itu suara perempuan. Perempuan itu jangan-

jangan mau yang lawan gurumu dan bonyokkan

mukaku."

"Kau takut, Paman?" Suto tersenyum geli.

"Takut tidak. Jera iya."

Suto tertawa terkekeh, la berseru, "Perempuan di

balik semak, keluarlah dari sana! Aku tak jadi mandi.

Percuma kau tunggu aku di sana, tak bisa kau intip

aku dari sana!"

Merasa persembunyiannya sudah diketahui,

perempuan yang ada di balik rimbunan semak itu pun

akhirnya menampakkan wajah. la keluar dari sana

dengan satu lompatan tanpa menimbulkan suara

gemerisik daun. Padahal tubuhnya jelas menyentuh

dedaunan.

"Aku tidak bermaksud mengintipmu, Suto!" kata

perempuan itu setelah berdiri dengan kaki tegak

sedikit merenggang, tampak sigap dan tegar.

"Oh, rupanya kau, Selendang Kubur!" Suto

memandang dengan mata merahnya yang mirip orang

mengantuk. Pandangan mata itu tertuju lekat ke sorot

pandangan mata Selendang Kubur. Pada saat itu,

Pujangga Kramat berbisik,

"Ini perempuan bersama tadi dengan perempuan

membonyokkan wajahku. Punya teman dia masuk ke

gua, temui Ki Gila Tuak."

"Hmmm... ya, ya. Aku paham dengan maksudmu,"

sambil Suto mengangguk-angguk. la biarkan

Selendang Kubur berjalan mendekat.

Suto segera berkata, "Selendang Kubur, temanmu

mengamuk dan masuk ke tempat istirahatnya guruku.

Tolong ingatkan padanya, aku segera datang dan

akan menyeretnya keluar dari gua dengan kasar!"

"Tidak. Dewi Murka tidak bermaksud jahat

menemui gurumu. la masih tidak percaya bahwa

persoalan tadi sudah kita selesaikan. la bahkan tidak

ingat bahwa ia telah bertemu kamu. Jadi, ia nekat

masuk ke dalam gua untuk menemui gurumu dan

meminta maaf atas sikap mencurigakan dari

Murbawati, teman kami."

"O, begitu?"

"Percayalah padaku, Suto! Dewi Murka tidak akan

perbuat jahat kepada gurumu."

"Bagus kalau begitu! Huk...!" ia masih sesekali

celukan. "Lantas mengapa dia bikin bonyok wajah

Paman Giri ini?"

"Barangkali Pujangga Kramat menghalangi niat

baiknya hingga ia melakukan kekerasan."

"O, begitu?"

"Kami orang-orang Perguruan Merpati Wingit tidak

suka mencari persoalan dengan orang lain."

"Bagus. Lalu, apa perlumu datang kemari?"

"Menjagamu," jawab Selendang Kubur sambil

memalingkan pandangan mata ke arah lain.

"Jawabanmu sungguh lucu bagiku," Suto tertawa.

"Jawaban itu hanya alasan belaka yang dibuat-buat.

Aku tahu, kau kemari, huk... untuk mengintip aku

mandi!"

Mata Selendang Kubur menyipit, tanda tak suka

dengan tuduhan itu. la pun berkata dengan tegas dan

berkesan ketus.

"Kalau aku mau, tak perlu aku mengintipmu

mandi. Cukup dengan keadaan seperti ini, aku sudah

bisa melihatmu telanjang."

"Hah...?l" Pujangga Kramat terkejut. la segera

merapatkan kedua pahanya dan menutupkan

tangannya ke bawah.

Suto tidak demikian. Suto hanya tertawa pelan,

setengah tidak percaya pada kata-kata Selendang

Kubur. la berkata,

"Jangan menyombongkan ilmu di depanku,

Selendang Kubur."

"Aku tidak menyombongkan ilmu. Memang aku

bisa melihat tubuhmu tanpa pakaian walaupun kau

mengenakan baju rangkap tujuh dari kulit kerbau

sekalipun. Aku mempunyai 'Candra Tembus Pandang'.

Dan hanya aku satu-satunya murid Perguruan Merpati

Wingit yang menoleh ilmu 'Candra Tembus Pandang'."

Senyum Suto tipis dan masih berkesan tidak

percaya.

"Kau mempunyai tahi lalat di bawah pinggulmu!"

kata Selendang Kubur setelah menatap Suto

beberapa saat.

Suto terperanjat kaget, karena kata-kata itu

memang benar. Lebih terkejut lagi setelah Selendang

Kubur berkata,

"Kau tidak mempunyai pusar, dan ada noda hitam

semacam tompel kecil di atas pahamu yang kanan,

dekat dengan tulang pinggul."

Menggeragap bingung Suto menghadapi

perempuan berhidung mancung dan bermata bundar

itu. Salah tingkah ia menyembunyikan dirinya, karena

apa yang dikatakan Selendang Kubur mengandung

kebenaran semua. Suto jadi percaya bahwa

Selendang Kubur mampu mempunyai sorot mata

tembus pandang. Akibatnya, Suto segera

bersembunyi di belakang Pujangga Kramat. Tetapi

Pujangga Kramat pun segera bergeser berdirinya,

pindah ke belakang Suto sambil merapatkan kaki dan

kedua tangan mendekap bagian bawah.

Suto kebingungan, maka ia segera berpindah

tempat kembali ke belakang Pujangga Kramat.

Karena malu dipandang, Pujangga Kramat lari dan

bersembunyi di balik pohon besar. Hanya kepalanya

yang nongol dan berseru,

"Bersembunyi cepat pohon di balik!"

Buru-buru Suto mengambil bumbungnya dan lari

ke balik pohon. Selendang Kubur tertawa malu dan

berbalik wajah, memunggungi Suto. Dari sana ia

berseru.

"Pohon itu pun masih bisa kutembus dengan

pandanganku, Suto!"

"Celaka! Perempuan itu bikin aku susah berdiri

saja?!" gerutu hati Suto. "Pantas waktu jumpa di atas

gua, dia bicara denganku memalingkan wajahnya, tak

berani menatapku. Rupanya dia punya kekuatan

tembus pandang, dan tak enak hati melihat tembus

keadaan tubuhku saat itu. Kupikir ia bersikap tidak

sopan padaku."

Suto yang salah tingkah itu segera mengambil

keputusan untuk menceburkan diri ke telaga.

Setidaknya dengan begitu ia bisa menyembunyikan

tubuhnya dan bisa memanfaatkan waktu untuk

mandi.

Maka, serta-merta Suto melompat dari balik pohon

setelah melemparkan bumbungnya ke tangan

Pujangga Kramat. Lompatannya bersalto satu kali

dan, byuurrr...!

Selendang Kubur terperanjat kaget dan segera

menatap ke arah telaga. la sedikit tegang dengan

berseru kepada Pujangga Kramat.

"Apakah dia bunuh diri?"

"Tidak dia bunuh diri, mandi tapi," jawab Pujangga

Kramat yang membuat Selendang Kubur

merenungkan arti kata sebenarnya. Setelah

memahami makna kata-kata itu, Selendang Kubur

tampak lega. la segera melesatkan tubuhnya dengan

menggunakan ilmu peringan tubuh yang cukup tinggi,

melompat bagaikan terbang dan hinggap di atas

sebuah pohon. Duduk di dahan berukuran besar.

la bagai seorang penjaga yang menunggu

majikannya sedang mandi. Matanya memandang

sekeliling, mengawasi kalau-kalau ada bahaya datang

pada waktu Suto sedang mandi. la siap menghalau

bahaya itu sebelum bahaya mendekati Suto.

Semakin lama semakin berkerut cemas dahi

Selendang Kubur. Suto tidak timbul-timbul ke

permukaan air telaga. Hati Selendang Kubur menjadi

cemas sekali, takut kalau-kalau Suto tenggelam di

telaga itu. Maka, ia pun berseru kepada Pujangga

Kramat yang masih bersembunyi di belakang pohon.

"Hai, Pujangga Kramat...! Apakah dia bisa

berenang?"

"Entahlah!" jawab Pujangga Kramat. "Tak pernah

melihatnya aku berenang, tak pernah melihatnya aku

tenggelam!"

Selendang Kubur tidak mengerti bahwa Suto

mempunyai kekuatan menahan napas cukup lama.

Suto yang punya niat untuk sekadar mandi itu

menjadi punya minat lain, yaitu ingin menyelam ke

dasar telaga yang konon menjadi kuburan Pusaka

Tuak Setan. Suto ingin mengetahui apakah Cadaspati

benar sudah membawa lari Pusaka Tuak Setan, atau

memang tidak menemukan apa-apa di telaga itu.

Air di pertengahan berwarna keruh, tapi di bagian

mendekati dasar telaga berwarna bening lagi. Mata

Sumo sempat melihat benda yang separonya

terkubur tanah dasar telaga. Benda itu sangat

mencurigakan. Letaknya tepat ada di tengah dasar

telaga. Suto bergegas berenang mendekatinya.

"Hei, itu seperti benda berbentuk guci?!" pikir Suto.

Lalu, ia menghentakkan tanah yang menimbun

separo benda itu. Dan, ternyata benda tersebut

adalah guci berlumut, dibungkus dengan anyaman

pandan sebagai tempat guci yang juga berlumut,

bahkan ada beberapa rumah keong kecil-kecil

melekat di anyaman pandan.

"Inilah guci yang kulihat pada saat aku bersemadi

di dalam gua. Berarti guci inilah yang disebut Pusaka

Tuak Setan?! Hmmm... kelihatannya keras sekali dan

sukar dihancurkan dengan tangan kosong. Sebaiknya

kuhancurkan di darat saja. Aku harus segera muncul

ke permukaan!"

Suto bergegas berenang naik. Dalam hatinya ia

sempat berkata, "Jadi, apa yang direbutkan oleh

Cadaspati dan Datuk Marah Gadai itu? Ternyata

Cadaspati memang tidak memiliki Pusaka Tuak

Setan!"

Selendang Kubur merasa lega begitu melihat

kepala Suto muncul dari kedalaman air telaga. la

tidak segera mendekatinya, karena ia tahu hal itu

akan membuat Suto malu dan tak jadi naik ke darat.

Selendang Kubur hanya duduk diam di atas pohon.

Tapi pandangan matanya selalu tertuju pada tubuh

Suto yang berpakaian basah kuyup.

Pandangan mata yang semula menemukan

keindahan dan membuat bibirnya menyunggingkan

senyum itu, tiba-tiba berubah menjadi sedikit tegang.

Rupanya pandangan mata perempuan berselendang

putih di pinggangnya itu telah menangkap sebuah

benda berukuran kecil di tangan Suto. Benda itu

berbentuk guci kuno yang ukurannya sebesar

genggaman tangan Suto.

"Pusaka Tuak Setan!" gumam Selendang Kubur

dengan hati berdebar-debar. "Tuak itukah yang

dikatakan sebagai Tuak Setan dan dapat

menimbulkan bencana besar jika disalahgunakan?

Seingatku Guru pernah menceritakan kehebatan tuak

itu, yang dapat mendatangkan badai topan lewat

hembusan napas orang yang meminum tuak tersebut.

Oh, jelas orang itu akan menjadi sakti dan tak

terkalahkan menghadapi lawan manapun juga! Jelas

orang tersebut menjadi raja di atas segala raja di

tanah Jawa ini. Hmmm...," Selendang Kubur masih

tetap diam, hanya mengangguk-anggukkan

kepalanya.

"Paman Giri, Pusaka Tuak Setan kutemukan!" kata

Suto kepada Pujangga Kramat. Orang berperut agak

buncit itu memandang tak berkedip dengan perasaan

kagum. Hatinya berdebar-debar.

Sementara Guci Tuak Setan itu diperhatikan oleh

Pujangga Kramat, Suto memikirkan satu keanehan

pada dirinya. la berkata dalam hati, "Rasa puyeng di

kepalaku jadi hilang? Hei... jalanku pun tadi tidak

limbung lagi. Apakah mabukku telah hilang akibat aku

menyelam di air telaga itu? Atau mabukku hilang

akibat aku memegang Guci Tuak Setan ini?"

"Suto," kata Pujangga Kramat. "Satu ada lagi

pusaka terkubur Tuak Setan bersama!"

"Maksudmu, ada satu pusaka lagi yang terkubur

bersama Tuak Setan ini? Oh, ya... aku ingat! Cincin

Manik Intan."

"Ya. Ambillah. Ki Gila Tuak menyuruh

menghancurkan pusaka dua-duanya!"

Suto berpikir beberapa saat, kemudian kepalanya

mengangguk-angguk. Mulutnya mengeluarkan kata

pelan.

"Ya, satu lagi pusaka milik Bibi Guru masih ada di

dasar telaga. Sebaiknya kuambil sekarang juga. Aku

tadi melihatnya di sana!"

"Ambillah, orang lain sebelum mengambilnya!"

"Baik, Paman Giri. Bawalah dulu guci kuno ini, aku

akan menyelam kembali ke dasar telaga."

"Lama-lama jangan. Nanti hilang napasmu."

Suto segera melompat kembali ke dalam telaga.

Tindakannya itu membuat Selendang Kubur merasa

heran dan perlu berkerut dahi.

"Mengapa ia kembali masuk ke dalam telaga?"

pikir Selendang Kubur. "Apakah dia meneruskan

mandinya atau ada sesuatu yang tertinggal di dasar

kubur? Mungkin sebuah atau dua buah pusaka lagi

yang masih ada di sana. Hmmmm...! Sebaiknya

kutunggu saja hasilnya."

Pada saat Suto menyelam di dasar telaga kembali,

tiba-tiba hatinya menjadi gundah dan resah. Ada

sesuatu yang membuat hatinya begitu. la berusaha

melupakan keresahan tersebut dan tetap mencari

Cincin Manik Intan. Anehnya, cincin itu tidak

ditemukan.

Suto mengorek tanah di tempat Pusaka Tuak

Setan tadi ditemukan, namun cincin itu tidak ada.

Suto bertambah gelisah karena tidak mudah

menemukan cincin itu. Hasratnya ingin naik ke

permukaan air menjadi semakin besar. Sampai-

sampai timbul pertanyaan di batinnya.

"Ada apa di atas? Mengapa hasratku ingin muncul

ke permukaan menjadi begitu besar? Mengapa cincin

itu sendiri hilang? Tadi kulihat kilau batuannya ada di

sini? Ke mana larinya cincin itu?"

Cukup lama Suto menahan kegundahan hati.

Cukup lama pula Suto menyelam mencari cincin itu.

Akhirnya ia tak tahan dengan keresahan hatinya,

maka ia pun segera muncul di permukaan telaga.

"Paman Giri, aku tidak...," kata-kata Suto terhenti

seketika. Pandangan matanya menemukan sesuatu

yang amat mengejutkan. Mata Suto pun melebar. la

segera jejakkan kakinya yang ada di dalam air, dan

tubuhnya melesat terbang dari kedalaman air, lalu ia

bersalto satu kali di udara. Kakinya mendarat dengan

tegar di samping sesosok tubuh yang terbujur kaku

membiru.

"Paman Giri...!" Suto menyentakkan kata untuk

membangunkan Pujangga Kramat. Ternyata orang itu

masih belum bisa membuka matanya. Sekujur

tubuhnya menjadi pucat kebiru-biruan. Di bagian

lehernya ada jarum. Suto mencabut jarum itu.

Diamatinya beberapa saat, dan ternyata jarum itu

serupa dengan jarum beracun yang mengenai

punggung Dewi Murka.

"Celaka! Pusaka Tuak Setan tidak ada di tangan

Paman Giri! Pasti ada yang telah mencuri atau

merebutnya dengan terlebih dulu merubuhkan Paman

Giri memakai jarum beracun. Hmmmm... Selendang

Kubur... di mana dia? Mengapa Selendang Kubur pun

hilang? Benarkah Selendang Kubur yang merebut

Pusaka Tuak Setan itu?"

Suto bergegas mengambil bumbung tempat tuak

yang masih tetap bersandar di bawah pohon. Tapi

dalam hatinya ia masih berkata,

"Jika benar Selendang Kubur telah mencuri Pusaka

Tuak Setan dan meminum tuaknya, maka dia adalah

satu-satunya orang yang bisa menghancur leburkan

tanah Jawa! Keparat! Ke mana perginya Selendang

Kubur? Pulang ke perguruannya? Hmmm... jelas tak

mungkin! Jadi, ke mana aku harus mencari

Selendang Kubur?"

SELESAI

Segera menyusul!!!

Serial Pendekar Mabuk Suto Sinting

dalam episode:

DARAH ASMARA GILA