Episode 19
ANGIN mendung berhembus dari puncak gunung
membawa udara dingin. Hembusannya bagai sengaja
tercipta untuk menerpa dua sosok manusia yang saling
berhadapan. Satu mengepalkan tangan dengan kuat, satu
lagi merenggangkan jemari tangan dengan keras. Wajah
mereka saling bertatap pandang menyemburkan api
permusuhan.
Agaknya mereka sudah sejak tadi saling berbaku
hantam, terbukti dari basahnya tubuh-tubuh mereka oleh
keringat kemarahan. Batu-batu besar di sekitar mereka
sudah banyak yang berhamburan, pecah karena pukulan
mereka yang salah sasaran. Bahkan di satu sisi lereng
bukit itu, tampak sebatang pohon yang masih berasap
akibat terbakar oleh suatu pukulan dahsyat bertenaga
dalam.
Dari kejauhan orang akan menduga mereka dua
pendekar sakti yang gagah perkasa. Tetapi setelah
didekati ternyata mereka adalah dua perempuan
bertubuh sekal dengan sikap dan wajah sama garangnya.
Kedua perempuan itu sama-sama mempunyai dada
montok yang bergerak naik turun akibat napas yang
terengah-engah dari suatu pertempuran sengit. Namun
agaknya keduanya masih mencoba bertarung dengan
tangan kosong, tanpa menggunakan senjata andalan
mereka masing-masing.
Perempuan yang berambut lurus sepanjang pundak
lebih sedikit itu berkata dengan nada menggeram.
"Kuingatkan sekali lagi, jangan coba-coba halangi
aku kalau kau masih ingin melihat rembulan muncul
petang nanti!"
"Justru aku yang perlu mengingatkan kamu agar hati-
hati menjaga nyawamu, karena sebentar lagi aku tak
segan-segan mencabutnya!"
Perempuan jelita yang berambut lurus dan
mengenakan ikat kepala dari semacam logam emas kecil
dengan batuan merah delima sebesar kacang tanah di
tengah dahinya itu, kembali berkata setelah
perdengarkan tawanya yang bernada sumbang.
"Kau pikir mudah menerjang jurus-jurusku?! Kalau
saja aku tak ingin berurusan panjang dengan
perguruanmu, aku sudah merajang habis raga dan
nyawamu sejak tadi, Selendang Kubur!"
Rupanya perempuan yang satu itu adalah Selendang
Kubur, orang Perguruan Merpati Wingit yang sedang
terlibat urusan dengan murid si Gila Tuak yang bernama
Suto Sinting alias Pendekar Mabuk itu. Dialah
perempuan yang sedang dicari-cari oleh Suto Sinting
karena persoalan hilangnya guci kecil yang disebut
Pusaka Tuak Setan (Baca serial Pendekar Mabuk dalam
episode: "Pusaka Tuak Setan").
Jika perempuan yang berpakaian merah dadu dengan
selendang putih melilit di pinggangnya itu adalah
Selendang Kubur, lantas siapa perempuan yang
berambut lurus dan berpakaian kuning kunyit itu? Tokoh
muda jelita itu ternyata tidak mudah ditumbangkan oleh
Selendang Kubur. Jelas dia punya ilmu cukup tinggi
juga. Berulang kali dia mampu menghindari pukulan
jarak jauhnya Selendang Kubur. Berulang kali dia
sengaja mengadu pukulan tenaga dalamnya dengan
pukulan jarak jauh Selendang Kubur, walau untuk itu ia
terpaksa tersentak ke belakang dan Selendang Kubur pun
mengalami hal yang sama.
Tapi tokoh cantik bertahi lalat di sudut dagunya yang
kanan itu bukan orang asing lagi bagi Selendang Kubur.
Beberapa waktu yang silam Selendang Kubur pernah
bentrok dengan perempuan itu. Dan Selendang Kubur
masih mengingatnya, bahwa perempuan bermata mesum
itu tak lain adalah Peri Malam, yang konon mempunyai
nama asli Sundari.
Dulu mereka terlibat bentrokan karena seorang
pemuda yang bernama Trenggono. Pemuda yang punya
mulut setajam pisau itu telah menyebar fitnah asmara,
sehingga Selendang Kubur dan Peri Malam saling
beradu kekuatan ilmunya. Tetapi setelah diketahui
bahwa Trenggono seorang pemuda yang gemar melihat
perempuan saling adu kekuatan, maka mereka berdua
segera menyerang Trenggono, dan tubuh pemuda itu
hancur di tangan mereka sendiri.
Tetapi, apakah sekarang mereka bertarung gara-gara
seorang pemuda juga? Termakan fitnah asmara juga?
"Selendang Kubur! Aku tak punya banyak waktu
untuk melayanimu!" seru Peri Malam. "Kalau memang
kau masih punya dendam padaku dengan persoalan masa
lalu kita, sebaiknya sekarang juga kulenyapkan raga dan
nyawamu!"
Selendang Kubur cepat menyahut sebelum Peri
Malam melepaskan satu pukulan tenaga dalam yang
pasti lebih berbahaya dari yang sudah-sudah.
"Peri Malam! Urusan kita kali ini sama sekali tidak
ada hubungannya dengan urusan kita tempo hari! Harap
kau ketahui, kalau kali ini aku terpaksa menghadang
langkahmu itu karena aku ingin memaksamu agar
mengembalikan barang curianmu itu kepada pemiliknya!
Ini tidak ada sangkut-pautnya dengan Trenggono!"
Peri Malam kendurkan urat tangan yang telah
mengencang, ia tersenyum sinis bermakna bengis.
"Kau pun harus sadar, apa yang kulakukan ini tidak
ada sangkut-pautnya dengan pribadimu, Selendang
Kubur!"
"Ada!" sentak Selendang Kubur.
"Apakah karena asmara kau melakukannya?!"
"Itu urusanku, kau tak perlu tahu, Peri Malam!"
"Hi hi hi hi...! Sudah kuduga, kau menaruh hati pada
pemuda itu secara diam-diam! Kau ingin berjasa di
hadapannya! Kau ingin tunjukkan rasa cinta dan
kesetiaanmu kepadanya dengan merebut kembali benda
pusaka ini dari tanganku! Tapi ketahuilah, Selendang
Kubur, tanganku tidak akan bisa mekar kembali jika
sudah telanjur menggenggam benda yang kudapatkan!
Jangan kau mimpi dapat merebut Pusaka Tuak Setan ini
dari tanganku, Selendang Kubur. Bisa jadi nyawamulah
yang menjadi tebusannya!"
"Pikiranku tak akan bisa berubah, Peri Malam! Sekali
aku ingin menghancurkan kepalamu, harus kulaksanakan
secepatnya! Hiaaat..!"
Sentakan mendadak dari tangan kanan Selendang
Kubur membuat kain putih panjangnya berkelebat ke
depan. Dari ujung selendang keluarlah percikan api
seperti lidah-lidah petir yang mengarah ke tubuh Peri
Malam. Tak ayal lagi Peri Malam segera melompat ke
atas batu di belakangnya. Wussst..!
Peri Malam berdiri di atas batu tinggi. Tapi percikan
lidah petir itu menghantam batu tersebut. Blarrr...!
Batu itu terhantam sejenak, kemudian pecah
berhamburan pada saat dipakai sentakan kaki Peri
Malam yang meloncat di udara sambil melepaskan
pukulan ganda dari jarak jauh. Duub... dub...!
Pukulan itu membuat Selendang Kubur terpaksa
berguling di tanah untuk menghindarinya. Pukulan
ganda itu mengenai pohon yang berjarak antara delapan
tombak di belakang Selendang Kubur. Dan, pohon itu
pun bergetar nyaris tumbang. Ranting-ranting keringnya
berjatuhan, sebagian daun gugur terbawa angin. Suara
gemuruh akibat guncangan dedaunan membuat hati
Selendang Kubur menjadi lebih tegang lagi. Ia bergegas
bangkit ketika Peri Malam sudah berdiri dengan kaki
sedikit merentang tegar.
Pada saat itulah, tangan Peri Malam mengambil
sesuatu dari celah gundukan dadanya yang sekal dan
tampak sedikit menonjol mulus pada bagian atasnya.
Sesuatu yang diambilnya itu adalah sebatang bambu
berukuran satu jengkal. Bambu itu kecil, sebesar
kelingkingnya. Kemudian, bambu itu dimasukkan
sedikit ujungnya ke mulut. Peri Malam sentakkan napas
melalui bambu berlubang itu.
Sluupp...! Zeett...!
Ada sesuatu yang melesat cepat dari dalam bambu
kecil itu. Selendang Kubur menggeragap karena kurang
siap. Sesuatu yang melesat itu amat kecil, tak mudah
terlihat. Tetapi dalam sekejap hati Selendang Kubur
berseru,
"Jarum beracun...?!"
Karena ia pernah melihat jarum itu melesat dari
semak dan menancap di leher Pujangga Kramat, pelayan
si Gila Tuak itu. Maka, serta merta Selendang Kubur
melompat dan berguling di tanah menghindari jarum
beracun itu. Tetapi alangkah terkejutnya ia setelah tahu,
arah jarum itu membelok dan kembali mengejar ke
arahnya. Mau tak mau Selendang Kubur pun kembali
melompat dan berguling di tanah. Ternyata jarum itu
juga ikut membelok bagai memburu sasarannya.
Peri Malam perdengarkan tawanya yang mengikik
sambil berseru, "Tak akan mampu kau menghindari
jarum iblis-ku, Selendang Kubur! Ke mana pun kau lari
akan diburunya! Kik kik kik kik...!"
Mau tak mau Selendang Kubur gunakan ilmu
peringan tubuhnya secara penuh. Dalam satu hentakan
kaki ia telah melesat terbang ke atas dan berjungkir balik
satu kali untuk mencapai sebuah batu setinggi tubuhnya
sendiri, ia hinggap di atas batu itu. Ia melihat kelebat
jarum iblis itu menuju ke arahnya. Lalu, ia kibaskan
selendang dengan cepat. Wuuttt...!
Blaarrr...!
Ujung selendang menghantam benda kecil yang amat
berbahaya itu. Rupanya benda tersebut punya kekuatan
tenaga dalam yang cukup tinggi, sehingga ketika disabet
ujung selendang menimbulkan ledakan cukup keras.
Namun jarum itu pun hancur tak berbentuk lagi.
Mata si Peri Malam terperanjat melihat jarumnya bisa
dihancurkan oleh selendang setipis itu. Maka, ia pun
segera membatin,
"Edan! Selendang itu mampu menghancurkan jarum
iblisku?! Hebat sekali kekuatan selendang itu! Ternyata
ilmu Selendang Kubur sudah jauh lebih maju dari dua
tahun sebelum ini!"
Sisa ledakan itu masih menggema samar-samar.
Gema itu pun segera hilang. Kemudian sunyi tercipta
mencekam di lereng bukit berbatu itu. Kedua sosok
perempuan tangguh berdiri dalam jarak sepuluh pijak.
Mata mereka saling pandang, mulut mereka saling
bungkam. Masing-masing hati mereka berkecamuk
memuji kehebatan ilmu lawan.
Sejurus kemudian, Peri Malam perdengarkan
suaranya yang masih bernada ketus dan bermusuhan.
"Kuakui kau punya jurus selendang yang cukup
lumayan, Selendang Kubur. Tapi itu tidak membuatku
kagum. Tidak pula membuatku jera untuk kemudian
menyerahkan benda pusaka ini. Sebaliknya, justru aku
semakin kuat mempertahankannya dan siap
mengorbankan nyawa demi tugas dari guruku!"
"Aku pun siap korbankan nyawa demi merebut
pusaka yang menjadi milik murid si Gila Tuak itu!"
"Bodoh!" ucap Peri Malam yang segera disusul
dengan tawa mengikik pendek. Lalu, katanya lagi.
"Gunakanlah otak sehatmu, Selendang Kubur.
Sekalipun kau korbankan nyawamu untuk merebut
Pusaka Tuak Setan ini, tapi belum tentu murid si Gila
Tuak tahu berterima kasih padamu! Sangkamu dia
menaruh hati padamu juga? Hmmm...! Belum tentu!"
Peri Malam mencibir, memuakkan Selendang Kubur.
Lanjutnya lagi.
"Ingat, kita pernah mempertaruhkan nyawa demi
seorang pria. Tapi apa nyatanya? Pria itu hanya
mempunyai kebusukan. Dan setiap pria memang tak
lebih dari seonggok daging busuk yang patut
dilenyapkan!"
Selendang Kubur hanya membatin, "Dendamnya
kepada lelaki masih membekas di hati, sehingga wajar
dia berkata begitu. Tapi apakah benar pengorbananku ini
akan sia-sia di mata Suto? Apakah benar Suto tidak akan
tahu balas budi padaku, walau aku siap mati untuk
merebutkan pusaka yang menjadi hak miliknya itu?"
Renungan itu segera dibuang jauh, karena kejap
berikutnya Selendang Kubur telah melihat Peri Malam
berkelebat dan hinggap di atas gugusan batu yang lebih
tinggi dari batu-batu yang ada di situ. Perempuan
berpakaian kuning kunyit itu serukan kata,
"Pertimbangkan langkahmu, Selendang Kubur. Sudah
benarkah kau siap korbankan nyawa untuk lelaki yang
mau membalas cintamu?! Sudah benarkah kamu siap
mati untuk sesuatu yang sia-sia ini? Pertimbangkanlah
sebelum kau mengejarku, Selendang Kubur! Jangan kita
menjadi korban laki-laki lagi!"
Setelah berkata begitu, Peri Malam sentakkan kaki,
melesat pergi bagaikan angin senja. Hal itu membuat
Selendang Kubur terkesiap, ia tak mau kehilangan jejak
orang yang membawa Pusaka Tuak Setan. Maka, ia pun
sentakkan kaki dan berkelebat pergi mengejar Peri
Malam.
*
* *