Chereads / Pendekar Mabuk / Chapter 19 - 003.Pendekar Mabuk - Darah Asmara Gila Eps19

Chapter 19 - 003.Pendekar Mabuk - Darah Asmara Gila Eps19

Episode 19

ANGIN mendung berhembus dari puncak gunung

membawa udara dingin. Hembusannya bagai sengaja

tercipta untuk menerpa dua sosok manusia yang saling

berhadapan. Satu mengepalkan tangan dengan kuat, satu

lagi merenggangkan jemari tangan dengan keras. Wajah

mereka saling bertatap pandang menyemburkan api

permusuhan.

Agaknya mereka sudah sejak tadi saling berbaku

hantam, terbukti dari basahnya tubuh-tubuh mereka oleh

keringat kemarahan. Batu-batu besar di sekitar mereka

sudah banyak yang berhamburan, pecah karena pukulan

mereka yang salah sasaran. Bahkan di satu sisi lereng

bukit itu, tampak sebatang pohon yang masih berasap

akibat terbakar oleh suatu pukulan dahsyat bertenaga

dalam.

Dari kejauhan orang akan menduga mereka dua

pendekar sakti yang gagah perkasa. Tetapi setelah

didekati ternyata mereka adalah dua perempuan

bertubuh sekal dengan sikap dan wajah sama garangnya.

Kedua perempuan itu sama-sama mempunyai dada

montok yang bergerak naik turun akibat napas yang

terengah-engah dari suatu pertempuran sengit. Namun

agaknya keduanya masih mencoba bertarung dengan

tangan kosong, tanpa menggunakan senjata andalan

mereka masing-masing.

Perempuan yang berambut lurus sepanjang pundak

lebih sedikit itu berkata dengan nada menggeram.

"Kuingatkan sekali lagi, jangan coba-coba halangi

aku kalau kau masih ingin melihat rembulan muncul

petang nanti!"

"Justru aku yang perlu mengingatkan kamu agar hati-

hati menjaga nyawamu, karena sebentar lagi aku tak

segan-segan mencabutnya!"

Perempuan jelita yang berambut lurus dan

mengenakan ikat kepala dari semacam logam emas kecil

dengan batuan merah delima sebesar kacang tanah di

tengah dahinya itu, kembali berkata setelah

perdengarkan tawanya yang bernada sumbang.

"Kau pikir mudah menerjang jurus-jurusku?! Kalau

saja aku tak ingin berurusan panjang dengan

perguruanmu, aku sudah merajang habis raga dan

nyawamu sejak tadi, Selendang Kubur!"

Rupanya perempuan yang satu itu adalah Selendang

Kubur, orang Perguruan Merpati Wingit yang sedang

terlibat urusan dengan murid si Gila Tuak yang bernama

Suto Sinting alias Pendekar Mabuk itu. Dialah

perempuan yang sedang dicari-cari oleh Suto Sinting

karena persoalan hilangnya guci kecil yang disebut

Pusaka Tuak Setan (Baca serial Pendekar Mabuk dalam

episode: "Pusaka Tuak Setan").

Jika perempuan yang berpakaian merah dadu dengan

selendang putih melilit di pinggangnya itu adalah

Selendang Kubur, lantas siapa perempuan yang

berambut lurus dan berpakaian kuning kunyit itu? Tokoh

muda jelita itu ternyata tidak mudah ditumbangkan oleh

Selendang Kubur. Jelas dia punya ilmu cukup tinggi

juga. Berulang kali dia mampu menghindari pukulan

jarak jauhnya Selendang Kubur. Berulang kali dia

sengaja mengadu pukulan tenaga dalamnya dengan

pukulan jarak jauh Selendang Kubur, walau untuk itu ia

terpaksa tersentak ke belakang dan Selendang Kubur pun

mengalami hal yang sama.

Tapi tokoh cantik bertahi lalat di sudut dagunya yang

kanan itu bukan orang asing lagi bagi Selendang Kubur.

Beberapa waktu yang silam Selendang Kubur pernah

bentrok dengan perempuan itu. Dan Selendang Kubur

masih mengingatnya, bahwa perempuan bermata mesum

itu tak lain adalah Peri Malam, yang konon mempunyai

nama asli Sundari.

Dulu mereka terlibat bentrokan karena seorang

pemuda yang bernama Trenggono. Pemuda yang punya

mulut setajam pisau itu telah menyebar fitnah asmara,

sehingga Selendang Kubur dan Peri Malam saling

beradu kekuatan ilmunya. Tetapi setelah diketahui

bahwa Trenggono seorang pemuda yang gemar melihat

perempuan saling adu kekuatan, maka mereka berdua

segera menyerang Trenggono, dan tubuh pemuda itu

hancur di tangan mereka sendiri.

Tetapi, apakah sekarang mereka bertarung gara-gara

seorang pemuda juga? Termakan fitnah asmara juga?

"Selendang Kubur! Aku tak punya banyak waktu

untuk melayanimu!" seru Peri Malam. "Kalau memang

kau masih punya dendam padaku dengan persoalan masa

lalu kita, sebaiknya sekarang juga kulenyapkan raga dan

nyawamu!"

Selendang Kubur cepat menyahut sebelum Peri

Malam melepaskan satu pukulan tenaga dalam yang

pasti lebih berbahaya dari yang sudah-sudah.

"Peri Malam! Urusan kita kali ini sama sekali tidak

ada hubungannya dengan urusan kita tempo hari! Harap

kau ketahui, kalau kali ini aku terpaksa menghadang

langkahmu itu karena aku ingin memaksamu agar

mengembalikan barang curianmu itu kepada pemiliknya!

Ini tidak ada sangkut-pautnya dengan Trenggono!"

Peri Malam kendurkan urat tangan yang telah

mengencang, ia tersenyum sinis bermakna bengis.

"Kau pun harus sadar, apa yang kulakukan ini tidak

ada sangkut-pautnya dengan pribadimu, Selendang

Kubur!"

"Ada!" sentak Selendang Kubur.

"Apakah karena asmara kau melakukannya?!"

"Itu urusanku, kau tak perlu tahu, Peri Malam!"

"Hi hi hi hi...! Sudah kuduga, kau menaruh hati pada

pemuda itu secara diam-diam! Kau ingin berjasa di

hadapannya! Kau ingin tunjukkan rasa cinta dan

kesetiaanmu kepadanya dengan merebut kembali benda

pusaka ini dari tanganku! Tapi ketahuilah, Selendang

Kubur, tanganku tidak akan bisa mekar kembali jika

sudah telanjur menggenggam benda yang kudapatkan!

Jangan kau mimpi dapat merebut Pusaka Tuak Setan ini

dari tanganku, Selendang Kubur. Bisa jadi nyawamulah

yang menjadi tebusannya!"

"Pikiranku tak akan bisa berubah, Peri Malam! Sekali

aku ingin menghancurkan kepalamu, harus kulaksanakan

secepatnya! Hiaaat..!"

Sentakan mendadak dari tangan kanan Selendang

Kubur membuat kain putih panjangnya berkelebat ke

depan. Dari ujung selendang keluarlah percikan api

seperti lidah-lidah petir yang mengarah ke tubuh Peri

Malam. Tak ayal lagi Peri Malam segera melompat ke

atas batu di belakangnya. Wussst..!

Peri Malam berdiri di atas batu tinggi. Tapi percikan

lidah petir itu menghantam batu tersebut. Blarrr...!

Batu itu terhantam sejenak, kemudian pecah

berhamburan pada saat dipakai sentakan kaki Peri

Malam yang meloncat di udara sambil melepaskan

pukulan ganda dari jarak jauh. Duub... dub...!

Pukulan itu membuat Selendang Kubur terpaksa

berguling di tanah untuk menghindarinya. Pukulan

ganda itu mengenai pohon yang berjarak antara delapan

tombak di belakang Selendang Kubur. Dan, pohon itu

pun bergetar nyaris tumbang. Ranting-ranting keringnya

berjatuhan, sebagian daun gugur terbawa angin. Suara

gemuruh akibat guncangan dedaunan membuat hati

Selendang Kubur menjadi lebih tegang lagi. Ia bergegas

bangkit ketika Peri Malam sudah berdiri dengan kaki

sedikit merentang tegar.

Pada saat itulah, tangan Peri Malam mengambil

sesuatu dari celah gundukan dadanya yang sekal dan

tampak sedikit menonjol mulus pada bagian atasnya.

Sesuatu yang diambilnya itu adalah sebatang bambu

berukuran satu jengkal. Bambu itu kecil, sebesar

kelingkingnya. Kemudian, bambu itu dimasukkan

sedikit ujungnya ke mulut. Peri Malam sentakkan napas

melalui bambu berlubang itu.

Sluupp...! Zeett...!

Ada sesuatu yang melesat cepat dari dalam bambu

kecil itu. Selendang Kubur menggeragap karena kurang

siap. Sesuatu yang melesat itu amat kecil, tak mudah

terlihat. Tetapi dalam sekejap hati Selendang Kubur

berseru,

"Jarum beracun...?!"

Karena ia pernah melihat jarum itu melesat dari

semak dan menancap di leher Pujangga Kramat, pelayan

si Gila Tuak itu. Maka, serta merta Selendang Kubur

melompat dan berguling di tanah menghindari jarum

beracun itu. Tetapi alangkah terkejutnya ia setelah tahu,

arah jarum itu membelok dan kembali mengejar ke

arahnya. Mau tak mau Selendang Kubur pun kembali

melompat dan berguling di tanah. Ternyata jarum itu

juga ikut membelok bagai memburu sasarannya.

Peri Malam perdengarkan tawanya yang mengikik

sambil berseru, "Tak akan mampu kau menghindari

jarum iblis-ku, Selendang Kubur! Ke mana pun kau lari

akan diburunya! Kik kik kik kik...!"

Mau tak mau Selendang Kubur gunakan ilmu

peringan tubuhnya secara penuh. Dalam satu hentakan

kaki ia telah melesat terbang ke atas dan berjungkir balik

satu kali untuk mencapai sebuah batu setinggi tubuhnya

sendiri, ia hinggap di atas batu itu. Ia melihat kelebat

jarum iblis itu menuju ke arahnya. Lalu, ia kibaskan

selendang dengan cepat. Wuuttt...!

Blaarrr...!

Ujung selendang menghantam benda kecil yang amat

berbahaya itu. Rupanya benda tersebut punya kekuatan

tenaga dalam yang cukup tinggi, sehingga ketika disabet

ujung selendang menimbulkan ledakan cukup keras.

Namun jarum itu pun hancur tak berbentuk lagi.

Mata si Peri Malam terperanjat melihat jarumnya bisa

dihancurkan oleh selendang setipis itu. Maka, ia pun

segera membatin,

"Edan! Selendang itu mampu menghancurkan jarum

iblisku?! Hebat sekali kekuatan selendang itu! Ternyata

ilmu Selendang Kubur sudah jauh lebih maju dari dua

tahun sebelum ini!"

Sisa ledakan itu masih menggema samar-samar.

Gema itu pun segera hilang. Kemudian sunyi tercipta

mencekam di lereng bukit berbatu itu. Kedua sosok

perempuan tangguh berdiri dalam jarak sepuluh pijak.

Mata mereka saling pandang, mulut mereka saling

bungkam. Masing-masing hati mereka berkecamuk

memuji kehebatan ilmu lawan.

Sejurus kemudian, Peri Malam perdengarkan

suaranya yang masih bernada ketus dan bermusuhan.

"Kuakui kau punya jurus selendang yang cukup

lumayan, Selendang Kubur. Tapi itu tidak membuatku

kagum. Tidak pula membuatku jera untuk kemudian

menyerahkan benda pusaka ini. Sebaliknya, justru aku

semakin kuat mempertahankannya dan siap

mengorbankan nyawa demi tugas dari guruku!"

"Aku pun siap korbankan nyawa demi merebut

pusaka yang menjadi milik murid si Gila Tuak itu!"

"Bodoh!" ucap Peri Malam yang segera disusul

dengan tawa mengikik pendek. Lalu, katanya lagi.

"Gunakanlah otak sehatmu, Selendang Kubur.

Sekalipun kau korbankan nyawamu untuk merebut

Pusaka Tuak Setan ini, tapi belum tentu murid si Gila

Tuak tahu berterima kasih padamu! Sangkamu dia

menaruh hati padamu juga? Hmmm...! Belum tentu!"

Peri Malam mencibir, memuakkan Selendang Kubur.

Lanjutnya lagi.

"Ingat, kita pernah mempertaruhkan nyawa demi

seorang pria. Tapi apa nyatanya? Pria itu hanya

mempunyai kebusukan. Dan setiap pria memang tak

lebih dari seonggok daging busuk yang patut

dilenyapkan!"

Selendang Kubur hanya membatin, "Dendamnya

kepada lelaki masih membekas di hati, sehingga wajar

dia berkata begitu. Tapi apakah benar pengorbananku ini

akan sia-sia di mata Suto? Apakah benar Suto tidak akan

tahu balas budi padaku, walau aku siap mati untuk

merebutkan pusaka yang menjadi hak miliknya itu?"

Renungan itu segera dibuang jauh, karena kejap

berikutnya Selendang Kubur telah melihat Peri Malam

berkelebat dan hinggap di atas gugusan batu yang lebih

tinggi dari batu-batu yang ada di situ. Perempuan

berpakaian kuning kunyit itu serukan kata,

"Pertimbangkan langkahmu, Selendang Kubur. Sudah

benarkah kau siap korbankan nyawa untuk lelaki yang

mau membalas cintamu?! Sudah benarkah kamu siap

mati untuk sesuatu yang sia-sia ini? Pertimbangkanlah

sebelum kau mengejarku, Selendang Kubur! Jangan kita

menjadi korban laki-laki lagi!"

Setelah berkata begitu, Peri Malam sentakkan kaki,

melesat pergi bagaikan angin senja. Hal itu membuat

Selendang Kubur terkesiap, ia tak mau kehilangan jejak

orang yang membawa Pusaka Tuak Setan. Maka, ia pun

sentakkan kaki dan berkelebat pergi mengejar Peri

Malam.

*

* *