Episode 20
SETELAH semburkan tuaknya dari mulut ke bekas
luka di leher Pujangga Kramat, pelayan si Gila Tuak itu
sedikit demi sedikit mulai sadarkan diri. Suto
sunggingkan senyum lega di hatinya.
"Untung aku tidak terlambat," pikirnya. "Kalau saja
aku sedikit telat muncul dari dasar telaga itu, pasti
nyawa Paman Giri tidak akan tertolong. Racun ini cukup
ganas, sama dengan racun yang masuk ke tubuh Dewi
Murka, teman seperguruan Selendang Kubur itu."
Pakaian Suto masih basah kuyup, demikian pula
rambutnya. Tapi saat Pujangga Kramat, orang yang tidak
bisa bicara dengan bahasa yang benar itu, kejapkan mata
lalu melek menyipit, Suto berhenti kibaskan rambutnya
yang basah.
"Apa ada aku?" tanya Pujangga Kramat yang
maksudnya; ada apa dengan diriku.
"Paman habis tertidur," jawab Suto sengaja tidak
mengatakan yang sebenarnya, supaya Pujangga Kramat
tidak menaruh dendam yang penasaran kepada orang
yang telah menyerangnya memakai jarum beracun.
"Benar tertidur aku apa?"
"Benar, Paman."
"Di mana lalu Guci Pusaka Setan Tuak itu?"
"Tuak Setan!" Suto membetulkan kalimatnya.
"Ya. Tuak Setan! Pergi ke mananya?"
"Ke mana perginya!"
"Ya. Ke mana perginya, itu Setan, eh... itu Tuak!"
"Entah. Hilang dibawa orang," jawab Suto kalem, ia
membuka bumbung tuak dan menenggak beberapa
teguk.
"Orang siapa yang bawa itu pusaka?"
"Aku tidak tahu."
Pujangga Kramat kerutkan dahi, sipitkan mata. Ia
renungkan diri bagai ada yang berusaha diingat-
ingatnya. Lama ia termenung sampai akhirnya ia
berkata, "Celaka! itu pusaka dicari harus."
"Dicari ke mana? Sudah telanjur dibawa orang!"
"Perempuan!" sentak Pujangga Kramat tiba-tiba.
"Apa maksud Paman?"
"Ingat-ingatku, perempuan ada bersama aku. Di mana
tapi dia? Siapa pula perempuan orang itu. Aku ingat
tidak!"
Badannya yang semula pucat membiru, kini cepat
berubah segar. Cara pengobatan dengan semburkan tuak
telah membuat Pujangga Kramat bisa berdiri tegak.
Dengan dahi masih berkerut dia bicara pada Suto yang
kenakan bumbung tuak ke punggungnya.
"Itu pusaka cari kamu harus! Kalau tidak dicari harus,
itu gurumu marah harus! Dan kalau dia marah harus,
bahaya harus...."
"Harus, harus...!" sentak Suto rada jengkel. "Sudah,
sekarang Paman pulang ke Jurang Lindung. Kasih tahu
sama Guru, aku sedang mengejar orang yang mencuri
Pusaka Tuak Setan."
"Baik. Kamulah hati-hati, Suto!" Pujangga Kramat
tepuk pundak Suto kasih semangat, "Itu orang curi yang
pusaka, pasti ilmu orang tinggi. Sebab bisa dia rubuhkan
aku sekejap dalam."
"Ya ya ya...!" potong Suto merasa lelah sendiri
mengartikan kata-kata pelayan gurunya.
"Berjuang selamat, Suto!"
"Ya," jawab Suto pendek. Kemudian ia segera
melesat pergi tinggalkan Pujangga Kramat di tepi telaga.
Orang yang ditinggalkan memandang dengan mata
berkedip bingung, karena Suto telah lenyap begitu saja
bagai tertelan bumi. Kalau bukan murid Gila Tuak, tak
mungkin bisa lari sekejap itu.
Ke mana ia harus mencari Pusaka Tuak Setan, tak
tahu dengan pasti. Satu sasaran yang dimiliki Suto
adalah Selendang Kubur. Sebab pada waktu ia titipkan
pusaka itu kepada Pujangga Kramat, dan dia menyelam
kembali ke dalam telaga untuk mengambil Cincin Manik
Intan, Selendang Kubur ada bersama Pujangga Kramat,
walau jarak mereka tidak berdekatan (Untuk jelasnya
mengenai hal ini baca serial Pendekar Mabuk episode:
"Pusaka Tuak Setan").
Dan begitu Suto muncul di permukaan sendang,
Pujangga Kramat telah terjajar di tanah dalam keadaan
tubuh pucat membiru tak berkutik. Pusaka Tuak Setan
tak ada di tangan Pujangga Kramat. Selendang Kubur
hilang dari tepian telaga. Tentu saja Suto mencurigai
Selendang Kubur.
Satu arah yang memungkinkan bisa bertemu dengan
Selendang Kubur adalah menuju perguruannya. Suto
menduga Selendang Kubur pulang ke Perguruan Merpati
Wingit. Sewaktu Suto masih kecil, ia pernah melihat
perguruan itu di tengah hutan yang mempunyai sungai
bertanggul tinggi. Di atas tanah tanggul itulah Perguruan
Merpati Wingit berada. Tetapi letak pintu gerbang
perguruan tidak menghadap ke arah sungai berbatu-batu
itu. Perguruan itu mempunyai bentuk bangunan yang
membelakangi sungai.
Tiga hari Suto menyusuri sungai berbatu-batu,
sampai akhirnya ia temukan bangunan besar berpagar
susunan batu tembok tinggi. Sebenarnya sangat mudah
buat Suto untuk melompat terbang melintasi pagar tinggi
itu dari atas sebuah batu besar di sungai. Tapi ia tidak
mau mendapat penilaian jelek, masuk rumah orang lewat
belakang. Maka, Suto pun segera menuju ke arah pintu
gerbang.
Di sana ia dihadang oleh dua penjaga pintu gerbang.
Kedua penjaga itu adalah perempuan berpakaian serba
putih, masing-masing bersenjatakan tombak. Suto
melangkah perlahan. Senyumnya berkembang indah di
bibirnya, ia memang tampan. Hati kedua penjaga
perempuan itu sama-sama mengagumi, sama-sama
berdebar menerima senyumannya. Tapi mereka sama-
sama berlagak acuh tak acuh, buang muka dan saling
berlagak tak peduli. Padahal mestinya mereka akan
menegur setiap kemunculan orang asing di sekitar
wilayah perguruannya. Tetapi karena hati mereka takut
lebih tergoda oleh ketampanan Suto, keduanya justru
tidak menyapa apa pun kepada Suto.
Suto nekat melangkah masuk ke pintu gerbang itu.
Namun tiba-tiba kedua tombak penjaga beradu
menyilang di depan langkah Suto. Kaki pemuda tampan
itu diam. Mata memandang ke kiri dan ke kanan. Kedua
penjaga itu bertampang angkuh, berlagak acuh tak acuh
dengan ketampanan pria asing. Suto tahu kepura-puraan
itu. Suto tertawa tanpa suara. Kedua penjaga itu pun
tetap acuh tak acuh.
"Bolehkah aku masuk?" sapa Suto bersikap ramah.
"Tidak!" tanpa disengaja kedua penjaga itu menjawab
serentak.
"Mengapa aku tak boleh masuk? Aku punya niat
baik!"
Penjaga berambut panjang berkata ketus, "Sebutkan
niatmu!"
"Aku ingin bertemu Selendang Kubur."
Sejurus kedua perempuan itu saling pandang, lalu
kembali bersikap angkuh dan berlagak tegas. Yang
berambut pendek bertanya,
"Ada hubungan apa kau dengan Selendang Kubur?"
"Teman," jawab Suto dengan tegas tapi suaranya
menawan.
"Teman baik atau teman jahat?" tanya yang berambut
pendek lagi.
"Teman baik."
"Teman jauh atau teman dekat?" timpal yang
berambut panjang.
"Teman dekat."
"Dekat sekali," jawab Suto sengaja memancing
penasaran.
"Kekasih atau bukan?"
"Pilih sendiri salah satu. Aku tak punya banyak
waktu. Izinkan aku bertemu dengan Selendang Kubur."
"Tidak ada!" jawab yang berambut pendek bernada
judes.
"Kalau begitu, aku mau bertemu dengan gurumu."
"Tidak ada!"
"Harus ada!" desak Suto.
"Beraninya kau mendesak kami, hah?" sentak yang
berambut panjang berlagak galak, matanya dilebar-
lebarkan biar angker wajahnya. Tapi Suto hanya
tersenyum tipis, ia bahkan membuka tutup bumbung
tuak dan menenggaknya beberapa teguk. Bumbung
kembali ditutup dan diletakkan di punggung.
"Singkirkan tombak kalian. Biar aku masuk menemui
guru kalian!"
"Siapa kamu sebenarnya, hah?!" bentak si rambut
panjang lagi.
"Suto Sinting!"
"Hahh...?!" kedua perempuan itu terbelalak matanya,
namun buru-buru meredupkan kembali. Tak mau
kelihatan kaget. Yang berambut pendek menggumam
sambil menatap temannya di seberang.
"Pendekar Mabuk...?!"
Suto ganti bertampang angkuh dibuat-buat. Matanya
lurus ke depan, dadanya kian dibusungkan, dagunya
sedikit terangkat naik. Suaranya dibuat lebih tegas
berwibawa.
"Buka pintu gerbang!"
Tanpa menjawab, kedua perempuan itu berebut
membukakan pintu gerbang. Kemudian, Suto melangkah
masuk dengan gagahnya. Pintu gerbang kembali ditutup
oleh dua penjaga. Lalu, kedua perempuan itu sama-sama
menghempaskan napas panjang-panjang. Mereka ngos - ngosan,
seperti habis menahan napas beberapa saat
lamanya. Mereka sama-sama bersandar di pinggir pintu
kanan kiri dengan badan lemas.
"Tak kusangka...! Tak kusangka dia murid si Gila
Tuak yang belakangan ini dikabarkan sangat tampan
itu," kata si rambut pendek.
"Iya. Aku juga tak menyangka. Hampir saja mulutku
tadi berteriak keras karena kegirangan bisa bertemu
dengan Suto Sinting. Oh, lututku jadi gemetar
keduanya."
"Lututku juga. Kepalaku jadi pusing. Pandangan
mataku berkunang-kunang...."
"Apakah karena rasa kagumku terhadap
ketampanannya?"
"Kurasa bukan. Kurasa mataku berkunang-kunang
karena sejak tadi pagi aku belum sarapan. Tapi... tapi
begitu habis melihat Pendekar Mabuk itu, perutku jadi
kenyang!" Keduanya mengikik geli.
Kehadiran Suto Sinting di Perguruan Merpati Wingit
menjadikan suasana menjadi heboh. Kasak-kusuk
terdengar di sana-sini seperti angin pagi menghembus
dedaunan rumpun bambu. Mereka saling membicarakan
pria tampan yang melintas menuju ruang pertemuan
yang berbentuk joglo itu. Setiap murid membentuk
kelompok kasak-kusuk sendiri-sendiri.
Bahkan ada yang tertegun diam bagaikan patung
bernyawa dengan mata melotot tak berkedip
memandangi Suto Sinting. Ada pula yang sedang
membawa piring berisi makanan sampai jatuh piringnya
tak terasa karena rasa kagum dan terpikatnya hati orang
itu kepada kegagahan dan ketampanan wajah Suto.
Sepuluh orang murid lainnya yang berseragam hitam-
hitam segera mengepung Suto ketika hendak mencapai
mulut joglo. Perintah mengepung itu keluar dari gerakan
tangan Dewi Murka yang memberi isyarat kepung.
Rupanya Dewi Murka sudah sampai di perguruan dua
hari sebelum Suto sampai di situ. Rupanya pula Dewi
Murka menunjukkan sikap wibawa dan tegas terhadap
sesuatu yang mencurigakan keselamatan perguruannya.
Dua orang murid berpakaian hitam-hitam itu menepi
ke kanan dan ke kiri. Dewi Murka diberi jalan untuk
mendekati Suto dari arah joglo ke pelataran di depannya.
Suto tersenyum kepada perempuan berpakaian hitam
dan bersenjata trisula di pinggangnya. Suto mengenali
perempuan yang bernama Dewi Murka itu, karena dia
pernah bertemu saat perempuan itu mengeroyok
Pujangga Kramat, dan saat perempuan itu ditolongnya
karena racun dari jarum penyerang gelap. Tetapi, Dewi
Murka merasa asing kepada Suto, sebab setelah dia
sembuh dari pengaruh racun yang nyaris merenggut
nyawanya itu, ingatannya tentang Suto menjadi hilang.
Itulah sebabnya dia ngotot ingin bertemu dengan si Gila
Tuak untuk menyampaikan permintaan maaf atas sikap
Murbawati yang dianggap sebagai orang yang dicurigai
(Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode: "Pusaka
Tuak Setan").
Karena ingatannya lemah tentang Suto, Dewi Murka
hanya membatin, "Sepertinya aku pernah melihat orang
tampan ini. Tapi di mana dan kapan, aku tidak tahu!"
Dewi Murka menyipitkan mata dalam memandang
Suto. Wajahnya dibuat angkuh, supaya tidak diremehkan
oleh tamu asingnya. Bahkan suaranya pun dibuat sedikit
ketus berwibawa.
"Sebutkan dirimu dan apa keperluanmu masuk ke
perguruan kami?!"
"Aku mau bertemu dengan Selendang Kubur," jawab
Suto dengan kalem, ia pun sadar bahwa Dewi Murka
telah lupa pada dirinya akibat pengobatan memakai cara
sembur tuaknya itu. Kalau bukan orang dekat dan
berilmu tinggi, orang itu akan lupa pada Suto jika habis
diobati memakai pengobatan sembur tuak.
"Siapa dirimu!" Dewi Murka setengah membentak,
karena merasa pertanyaannya hanya dijawab salah satu
saja.
"Aku Suto, Pendekar Mabuk, murid si Gila Tuak.
Jelas?!" tandas Suto berkesan mengejek.
Mulut Dewi Murka terperangah. Seakan ia baru sadar
sedang berhadapan dengan siapa dirinya saat itu.
Mendengar suara Suto menyebutkan namanya, samar-
samar ingatannya tentang peristiwa jarum beracun itu
mulai menggerayangi pikirannya. Sejurus kemudian,
ingatan itu kembali sempurna. Apa saja yang dialaminya
bersama Selendang Kubur dan Suto waktu di atas Jurang
Lindu itu kembali teringat jelas dalam bayangannya.
Tak heran jika hati Dewi Murka menjadi berdebar-
debar dan membatin.
"O, ya...! Pemuda ini yang dulu membuatku
penasaran ingin melihat wajahnya. Pemuda ini yang dulu
diceritakan Murbawati tentang ketampanannya. Pemuda
ini pula yang dulu pernah menyembuhkan lukaku dari
serangan sebuah jarum beracun. Aduh..., kenapa aku
baru ingat sekarang bahwa aku pernah jatuh rubuh di
dadanya? Oh, indah sekali kala itu. Sekarang pun hatiku
berbunga indah berhadapan dengannya. Tapi... mengapa
yang ia cari Selendang Kubur? Mengapa bukan aku?
Atau Nyai Guru Betari Ayu...?!"
Dari satu sudut muncul seorang perempuan dengan
badan selangsing Selendang Kubur, tapi masih agak
sekal tubuh Selendang Kubur. Suto menatap ke arah
perempuan itu. Sangkanya perempuan itu Selendang
Kubur. Namun begitu perempuan itu makin mendekat,
Suto yakin bahwa perempuan itu bukan Selendang
Kubur.
Tetapi perempuan itu terperanjat belalakkan matanya.
Bahkan saat itu ia berteriak bagai tak sadar.
"Oooh...?! Dia...?! Dia datang...!"
Perempuan yang kegirangan namun salah tingkah itu
tidak lain adalah Murbawati. Dialah perempuan pertama
dari orang Perguruan Merpati Wingit yang tergila-gila
dan penasaran dengan ketampanan Suto. Tak heran jika
ia melonjak dan kehilangan sikapnya sebagai pendekar
perempuan yang dua tingkat di bawah Dewi Murka
ilmunya.
"Ssst...!" Dewi Murka segera mendesis keras
memberi peringatan kepada Murbawati yang berucap
kata tak beraturan karena salah tingkah kegirangannya.
Kemudian, dengan tetap berusaha menenangkan hatinya
yang bergemuruh indah, Dewi Murka bertanya,
"Ada apa kau mau bertemu dengan Selendang
Kubur?"
"Ada sesuatu yang ingin kubicarakan," jawab Suto,
sengaja tidak menjelaskan maksud kedatangannya yang
berhubungan dengan hilangnya Pusaka Tuak Setan,
supaya hal itu tidak menyebar ke mana-mana dan
menjadi bahan buruan setiap orang.
"Selendang Kubur tidak ada. Dia belum pulang," kata
Dewi Murka.
"Kalau begitu, aku mau bicara dengan gurumu!"
"Tidak perlu. Cukup kau bicara padaku!" Dewi
Murka semakin memperbesar ketegasannya untuk
menutupi hatinya yang berbunga-bunga saat itu.
"Tak bisa aku bicara denganmu. Aku perlu bicara
dengan ketua perguruan ini!"
"Nyai Guru sedang sakit! Semua urusan diserahkan
padaku!"
Tetapi, tiba-tiba dari arah belakang Dewi Murka
terdengar suara yang lebih bernada tegas dan berwibawa.
"Biarkan dia menemuiku, Dewi!"
Malu hati Dewi Murka melihat gurunya sudah ada di
belakangnya. Nyai Guru Betari Ayu kelihatan tenang
berkharisma tinggi. Dewi Murka menyisih, membuat
pandangan mata Suto ke arah Betari Ayu menjadi lebih
jelas dan lebih langsung lagi. Dalam hati Suto membatin,
"O, ini guru mereka? Cantik juga. Tapi tidak sebegitu
menarik dengan kecantikan Dyah Sariningrum, idaman
hatiku itu!"
Betari Ayu memerintahkan kepada Dewi Murka dan
Murbawati untuk membubarkan kepungan. Kemudian ia
berkata kepada Suto Sinting.
"Kalau tidak salah dengar telingaku, tadi kau
mengaku murid si Gila Tuak."
"Benar. Ada sesuatu yang ingin kubicarakan padamu
sebagai ketua perguruan di sini."
"Silakan masuk! Jangan bicara di pelataran."
"Harus di mana kita bicara? Di dalam kamar?"
Betari Ayu yang memang ayu itu tersenyum malu.
Ada bunga indah juga yang tumbuh di hatinya. Namun
segera ia memangkasnya, ia melangkah dan diikuti oleh
Suto. Dari kejauhan Dewi Murka dan Murbawati
memperhatikan antara curiga, iri, dan terpesona.
Rupanya Betari Ayu mengajak Suto ke taman di
bagian belakang bangunan joglo itu. Rupanya Betari
Ayu membangun taman indah di sana, yang cukup luas
untuk ukuran taman pribadi, dan mempunyai aneka
macam bunga warna-warni serta sebuah kolam ikan
berpancuran di bagian tengahnya. Satu hal yang
menakjubkan pada taman itu terletak pada kolam
berpancuran airnya. Air yang mancur dari tengah kolam
itu tidak jatuh kembali ke kolam, namun lenyap bagai
berubah menjadi uap dan terbang terbawa angin. Padahal
bentuk air yang memancur itu seperti bunga terompet
yang melengkung pada bagian tepiannya. Mestinya pada
bagian lengkung itu air jatuh ke kolam lagi, tapi ternyata
air menghilang lenyap.
Suto tersenyum memandang air mancur itu. Betari
Ayu pun tersenyum bangga, melihat Suto senang melihat
air mancurnya. Karena memang air mancur itulah yang
dibanggakan oleh Betari Ayu jika ada tamu yang diajak
ke tamannya. Namun kedatangan tamu ke taman itu
belum tentu lima tahun sekali terjadi. Biasanya Betari
Ayu hanya menerima tamunya sampai di bangsal
patemon, sisi samping dari ruang joglo itu. Jika ada
seorang tamu yang diajak bicara di taman tersebut, itu
pertanda Betari Ayu menganggap tamu itu adalah tamu
istimewanya. Sejauh mana keistimewaan tamu itu, hanya
Betari Ayu yang bisa mengukurnya.
Di taman rindang bersuasana teduh itu ada empat
bangku marmer putih yang terletak di beberapa sudut.
Tapi Betari Ayu tidak mengajak Suto duduk di salah
satu bangku tersebut, ia berjalan menyusuri tanaman
rumpun mawar yang beraneka warnanya sambil
mengajak Suto bicara.
"Aku tak sangka kalau akan kedatangan tamu agung
hari ini," sambil Betari Ayu sunggingkan senyum dan
menatap indah sekilas.
"Aku terpaksa datang kemari," kata Suto polos-polos
saja.
"Bagaimana kabar gurumu?"
"Sehat-sehat saja. Kau kenal dengan guruku?"
"Sangat kenal. Hubunganku dengannya cukup baik.
Sayang sekali baru sekarang ini aku mendengar dia
punya murid tampan yang gagah dan menawan."
Betari Ayu menatap sambil hentikan langkah.
Senyumnya kembali mekar bak bunga-bunga di taman,
termasuk di taman hatinya. Suto pun pamerkan senyum
indahnya. Tapi segera ia meraih bumbung bambu
tuaknya dan ia menenggak tuak itu beberapa teguk, ia
lakukan hal itu tanpa malu dan sungkan-sungkan.
"Aku yakin si Gila Tuak menurunkan semua ilmunya
padamu, termasuk kebiasaannya minum tuak dan
mabuk," kata Betari Ayu sambil melangkah lagi dengan
santainya. Suto perdengarkan tawa mirip orang
menggumam. Tapi suara tawanya itu cukup lembut
menyentuh hati.
"Aku datang kemari bukan untuk pamer ilmu, juga
bukan untuk jualan tuak," kata Suto. "Aku ingin bertemu
dengan salah satu muridmu yang bernama Selendang
Kubur!"
Langkah kaki berbetis indah itu terhenti. Perempuan
berambut panjang dengan ikat kepala tali merah
berbintik-bintik kuning emas itu memandang sedikit
heran kepada Suto.
"Apakah kau punya urusan pribadi dengan Selendang
Kubur?"
"Ya," jawab Suto.
"Sangat pribadi?'
"Sangat pribadi."
"Menyangkut cinta?"
"Bukan."
Tampak perempuan berpakaian biru dengan jubah
sutera kuning itu menghela napas dengan lega. Ia
bagaikan terhindar dari satu ketegangan yang
menghimpit hatinya sesaat tadi.
"Selendang Kubur belum pulang sejak ia menyusul
Dewi Murka untuk kuutus meminta maaf pada gurumu."
"Apakah dia pergi ke suatu tempat?'
"Aku tak bisa pastikan tempat itu. Mungkin saja dia
terpikat seorang lelaki dan pergi bersama lelaki itu."
"Apakah dia punya kekasih?'
"Di sini tidak. Tapi di tempat lain, mungkin saja.
Karena dia seorang perempuan cantik yang tentu saja
bisa mempunyai perasaan cinta kepada seorang lelaki.
Kurasa kau tahu setiap perempuan punya perasaan
tertarik dan jatuh cinta pada seorang lelaki. Aku bisa
berkata begitu, karena aku pun seorang perempuan yang
sama seperti Selendang Kubur."
"Juga punya kekasih di tempat lain?"
Senyum sipu mekar di bibir manis Betari Ayu, yang
meski sudah berusia tapi tetap awet muda dan cantik.
Hanya perempuan-perempuan berilmu tinggi yang
punya ilmu awet muda dan tetap cantik. Suto tahu hal itu
dari bibi gurunya, Bidadari Jalang.
Betari Ayu memetik setangkai mawar warna ungu.
Sebuah jenis mawar yang langka ada di setiap tempat.
Mawar ungu itu diserahkan kepada Suto sambil
perdengarkan kata lirihnya,
"Terimalah...."
Suto tersenyum sambil menerima setangkai mawar
ungu. Ia memandangi bunga itu dengan mengagumi
warnanya yang bagus. Bau harum mawar itu pun terasa
lebih lembut dari mawar lainnya.
"Terima kasih, Nyai Guru Betari Ayu," ucap Suto
mengutip nama yang didengar dari kasak-kusuk tadi.
"Tapi apa artinya kau memberikan setangkai mawar
ungu itu padaku?"
Betari Ayu alihkan pandang. Tangannya merapikan
letak ranting mawar yang kurang rapi sambil menjawab.
"Sebagai jawaban dari pertanyaanmu tadi, Suto.
Kalau aku menyerahkan setangkai bunga pada seorang
pria, itu berarti aku berkata bahwa aku belum punya
kekasih di tempat lain, maupun di sini. Dan kalau bunga
itu berwarna ungu, itu pertanda pernyataanku sangat
jarang kuberikan kepada seorang pria. Karena, auh...!"
Betari Ayu sentakkan tangan. Jari telunjuknya
tertusuk duri mawar. Jari itu berdarah dan Betari Ayu
gigitkan bibir menahan sakitnya.
"Ah, kau kurang hati-hati, Nyai...," kata Suto seraya
raih tangan itu dan menyedot darah yang keluar dari luka
di jari telunjuk Betari Ayu. Perbuatan itu dilakukan Suto
tanpa ragu-ragu. Dan Betari Ayu tak bisa menolak,
karena ketika jari itu masuk ke mulut Suto untuk disedot
darahnya, yang timbul hanya rasa nikmat di sekujur
tubuh Betari Ayu. Rasa nikmat itu tak bisa ditahan,
sampai akhirnya Betari Ayu desiskan napas lewat mulut
dengan mata terbeliak nikmat. Jantungnya kian berdetak
cepat dicekam rasa nikmat.
*
* *