Chereads / Pendekar Mabuk / Chapter 17 - 002.Pendekar Mabuk - Pusaka Tuak Setan Eps17

Chapter 17 - 002.Pendekar Mabuk - Pusaka Tuak Setan Eps17

Episode 17

MELIHAT sikap berdiri Suto yang tak bisa tegak,

melihat bentuk mata Suto yang sayu, dan melihat

bumbung tuak yang masih dipegang dengan tangan

kiri Suto, Datuk Marah Gadai segera dapat

menyimpulkan, pemuda berpakain coklat inilah yang

tadi mengganggunya dengan menggunakan raga

Cadaspati. Pemuda yang mengenakan baju tanpa

lengan inilah yang mengendalikan Cadaspati

bertingkah seperti orang gila di hadapannya.

"Berarti dia sudah ada di atas sejak tadi!" geram

Datuk Marah Gadai dalam hatinya. Matanya pun

memandang lebih menyipit kepada Suto yang saat itu

sedang cengar-cengir memandang Peramal Pikun.

"Menurut ramalanku, kau yang bernama Suto

Sinting, murid si Gila Tuak!" kata Peramal Pikun.

Suto menjawab, "Menurut ramalanku, kau

kakaknya Cadaspati yang berjuluk Peramal Pikun."

"Dari mana kau tahu?"

"Dari tadi!" jawab Suto dengan suara mabuknya

yang sesekali cegukan itu. Bahkan ketika Suto

tertawa bersama Peramal Pikun, suara cegukannya

masih sesekali menyentak tubuh.

"Menurut ramalanku, kelak kau dijuluki orang

Pendekar Mabuk! Kau akan menjadi orang sakti.

Bahkan jauh di masa tuamu nanti, kau bisa menjadi

seorang tokoh yang bergelar Tokoh Sinting. Tentu saja

kau akan mempunyai murid yang sinting-sinting

semua. He he he he...!"

"Kalau... huk... kalau begitu, huk... aku buka

perguruan, huk... perguruan Sinting Teladan saja,

huk...!" sambil Suto cegukan.

Datuk Marah Gadai membentak, "Ini bukan urusan

ramal-meramal! Ini urusan Pusaka Tuak Setan!"

"Sudah kubilang tadi, huk... Paman. Kalau kau,

huk... minum tuak itu, huk... maka kau akan... akan

menjadi setan, huk!"

"Itu bukan urusanmu! Menyingkirlah, biar

kuhancurkan dulu kedua orang tua itu, Bocah

ingusan!"

"He he he...," Suto tertawa dan bicara kepada

Peramal Pikun. "Dia mengatakan aku sebagai bocah

ingusan, huk...! Padahal aku cuma ingusnya bocah,

huk... he he he...!"

Rupanya kesempatan itu digunakan oleh

Cadaspati untuk menelusup pergi. Dan dengan sisa

tenaganya ia segera melarikan diri dari arena

pertarungan. Karena pada waktu itu Cadaspati

membatin.

"Aku tak akan mampu menghadapi Datuk Marah

Gadai dalam keadaan terluka begini. Aku bisa mati di

tangannya! Sebaiknya aku melarikan diri, biar

masalah Datuk diurus oleh Renggono, kakakku!"

Datuk Marah Gadai sempat melihat kelebatan

sosok Cadaspati yang meninggalkan tempatnya.

Maka ia pun segera berteriak.

"Hai, mau ke mana kau?! Jangan lari, Jahanam!"

Serta-merta Datuk Marah Gadai melompat untuk

mengejar Cadaspati. Namun, secepatnya pula

Peramal Pikun melompat dengan bersalto satu kali di

udara. Tongkatnya dibabatkan ke arah kepala Datuk

Marah Gadai. Wungng...! Tongkat itu tidak mengenai

sasaran, namun membuat tubuh Datuk Marah Gadai

bagaikan dihantam seribu topan. Tubuh yang terkena

kibasan angin tongkat itu terjerembab jatuh ke tanah

dengan wajah membentur semak-semak. Prosss...!

Peramal Pikun kembali berdiri tegak di tanah

dengan tongkat digenggam tangan kanan. la

menertawakan keadaan Datuk Marah Gadai, yang

segera berusaha bangkit dengan mengusap-usap

wajahnya. Wajah itu menjadi merah tergores-gores

akibat duri semak yang ditabraknya.

"Keparat kau, Peramal Pikun! Terang sudah kau

turut campur dengan urusanku! Jelas sudah kau bikin

persoalan baru denganku!" geram Datuk Marah Gadai

dengan wajah menampakkan kemarahannya.

"He he he... terpaksa aku bikin urusan lagi

denganmu, karena kau mengancam nyawa adikku!"

Napas Datuk Marah Gadai terengah-engah.

Sekarang sedang berusaha diredakan. Pada saat itu,

terucap dalam batin Datuk Marah Gadai.

"Angin pukulannya lebih hebat dari yang dulu.

Sekalipun aku bisa mengalahkan dia di sini, tapi aku

akan kehilangan pusaka yang sudah kuincar

bertahun-tahun lamanya itu. Aku tak boleh larut

melayani dia. Aku harus mencari kesempatan untuk

mengejar Cadaspati. Tak mungkin ia bisa berlari jauh

karena ia dalam keadaan terluka oleh pukulanku

tadi."

Suto tidak ikut campur. la bahkan menenggak

tuaknya lagi. Diteguk sedikit, sebagai pembasah

tenggorokan, kemudian duduk di sebuah batu sambil

menyaksikan pertarungan tersebut, sambil sesekali

memperdengarkan suara cegukannya.

Mata Suto sempat terperanjat ketika Datuk Marah

Badai tiba-tiba menghantamkan pukulan jarak

jauhnya ke telapak kaki Peramal Pikun yang punya

nama asli Renggono itu. Pukulan tersebut mampu

membuat tanah tempat berpijak kaki Peramal Pikun

tersentak naik bersama tubuh di atasnya yang

terdorong ke belakang.

Broolll...!

Wusss...! Tubuh Peramal Pikun bagai didorong

kuat dan dijumpalitkan ke belakang. Mau tak mau

manusia keriput berambut putih panjang itu bersalto

satu kali.

Belum sampai kakinya memijakkan tanah lagi,

Datuk Marah Gadai telah kembali mengirimkan

pukulan tenaga dalamnya dengan menyentakkan

kedua tangannya ke depan. Wuuugh...! Angin besar

melesat dari kedua tangan.

Peramal Pikun segera menghentakkan tongkatnya

ke depan dalam keadaan berdiri. Rupanya ia

menahan pukulan Datuk Marah Gadai dengan tenaga

dalam yang disalurkan melalui kepala tongkatnya

yang berbentuk kepala burung garuda itu.

Duub...!

Dua tenaga dalam berilmu tinggi saling

berbenturan di pertengahan jalan. Satu benturan itu

mengakibatkan tubuh Datuk Marah Gadai tersentak

ke belakang dan oleng ke kiri, lalu jatuh di atas kayu

runcing.

"Aaauh...!" Datuk Marah Gadai memekik karena

pantatnya tertusuk kayu runcing. la segera bangkit

dan mencabut ranting kayu yang terbawa pantatnya.

Pada saat itu, Suto tertawa geli melihat Datuk

Marah Gadai seperti sedang dipermainkan oleh

Peramal Pikun. Sedangkan Peramal Pikun sendiri

hanya tersenyum-senyum dengan tubuh tetap berdiri

pada tempatnya. la berkata kepada Suto.

"Pernah melihat beruang kecocok paku? Nah,

lihatlah dia! Persis seperti beruang kecocok paku!"

Suto yang ada di belakang Peramal Pikun itu

semakin tertawa terbahak-bahak dalam pengaruh

mabuknya. Mendengar suara tawa Suto, hati Datuk

Marah Gadai semakin panas. Maka, ia pun segera

mengangkat kakinya dan menendang penuh kerahan

tenaga dalam ke arah depan. Dari tendangan kaki itu

melesatlah sinar putih keperakan. Meluncur dengan

cepat ke arah tubuh Peramal Pikun.

Dengan gerakan tua yang masih gesit, Peramal

Pikun melompat ke samping dan bersalto satu kali.

Akibatnya sinar putih keperakan itu melesat terus ke

arah Suto yang sedang duduk di batu.

Melihat kilatan cahaya putih keperakan melesat ke

arahnya, Suto segera menyilangkan bumbung

tuaknya di depan wajah. Sinar itu tepat mengenai

bumbung, namun tidak segera meledakkan

bumbung, juga tidak segera padam, melainkan justru

berbalik melesat ke tempat asalnya. Wusss...!

Kecepatannya melebihi kecepatan semula.

Datuk Marah Gadai tersentak kaget bukan

kepalang. Terpaksa ia segera melentingkan tubuh,

menggunakan ilmu peringan tubuh yang cukup tinggi,

hingga dalam kejap berikutnya ia sudah berada di

atas sebuah pohon, ia terhindar dari sinar putih

keperakan itu. Sinar tersebut menghantam sebuah

pohon lain. Pohon itu segera lenyap seketika, tinggal

serpihan bubuk yang menggunduk di tempatnya.

"Sinting betul bocah itu!" geram hati Datuk Marah

Gadai. "Jurus 'Tapak Dewa'-ku bisa dikembalikan

sambil cengengesan! Baru sekarang aku melihat ada

orang yang bisa menangkis jurus 'Tapak Dewa'

dengan sebatang bambu dan mengembalikan ke

asalnya. Benar-benar sinting bocah itu!" Datuk Marah

Gadai terheran-heran.

Sementara itu, Peramal Pikun pun sempat terkejut

melihat Suto bisa mengembalikan jurus 'Tapak Dewa'

yang terkenal dahsyat dan berbahaya itu. Jurus

'Tapak Dewa' adalah salah satu jurus andalan Datuk

Marah Gadai. Peramal Pikun tahu, jurus itu tak bisa

ditangkis kecuali dihindari atau diadu dengan

kekuatan yang lebih dahsyat lagi.

Peramal Pikun pun ingat, bahwa dulu ketika

sepuluh tahun yang lalu ia melawan Datuk Marah

Gadai, ia dibuat kelabakan menghindari jurus 'Tapak

Dewa' tersebut. Dulu, ia belum punya ilmu yang bisa

menandingi jurus 'Tapak Dewa'. Sekarang ia sudah

mempunyai jurus tandingan sehingga tadi ia bisa

menyelamatkan Cadaspati dengan sinar merah dari

kepala tongkatnya, yang dinamakan jurus 'Patuk

Garuda'.

Peramal Pikun mengakui, ia tak akan berani

menangkis jurus 'Tapak Dewa'. Karenanya ia sangat

terheran-heran melihat Suto dengan cengengesan

menangkis jurus itu menggunakan bumbung tempat

tuaknya. Peramal Pikun pun membatin.

"Bumbung itu pasti bukan sembarang bumbung.

Dan ilmu anak ini sungguh telah mewarisi ilmunya si

Gila Tuak. Hanya si Gila Tuak-lah yang selama ini

selalu bisa menangkis jurus-jurus maut atau ilmu-ilmu

sedahsyat apa pun. Hmmm... rupanya di dalam jiwa

Suto Sinting ini terpendam jiwa si Gila Tuak bersama

seluruh kesaktiannya. Jika bukan orang berilmu

tinggi, mempunyai kesaktian tingkat atas, tak

mungkin ia bisa menangkis dan sekaligus

mengembalikan jurus 'Tapak Dewa' itu. Aku berani

bertaruh, bocah sinting ini akan cepat dikenal

namanya di rimba persilatan. Tapi, o, ya... aku sedang

ada urusan dengan Datuk Marah Gadai! Bukan

mengagumi kehebatan bocah sinting itu...!"

Kesadaran Peramal Pikun terlambat.

Pandangannya dilayangkan ke atas, ternyata tempat

itu sudah kosong. Pohon yang semula dipakai

bertengger oleh Datuk Marah Gadai itu bagai

menelan tubuh sedikit gemuk milik Datuk Marah

Gadai. Peramal Pikun mulai bingung, la bertanya

kepada Suto Sinting.

"Ke mana orang itu tadi?"

Murid si Gila Tuak menjawab, "Pergi. Lari ke sana!"

ia menunjuk ke arah perginya Cadaspati tadi.

"Mungkin dia mengejar adikmu, huk... yang bernama

Kadaspati itu!"

"Cadaspati! Bukan Kadaspati!" sentak Peramal

Pikun membetulkan ucapan Suto yang keliru. Suto

hanya tertawa sambil mengangguk.

"Mengapa kau tidak menahannya?!" kata Peramal

Pikun, sepertinya menyalahkan Suto. Murid Gila Tuak

itu menjawab.

"Aku tidak ada urusan dengan dia! Jadi kubiarkan

dia lari ke sana, huk...!"

"Tapi dia akan berhasil merebut Guci Pusaka Tuak

Setan dari tangan adikku!"

"Kau bilang tadi, menurut ramalanmu, Guci Pusaka

Tuak Setan akan jatuh ke tanganku, huk...! Jadi,

untuk apa aku menghalangi kepergiannya!"

"Memang akan jatuh ke tanganmu. Tapi kalau kau

tidak merebutnya, tentu saja akan jatuh ke tangan

orang lain!"

"Berarti ramalanmu itu palsu!"

"Palsu atau tidak, itu tergantung anggapan orang.

Yang jelas, kau harus merebut Pusaka Tuak Setan itu

dari tangan si Datuk Marah Gadai!"

"Dia, huk... dia tidak membawa Pusaka Tuak

Setan. Yang membawa adalah adikmu! Apakah kau

ingin agar aku membunuh adikmu untuk merebut

Guci Pusaka Tuak Setan itu?"

"Itu berarti kau harus berurusan denganku Suto

Sinting!"

"Aku malas berurusan denganmu! Bukan karena

aku takut padamu, tapi aku segan melawan orang

lemah, huk!"

Tersinggung hati Peramal Pikun dikatakan sebagai

orang lemah. Tapi ia menahan diri untuk tidak

melepaskan kemarahannya. la hanya berkata dalam

hati.

"Kalau bukan karena aku sedang membutuhkan

dia, sudah kuhajar habis mulutnya yang mabuk itu!

Sayang aku harus membujuknya untuk ikut mengejar

Datuk Marah Gadai, sebab ia bisa kujadikan tameng

dan menambah kekuatanku jika ia ada di pihakku.

Yang jelas, Datuk Marah Gadai jangan sampai

menemukan Cadaspati. Sebab aku tahu, Cadaspati

terluka cukup parah. Dia tak akan mampu lagi

melawan Datuk Marah Gadai."

Suto berdiri dari duduknya dengan sempoyongan.

la berkata dengan suara mabuknya.

"Aku mau mandi, biar segar badanku!"

"Hei, bukankah tugasmu menghancurkan Pusaka

Tuak Setan?"

"Dari mana kau tahu?"

"Kudengarkan percakapanmu dengan si Gila Tuak

dari kejauhan."

"Oh, kalau begitu ilmumu tinggi juga, huk...! Aku

mau mandi!"

"Bocah ini benar-benar sinting!" kata Peramal

Pikun dalam hati. "Sebaiknya aku segera menyusul

Datuk Marah Gadai, sebelum ia menewaskan

Cadaspati!"

*

**