Chereads / Pendekar Mabuk / Chapter 13 - 002.Pendekar Mabuk - Pusaka Tuak Setan Eps13

Chapter 13 - 002.Pendekar Mabuk - Pusaka Tuak Setan Eps13

Episode 13

JIKA bukan orang berilmu tinggi, tak akan mampu

menembus curah air hujan yang begitu derasnya. Di

dalam gua, di balik curah air terjun raksasa itulah

Suto digodok bertahun-tahun oleh si Gila Tuak. Anak

itu tak akan bisa keluar dari gua sebelum mencapai

ilmu peringan tubuh dan tenaga dalam yang cukup

kuat. Karena tanpa kekuatan tersebut, Suto tak akan

bisa menembus curah air terjun raksasa itu.

Gua di balik air terjun tersebut, bukan gua

sembarang gua. la memiliki mulut yang kecil, hanya

cukup untuk satu orang dan tak bisa terlihat dari luar

air terjun. Setiap orang yang melompat masuk

menembus air terjun itu harus tepat tiba di bibir

mulut gua. Jika tidak, maka ia akan jatuh tergelincir

dan menjadi santapan batu-batu runcing di

bawahnya. Itulah sebabnya dikatakan bahwa tidak

semua orang bisa mencapai mulut gua.

Memang mulut gua itu sempit, namun di bagian

dalamnya cukup lega dan luas. Mempunyai lapisan

tanah bersusun-susun. Mempunyai kedalaman yang

lebih dari seratus langkah terhitung dari mulutnya.

Dan mempunyai langit-langit yang tinggi, lebih dari

sepuluh tombak tingginya.

Di setiap sisi dinding gua terdapat obor-obor

penerang yang bahan bakarnya terbuat dari minyak

kelapa. Lebih dari tiga puluh obor mengelilingi dinding

gua, dan lebih dari dua puluh lampu minyak

berukuran kecil yang mengelilingi tanah datar sebagai

tempat berlatih gerakan jurus-jurus maut si Gila Tuak.

Tetapi kali ini Suto tidak melakukan gerakan jurus-

jurus maut tersebut. Suto dibiarkan duduk bersila

dengan dikelilingi nyala dian kecil. Si Gila Tuak

sengaja duduk di sebuah balai-balai bambu sambil

sesekali menenggak tuaknya.

Rupanya ia baru saja bangun dari tidurnya. Dan,

rupanya sudah sejak tadi Suto dibiarkan duduk

bersila dengan kedua mata terpejam. Jelas hal itu

sudah lama dilakukan oleh Suto karena sekujur

tubuhnya berkeringat. Baju yang dilepaskan dari awal

semadinya itu menampakkan punggung lebar dan

kekar itu berkilauan oleh butir-butir keringatnya.

Ada perasaan bangga di hati si Gila Tuak

memandang ketekunan muridnya. la terkekeh sendiri

setelah meneguk tuaknya untuk yang kesekian kali.

Dalam hatinya ia berkata,

"Tiga hari sudah kubiarkan dia duduk di situ.

Rupanya belum juga ia berhasil menyelesaikan

tugasnya. Tapi kulihat ada kemauan keras pada

dirinya untuk memburu tugas yang diberikan. Dia

dalam kesulitan menyelesaikan tugasnya, namun dia

tidak mau menyerah. Sayang, keadaan tidak bisa

menunggu menyerah dirinya. Aku harus membangun

semadinya!"

Serta-merta si Gila Tuak melemparkan sekeping

logam bekas patahan ujung tombak. Benda itu

runcing dan meluncur cepat tak dapat terlihat oleh

mata telanjang. Benda itu akan menancap di

punggung Suto yang berkulit sawo matang. Zingng...!

Tappp...!

Tangan Suto berkelebat ke belakang tanpa

berpaling sedikit pun. Benda yang melayang itu

ditangkap dengan tangannya. Kemudian tangan itu

bergerak menyentak pelan, namun membuat benda

yang ditangkapnya kembali melesat lebih cepat dari

gerakan terbangnya yang tadi.

Crangng!

"Ait...!" si Gila Tuak melompat dari tempat

duduknya. Hampir saja benda itu mengenai

pundaknya kalau tidak segera berkelit ke kiri dan

melompat turun dari balai-balai bambu.

"Konyol!" geram hati si Gila Tuak. "Dia selalu

membalikkan seranganku. Lebih cepat dari dugaanku

semula. Dan, kali ini aku tak menyangka kalau dia

akan membalikkan benda itu. Untung sisa

kegesitanku masih ada, sehingga benda itu

menancap pada dinding batu. Kalau tidak, bisa jadi

pundakku ditembus oleh benda itu. Cukup bagus juga

sentakan tenaga dalamnya. Dalam gerakan tangan

pelan sudah dapat membuat benda besi itu meluncur

melebihi kecepatan lemparanku tadi. Hmmm...

agaknya bocah tanpa pusar itu memang mempunyai

kelebihan dalam kekuatannya. Mungkin juga

pengaruh jurus-jurus pernapasan yang diturunkan

oleh Bidadari Jalang kepadanya, sehingga

menghasilkan kekuatan yang lebih besar dari

kekuatan yang ada adaku maupun pada Bidadari

Jalang."

Dengan langkah seenaknya si Gila Tuak mendekati

sang murid. Matanya memandang tajam dan penuh

curiga. Karena pada saat itu, Suto tidak segera

menyelesaikan semadinya, melainkan melanjutkan

semadinya dengan cara memejamkan mata, dan

kedua tangan tetap terletak lurus di kedua lututnya

yang bersila. Kedua tangan itu sama-sama

menggenggam walau tak terlalu kencang.

"Suto, berhentilah! Aku mau bicara padamu!"

Suto masih diam, sepertinya tidak mendengar

ucapan sang Guru. Tiga kali kata-kata itu dilontarkan

dengan nada semakin keras, tapi Suto tetap diam tak

bergerak sedikit pun kecuali pernapasannya.

"Keras kepala kau ini, hah?!" bentak si Gila Tuak.

Suto masih tidak bergeming bagaikan patung batu.

Gila Tuak bergerak ke depan, jaraknya tujuh langkah

dari tempat Suto bersila. Dengan jengkel ia

lemparkan tongkatnya ke arah dada Suto. Tongkat itu

meluncur dengan ujung bagian bawahnya terarah ke

dada Suto seperti anak panah.

Tiba-tiba Suto menggerakkan tangan kanannya.

Dua jari terbuka keras dan berhasil menahan ujung

tongkat yang melesat cepat.

Tappp...! Tongkat tertahan dua jari Suto. Mata Suto

tetap terpejam. Kemudian, kedua jari itu bergerak

menyentak ke depan dengan pelan. Wuugh...!

Tongkat melesat berbalik ke asalnya dalam

keadaan tetap mendatar di udara bagaikan anak

panah. Namun kali ini gerakan tongkat begitu

cepatnya sehingga si Gila Tuak terperanjat terkesima.

la tak menyangka Suto akan mengembalikan

tongkatnya dalam satu sentakan jari yang pelan,

namun menghasilkan kekuatan tampar cukup besar.

Kepala tongkat meluncur ke arah dada Gila Tuak.

Mau tak mau sang Guru segera berkelit ke samping

dan tongkatnya kembali membentur dinding batu.

Duaaang...!

Gua tersebut bagai ditabrak seribu banteng.

Berguncang menggetarkan semua obor dan benda-

benda yang menempel di dinding. Salah satu obor

jatuh. Obor itu ada di belakang Gila Tuak. Apinya

nyaris menyambar ujung jubah Gila Tuak. Cepat-cepat

kakek berjubah kuning itu melompat sambil berteriak

antara kaget dan jengkel.

"Kucing Kurap! Semut Bunting!" makinya sambil

mengibas-ngibaskan api yang hendak membakar

ujung jubahnya.

Getaran dinding gua berhenti. Obor yang jatuh

dipasang kembali. Mata si Gila Tuak memandang

curiga kepada muridnya. Tongkatnya diambil dan

digenggam dengan tangan kiri. Hatinya berkata,

"Ada yang tidak beres pada dirinya. Hmmm... ada

apa sebenarnya? Dia kusuruh mencoba mencari

Pusaka Tuak Setan yang kusembunyikan, namun

kenapa sampai tiga hari belum selesai juga? Padahal

seharusnya dia mempunyai tali hubungan dengan

Pusaka Tuak Setan, karena semua ilmuku sudah

kuturunkan padanya."

Si Gila Tuak tak berani mengganggu semadinya

Suto lagi. Tapi ia duduk di sebuah batu datar yang

ada di depan Suto, berjarak empat langkah darinya. la

bakal menunggu sadarnya Suto dari semadi. la duduk

sambil sesekali menenggak tuak dari dalam guci

besar yang tadi diambilnya dari pembaringan bambu.

Beberapa saat lamanya setelah menunggu,

akhirnya si Gila Tuak membangunkan semadi Suto

melalui suara batinnya.

"Suto, bangunlah. Buka matamu!" Maka, pelan-

pelan Suto membuka matanya. Seketika itu

terperangah kaget wajah si Gila Tuak melihat kedua

mata Suto berdarah. Darah itu mengalir dari balik

kelopak mata, membasahi pipi Suto bagaikan air

mata seorang lelaki. Dahi Gila Tuak berkerut tajam

dengan mata tak berkedip memandangi muridnya.

"Apa yang terjadi, Suto!" sentak si Gila Tuak. Suto

menarik napas panjang, kemudian menjawab, "Tidak

apa-apa, Kakek Guru," sambil ia mengusap air yang

meleleh dari matanya.

Tetapi, rupanya Suto sendiri tidak menyadari

adanya darah yang keluar dari kelopak matanya. la

terkejut ketika melihat tangannya berlumur darah

setelah mengusap pipinya. Mata itu segera

memandang gurunya dengan tajam dan tegang.

"Apa yang terjadi pada diri saya, Guru?!" ia justru

balik bertanya, membuat si Gila Tuak menjadi

kebingungan menjawabnya.

Segera sang murid didekati. Gila Tuak memeriksa

mata muridnya dengan bersimpuh di depan sang

murid. Darah yang keluar dari mata Suto

dipegangnya, diremas-remas dengan kedua jari,

bahkan diciumnya sesaat. Kemudian, tampak kepala

si Gila Tuak mengangguk-angguk kecil seperti

menemukan sesuatu dalam hatinya.

"Guru, mengapa kedua mata saya mengucurkan

darah? Apakah saya terkena pukulan tenaga dalam

dari luar gua?"

"Tidak! Kau menangis!" jawab si Gila Tuak sambil

berdiri untuk mengambil kain pembersih. Sementara

itu, Suto menjadi terbengong mendengar jawaban

tersebut.

"Saya menangis, Guru?!"

"Ya. Itu disebabkan karena perasaanmu telah

bekerja sebegitu kuatnya, hingga tangismu bukan lagi

tangis air mata, melainkan tangis darah."

Gila Tuak mendekati kembali sambil melemparkan

kain pembersih. Suto menangkapnya, lalu

membersihkan darah dari wajahnya, juga dari kedua

sudut matanya. Telinganya masih mendengar gurunya

berkata,

"Pasti kau telah melakukan pengembaraan sukma

terlalu jauh. Kau hanya kuperintahkan untuk mencari

di mana Pusaka Tuak Setan itu kusembunyikan.

Tugas itu kuberikan padamu untuk mengetahui

apakah kau mempunyai tali hubungan dengan

pusaka leluhurku itu atau tidak. Jika kau punya

hubungan batin dengan pusaka itu, berarti kau akan

mampu menghancurkan pusaka tersebut. Tetapi jika

kau tidak punya hubungan batin, kau tidak akan bisa

menghancurkan pusaka Tuak Setan."

Gila Tuak duduk kembali ke batu yang tadi. Suto

selesai mengeringkan darah dari sudut matanya.

Pandangan matanya tetap terang, tidak mengalami

buram sedikit pun. Gila Tuak berkata dengan tegas.

"Tapi rupanya sukmamu tidak mencari tempat

persembunyian Pusaka Tuak Setan, melainkan

mengembara ke mana-mana! Itu aku tidak suka,

Suto! Aku kecewa dengan sikapmu!"

"Saya sudah menemukan di mana pusaka itu

disembunyikan Kakek Guru!" kata Suto juga dengan

tegas.

"Di mana?" pancing Gila Tuak.

"Di sebuah telaga, di bagian dasar telaga itulah

guci Tuak Setan terkubur!"

Mulut si Gila Tuak terbungkam. Hatinya berkata,

"O, kalau begitu dia memang sudah menemukan

Pusaka Tuak Setan. Dia punya tali hubungan batin.

Dialah yang bisa menghancurkan pusaka itu dengan

kekuatan batinnya. Bagus kalau begitu adanya!"

Terdengar suara Suto menuntut kepastian,

"Apakah penglihatan sukma saya salah, Kek?"

"Tidak. Sukmamu telah menemukan kuburan

Pusaka Tuak Setan itu. Tapi, mengapa kau sampai

mencucurkan air mata berdarah, Suto? Apa yang

telah terjadi pada sukmamu?"

Suto bangkit, berjalan mendekati bumbungnya. la

menenggak beberapa teguk tuak dari bumbung

tersebut. Setelah itu ia kembali mendekati gurunya

sambil masih memegangi bumbung dari bambu

pilihan itu.

"Kakek Guru, sejujurnya saya katakan, sukma saya

telah bertemu dangan seorang wanita cantik yang

sangat menarik hati. Wanita itu berwajah duka. Saya

kasihan sekali padanya. Tapi dia tidak mau

menyebutkan apa penyebab dukanya itu. Dia sempat

menangis ketika jatuh dalam pelukan saya, Kek. Dan

saya biarkan dia menangis sambil menyandarkan

kepalanya di dada saya. Hati saya menjadi turut

berduka, seakan merasakan kesedihan yang lebih

dalam dari kesedihan yang disandangnya. Apa artinya

itu, Kek?"

Si Gila Tuak terkekeh-kekeh menertawakan kata-

kata Suto. Sang murid menjadi berkerut dahi

ditertawakan demikian. Hatinya menjadi dongkol dan

ingin berontak karena merasa dilecehkan oleh sang

Guru. Beberapa saat setelah sang Guru puas tertawa,

ia pun berkata,

"Itulah perempuan yang bakal menjadi jodohmu

kelak, Suto. Rupanya sukmamu yang nakal

menerobos sejarah hidupmu di masa mendatang,

dan menemukan wanita yang menjadi jodohmu."

"Begitukah?"

"Ya," jawab Gila Tuak sambil melirik ke samping,

memandangi sang murid yang termenung dengan

dahi masih berkerut.

"Siapa nama perempuan itu, Suto?" tanya Gila

Tuak setelah menenggak tuaknya kembali.

"Namanya...?" Suto semakin mengerutkan dahinya,

mengingat-ingat sebuah nama. Sejurus kemudian ia

pun menjawab dengan nada jelas. "Dyah Sariningrum,

itu namanya!" Sambil tetap tersenyum, si Guru

menggumamkan nama itu,

"Dyah Sariningrum...?! Bagus sekali nama itu.

Cantik sekali!" Gila Tuak manggut-manggut.

"Wajahnya juga cantik, Kakek Guru. Lebih cantik

dia daripada Bibi Guru Bidadari Jalang."

"Ssst...! Jangan keras-keras. Kalau kebetulan bibi

gurumu ada di sekitar sini dan dia mendengar, dia

bisa melabrakmu! Dia tidak pernah mau

kecantikannya dikalahkan oleh perempuan mana pun

juga!"

Suto hanya tersenyum malas-malasan. Ini

pertanda otaknya masih tertuju pada seraut wajah

cantik yang ditemukan dalam pengelanaan sukmanya

tadi. Karena itu, Suto pun segera bertanya,

"Apakah benar Dyah Sariningrum itu calon jodoh

saya, Kek? Apakah bukan sekadar calon teman

biasa?"

"Jika ia calon teman biasa, tangismu tak akan

berupa darah. Aku tahu, tangis itu tangis kesedihan

yang sesungguhnya milik Dyah Sariningrum. Jika

sampai kau mencucurkan air mata berdarah, itu

pertanda kesedihan yang dialami Dyah Sariningrum

sungguh besar dan dalam sekali. Jika tak begitu

besar kesedihan itu, tak akan kau mencucurkan air

mata darah, Suto."

Kepala pemuda tanpa pusar itu manggut-manggut

sambil menggumam. Lalu, ia kembali bertanya,

"Di mana saya bisa menjumpainya, Kek?"

"Di suatu tempat. Tak ada yang tahu dengan pasti.

Hanya dirimu yang mengetahuinya. Tapi percaya saja

padaku, tanpa kau cari dia akan bertemu denganmu,

karena dia adalah jodohmu."

"Tapi saya tak sabar ingin segera menemuinya,

Kek!"

"Berlatih sabar adalah hal yang baik dalam

hidupmu, Suto. Jangan memburu nafsu pribadi. Itu

justru akan mencelakakan dirimu," kata si Gila Tuak

sambil menatap tajam pada muridnya. Sambungnya

lagi. "Sekarang tugasmu yang utama harus

menghancurkan Pusaka Tuak Setan itu! Musnahkan

pusaka itu, supaya tidak menjadi sumber bencana

bagi sesama manusia, juga sesama makhluk ciptaan

Yang Maha Kuasa."

"Baik. Saya sudah paham dengan maksud Kakek

Guru. Tapi, di mana letak telaga yang dipakai

mengubur pusaka itu, Kek?"

"Namanya Telaga Manik Intan. Letaknya ada di

sebelah barat pegunungan Suralaya."

"Ya. Saya paham, Kek. Tapi ada satu hal yang

belum saya mengerti, tentang adanya benda

berkilauan yang terlihat oleh mata sukma saya ketika

menemukan Tuak Setan itu. Benda tersebut ada di

samping Guci Tuak Setan. Benda apakah itu

sebenarnya, Kek?"

"Kau melihatnya dengan jelas?"

"Tidak terlalu jelas."

Si Gila Tuak mengangguk-angguk sambil

menggumam.

"Benda itu milik bibi gurumu. Benda itu adalah

sebuah cincin. Namanya; Cincin Manik Intan,

warnanya putih berkilauan. Batu cincin itu warisan

dari guru bibi burumu yang bernama Eyang Nini Galih.

Batu Cincin Manik Intan itu konon terbentuk dari

tetesan air mata Bidadari yang sedang memendam

murkanya begitu hebat, hingga hanya bisa menangis."

"Apa keistimewaan batu itu, Kek?"

"Sangat berbahaya jika dipakai oleh orang yang

tidak bisa mengendalikan nafsu amarahnya. Batu itu

bisa memancarkan kekuatan dahsyat hanya dengan

menyalurkan tenaga dalam melalui cincin tersebut.

Tenaga dalam sekecil apa pun jika tersalur lewat batu

itu akan berubah menjadi tenaga dahsyat yang

mampu melelehkan baja setebal satu depa."

"Dahsyat sekali!" gumam Suto kagum.

"Ya. Tapi dulu bibi gurumu pernah menggunakan

cincin tersebut. Sayangnya dia tidak bisa

mengendalikan kemarahan. Cincin itu memancarkan

kekuatan dahsyatnya tanpa terarah pada saat bibi

gurumu sedang memendam kemarahan. Ke mana

pun gerakan tangan yang mengenakan cincin itu

telah mengeluarkan kekuatan dahsyat dan

menghantam apa saja yang ada di depannya. Banyak

korban tak bersalah menjadi sasaran tenaga dalam

yang keluar melalui cincin tersebut."

"Lalu, mengapa Bibi Guru menguburnya di dasar

telaga juga?"

"Aku membujuknya agar ia tidak memakai cincin

itu lagi. Karena pada saat itu, nyawaku sendiri hampir

saja menjadi korban tak bersalah. Akhirnya, bibi

gurumu mau menguburkan cincin itu asalkan aku

mau menguburkan satu-satunya pusaka andal yang

kumiliki. Kami pun bersepakat, aku menguburkan

Tuak Setan dan bibi gurumu menguburkan Cincin

Manik Intan. Kedua pusaka itu sangat berbahaya bagi

keselamatan orang banyak. Aku sendiri tidak berani

menggunakan Tuak Setan, karena aku khawatir

malah nantinya menjadi penyebar bencana di seluruh

pulau Jawa."

Alangkah hebatnya kedua pusaka tersebut.

Dengan menenggak habis Tuak Setan, napas orang

yang meminumnya dapat mendatangkan badai yang

begitu dahsyatnya hingga bisa menyapu permukaan

pulau Jawa. Tentu saja kedua pusaka tersebut

menjadi bahan incaran para tokoh dunia persilatan,

terutama tokoh-tokoh dari golongan hitam.

Dugaan Suto itu memang benar. Sebab, pada saat

percakapan itu terjadi, sebenarnya ada beberapa

pasang telinga yang mencuri dengar melalui kekuatan

telinga dalamnya. Mereka ada di luar gua, bahkan

ada yang jauh dari gua, namun dengan suatu ilmu

kekuatan batin mereka mampu mendengar

percakapan tersebut.

Karena pada saat selesai berbicara tentang Cincin

Manik Intan, tiba-tiba si Gila Tuak menutup mulutnya

sendiri. Wajahnya berubah menjadi tegang dan

cemas.

"Ada apa, Guru?" tanya Suto.

"Ada yang mencuri percakapan kita," jawabnya

dengan pelan tapi mengandung ketegasan yang

menegangkan. Lalu, Gila Tuak berkata,

"Lekas, pergilah ke Telaga Manik Intan, hancurkan

kedua pusaka itu sebelum mereka lebih dulu

menemukannyal"

"Baik, Guru. Tapi bolehkah saya tahu, mengapa

bukan Kakek Guru sendiri yang turun tangan dalam

hal ini?"

"Kalau aku yang menghancurkan pusaka Tuak

Setan, aku akan mati. Karena itu warisan untukku

yang tidak kusukai. Tapi jika kau yang

menghancurkan, aku tetap hidup. Artinya, tidak mati

karena hancurnya Pusaka Tuak Setan. Ditambah lagi,

aku sudah berjanji pada diriku sendiri, tidak akan

turun ke rimba persilatan lagi jika aku sudah

mempunyai murid tunggal. Aku hanya akan turun

kembali ke dunia persilatan jika dalam keadaan yang

benar-benar terpaksa, demi menyelamatkan banyak

manusia. Jadi, kurasa sekaranglah saatnya kau

muncul di permukaan rimba persilatan untuk menjadi

wakilku!"

"Saya mengerti, Guru!"

"Kerjakan!"

*

* *