Episode 15
PADA saat Suto menenggak tuak dengan
mendonggakkan kepalanya, pada saat itulah
seseorang di balik persembunyiannya melepaskan
jarum beracun ke arah Suto. Tetapi, bertepatan
dengan itu pula tubuh Dewi Murka bergeser tanpa
sadar menutup jalannya jarum beracun, sehingga
yang menjadi sasaran adalah punggungnya.
Rupanya perkataan Dewi Murka yang terputus-
putus itu bukan lantaran gugup melihat ketampanan
Suto, melainkan karena tertahan oleh racun dari
jarum di punggungnya. Jarum itu yang membuat
napas Dewi Murka menjadi terputus-putus.
Sebenarnya sejak tadi ia sudah hampir rubuh, namun
ia mencoba bertahan mengeluarkan jarum itu melalui
kekuatan tenaga dalamnya secara diam-diam. Tetapi,
usaha itu tidak berhasil.
"Ini perbuatan orang berilmu tinggi," kata Suto
kepada Selendang Kubur. "Gerakan jarumnya sampai
tak sempat terdengar oleh telingaku. Entah kalau aku
memakai telinga guruku, mungkin mendengarnya."
"Tubuhnya semakin membiru. Tak bisakah kau
berbuat sesuatu untuk menolong jiwa temanku ini?"
"Biar saja begitu. Nasibnya sesuai dengan
namanya. Sekarang jiwanya benar-benar nungging."
"Begitukah ajaran si Gila Tuak? Tidak bisakah si
Gila Tuak mendidik muridnya untuk menjadi orang
yang bijak dan suka menolong?"
"Coba kutanyakan pada guruku dulu, apakah dia
mendidikku untuk menjadi orang yang bijak atau
orang yang pelit."
Suto mau melangkah, tetapi dengan cepat
Selendang Kubur berani menahan tangan Suto
sambil berkata,
"Tak perlu kau tanyakanl Aku akan segera pergi
membawa temanku ini pulang ke perguruan."
"Itu langkah yang bagus!" kata Suto, lalu kembali
penenggak tuak dari bumbung bambunya.
"Manusia yang tak berperasaan adalah kamu,
Suto!" geram Selendang Kubur dengan mata
memandang menyipit, memancarkan benci.
"Mengapa kau berkata begitu, Selendang Kubur?"
"Karena aku tahu kau bisa memberi pertolongan
pada diri temanku, tapi kau tidak mau
melakukannya."
"Apakah kau percaya betul bahwa aku sanggup
menolongnya?"
"Aku percaya!" sentak Selendang Kubur.
Suto terkekeh, mulai mabuk walau belum banyak.
"Kalau kau percaya, baiklah! Aku akan menolong
menyembuhkannya."
Selendang Kubur menghempaskan napas, sedikit
merasa lega. Tapi kecemasan masih ada di hatinya,
karena ia melihat wajah Dewi Murka semakin
membiru, parahnya benar-benar beku.
"Baringkan tubuhnya," kata Suto kepada
Selendang Kubur.
"Bagaimana dengan jarum di punggungnya?"
"O, iya! Jarum itu harus dicabut dulu!"
Dengan satu kali sentak, jarum itu pun dicabut
oleh tangan Suto. Cuuur...! Darah hitam muncrat dari
lubang bekas jarum. Suto menarik wajahnya supaya
tidak terkena semburan darah hitam. Setelah darah
itu tidak memancar lagi dari lubang luka, Suto segera
meneguk tuaknya lagi. Kali ini tidak semua tuak
ditelannya. Sebagian disimpan di mulut. Kemudian,
tuak di mulut itu disemburkan satu kali ke punggung
Dewi Murka. Bruusss...! Air tuak ada yang memercik
ke wajah Selendang Kubur, membuat perempuan itu
menyentak berani.
"Kau mau mengobati temanku atau mau meludahi
aku, hah?!"
Suto hanya tertawa sambil berkata, "Maaf, aku
tidak sengaja, Kalau aku sengaja meludahimu,
wajahmu pasti hangus saat ini juga."
Tangan Selendang Kubur mengibas-ngibas wajah,
mengusap air tuak yang melekat di pipi dan
rahangnya. la bersungut-sungut dongkol.
"Sudah, bawalah pulang dengan segera!" kata
Suto.
"Pengobatan macam apa ini?! Baru disembur satu
kali sudah disuruh membawanya pulang!"
"Kau percaya atau tidak kalau dia akan sembuh?"
"Yah, percaya!" jawab Selendang Kubur dengan
bimbang.
"Kalau kau percaya, dia akan sembuh. Kalau kau
tidak percaya, dia tetap akan sembuh juga!"
Mata Selendang Kubur menatap Suto. Kali ini
debaran indah di hatinya tidak terlalu membuatnya
gugup, sehingga ia berani menatap agak lama.
Mungkin ia mulai terbiasa menerima debaran indah
dari sorot pandangan mata itu, sehingga ia pun dapat
berkata dengan lancar, tidak segeragap tadi. "Apa
maksud kata-katamu sebenarnya?"
"Tidak ada maksud apa-apa," kata Suto sambil
nyengir, matanya kian sayu, bagai semakin memberat
karena terlalu banyak tuak.
Tetapi Selendang Kubur segera terperanjat kaget
melihat Dewi Murka mulai menggerakkan tangannya,
warna biru di wajahnya berkurang menjadi tipis. Hal
itu membuat mata Selendang Kubur tak mau
berkedip memperhatikan temannya. Semakin lama ia
semakin tahu dengan jelas bahwa racun dari jarum
itu telah hilang. Karena wajah Dewi Murka pun sudah
berkurang dari pucatnya. Perempuan itu mulai
mengeluarkan keluhan kecil yang pelan sekali.
Dalam hati Selendang Kubur membatin, "Luar
biasa caranya mengobati luka beracun. Hanya
dengan disembur memakai tuak dalam mulutnya,
racun itu cepat hilang. Dan, oh... ternyata bekas luka
jarum pun cepat kering. Jelas ini ilmu pengobatan
yang cukup aneh dan cukup tinggi. Jarang dimiliki
oleh pendekar lain."
Wajah Dewi Murka menjadi semakin segar.
Bahkan kedua matanya mulai terbuka. Selendang
Kubur sedikit lega melihat temannya semakin
membaik. la segera berkata sambil berpaling ke arah
Suto yang ada di belakangnya.
"Dia benar-benar telah...."
Selendang Kubur terperanjat. Suto sudah tidak
ada di belakangnya. Suto telah pergi tanpa
meninggalkan suara apa pun. Selendang Kubur sama
sekali tidak merasakan kepergian Suto sebelum ia
memandang ke arah belakangnya yang ternyata telah
kosong.
Ada rasa kecewa tersembunyi di hati Selendang
Kubur. Ada rasa tak yakin bahwa dirinya telah
ditinggal pergi oleh Suto Sinting itu. Maka, ia segera
bangkit dengan membaringkan kepala Dewi Murka di
tanah. la segera memeriksa sekeliling. Ternyata
memang tak ada lagi Suto di sekitar tempat itu.
"Manusia itu mirip sekali dengan siluman! Pergi
tanpa suara dan rupa, muncul juga begitu! Ke mana
perginya? Mungkinkah dia langsung menuju ke
Telaga Manik Intan?" pikir Selendang Kubur sambil
masih tetap mengawasi sekeliling. "Haruskah aku
menyusulnya ke Telaga Manik Intan? Atau kubawa
pulang Dewi Murka kepada Nyai Guru?"
"Selendang Kubur," sapa Dewi Murka yang saat itu
sudah berdiri dengan tegak, seperti tidak pernah
menderita luka berbahaya sedikit pun. Selendang
Kubur terkesiap melihat Dewi Murka dapat berdiri
tegak.
"Apa yang telah terjadi pada diriku? Mengapa aku
terbaring di tanah? Mengapa punggungku terasa
basah?"
Selendang Kubur makin berkerut dahi. la bertanya,
"Apakah kau tidak menyadari sesuatu yang telah
menimpamu?"
"Aku merasa sedang tidur karena lelah. Tapi begitu
aku bangun, ternyata aku tidur di sini. Apa maksudmu
membawaku kemari, hah?"
"Jangan salah sangka padaku, Dewi. Kau tadi
terluka."
"Terluka? Omong kosong! Tidak ada orang yang
bisa melukaiku!"
"Kau tadi disembuhkan oleh Suto."
"Suto...?! Siapa itu Suto?" Dewi Murka
menampakkan keheranannya. Setelah hening
sejurus, Selendang Kubur berkata,
"Apakah kau tak ingat seorang pemuda tampan
yang menjadi murid si Gila Tuak?"
"Ah, jangan dulu tergesa-gesa memuji
ketampannya sebelum kau melihat sendiri rupa
orangnya. Kau terpengaruh oleh kata-kata dari
Murbawati!"
Selendang Kubur membatin, "Rupanya ada bagian
ingatan Dewi Murka yang terhapus karena
penyembuhan Suto tadi. Hmmm... agaknya ia benar -
benar tak ingat dengan pertemuannya bersama Suto.
Aneh sekali. Mengapa ia jadi begitu?"
Dengan sedikit menahan kesabarannya,
Selendang Kubur berkata, "Kau tadi benar-benar
telah bertemu dengan si tampan Suto itu! Kita berdua
telah melihat ketampanannya yang menggiurkan
hati!"
"Ah, omong kosong! Aku merasa tidak bertemu
siapa-siapa kecuali Pujangga Kramat."
"Kita telah bertemu dengannya!" Selendang Kubur
berusaha meyakinkan Dewi Murka, tetapi perempuan
itu tetap bersikeras mengatakan belum pernah
bertemu dengan Suto Sinting. Akhirnya Selendang
Kubur berkata.
"Kalau begitu, ada baiknya jika kita susul dia ke
Telaga Manik Intan. Dia ada di sana dan kau mungkin
bisa menemukan ingatanmu kembali tentang
ketampanan Suto."
"Tidak. Aku akan menemui si Gila Tuak untuk
menyelesaikan urusan antara perguruan kita dengan
si Gila Tuak."
"Itu sudah kita lakukan saat kita bertemu Suto.
Sudah tidak ada persoalan lagi antara kita dengan
pihak si Gila Tuak!"
"Aku tidak percaya! Kurasa itu hanya tipu dayamu
untuk menutupi perasaan takutmu bertemu Pujangga
Kramat, seperti tadi."
Menjengkelkan sekali pendirian Dewi Murka.
Selendang Kubur menyadari, jika hal itu diteruskan
maka perselisihan antara dirinya dengan Dewi Murka
akan terjadi lagi. Karena itu, Selendang Kubur tak
mau banyak bicara. la hanya berkata,
"Kalau kau tetap berkeras hati untuk menemui si
Gila Tuak, temuilah sendiri! Aku akan pergi ke Telaga
Manik Intan untuk menjaga kemungkinan Suto
dicelakai orang di sana! Kita berpisah di sini, Dewi...!"
Kalau saja Suto masih ada, maka Suto bisa
menjelaskan bahwa ketika ia menyemburkan tuak
dari mulutnya ke luka di punggung Dewi Murka, ada
kekuatan yang menyertainya merasuk dalam jiwa
Dewi Murka.
Kekuatan itu telah menghapus ingatan Dewi
Murka bertemu dengan Suto. Itu adalah salah satu
akibat dari penyembuhan menggunakan cara sembur.
Cepat sembuh, cepat kering, dan cepat pula hilang
ingatannya tentang Suto.
Sayang sekali Suto sudah berkelebat pergi dengan
kecepatan lari yang cukup tinggi. la bukan semata-
mata menuju Telaga Manik Intan, namun karena ingin
mengejar sesosok bayangan yang berkelebat di balik
kerimbunan pohon. Suto yakin, sosok yang berkelebat
itu adalah orang yang mengirimkan jarum beracun itu.
Suto ingin tahu, apa alasan orang itu ingin
mencelakainya dengan jarum beracun.
Tetapi gerakan orang itu cukup gesit dan begitu
cepatnya, sehingga Suto kehilangan jejak. Akhirnya
mau tak mau ia terbawa sampai di sebelah barat
pegunungan Suralaya. Rasa-rasanya orang yang
kemarin siang berkelebat dari Lembah Lindu itu juga
lari menuju ke sebelah barat pegunungan Suralaya
itu.
"Apakah orang itu bermaksud membunuhku agar
mudah memperoleh Pusaka Tuak Setan?! Jika itu
menjadi tujuannya, berarti orang itu telah menyadap
percakapanku dengan Guru, dan mungkin ia sudah
cukup lama menunggu kabar tentang Pusaka Tuak
Setan. la pasti sudah sangat lama mengincar pusaka
tersebut," pikir Suto.
Mendadak langkah Suto terhenti karena ia
mendengar suara pekik pertarungan. Arahnya ada di
sebelah kiri. Suto segera mengikuti arah suara pekik
pertarungan itu.
Ketika ia berhasil menemukan daerah tempat
suara pekik pertarungan itu terdengar lantang, Suto
jadi sedikit terperanjat. Karena kedua orang yang
sedang adu kesaktiannya itu berada di tepi sebuah
danau berair bening bagian atasnya, dan berair keruh
di pertengahannya. Danau itulah sebenarnya Telaga
Manik Intan.
*
* *