Chereads / Pendekar Mabuk / Chapter 15 - 002.Pendekar Mabuk - Pusaka Tuak Setan Eps15

Chapter 15 - 002.Pendekar Mabuk - Pusaka Tuak Setan Eps15

Episode 15

PADA saat Suto menenggak tuak dengan

mendonggakkan kepalanya, pada saat itulah

seseorang di balik persembunyiannya melepaskan

jarum beracun ke arah Suto. Tetapi, bertepatan

dengan itu pula tubuh Dewi Murka bergeser tanpa

sadar menutup jalannya jarum beracun, sehingga

yang menjadi sasaran adalah punggungnya.

Rupanya perkataan Dewi Murka yang terputus-

putus itu bukan lantaran gugup melihat ketampanan

Suto, melainkan karena tertahan oleh racun dari

jarum di punggungnya. Jarum itu yang membuat

napas Dewi Murka menjadi terputus-putus.

Sebenarnya sejak tadi ia sudah hampir rubuh, namun

ia mencoba bertahan mengeluarkan jarum itu melalui

kekuatan tenaga dalamnya secara diam-diam. Tetapi,

usaha itu tidak berhasil.

"Ini perbuatan orang berilmu tinggi," kata Suto

kepada Selendang Kubur. "Gerakan jarumnya sampai

tak sempat terdengar oleh telingaku. Entah kalau aku

memakai telinga guruku, mungkin mendengarnya."

"Tubuhnya semakin membiru. Tak bisakah kau

berbuat sesuatu untuk menolong jiwa temanku ini?"

"Biar saja begitu. Nasibnya sesuai dengan

namanya. Sekarang jiwanya benar-benar nungging."

"Begitukah ajaran si Gila Tuak? Tidak bisakah si

Gila Tuak mendidik muridnya untuk menjadi orang

yang bijak dan suka menolong?"

"Coba kutanyakan pada guruku dulu, apakah dia

mendidikku untuk menjadi orang yang bijak atau

orang yang pelit."

Suto mau melangkah, tetapi dengan cepat

Selendang Kubur berani menahan tangan Suto

sambil berkata,

"Tak perlu kau tanyakanl Aku akan segera pergi

membawa temanku ini pulang ke perguruan."

"Itu langkah yang bagus!" kata Suto, lalu kembali

penenggak tuak dari bumbung bambunya.

"Manusia yang tak berperasaan adalah kamu,

Suto!" geram Selendang Kubur dengan mata

memandang menyipit, memancarkan benci.

"Mengapa kau berkata begitu, Selendang Kubur?"

"Karena aku tahu kau bisa memberi pertolongan

pada diri temanku, tapi kau tidak mau

melakukannya."

"Apakah kau percaya betul bahwa aku sanggup

menolongnya?"

"Aku percaya!" sentak Selendang Kubur.

Suto terkekeh, mulai mabuk walau belum banyak.

"Kalau kau percaya, baiklah! Aku akan menolong

menyembuhkannya."

Selendang Kubur menghempaskan napas, sedikit

merasa lega. Tapi kecemasan masih ada di hatinya,

karena ia melihat wajah Dewi Murka semakin

membiru, parahnya benar-benar beku.

"Baringkan tubuhnya," kata Suto kepada

Selendang Kubur.

"Bagaimana dengan jarum di punggungnya?"

"O, iya! Jarum itu harus dicabut dulu!"

Dengan satu kali sentak, jarum itu pun dicabut

oleh tangan Suto. Cuuur...! Darah hitam muncrat dari

lubang bekas jarum. Suto menarik wajahnya supaya

tidak terkena semburan darah hitam. Setelah darah

itu tidak memancar lagi dari lubang luka, Suto segera

meneguk tuaknya lagi. Kali ini tidak semua tuak

ditelannya. Sebagian disimpan di mulut. Kemudian,

tuak di mulut itu disemburkan satu kali ke punggung

Dewi Murka. Bruusss...! Air tuak ada yang memercik

ke wajah Selendang Kubur, membuat perempuan itu

menyentak berani.

"Kau mau mengobati temanku atau mau meludahi

aku, hah?!"

Suto hanya tertawa sambil berkata, "Maaf, aku

tidak sengaja, Kalau aku sengaja meludahimu,

wajahmu pasti hangus saat ini juga."

Tangan Selendang Kubur mengibas-ngibas wajah,

mengusap air tuak yang melekat di pipi dan

rahangnya. la bersungut-sungut dongkol.

"Sudah, bawalah pulang dengan segera!" kata

Suto.

"Pengobatan macam apa ini?! Baru disembur satu

kali sudah disuruh membawanya pulang!"

"Kau percaya atau tidak kalau dia akan sembuh?"

"Yah, percaya!" jawab Selendang Kubur dengan

bimbang.

"Kalau kau percaya, dia akan sembuh. Kalau kau

tidak percaya, dia tetap akan sembuh juga!"

Mata Selendang Kubur menatap Suto. Kali ini

debaran indah di hatinya tidak terlalu membuatnya

gugup, sehingga ia berani menatap agak lama.

Mungkin ia mulai terbiasa menerima debaran indah

dari sorot pandangan mata itu, sehingga ia pun dapat

berkata dengan lancar, tidak segeragap tadi. "Apa

maksud kata-katamu sebenarnya?"

"Tidak ada maksud apa-apa," kata Suto sambil

nyengir, matanya kian sayu, bagai semakin memberat

karena terlalu banyak tuak.

Tetapi Selendang Kubur segera terperanjat kaget

melihat Dewi Murka mulai menggerakkan tangannya,

warna biru di wajahnya berkurang menjadi tipis. Hal

itu membuat mata Selendang Kubur tak mau

berkedip memperhatikan temannya. Semakin lama ia

semakin tahu dengan jelas bahwa racun dari jarum

itu telah hilang. Karena wajah Dewi Murka pun sudah

berkurang dari pucatnya. Perempuan itu mulai

mengeluarkan keluhan kecil yang pelan sekali.

Dalam hati Selendang Kubur membatin, "Luar

biasa caranya mengobati luka beracun. Hanya

dengan disembur memakai tuak dalam mulutnya,

racun itu cepat hilang. Dan, oh... ternyata bekas luka

jarum pun cepat kering. Jelas ini ilmu pengobatan

yang cukup aneh dan cukup tinggi. Jarang dimiliki

oleh pendekar lain."

Wajah Dewi Murka menjadi semakin segar.

Bahkan kedua matanya mulai terbuka. Selendang

Kubur sedikit lega melihat temannya semakin

membaik. la segera berkata sambil berpaling ke arah

Suto yang ada di belakangnya.

"Dia benar-benar telah...."

Selendang Kubur terperanjat. Suto sudah tidak

ada di belakangnya. Suto telah pergi tanpa

meninggalkan suara apa pun. Selendang Kubur sama

sekali tidak merasakan kepergian Suto sebelum ia

memandang ke arah belakangnya yang ternyata telah

kosong.

Ada rasa kecewa tersembunyi di hati Selendang

Kubur. Ada rasa tak yakin bahwa dirinya telah

ditinggal pergi oleh Suto Sinting itu. Maka, ia segera

bangkit dengan membaringkan kepala Dewi Murka di

tanah. la segera memeriksa sekeliling. Ternyata

memang tak ada lagi Suto di sekitar tempat itu.

"Manusia itu mirip sekali dengan siluman! Pergi

tanpa suara dan rupa, muncul juga begitu! Ke mana

perginya? Mungkinkah dia langsung menuju ke

Telaga Manik Intan?" pikir Selendang Kubur sambil

masih tetap mengawasi sekeliling. "Haruskah aku

menyusulnya ke Telaga Manik Intan? Atau kubawa

pulang Dewi Murka kepada Nyai Guru?"

"Selendang Kubur," sapa Dewi Murka yang saat itu

sudah berdiri dengan tegak, seperti tidak pernah

menderita luka berbahaya sedikit pun. Selendang

Kubur terkesiap melihat Dewi Murka dapat berdiri

tegak.

"Apa yang telah terjadi pada diriku? Mengapa aku

terbaring di tanah? Mengapa punggungku terasa

basah?"

Selendang Kubur makin berkerut dahi. la bertanya,

"Apakah kau tidak menyadari sesuatu yang telah

menimpamu?"

"Aku merasa sedang tidur karena lelah. Tapi begitu

aku bangun, ternyata aku tidur di sini. Apa maksudmu

membawaku kemari, hah?"

"Jangan salah sangka padaku, Dewi. Kau tadi

terluka."

"Terluka? Omong kosong! Tidak ada orang yang

bisa melukaiku!"

"Kau tadi disembuhkan oleh Suto."

"Suto...?! Siapa itu Suto?" Dewi Murka

menampakkan keheranannya. Setelah hening

sejurus, Selendang Kubur berkata,

"Apakah kau tak ingat seorang pemuda tampan

yang menjadi murid si Gila Tuak?"

"Ah, jangan dulu tergesa-gesa memuji

ketampannya sebelum kau melihat sendiri rupa

orangnya. Kau terpengaruh oleh kata-kata dari

Murbawati!"

Selendang Kubur membatin, "Rupanya ada bagian

ingatan Dewi Murka yang terhapus karena

penyembuhan Suto tadi. Hmmm... agaknya ia benar -

benar tak ingat dengan pertemuannya bersama Suto.

Aneh sekali. Mengapa ia jadi begitu?"

Dengan sedikit menahan kesabarannya,

Selendang Kubur berkata, "Kau tadi benar-benar

telah bertemu dengan si tampan Suto itu! Kita berdua

telah melihat ketampanannya yang menggiurkan

hati!"

"Ah, omong kosong! Aku merasa tidak bertemu

siapa-siapa kecuali Pujangga Kramat."

"Kita telah bertemu dengannya!" Selendang Kubur

berusaha meyakinkan Dewi Murka, tetapi perempuan

itu tetap bersikeras mengatakan belum pernah

bertemu dengan Suto Sinting. Akhirnya Selendang

Kubur berkata.

"Kalau begitu, ada baiknya jika kita susul dia ke

Telaga Manik Intan. Dia ada di sana dan kau mungkin

bisa menemukan ingatanmu kembali tentang

ketampanan Suto."

"Tidak. Aku akan menemui si Gila Tuak untuk

menyelesaikan urusan antara perguruan kita dengan

si Gila Tuak."

"Itu sudah kita lakukan saat kita bertemu Suto.

Sudah tidak ada persoalan lagi antara kita dengan

pihak si Gila Tuak!"

"Aku tidak percaya! Kurasa itu hanya tipu dayamu

untuk menutupi perasaan takutmu bertemu Pujangga

Kramat, seperti tadi."

Menjengkelkan sekali pendirian Dewi Murka.

Selendang Kubur menyadari, jika hal itu diteruskan

maka perselisihan antara dirinya dengan Dewi Murka

akan terjadi lagi. Karena itu, Selendang Kubur tak

mau banyak bicara. la hanya berkata,

"Kalau kau tetap berkeras hati untuk menemui si

Gila Tuak, temuilah sendiri! Aku akan pergi ke Telaga

Manik Intan untuk menjaga kemungkinan Suto

dicelakai orang di sana! Kita berpisah di sini, Dewi...!"

Kalau saja Suto masih ada, maka Suto bisa

menjelaskan bahwa ketika ia menyemburkan tuak

dari mulutnya ke luka di punggung Dewi Murka, ada

kekuatan yang menyertainya merasuk dalam jiwa

Dewi Murka.

Kekuatan itu telah menghapus ingatan Dewi

Murka bertemu dengan Suto. Itu adalah salah satu

akibat dari penyembuhan menggunakan cara sembur.

Cepat sembuh, cepat kering, dan cepat pula hilang

ingatannya tentang Suto.

Sayang sekali Suto sudah berkelebat pergi dengan

kecepatan lari yang cukup tinggi. la bukan semata-

mata menuju Telaga Manik Intan, namun karena ingin

mengejar sesosok bayangan yang berkelebat di balik

kerimbunan pohon. Suto yakin, sosok yang berkelebat

itu adalah orang yang mengirimkan jarum beracun itu.

Suto ingin tahu, apa alasan orang itu ingin

mencelakainya dengan jarum beracun.

Tetapi gerakan orang itu cukup gesit dan begitu

cepatnya, sehingga Suto kehilangan jejak. Akhirnya

mau tak mau ia terbawa sampai di sebelah barat

pegunungan Suralaya. Rasa-rasanya orang yang

kemarin siang berkelebat dari Lembah Lindu itu juga

lari menuju ke sebelah barat pegunungan Suralaya

itu.

"Apakah orang itu bermaksud membunuhku agar

mudah memperoleh Pusaka Tuak Setan?! Jika itu

menjadi tujuannya, berarti orang itu telah menyadap

percakapanku dengan Guru, dan mungkin ia sudah

cukup lama menunggu kabar tentang Pusaka Tuak

Setan. la pasti sudah sangat lama mengincar pusaka

tersebut," pikir Suto.

Mendadak langkah Suto terhenti karena ia

mendengar suara pekik pertarungan. Arahnya ada di

sebelah kiri. Suto segera mengikuti arah suara pekik

pertarungan itu.

Ketika ia berhasil menemukan daerah tempat

suara pekik pertarungan itu terdengar lantang, Suto

jadi sedikit terperanjat. Karena kedua orang yang

sedang adu kesaktiannya itu berada di tepi sebuah

danau berair bening bagian atasnya, dan berair keruh

di pertengahannya. Danau itulah sebenarnya Telaga

Manik Intan.

*

* *