Episode 10
SEEKOR kuda berlari dengan cepat melintasi
pepohonan, menuruni lembah dan menuju ke satu
arah tertentu. Kuda itu ditunggangi oleh seorang
perempuan muda bersenjatakan cambuk di
pinggangnya. Tetapi perempuan muda itu dalam
keadaan lemas, sehingga sesekali tubuhnya nyaris
terjungkal dari punggung kuda. Mata perempuan
muda itu terpejam bagai tak mampu lagi untuk
memandang ke arah depan. Bahkan ketika kudanya
melewati jalan menurun, tubuh perempuan muda itu
jatuh tertelungkup di belakang leher kuda.
Sekujur tubuh perempuan muda itu ternyata
memar membiru. Dari telapak kaki sampai bagian
kepala seperti habis kejatuhan pohon besar. Bahkan
pada bagian wajahnya sedikit tampak membengkak.
Sebagian rambutnya pun ada yang rontok, dan
rontokan helai rambutnya berjatuhan di sekitar
pundak dan punggung.
la tak mampu lagi mengendalikan kudanya. Tapi
sang kuda ternyata sudah terbiasa melewati jalur
perjalanan tersebut, sehingga tanpa kendali pun
sudah mengerti arah yang dituju. Seolah-olah sang
kuda mengetahui bahwa majikannya dalam keadaan
luka dalam yang cukup berat dan perlu segera dibawa
pulang ke perguruan.
Itulah sebabnya begitu mendekati pintu gerbang
perguruan yang bagian atasnya bertuliskan :
"Perguruan Merpati Wingit", kuda itu memperlambat
sendiri langkahnya. Dan tepat di depan pintu gerbang
yang kokoh itu, sang kuda berhenti. Kedua penjaga
pintu gerbang terperanjat dengan mata membelalak.
Salah seorang berseru,
"Murbawati...?! Oh, kenapa dia?!"
"Kelihatannya terluka cukup berat!"
"Lekas antarkan dia menghadap Nyai Guru!"
Murbawati masih belum bisa bicara. Namun kedua
penjaga pintu gerbang perguruan itu mengetahui
bahwa Murbawati masih bernapas. Kudanya segera
dituntun oleh salah satu dari kedua penjaga tersebut
menuju ke sebuah tempat berbangunan joglo. Di
sana, murid-murid Perguruan Merpati Wingit sedang
berkumpul mendengarkan wejangan guru mereka.
Seorang perempuan berwajah cantik, namun
sebenarnya sudah cukup banyak usianya, sedang
duduk di sebuah bangku berupa kotak sederhana.
Perempuan itu mengenakan pakaian berbentuk jubah
dengan warna kuning gading. Kain itu tipis, sehingga
pakaian dalamnya yang berwarna biru tua itu terlihat
membayang di balik jubah kuningnya.
Rambutnya yang panjang sebatas pinggang
dibiarkan lepas terurai ke depan, sebagian di dada
kiri sebagian lagi di dada kanan, la mengenakan ikat
kepala bukan dari kain, melainkan dari tali sutera
yang berwarna merah, berbintik-bintik kuning emas.
Tali sutera itu sedikit panjang sehingga sisa ikatannya
jatuh berjuntai melewati pundak kanannya. Di tiap
bagian ujung tali sutera itu mempunyai semacam
logam berbentuk mata tombak kecil, berwarna putih
berkilauan.
Orang yang mengantarkan Murbawati berseru
beberapa jarak sebelum sampai di tempat berkumpul
itu.
"Nyai Guru...! Murbawati terluka!"
Perempuan berselubung kain jubah kuning gading
itu segera bangkit, karena memang dia itulah yang
disebut Nyai Guru Betari Ayu. Melihat Murbawati
terkulai bagaikan celana basah di atas kuda, Nyai
Guru Betari Ayu segera bangkit dengan mata
terperanjat. Para murid yang sedang duduk bersila
dengan rapi itu pun ikut bergegas bangkit, dan segera
mengerumuni kuda tunggangan Murbawati.
"Jangan dipakai buat tontonan!" seru Betari Ayu.
"Angkat dia dan bawa masuk dengan segera!"
Murbawati dibawa ke ruang yang khusus untuk
penyembuhan. Di sana tubuh lunglai tak berdaya itu
dibaringkan di atas sebuah pembaringan dari batu
yang dilapisi kain tebal.
"Tinggalkan kami!" kata Betari Ayu kepada para
penggotong tubuh Murbawati itu. Mereka pun patuh,
segera pergi meninggalkan ruang penyembuhan. Kini
yang ada di situ hanya Murbawati dan Betari Ayu.
Dipandangi sekujur tubuh Murbawati dengan sorot
pandangan mata yang menyimpan kemarahan. Gigi
menggeletuk, mata pun menjadi menyipit.
Betari Ayu menarik napas, menenangkan gemuruh
di dalam dadanya yang terasa hampir meledak
melihat orang utusannya terkapar dalam keadaan
sedemikian menyedihkannya. Terucap gumam,
mendalam dari sudut berbibir sedikit tebal namun
tampak indah itu.
"Keparat! Ini pasti perbuatan Bidadari Jalang!"
Pintu kamar penyembuhan dibuka, Betari Ayu
memanggil kedua murid kesayangannya, yaitu Dewi
Murka dan Selendang Kubur. Dua perempuan yang
mempunyai tinggi sejajar namun berwarna kulit beda
itu segera masuk ke ruang penyembuhan. Wajah
mereka juga memancarkan ketegangan dan
kemarahan yang tertahan. Rasa iba melihat keadaan
saudara seperguruan menderita seperti itu, membuat
hati Dewi Murka tak sabar menanti tugas
pembalasan.
"Kalian tentunya tahu, apa yang membuat tubuh
Murbawati membiru seperti itu!" kata Betari Ayu tanpa
memandang kedua muridnya.
Dewi Murka menjawab, "Pasti pukulan beracun
yang dinamakan pukulan 'Guntur Perkasa', milik
Bidadari Jalang itu, Nyai Guru."
"Benar! Dan rupanya dia sudah campur tangan
dalam urusan kita!" ujar Betari Ayu dengan nada
geram.
"Nyai Guru," sela Selendang Kubur yang
mengenakan pakaian merah dadu bak buah jambu
yang ranum dengan pinggang dililit selendang putih.
la berucap kata dengan sikap hormat kepada sang
guru. Mata Betari Ayu pun segera beralih kepadanya.
"Lanjutkan kata-katamu, Selendang Kubur!"
"Menurut dugaan saya, Guru..., Murbawati bukan
terkena pukulan 'Guntur Perkasa' milik Bidadari
Jalang."
Dewi Murka menyahut, "Ah, tahu apa kau tentang
pukulan itu? Hanya aku dan Guru yang mengetahui
ciri pukulan itu!"
"Aku juga tahu tentang pukulan 'Guntur Perkasa'
milik Bidadari Jalang itu, Dewi! Aku pernah melihat ia
menghantam musuhnya memakai pukulan tersebut.
Tetapi, kali ini yang diterima Murbawati bukan
pukulan 'Guntur Perkasa'."
"Alasanmu?!" sergah Betari Ayu.
"Kalau saja Murbawati telah menderita pukulan
'Guntur Perkasa' milik Bidadari Jalang, pasti saat ini
tubuhnya sudah membusuk. Pukulan itu selain
membuat tubuh lawan menjadi memar membiru, juga
membuat tubuh lawan menjadi cepat membusuk.
Bukankah tubuh Murbawati tidak membusuk sampai
sekarang, Guru?"
"Kurasa sebentar lagi!" sahut Dewi Murka. Sikap
dan wajahnya menampakkan seakan ia sangat tahu
dalam hal ini.
Betari Ayu melangkah ke bagian kepala Murbawati,
memandangnya beberapa saat, kemudian berkata
kepada kedua muridnya.
"Kurasa benar apa katamu, Selendang Kubur!"
"Benar bagaimana, Guru?!" sergah Dewi Murka.
"Jika memang Murbawati terkena pukulan 'Guntur
Perkasa' dari Bidadari Jalang, pasti saat ini tubuhnya
menguarkan bau busuk. Pada bagian sudut matanya
mengeluarkan cairan hitam yang baunya sangat
menusuk hidung. Nyatanya, sudut mata Murbawati
tidak melelehkan cairan hitam. Berarti ini bukan
pukulan 'Guntur Perkasa' dari Bidadari Jalang."
Dewi Murka merasa tidak bisa membantah lagi,
karena semua keputusan gurunya tak berani
disanggahnya. Dewi Murka yang berpakaian hitam
dengan trisula di pinggang, hanya diam dan
memandangi tubuh Murbawati.
Sesaat berikutnya, barulah Dewi Murka bertanya,
"Jadi, apa yang harus kami lakukan sekarang ini,
Guru?"
"Lupakan dulu tentang siapa penyerang
Murbawati. Sekarang kalian berdua bantu aku
menyalurkan hawa murni melalui telapak kaki
Murbawati. Aku akan menyalurkan tenagaku melalui
bagian dadanya. Dewi, di telapak kanan. Selendang
Kubur, di telapak kiri. Jangan berhenti sebelum
kulepaskan tanganku dari dada Murbawati."
"Baik, Guru," jawab Selendang Kubur dengan sikap
patuh.
"Apakah pakaian Murbawati perlu dilepas
semuanya, Guru?"
"Hmmm..., sebagian saja, sebagian atasnya
saja...!"
Di luar ruang penyembuhan itu, para murid
Perguruan Merpati Wingit saling berkasak-kusuk
membicarakan nasib Murbawati. Mereka saling
menduga-duga, tapi tak satu pun mempunyai
kepastian tentang siapa penyerang Murbawati
sebenarnya. Mereka saling menggeram dendam,
merasa marah melihat saudara seperguruan
mengalami nasib begitu menyedihkan. Tetapi tak satu
pun dari mereka yang berani ambil tindakan sendiri,
sebelum ada keputusan dan perintah dari sang Guru
yang mereka segani itu.
Murbawati dikenal di lingkungan perguruan
sebagai murid yang cekatan dan pandai menyusup.
Sama dengan murid-murid lainnya, ia selalu bangga
jika mendapat perintah dari gurunya. Seolah-olah
sebuah perintah merupakan suatu penghormatan
besar baginya.
Dua hari yang lalu, Murbawati diutus menemui
Ketua Partai Perempuan Sakti yang bergelar Ratu
Lembah Asmara, guna menyampaikan undangan dari
Nyai Guru Betari Ayu. Pertemuan itu akan diadakan
tepat di malam purnama. Betari Ayu meminta
kesediaan Ratu Lembah Asmara untuk
membicarakan masalah tanah di Bukit Garinda yang
dulu dipinjamkan kepada Ratu Lembah Asmara.
Tanah itu milik leluhur Betari Ayu. Karena hubungan
baik, maka Betari Ayu meminjamkan tanah tersebut
kepada Ratu Lembah Asmara sebagai tempat
bercokolnya perempuan-perempuan penabur cinta.
Tetapi belakangan hari, Betari Ayu membutuhkan
tanah itu untuk memperluas wilayah perguruannya
yang berkembang kian pesat itu.
Tetapi, agaknya Betari Ayu kecewa dengan sikap
Ratu Lembah Asmara. Kehadiran Murbawati sebagai
utusan Perguruan Merpati Wingit disambut dengan
permusuhan. Sang utusan dilukai sedemikian
parahnya, sehingga untuk mengobatinya, Betari Ayu
terpaksa mengerahkan banyak tenaga hingga
beberapa waktu lamanya.
Murbawati tersentak dan segera memuntahkan
cairan hijau kehitam-hitaman dari mulutnya. Ini
pertanda racun pukulan itu terdesak keluar, dan jiwa
Murbawati tertolong. Namun perempuan muda itu
belum bisa bicara apa-apa. Tubuhnya masih lemas,
hingga Betari Ayu membiarkan Murbawati beristirahat
beberapa waktu lamanya.
Menjelang malam tiba, Betari Ayu duduk di
serambi depan kamarnya. la termenung
mempertimbangkan sikap yang harus diambilnya.
Jelas, melukai muridnya sama saja menantang
pertempuran dengannya. Tetapi, apakah benar Ratu
Lembah Asmara yang menyerang Murbawati? Seingat
Betari Ayu, Ratu Lembah Asmara tidak memiliki
pukulan yang mirip sekali dengan pukulan 'Guntur
Perkasa' milik Bidadari Jalang.
"Jika Ratu Lembah Asmara melancarkan pukulan,
selalu saja pukulan yang mematikan yang
dilancarkan. Tak pernah tanggung-tanggung seperti
ini!" pikir Betari Ayu. "Andaikata benar bahwa
Murbawati menderita pukulan dari Ratu Lembah
Asmara, lantas apa maunya perempuan liar itu?
Apakah ia sudah bosan bersahabat denganku?
Apakah ia membuka pintu permusuhan denganku?
Apa alasannya ia bertindak begitu? Bukankah aku
pernah menolong nyawanya dari ancaman maut
Cadaspati dalam pertempurannya di Bukit Menoreh?"
Betari Ayu diguncang oleh keresahan dalam
hatinya. la merasa harga dirinya dilangkahi oleh
seseorang, tapi ia tak tahu kepada siapa ia harus
menuntut sikap yang menantang itu. Satu-satunya
wajah yang sering muncul dalam ingatannya hanyalah
Bidadari Jalang. Karena antara dia dengan Bidadari
Jalang pernah terjadi bentrokan ketika
memperebutkan seorang lelaki yang bernama Datuk
Marah Gadai.
Sejenak, ingatan Betari Ayu melayang pada seraut
wajah pria tampan berkesan jantan: Datuk Marah
Gadai. Ada hati yang bersemi di dalam dada Betari
Ayu. Ada cinta yang tumbuh di dalam hati Betari Ayu.
Tetapi, Datuk Marah Gadai terpikat oleh godaan
Bidadari Jalang. Mata jeli Betari Ayu masih terbayang
saat ia memergoki Datuk Marah Gadai bercinta
dengan Bidadari Jalang.
Terbakar hati Betari Ayu pada saat itu.
Diterjangnya Bidadari Jalang dengan amukan rasa
cemburu yang mendidihkan darahnya. Tetapi,
Bidadari Jalang cukup tangguh, tak mudah
dirobohkan. Justru Betari Ayu sendiri yang terluka
dalam oleh satu pukulan dahsyat dari Bidadari Jalang.
Pukulan itu sampai sekarang masih membekas di
dalam raga Betari Ayu.
Yang lebih menyakitkan lagi, Datuk Marah Gadai
tidak peduli keadaan Betari Ayu kala itu. Datuk Marah
Gadai justru pergi bersama Bidadari Jalang,
melanjutkan cengkeramanya di tempat lain.
Sementara bekas luka pukulan tenaga dalam
Bidadari Jalang sampai sekarang masih sesekali
menyumbat pernapasan Betari Ayu. Apabila bekas
pukulan itu bekerja kembali, pernapasan Betari Ayu
jadi tersumbat, membuat Betari Ayu mengalami
kejang-kejang dan sulit bernapas, terasa bagai mau
mati. Sampai sekarang Betari Ayu belum bila
melenyapkan sisa pukulan Regangpati yang
bermukim di bagian jantung dan paru-parunya.
Betari Ayu bagaikan luka di kedua sisi hati,
terhadap Bidadari Jalang, juga terhadap Datuk Marah
Gadai. Kedua orang itu menjadi musuh utama Betari
Ayu, yang tidak tahu kapan akan dibalaskan
dendamnya. Karena selama bekas pukulan
'Regangpati' itu belum bisa dilenyapkan, Betari Ayu
belum berani menghadapi mereka berdua. Jika bekas
pukulan itu kambuh pada saat pertarungan, maka
jelas nyawa Betari Ayu akan mudah dicabut oleh
salah satu dari mereka.
Selendang Kubur dan Dewi Murka itulah yang
selalu menolong Betari Ayu jika sedang kambuh.
Tanpa melalui hawa murni mereka, maka
penyumbatan pada pernapasan dan pembekuan
darah yang terjadi akibat pukulan 'Regangpati', akan
menewaskan nyawa sang Guru yang banyak
menurunkan ilmu putihnya kepada para muridnya.
Malam itu, Selendang Kubur melihat sang Guru
sedang termenung. la mencoba mendekati dengan
hati-hati. Agaknya sang Guru tidak keberatan untuk
didekati, sehingga sang Guru menegur lebih dulu.
"Ada yang ingin kau sampaikan padaku, Selendang
Kubur?"
Langkah Selendang Kubur terhenti sejenak. la
biarkan dirinya ditatap oleh sang Guru yang segera
berkata,
"Bicaralah. Tak ada yang perlu kau ragukan!"
"Saya hanya ingin membicarakan tentang
Murbawati, Guru."
"Apa pendapatmu tentang dia?"
"Murbawati telah siuman. Agaknya ia ingin bicara
dengan Guru."
Sedikit tersentak kepala Betari Ayu. Ada kelegaan
di hatinya. Tanpa bicara sepatah kata lagi, ia segera
bergegas menuju ruang penyembuhan. Selendang
Kubur mengikuti langkah gurunya dari belakang. Di
sebuah tikungan lorong, Dewi Murka melihat
kelebatan sang Guru dan Selendang Kubur. Hatinya
segera membatin.
"Hmmm... apa yang akan dilakukan Nyai Guru
dengan Selendang Kubur. Pasti Selendang Kubur
sedang cari muka agar mendapat pujian di hati Nyai
Guru. Baiklah. Aku harus segera menyusul mereka
supaya Selendang Kubur tidak punya kesempatan
untuk mengambil hati Nyai Guru." Maka, bergegaslah
Dewi Murka menyusul langkah gurunya dan
Selendang Kubur.
Diam-diam Selendang Kubur mendengar langkah
kaki di belakangnya yang berjarak antara lima belas
langkah. Selendang Kubur memejamkan mata
sejenak. Suara langkah itu semakin jelas, dan ia
segera mengenali langkah dan napas yang ada di
belakangnya adalah milik Dewi Murka. Selendang
Kubur hanya tersenyum sinis di dalam hatinya.
Belakangan ini, keduanya memang saling
bersaing. Persaingan itu terjadi sejak Betari Ayu
berkata, bahwa ia mau mengundurkan diri dari dunia
persilatan. Dia juga akan menyerahkan kekuasaan di
perguruan tersebut kepada seseorang. Tapi sampai
saat itu dia belum punya pilihan, siapa yang akan
menggantikan kedudukannya sebagai Ketua
Perguruan Merpati Wingit Itu. Jelas orang pilihannya
ada dua, yaitu Dewi Murka atau Selendang Kubur,
karena hanya mereka berdualah yang mempunyai
ilmu paling tinggi dari murid-murid lainnya. Bahkan
Murbawati masih berada dua tingkat di bawah
mereka.
Orang yang jelas-jelas berkeinginan keras untuk
menjadi pengganti Nyai Guru Betari Ayu adalah Dewi
Murka. Dengan menjadi pewaris kedudukan Nyai
Guru, maka dialah orang yang berhak memegang
Kitab Wedar Kesuma yang selama ini menjadi kunci
utama dari semua ilmu yang dimiliki Nyai Guru. Kitab
Wedar Kesuma itulah yang menjadi incaran utama
bagi Dewi Murka.
Sementara itu, Selendang Kubur juga mengetahui
tentang kitab tersebut. la juga merasa menjadi calon
pengganti gurunya. la juga mengincar kedudukan dan
Kitab Wedar Kesuma, tapi ia tak mau kelihatan
menyolok. la tetap bersikap tenang, walau mata
hatinya penuh waspada terhadap gerak-gerik Dewi
Murka.
Pada waktu Betari Ayu memasuki ruang
penyembuhan, Selendang Kubur pun segera masuk
dan menutup pintunya, bahkan menguncinya dari
dalam. Maksudnya supaya Dewi Murka tidak ikut
menyusul masuk dan tak dapat membuka pintu
ruangan seenaknya saja.
Tetapi, rupanya Dewi Murka mengetahui niat licik
Selendang Kubur. Maka, dengan merabakan jemari
tangannya pada pintu tersebut, kunci pintu pun
bergerak sendiri. Klik...! Dan pintu dapat dibuka. Dewi
Murka pun segera masuk. Matanya beradu pandang
dengan Selendang Kubur. Senyum sinis dipamerkan
di hadapan Selendang Kubur. Perempuan berpakaian
merah dadu dengan selendang putih di pinggangnya
itu hanya diam saja, dan segera mengalihkan
pandangan kepada tubuh Murbawati yang memar
birunya sudah banyak berkurang.
"Murbawati," sapa Nyai Guru Betari Ayu dengan
sikap tegasnya. "Ceritakan, siapa orang yang
menyerangmu sedemikian rupa?"
Dewi Murka menyahut dengan pertanyaan,
"Apakah Bidadari Jalang orangnya, Murbawati?"
"Bukan," jawab Murbawati masih dengan suara
lemah.
"Apakah Ratu Lembah Asmara? tanya Betari Ayu.
"Juga bukan, Nyai Guru."
"Lantas siapa?"
"Pujangga Kramat," jawab Murbawati.
Tiga wajah perempuan yang sama-sama memiliki
kecantikan tersendiri itu kini saling beradu pandang.
Dahi mereka sedikit berkerut mendengar nama
tersebut. Selendang Kubur dan Dewi Murka merasa
asing terhadap nama itu, tapi Betari Ayu rupanya
tidak merasa asing. Hanya sedikit heran, mengapa
Murbawati jadi punya urusan dengan Pujangga
Kramat.
"Nyai Guru, mohon sudi memaafkan kelancangan
saya yang telah membuat saya terluka seperti ini,"
tutur Murbawati dengan perasaan bersalah dan sikap
menyesal. Nyai Guru Betari Ayu hanya diam saja,
mata tetap memandang Murbawati, mulut terkatup
rapat, kedua tangan berlipat di dada. Murbawati
melanjutkan kata-katanya.
"Saya terpancing oleh kemunculan seorang
pemuda tampan yang berkelebat melintasi perjalanan
saya, pada saat saya menuju ke Bukit Garinda. Saya
ikuti pemuda tampan yang menawan hati itu.
Ternyata dia adalah murid dari saudara perguruan
Bidadari Jalang. Pemuda itu adalah murid si Gila
Tuak...."
Tersentak wajah Betari Ayu mendengar nama
tokoh tua itu disebutkan oleh Murbawati. Pandangan
matanya menjadi lebih tajam lagi. Tapi mulutnya
masih tetap terkatup rapat, seakan tak mau memberi
ucapan apa pun. Sedangkan Dewi Murka dan
Selendang Kubur juga ikut terkesiap mendengar
nama si Gila Tuak. Mereka juga tidak asing lagi
dengan nama tokoh tua yang sangat disegani oleh
orang-orang di rimba persilatan.
Hanya saja, mereka merasa sangat heran
mendengar si Gila Tuak mempunyai seorang murid.
Menurut kedua murid Betari Ayu itu, berita adanya si
Gila Tuak mempunyai murid jelas akan
menghebohkan dunia persilatan, karena selama ini si
Gila Tuak tidak pernah mau mempunyai murid siapa
pun juga.
Murbawati melihat wajah gurunya dan kedua
temannya itu mengalami sedikit ketegangan. Namun
ia tetap melanjutkan kata-katanya,
"Saya sangat tertarik dengan murid si Gila Tuak itu,
sehingga saya berusaha mencuri percakapan antara
si Gila Tuak dengan muridnya itu dari balik gugusan
batu cadas. Saya mendengar adanya rahasia penting
yang dibicarakan oleh mereka berdua...."
"Tentang apa?" tukas Betari Ayu.
"Sebuah pusaka yang bernama Tuak Setan."
"Hah...?!" kembali lagi Betari Ayu terperanjat kaget
dengan mata makin melebar. Sebentar matanya
singgah di wajah Dewi Murka dan Selendang Kubur,
sebentar kemudian sudah kembali menatap tajam
kepada Murbawati yang masih terbaring lemah.
"Apa yang kau ketahui tentang pusaka Tuak Setan
itu?"
"Gila Tuak memerintahkan muridnya itu untuk
menghancurkan Pusaka Tuak Setan yang sangat
berbahaya jika jatuh ke tangan orang lain. Gila Tuak
tidak ingin pusaka itu masih berada di bumi kita,
karena sangat membahayakan jika digunakan oleh
orang-orang tak bertanggung jawab. Dan... pada saat
saya mencuri percakapan mereka itu, tiba-tiba
muncul di hadapan saya Pujangga Kramat, pelayan
setianya si Gila Tuak. la menyerang saya dengan dua
jurus, dan saya terluka parah begini!"
Tanpa sadar tangan Betari Ayu meremas gelang
logam di tangannya. Gelang itu menjadi lumer karena
asap yang mengepul dari telapak tangannya. Buru-
buru ia menyadari hal itu dan membuang gelang dari
bahan baja mengkilap dari tangannya.
"Pujangga Kramat bukan tandinganmu,
Murbawati!" geram Betari Ayu. "Dewi Murka adalah
lawan yang imbang untuk berhadapan dengan
Pujangga Kramat. Orang itu selain tidak bisa bicara
dengan benar, juga tidak bisa bersikap bijaksana dan
lebih sering main hukum sendiri. Memang dia pelayan
setia si Gila Tuak, tapi aku yakin Gila Tuak tidak
menyuruh dia untuk bertindak seenaknya sendiri
begitu."
"Saya dianggap pencuri, Guru," kata Murbawati
sambil bernada sedih, seakan sakit hati sekali
dengan tuduhan tersebut.
Dewi Murka yang tadi disebut-sebut namanya
sebagai orang yang layak menandingi Pujangga
Kramat, segera berkata dengan hati masih merasa
bangga.
"Haruskah saya berangkat sekarang, Guru?!"
"Tahan sebentar!" kata Betari Ayu, yang segera
memandang ke arah Murbawati. "Apalagi yang kamu
ketahui tentang Pusaka Tuak Setan itu?!"
"Tidak banyak, Guru. Yang saya tahu Tuak Setan
akan dimusnahkan oleh murid si Gila Tuak itu."
Betari Ayu menarik napas. Sepertinya ada sesuatu
yang sedang dipikirkan. Lalu, ia menggumam sendiri,
"Tuak Setan...!" Sejurus kemudian ia menatap
Selendang Kubur dan Dewi Murka secara bergantian,
lalu berkata,
"Tuak Setan adalah pusaka maut yang tidak
pernah digunakan oleh si Gila Tuak. Pusaka itu
disembunyikan oleh si Gila Tuak, entah di mana
tempatnya. Pusaka itu menjadi incaran setiap orang,
baik dari tokoh tua maupun tokoh muda. Gila Tuak
sendiri tidak berani menghancurkan pusaka itu
karena pusaka tersebut mempunyai pertalian nyawa
dengan dirinya. Tetapi jika orang lain yang
menghancurkannya, pertalian nyawa itu menjadi
hilang dan Gila Tuak tidak mengalami bahaya apa
pun."
Selendang Kubur mengajukan pertanyaan, "Apa
kehebatan Pusaka Tuak Setan itu, Nyai Guru?"
"Tuak Setan berbentuk guci yang berisi tuak ribuan
tahun usianya. Apabila tuak tersebut diminum oleh
seseorang, maka napas orang tersebut bisa berubah
menjadi badai yang amat dahsyat jika dihentakkan
dengan sedikit dorongan tenaga dalam. Badai itu
dapat menyapu habis pohon-pohon besar di hutan,
atau menggelindingkan batu sebesar rumah
sekalipun. Karena itu, jika Tuak Setan diminum oleh
orang yang punya sifat angkara murka; maka bumi ini
akan hancur sebelum waktunya. Air laut bisa meluap
dan menenggelamkan gunung setinggi apa pun. Tuak
Setan memang berbahaya, seperti bahayanya jika si
Gila Tuak mengamuk."
"Mengapa si Gila Tuak tidak meminumnya
sendiri?" tanya Dewi Murka.
"Karena dia takut menghadirkan bencana besar.
Dia merasa masih bisa terpancing oleh kemarahan.
Dan Pusaka Tuak Setan lebih berbahaya lagi jika
digunakan oleh seseorang yang sedang memendam
kemarahan. Sebagai tokoh golongan putih, si Gila
Tuak tidak berani menggunakan Pusaka Tuak Setan.
Mungkin berdasarkan itulah, maka ia memutuskan
untuk menghancurkan Pusaka Tuak Setan. Tapi...,
mengapa muridnya yang disuruh menghancurkan?
Mengapa bukan Bidadari Jalang?"
Murbawati menyahut, "Menurut yang saya dengar,
si Gila Tuak mengatakan tidak akan ada orang yang
bisa menghancurkan guci Pusaka Tuak Setan itu
kecuali sang murid itu sendiri."
"Berarti murid si Gila Tuak bukan orang
sembarangan?" gumam Betari Ayu sambil termenung.
Lalu, Dewi Murka bertanya kepada Murbawati,
"Siapa murid si Gila Tuak itu?"
"Kudengar, kakek tua itu menyebutnya Suto
Sinting!"
"Suto Sinting...?!" gumam mereka berbarengan.
*
* *