Chereads / Pendekar Mabuk / Chapter 10 - 002.Pendekar Mabuk - Pusaka Tuak Setan Eps10

Chapter 10 - 002.Pendekar Mabuk - Pusaka Tuak Setan Eps10

Episode 10

SEEKOR kuda berlari dengan cepat melintasi

pepohonan, menuruni lembah dan menuju ke satu

arah tertentu. Kuda itu ditunggangi oleh seorang

perempuan muda bersenjatakan cambuk di

pinggangnya. Tetapi perempuan muda itu dalam

keadaan lemas, sehingga sesekali tubuhnya nyaris

terjungkal dari punggung kuda. Mata perempuan

muda itu terpejam bagai tak mampu lagi untuk

memandang ke arah depan. Bahkan ketika kudanya

melewati jalan menurun, tubuh perempuan muda itu

jatuh tertelungkup di belakang leher kuda.

Sekujur tubuh perempuan muda itu ternyata

memar membiru. Dari telapak kaki sampai bagian

kepala seperti habis kejatuhan pohon besar. Bahkan

pada bagian wajahnya sedikit tampak membengkak.

Sebagian rambutnya pun ada yang rontok, dan

rontokan helai rambutnya berjatuhan di sekitar

pundak dan punggung.

la tak mampu lagi mengendalikan kudanya. Tapi

sang kuda ternyata sudah terbiasa melewati jalur

perjalanan tersebut, sehingga tanpa kendali pun

sudah mengerti arah yang dituju. Seolah-olah sang

kuda mengetahui bahwa majikannya dalam keadaan

luka dalam yang cukup berat dan perlu segera dibawa

pulang ke perguruan.

Itulah sebabnya begitu mendekati pintu gerbang

perguruan yang bagian atasnya bertuliskan :

"Perguruan Merpati Wingit", kuda itu memperlambat

sendiri langkahnya. Dan tepat di depan pintu gerbang

yang kokoh itu, sang kuda berhenti. Kedua penjaga

pintu gerbang terperanjat dengan mata membelalak.

Salah seorang berseru,

"Murbawati...?! Oh, kenapa dia?!"

"Kelihatannya terluka cukup berat!"

"Lekas antarkan dia menghadap Nyai Guru!"

Murbawati masih belum bisa bicara. Namun kedua

penjaga pintu gerbang perguruan itu mengetahui

bahwa Murbawati masih bernapas. Kudanya segera

dituntun oleh salah satu dari kedua penjaga tersebut

menuju ke sebuah tempat berbangunan joglo. Di

sana, murid-murid Perguruan Merpati Wingit sedang

berkumpul mendengarkan wejangan guru mereka.

Seorang perempuan berwajah cantik, namun

sebenarnya sudah cukup banyak usianya, sedang

duduk di sebuah bangku berupa kotak sederhana.

Perempuan itu mengenakan pakaian berbentuk jubah

dengan warna kuning gading. Kain itu tipis, sehingga

pakaian dalamnya yang berwarna biru tua itu terlihat

membayang di balik jubah kuningnya.

Rambutnya yang panjang sebatas pinggang

dibiarkan lepas terurai ke depan, sebagian di dada

kiri sebagian lagi di dada kanan, la mengenakan ikat

kepala bukan dari kain, melainkan dari tali sutera

yang berwarna merah, berbintik-bintik kuning emas.

Tali sutera itu sedikit panjang sehingga sisa ikatannya

jatuh berjuntai melewati pundak kanannya. Di tiap

bagian ujung tali sutera itu mempunyai semacam

logam berbentuk mata tombak kecil, berwarna putih

berkilauan.

Orang yang mengantarkan Murbawati berseru

beberapa jarak sebelum sampai di tempat berkumpul

itu.

"Nyai Guru...! Murbawati terluka!"

Perempuan berselubung kain jubah kuning gading

itu segera bangkit, karena memang dia itulah yang

disebut Nyai Guru Betari Ayu. Melihat Murbawati

terkulai bagaikan celana basah di atas kuda, Nyai

Guru Betari Ayu segera bangkit dengan mata

terperanjat. Para murid yang sedang duduk bersila

dengan rapi itu pun ikut bergegas bangkit, dan segera

mengerumuni kuda tunggangan Murbawati.

"Jangan dipakai buat tontonan!" seru Betari Ayu.

"Angkat dia dan bawa masuk dengan segera!"

Murbawati dibawa ke ruang yang khusus untuk

penyembuhan. Di sana tubuh lunglai tak berdaya itu

dibaringkan di atas sebuah pembaringan dari batu

yang dilapisi kain tebal.

"Tinggalkan kami!" kata Betari Ayu kepada para

penggotong tubuh Murbawati itu. Mereka pun patuh,

segera pergi meninggalkan ruang penyembuhan. Kini

yang ada di situ hanya Murbawati dan Betari Ayu.

Dipandangi sekujur tubuh Murbawati dengan sorot

pandangan mata yang menyimpan kemarahan. Gigi

menggeletuk, mata pun menjadi menyipit.

Betari Ayu menarik napas, menenangkan gemuruh

di dalam dadanya yang terasa hampir meledak

melihat orang utusannya terkapar dalam keadaan

sedemikian menyedihkannya. Terucap gumam,

mendalam dari sudut berbibir sedikit tebal namun

tampak indah itu.

"Keparat! Ini pasti perbuatan Bidadari Jalang!"

Pintu kamar penyembuhan dibuka, Betari Ayu

memanggil kedua murid kesayangannya, yaitu Dewi

Murka dan Selendang Kubur. Dua perempuan yang

mempunyai tinggi sejajar namun berwarna kulit beda

itu segera masuk ke ruang penyembuhan. Wajah

mereka juga memancarkan ketegangan dan

kemarahan yang tertahan. Rasa iba melihat keadaan

saudara seperguruan menderita seperti itu, membuat

hati Dewi Murka tak sabar menanti tugas

pembalasan.

"Kalian tentunya tahu, apa yang membuat tubuh

Murbawati membiru seperti itu!" kata Betari Ayu tanpa

memandang kedua muridnya.

Dewi Murka menjawab, "Pasti pukulan beracun

yang dinamakan pukulan 'Guntur Perkasa', milik

Bidadari Jalang itu, Nyai Guru."

"Benar! Dan rupanya dia sudah campur tangan

dalam urusan kita!" ujar Betari Ayu dengan nada

geram.

"Nyai Guru," sela Selendang Kubur yang

mengenakan pakaian merah dadu bak buah jambu

yang ranum dengan pinggang dililit selendang putih.

la berucap kata dengan sikap hormat kepada sang

guru. Mata Betari Ayu pun segera beralih kepadanya.

"Lanjutkan kata-katamu, Selendang Kubur!"

"Menurut dugaan saya, Guru..., Murbawati bukan

terkena pukulan 'Guntur Perkasa' milik Bidadari

Jalang."

Dewi Murka menyahut, "Ah, tahu apa kau tentang

pukulan itu? Hanya aku dan Guru yang mengetahui

ciri pukulan itu!"

"Aku juga tahu tentang pukulan 'Guntur Perkasa'

milik Bidadari Jalang itu, Dewi! Aku pernah melihat ia

menghantam musuhnya memakai pukulan tersebut.

Tetapi, kali ini yang diterima Murbawati bukan

pukulan 'Guntur Perkasa'."

"Alasanmu?!" sergah Betari Ayu.

"Kalau saja Murbawati telah menderita pukulan

'Guntur Perkasa' milik Bidadari Jalang, pasti saat ini

tubuhnya sudah membusuk. Pukulan itu selain

membuat tubuh lawan menjadi memar membiru, juga

membuat tubuh lawan menjadi cepat membusuk.

Bukankah tubuh Murbawati tidak membusuk sampai

sekarang, Guru?"

"Kurasa sebentar lagi!" sahut Dewi Murka. Sikap

dan wajahnya menampakkan seakan ia sangat tahu

dalam hal ini.

Betari Ayu melangkah ke bagian kepala Murbawati,

memandangnya beberapa saat, kemudian berkata

kepada kedua muridnya.

"Kurasa benar apa katamu, Selendang Kubur!"

"Benar bagaimana, Guru?!" sergah Dewi Murka.

"Jika memang Murbawati terkena pukulan 'Guntur

Perkasa' dari Bidadari Jalang, pasti saat ini tubuhnya

menguarkan bau busuk. Pada bagian sudut matanya

mengeluarkan cairan hitam yang baunya sangat

menusuk hidung. Nyatanya, sudut mata Murbawati

tidak melelehkan cairan hitam. Berarti ini bukan

pukulan 'Guntur Perkasa' dari Bidadari Jalang."

Dewi Murka merasa tidak bisa membantah lagi,

karena semua keputusan gurunya tak berani

disanggahnya. Dewi Murka yang berpakaian hitam

dengan trisula di pinggang, hanya diam dan

memandangi tubuh Murbawati.

Sesaat berikutnya, barulah Dewi Murka bertanya,

"Jadi, apa yang harus kami lakukan sekarang ini,

Guru?"

"Lupakan dulu tentang siapa penyerang

Murbawati. Sekarang kalian berdua bantu aku

menyalurkan hawa murni melalui telapak kaki

Murbawati. Aku akan menyalurkan tenagaku melalui

bagian dadanya. Dewi, di telapak kanan. Selendang

Kubur, di telapak kiri. Jangan berhenti sebelum

kulepaskan tanganku dari dada Murbawati."

"Baik, Guru," jawab Selendang Kubur dengan sikap

patuh.

"Apakah pakaian Murbawati perlu dilepas

semuanya, Guru?"

"Hmmm..., sebagian saja, sebagian atasnya

saja...!"

Di luar ruang penyembuhan itu, para murid

Perguruan Merpati Wingit saling berkasak-kusuk

membicarakan nasib Murbawati. Mereka saling

menduga-duga, tapi tak satu pun mempunyai

kepastian tentang siapa penyerang Murbawati

sebenarnya. Mereka saling menggeram dendam,

merasa marah melihat saudara seperguruan

mengalami nasib begitu menyedihkan. Tetapi tak satu

pun dari mereka yang berani ambil tindakan sendiri,

sebelum ada keputusan dan perintah dari sang Guru

yang mereka segani itu.

Murbawati dikenal di lingkungan perguruan

sebagai murid yang cekatan dan pandai menyusup.

Sama dengan murid-murid lainnya, ia selalu bangga

jika mendapat perintah dari gurunya. Seolah-olah

sebuah perintah merupakan suatu penghormatan

besar baginya.

Dua hari yang lalu, Murbawati diutus menemui

Ketua Partai Perempuan Sakti yang bergelar Ratu

Lembah Asmara, guna menyampaikan undangan dari

Nyai Guru Betari Ayu. Pertemuan itu akan diadakan

tepat di malam purnama. Betari Ayu meminta

kesediaan Ratu Lembah Asmara untuk

membicarakan masalah tanah di Bukit Garinda yang

dulu dipinjamkan kepada Ratu Lembah Asmara.

Tanah itu milik leluhur Betari Ayu. Karena hubungan

baik, maka Betari Ayu meminjamkan tanah tersebut

kepada Ratu Lembah Asmara sebagai tempat

bercokolnya perempuan-perempuan penabur cinta.

Tetapi belakangan hari, Betari Ayu membutuhkan

tanah itu untuk memperluas wilayah perguruannya

yang berkembang kian pesat itu.

Tetapi, agaknya Betari Ayu kecewa dengan sikap

Ratu Lembah Asmara. Kehadiran Murbawati sebagai

utusan Perguruan Merpati Wingit disambut dengan

permusuhan. Sang utusan dilukai sedemikian

parahnya, sehingga untuk mengobatinya, Betari Ayu

terpaksa mengerahkan banyak tenaga hingga

beberapa waktu lamanya.

Murbawati tersentak dan segera memuntahkan

cairan hijau kehitam-hitaman dari mulutnya. Ini

pertanda racun pukulan itu terdesak keluar, dan jiwa

Murbawati tertolong. Namun perempuan muda itu

belum bisa bicara apa-apa. Tubuhnya masih lemas,

hingga Betari Ayu membiarkan Murbawati beristirahat

beberapa waktu lamanya.

Menjelang malam tiba, Betari Ayu duduk di

serambi depan kamarnya. la termenung

mempertimbangkan sikap yang harus diambilnya.

Jelas, melukai muridnya sama saja menantang

pertempuran dengannya. Tetapi, apakah benar Ratu

Lembah Asmara yang menyerang Murbawati? Seingat

Betari Ayu, Ratu Lembah Asmara tidak memiliki

pukulan yang mirip sekali dengan pukulan 'Guntur

Perkasa' milik Bidadari Jalang.

"Jika Ratu Lembah Asmara melancarkan pukulan,

selalu saja pukulan yang mematikan yang

dilancarkan. Tak pernah tanggung-tanggung seperti

ini!" pikir Betari Ayu. "Andaikata benar bahwa

Murbawati menderita pukulan dari Ratu Lembah

Asmara, lantas apa maunya perempuan liar itu?

Apakah ia sudah bosan bersahabat denganku?

Apakah ia membuka pintu permusuhan denganku?

Apa alasannya ia bertindak begitu? Bukankah aku

pernah menolong nyawanya dari ancaman maut

Cadaspati dalam pertempurannya di Bukit Menoreh?"

Betari Ayu diguncang oleh keresahan dalam

hatinya. la merasa harga dirinya dilangkahi oleh

seseorang, tapi ia tak tahu kepada siapa ia harus

menuntut sikap yang menantang itu. Satu-satunya

wajah yang sering muncul dalam ingatannya hanyalah

Bidadari Jalang. Karena antara dia dengan Bidadari

Jalang pernah terjadi bentrokan ketika

memperebutkan seorang lelaki yang bernama Datuk

Marah Gadai.

Sejenak, ingatan Betari Ayu melayang pada seraut

wajah pria tampan berkesan jantan: Datuk Marah

Gadai. Ada hati yang bersemi di dalam dada Betari

Ayu. Ada cinta yang tumbuh di dalam hati Betari Ayu.

Tetapi, Datuk Marah Gadai terpikat oleh godaan

Bidadari Jalang. Mata jeli Betari Ayu masih terbayang

saat ia memergoki Datuk Marah Gadai bercinta

dengan Bidadari Jalang.

Terbakar hati Betari Ayu pada saat itu.

Diterjangnya Bidadari Jalang dengan amukan rasa

cemburu yang mendidihkan darahnya. Tetapi,

Bidadari Jalang cukup tangguh, tak mudah

dirobohkan. Justru Betari Ayu sendiri yang terluka

dalam oleh satu pukulan dahsyat dari Bidadari Jalang.

Pukulan itu sampai sekarang masih membekas di

dalam raga Betari Ayu.

Yang lebih menyakitkan lagi, Datuk Marah Gadai

tidak peduli keadaan Betari Ayu kala itu. Datuk Marah

Gadai justru pergi bersama Bidadari Jalang,

melanjutkan cengkeramanya di tempat lain.

Sementara bekas luka pukulan tenaga dalam

Bidadari Jalang sampai sekarang masih sesekali

menyumbat pernapasan Betari Ayu. Apabila bekas

pukulan itu bekerja kembali, pernapasan Betari Ayu

jadi tersumbat, membuat Betari Ayu mengalami

kejang-kejang dan sulit bernapas, terasa bagai mau

mati. Sampai sekarang Betari Ayu belum bila

melenyapkan sisa pukulan Regangpati yang

bermukim di bagian jantung dan paru-parunya.

Betari Ayu bagaikan luka di kedua sisi hati,

terhadap Bidadari Jalang, juga terhadap Datuk Marah

Gadai. Kedua orang itu menjadi musuh utama Betari

Ayu, yang tidak tahu kapan akan dibalaskan

dendamnya. Karena selama bekas pukulan

'Regangpati' itu belum bisa dilenyapkan, Betari Ayu

belum berani menghadapi mereka berdua. Jika bekas

pukulan itu kambuh pada saat pertarungan, maka

jelas nyawa Betari Ayu akan mudah dicabut oleh

salah satu dari mereka.

Selendang Kubur dan Dewi Murka itulah yang

selalu menolong Betari Ayu jika sedang kambuh.

Tanpa melalui hawa murni mereka, maka

penyumbatan pada pernapasan dan pembekuan

darah yang terjadi akibat pukulan 'Regangpati', akan

menewaskan nyawa sang Guru yang banyak

menurunkan ilmu putihnya kepada para muridnya.

Malam itu, Selendang Kubur melihat sang Guru

sedang termenung. la mencoba mendekati dengan

hati-hati. Agaknya sang Guru tidak keberatan untuk

didekati, sehingga sang Guru menegur lebih dulu.

"Ada yang ingin kau sampaikan padaku, Selendang

Kubur?"

Langkah Selendang Kubur terhenti sejenak. la

biarkan dirinya ditatap oleh sang Guru yang segera

berkata,

"Bicaralah. Tak ada yang perlu kau ragukan!"

"Saya hanya ingin membicarakan tentang

Murbawati, Guru."

"Apa pendapatmu tentang dia?"

"Murbawati telah siuman. Agaknya ia ingin bicara

dengan Guru."

Sedikit tersentak kepala Betari Ayu. Ada kelegaan

di hatinya. Tanpa bicara sepatah kata lagi, ia segera

bergegas menuju ruang penyembuhan. Selendang

Kubur mengikuti langkah gurunya dari belakang. Di

sebuah tikungan lorong, Dewi Murka melihat

kelebatan sang Guru dan Selendang Kubur. Hatinya

segera membatin.

"Hmmm... apa yang akan dilakukan Nyai Guru

dengan Selendang Kubur. Pasti Selendang Kubur

sedang cari muka agar mendapat pujian di hati Nyai

Guru. Baiklah. Aku harus segera menyusul mereka

supaya Selendang Kubur tidak punya kesempatan

untuk mengambil hati Nyai Guru." Maka, bergegaslah

Dewi Murka menyusul langkah gurunya dan

Selendang Kubur.

Diam-diam Selendang Kubur mendengar langkah

kaki di belakangnya yang berjarak antara lima belas

langkah. Selendang Kubur memejamkan mata

sejenak. Suara langkah itu semakin jelas, dan ia

segera mengenali langkah dan napas yang ada di

belakangnya adalah milik Dewi Murka. Selendang

Kubur hanya tersenyum sinis di dalam hatinya.

Belakangan ini, keduanya memang saling

bersaing. Persaingan itu terjadi sejak Betari Ayu

berkata, bahwa ia mau mengundurkan diri dari dunia

persilatan. Dia juga akan menyerahkan kekuasaan di

perguruan tersebut kepada seseorang. Tapi sampai

saat itu dia belum punya pilihan, siapa yang akan

menggantikan kedudukannya sebagai Ketua

Perguruan Merpati Wingit Itu. Jelas orang pilihannya

ada dua, yaitu Dewi Murka atau Selendang Kubur,

karena hanya mereka berdualah yang mempunyai

ilmu paling tinggi dari murid-murid lainnya. Bahkan

Murbawati masih berada dua tingkat di bawah

mereka.

Orang yang jelas-jelas berkeinginan keras untuk

menjadi pengganti Nyai Guru Betari Ayu adalah Dewi

Murka. Dengan menjadi pewaris kedudukan Nyai

Guru, maka dialah orang yang berhak memegang

Kitab Wedar Kesuma yang selama ini menjadi kunci

utama dari semua ilmu yang dimiliki Nyai Guru. Kitab

Wedar Kesuma itulah yang menjadi incaran utama

bagi Dewi Murka.

Sementara itu, Selendang Kubur juga mengetahui

tentang kitab tersebut. la juga merasa menjadi calon

pengganti gurunya. la juga mengincar kedudukan dan

Kitab Wedar Kesuma, tapi ia tak mau kelihatan

menyolok. la tetap bersikap tenang, walau mata

hatinya penuh waspada terhadap gerak-gerik Dewi

Murka.

Pada waktu Betari Ayu memasuki ruang

penyembuhan, Selendang Kubur pun segera masuk

dan menutup pintunya, bahkan menguncinya dari

dalam. Maksudnya supaya Dewi Murka tidak ikut

menyusul masuk dan tak dapat membuka pintu

ruangan seenaknya saja.

Tetapi, rupanya Dewi Murka mengetahui niat licik

Selendang Kubur. Maka, dengan merabakan jemari

tangannya pada pintu tersebut, kunci pintu pun

bergerak sendiri. Klik...! Dan pintu dapat dibuka. Dewi

Murka pun segera masuk. Matanya beradu pandang

dengan Selendang Kubur. Senyum sinis dipamerkan

di hadapan Selendang Kubur. Perempuan berpakaian

merah dadu dengan selendang putih di pinggangnya

itu hanya diam saja, dan segera mengalihkan

pandangan kepada tubuh Murbawati yang memar

birunya sudah banyak berkurang.

"Murbawati," sapa Nyai Guru Betari Ayu dengan

sikap tegasnya. "Ceritakan, siapa orang yang

menyerangmu sedemikian rupa?"

Dewi Murka menyahut dengan pertanyaan,

"Apakah Bidadari Jalang orangnya, Murbawati?"

"Bukan," jawab Murbawati masih dengan suara

lemah.

"Apakah Ratu Lembah Asmara? tanya Betari Ayu.

"Juga bukan, Nyai Guru."

"Lantas siapa?"

"Pujangga Kramat," jawab Murbawati.

Tiga wajah perempuan yang sama-sama memiliki

kecantikan tersendiri itu kini saling beradu pandang.

Dahi mereka sedikit berkerut mendengar nama

tersebut. Selendang Kubur dan Dewi Murka merasa

asing terhadap nama itu, tapi Betari Ayu rupanya

tidak merasa asing. Hanya sedikit heran, mengapa

Murbawati jadi punya urusan dengan Pujangga

Kramat.

"Nyai Guru, mohon sudi memaafkan kelancangan

saya yang telah membuat saya terluka seperti ini,"

tutur Murbawati dengan perasaan bersalah dan sikap

menyesal. Nyai Guru Betari Ayu hanya diam saja,

mata tetap memandang Murbawati, mulut terkatup

rapat, kedua tangan berlipat di dada. Murbawati

melanjutkan kata-katanya.

"Saya terpancing oleh kemunculan seorang

pemuda tampan yang berkelebat melintasi perjalanan

saya, pada saat saya menuju ke Bukit Garinda. Saya

ikuti pemuda tampan yang menawan hati itu.

Ternyata dia adalah murid dari saudara perguruan

Bidadari Jalang. Pemuda itu adalah murid si Gila

Tuak...."

Tersentak wajah Betari Ayu mendengar nama

tokoh tua itu disebutkan oleh Murbawati. Pandangan

matanya menjadi lebih tajam lagi. Tapi mulutnya

masih tetap terkatup rapat, seakan tak mau memberi

ucapan apa pun. Sedangkan Dewi Murka dan

Selendang Kubur juga ikut terkesiap mendengar

nama si Gila Tuak. Mereka juga tidak asing lagi

dengan nama tokoh tua yang sangat disegani oleh

orang-orang di rimba persilatan.

Hanya saja, mereka merasa sangat heran

mendengar si Gila Tuak mempunyai seorang murid.

Menurut kedua murid Betari Ayu itu, berita adanya si

Gila Tuak mempunyai murid jelas akan

menghebohkan dunia persilatan, karena selama ini si

Gila Tuak tidak pernah mau mempunyai murid siapa

pun juga.

Murbawati melihat wajah gurunya dan kedua

temannya itu mengalami sedikit ketegangan. Namun

ia tetap melanjutkan kata-katanya,

"Saya sangat tertarik dengan murid si Gila Tuak itu,

sehingga saya berusaha mencuri percakapan antara

si Gila Tuak dengan muridnya itu dari balik gugusan

batu cadas. Saya mendengar adanya rahasia penting

yang dibicarakan oleh mereka berdua...."

"Tentang apa?" tukas Betari Ayu.

"Sebuah pusaka yang bernama Tuak Setan."

"Hah...?!" kembali lagi Betari Ayu terperanjat kaget

dengan mata makin melebar. Sebentar matanya

singgah di wajah Dewi Murka dan Selendang Kubur,

sebentar kemudian sudah kembali menatap tajam

kepada Murbawati yang masih terbaring lemah.

"Apa yang kau ketahui tentang pusaka Tuak Setan

itu?"

"Gila Tuak memerintahkan muridnya itu untuk

menghancurkan Pusaka Tuak Setan yang sangat

berbahaya jika jatuh ke tangan orang lain. Gila Tuak

tidak ingin pusaka itu masih berada di bumi kita,

karena sangat membahayakan jika digunakan oleh

orang-orang tak bertanggung jawab. Dan... pada saat

saya mencuri percakapan mereka itu, tiba-tiba

muncul di hadapan saya Pujangga Kramat, pelayan

setianya si Gila Tuak. la menyerang saya dengan dua

jurus, dan saya terluka parah begini!"

Tanpa sadar tangan Betari Ayu meremas gelang

logam di tangannya. Gelang itu menjadi lumer karena

asap yang mengepul dari telapak tangannya. Buru-

buru ia menyadari hal itu dan membuang gelang dari

bahan baja mengkilap dari tangannya.

"Pujangga Kramat bukan tandinganmu,

Murbawati!" geram Betari Ayu. "Dewi Murka adalah

lawan yang imbang untuk berhadapan dengan

Pujangga Kramat. Orang itu selain tidak bisa bicara

dengan benar, juga tidak bisa bersikap bijaksana dan

lebih sering main hukum sendiri. Memang dia pelayan

setia si Gila Tuak, tapi aku yakin Gila Tuak tidak

menyuruh dia untuk bertindak seenaknya sendiri

begitu."

"Saya dianggap pencuri, Guru," kata Murbawati

sambil bernada sedih, seakan sakit hati sekali

dengan tuduhan tersebut.

Dewi Murka yang tadi disebut-sebut namanya

sebagai orang yang layak menandingi Pujangga

Kramat, segera berkata dengan hati masih merasa

bangga.

"Haruskah saya berangkat sekarang, Guru?!"

"Tahan sebentar!" kata Betari Ayu, yang segera

memandang ke arah Murbawati. "Apalagi yang kamu

ketahui tentang Pusaka Tuak Setan itu?!"

"Tidak banyak, Guru. Yang saya tahu Tuak Setan

akan dimusnahkan oleh murid si Gila Tuak itu."

Betari Ayu menarik napas. Sepertinya ada sesuatu

yang sedang dipikirkan. Lalu, ia menggumam sendiri,

"Tuak Setan...!" Sejurus kemudian ia menatap

Selendang Kubur dan Dewi Murka secara bergantian,

lalu berkata,

"Tuak Setan adalah pusaka maut yang tidak

pernah digunakan oleh si Gila Tuak. Pusaka itu

disembunyikan oleh si Gila Tuak, entah di mana

tempatnya. Pusaka itu menjadi incaran setiap orang,

baik dari tokoh tua maupun tokoh muda. Gila Tuak

sendiri tidak berani menghancurkan pusaka itu

karena pusaka tersebut mempunyai pertalian nyawa

dengan dirinya. Tetapi jika orang lain yang

menghancurkannya, pertalian nyawa itu menjadi

hilang dan Gila Tuak tidak mengalami bahaya apa

pun."

Selendang Kubur mengajukan pertanyaan, "Apa

kehebatan Pusaka Tuak Setan itu, Nyai Guru?"

"Tuak Setan berbentuk guci yang berisi tuak ribuan

tahun usianya. Apabila tuak tersebut diminum oleh

seseorang, maka napas orang tersebut bisa berubah

menjadi badai yang amat dahsyat jika dihentakkan

dengan sedikit dorongan tenaga dalam. Badai itu

dapat menyapu habis pohon-pohon besar di hutan,

atau menggelindingkan batu sebesar rumah

sekalipun. Karena itu, jika Tuak Setan diminum oleh

orang yang punya sifat angkara murka; maka bumi ini

akan hancur sebelum waktunya. Air laut bisa meluap

dan menenggelamkan gunung setinggi apa pun. Tuak

Setan memang berbahaya, seperti bahayanya jika si

Gila Tuak mengamuk."

"Mengapa si Gila Tuak tidak meminumnya

sendiri?" tanya Dewi Murka.

"Karena dia takut menghadirkan bencana besar.

Dia merasa masih bisa terpancing oleh kemarahan.

Dan Pusaka Tuak Setan lebih berbahaya lagi jika

digunakan oleh seseorang yang sedang memendam

kemarahan. Sebagai tokoh golongan putih, si Gila

Tuak tidak berani menggunakan Pusaka Tuak Setan.

Mungkin berdasarkan itulah, maka ia memutuskan

untuk menghancurkan Pusaka Tuak Setan. Tapi...,

mengapa muridnya yang disuruh menghancurkan?

Mengapa bukan Bidadari Jalang?"

Murbawati menyahut, "Menurut yang saya dengar,

si Gila Tuak mengatakan tidak akan ada orang yang

bisa menghancurkan guci Pusaka Tuak Setan itu

kecuali sang murid itu sendiri."

"Berarti murid si Gila Tuak bukan orang

sembarangan?" gumam Betari Ayu sambil termenung.

Lalu, Dewi Murka bertanya kepada Murbawati,

"Siapa murid si Gila Tuak itu?"

"Kudengar, kakek tua itu menyebutnya Suto

Sinting!"

"Suto Sinting...?!" gumam mereka berbarengan.

*

* *