Chereads / Pendekar Mabuk / Chapter 11 - 002.Pendekar Mabuk - Pusaka Tuak Setan Eps11

Chapter 11 - 002.Pendekar Mabuk - Pusaka Tuak Setan Eps11

Episode 11

DERU suara air terjun memekakkan telinga.

Curahan airnya yang bening menghantam bebatuan,

pecah dan berubah menjadi gumpalan air yang

mengaliri sungai dangkal di Jurang Lindu itu. Sungai

yang penuh dengan batu-batu gurung berwarna hitam

kelam, menjadi tempat melejitnya tubuh kekar berikat

kepala kulit ular hijau pupus.

Kaki pemuda itu melompat dari satu batu ke batu

lainnya hanya menggunakan ujung jempol kakinya

saja pada waktu menapak di salah satu batu. Bekas

tapakan ujung jempol kaki itu menimbulkan asap

tipis, yang lama kelamaan membuat batu itu menjadi

hancur sebagian kecil. Sepertinya batu itu mengalami

kerapuhan dimakan usia beratus-ratus tahun.

Kekuatan tenaga dalam yang tersalur melalui ujung

jempol kakinya itulah yang membuat batu menjadi

rapuh dan hancur dalam bentuk serpihan lembut.

Lima buah pisau kecil melesat dari suatu tempat.

Suiiit..! Kelima pisau kecil itu melayang cepat

bagaikan kilat, menuju ke arah pemuda yang sedang

bersalto dari batu ke batu. Putaran saltonya tampak

lebih cepat lagi hingga tak terlihat gerakan jungkir

baliknya, sampai akhirnya pemuda itu berdiri tegak di

atas sebuah batu runcing dengan menggunakan satu

kaki.

la segera memeriksa tabung bambu berisi tuak

yang digendongnya di bagian punggung. Ternyata

kelima pisau terbang tadi berhasil ditangkisnya

dengan tabung bambu. Kelima pisau itu menancap

berjajar dari atas ke bawah di tabung tuak yang

disebutnya bumbung itu.

Pemuda, berkemeja komprang warna hijau muda

dengan celananya yang juga berwarna hijau muda itu,

tersenyum sambil mencabuti lima pisau yang

menancap di bumbungnya. la melirik ke arah daratan,

di bawah sebuah pohon, seorang kakek berjubah

kuning sedang tersenyum pula kepadanya. Kakek

itulah yang tadi melemparkan lima pisau

berkecepatan bagai kilat itu.

Pemuda yang mengenakan ikat pinggang dari kain

warna merah tua tak lain adalah Suto, si bocah tanpa

pusar yang diangkat murid oleh si Gila Tuak, (baca

serial Pendekar Mabuk dalam episode: "Bocah Tanpa

Pusar"). Kakek berjubah kuning yang berdiri di bawah

pohon besar itulah si Gila Tuak, yang selama ini telah

menurunkan ilmu-ilmunya kepada murid tunggalnya

tersebut. la merasa puas melihat kecepatan gerak

Suto dengan ketajaman mata dan otak yang cukup

tinggi, sehingga mampu melihat dan menangkis

gerakan lima pisau tadi.

"Suto, kemari!" perintah si Gila Tuak sambil

mengetukkan tongkatnya ke tanah satu kali.

"Baik, Kek...!" jawab Suto dengan tegas.

la hendak melompat dari batu itu, tetapi tiba-tiba

ia merasa seluruh urat tubuhnya menjadi kaku,

kecuali di bagian kepala. la ingin menurunkan satu

kakinya yang terangkat, namun tak bisa. Bahkan

untuk menggerakkan tangannya, juga tak mampu.

Semuanya menjadi kaku dan beku.

"Uh... uh... eh....'" Suto berusaha sekuat tenaga

menggerakkan anggota tubuhnya, tapi usahanya itu

sia-sia.

Si Gila Tuak terdengar terkekeh-kekeh dari

tempatnya. Suto segera memandang ke arah

gurunya. Maka, segeralah sadar bahwa dirinya

sedang ditotok dari jarak jauh oleh sang Guru.

"Sial! Dia menotokku dari sana lewat hentakan

tongkatnya tadi," kata Suto dalam hati dengan sedikit

dongkol. "Baik. Akan kutunjukkan kemampuanku

melepaskan totokan dari jarak jauh itu." Suto

memejamkan mata sebentar, menarik napas dalam-

dalam, dan seketika itu ia memekik panjang,

"Hiaaat...!"

Maka tubuh Suto pun berhasil melenting tinggi dan

jungkir balik di angkasa. Batu yang tadi dipijaknya

menjadi hancur seketika oleh sentakan kaki Suto

tadi.

Prakkk...! Batu itu menjadi bongkahan-bongkahan

yang segera berjatuhan masuk ke aliran arus sungai

berair bening.

Tubuh Suto yang telah bebas dari pengaruh

totokan gurunya segera melesat ke daratan, kedua

kakinya menapak di tanah tepian sungai. Jligg...!

Tubuhnya tepat berhadapan dengan si Gila Tuak yang

terkekeh-kekeh sambil sesekali menenggak tuak yang

tersimpan dari dalam tongkatnya.

"Hiaaah...!" Suto mengambil bumbung tuak dari

punggungnya. Lalu, bumbung itu dihentakkan ke

tanah. Jluug...! Tepat pada saat itu tubuh si Gila Tuak

tersentak naik ke atas di luar dugaan sang guru.

Tubuh tua tersebut bagai dilemparkan ke atas

dengan kuatnya akibat tenaga dalam Suto yang

disalurkan lewat bumbung dan melalui jalan tembus

tanah.

Karena cepat dan kuatnya sentakan tenaga dalam

Suto, akhirnya tubuh si Gila Tuak melayang cepat

membentur dahan pohon kepalanya. Plokkk...!

"Aaauh...!" Gila Tuak menyeringai kesakitan. la

segera berkelebat jungkir balik di angkasa dalam

keadaan mulutnya tersumpal bagian atas tongkat

yang tadi hendak ditenggak isinya.

Kaki si Gila Tuak mendatar di tanah dengan sigap

dan tegap. Ia segera menarik tongkatnya yang

menyumpal mulut, sementara Suto tertawa terkakak-

kakak melihat wajah gurunya merengut akibat

dipermainkan oleh sang murid.

"Hati-hati kau, Suto!" sentak si Gila Tuak sambil

mengusap-usap kepalanya yang sakit terkena

benturan dahan tadi.

Suto sendiri segera membuka tutup bumbungnya,

dan menenggak tuak yang tersimpan di dalam

bumbung itu. Glek... glek... glek...! Pada waktu wajah

Suto terdongak menenggak tuak itulah si Gila Tuak

segera meluncurkan pukulan jarak jauhnya ke tubuh

Suto. Wusss...!

Dengan sigap tangan kiri Suto yang tidak

memegang bumbung segera disentakkan ke depan.

Wuuggg...! Gelombang tenaga dalam dilancarkan pula

oleh Suto. Gelombang itu berbenturan dengan hawa

pukulan jarak jauh dari si Gila Tuak, dan akibatnya

menimbulkan suara bergedebuk seperti nangka jatuh

dari pohon.

Beeegh...!

Suto tersentak mundur satu langkah. Tetapi si Gila

Tuak tersentak mundur tiga langkah. Rupanya Suto

mengirim kekuatan tenaga dalamnya lebih besar dari

pukulan jarak jauhnya si Gila Tuak, membuat tubuh

kakek berjubah kuning itu lebih besar menerima

sentakan. Tubuh itu membentur pohon. Bukkk...!

"Kurang ajar kau!" geram si Gila Tuak karena

merasakan sakit pada bagian punggungnya yang

terkena tunas pohon berbentuk seperti tangan

menggenggam.

Suto tertawa keras sambil menuding-nuding

gurunya yang menyeringai kesakitan di bagian

punggung. Wajah sang Guru cemberut, dan membuat

Suto semakin geli. Sang Guru hanya menahan napas

beberapa saat, sementara Suto sudah memutar-

mutarkan bumbungnya yang berukuran sedikit lebih

besar dari tongkat sang Guru.

Ketika bumbung itu diputar dengan cara

memegangi talinya, timbullah suara berdengung yang

membisingkan telinga. Putaran bumbung itu pun

memancarkan angin kencang bergelombang-

gelombang. Rambut sang Guru tersingkap nyaris

copot dari kulit kepalanya. Jubahnya beterbangan

naik dan terkait pada salah satu patahan ranting.

"Hentikan, Suto! Itu jurus berbahaya!" sentak si

Gila Tuak.

Suto memang menghentikan gerakan bumbungnya

itu, namun ia masih tertawa terbahak-bahak

memandangi gurunya yang bersungut-sungut. Sang

Guru mau bergerak maju, namun gerakannya bagai

ada yang menahan dari belakang. Segera si Gila Tuak

pasang waspada, la melirik sedikit tegang ke

belakang sambil membatin,

"Siapa orang yang berani menahan gerakanku

ini?!"

Si Gila Tuak segera pasang kuda-kuda, bersiap

menyerang sesuatu yang menahan gerakan majunya.

Namun melihat Suto tertawa terkakak-kakak sambil

menuding-nuding ke arahnya, si Gila Tuak menjadi

ragu-ragu. Pelan-pelan ia palingkan kepalanya, dan ia

pun jadi menghempaskan napas kesal. Karena ia

tahu pada saat itu jubahnya tersangkut patahan

ranting, sehingga menahan gerakan majunya.

"Kucing Kurap!" makinya dengan dongkol, segera

menyentakkan jubah dan jubahnya segera lepas dari

patahan ranting.

Suto tertawa terpingkal-pingkal melihat gurunya

menahan kedongkolan. Tawanya sampai membuat

Suto jongkok sambil tetap memegangi bumbung

tuaknya.

"Diam, Suto! Diam....!" sentak si Gila Tuak.

Tetapi Suto masih terpingkal-pingkal, bahkan

semakin bertambah kegelian mendengar bentakan

gurunya. Secepatnya si Gila Tuak melemparkan

tongkatnya ke arah Suto. Tongkat hitam itu pun

meluncur cepat ke arah wajah Suto, dengan tujuan

mulut Suto.

Tetapi dengan cepat Suto berguling di rerumputan

sambil mengibaskan bumbungnya. Kibasan bumbung

tuak Suto begitu cepat dan kuat, sehingga pada

waktu menangkis tongkat yang meluncur cepat itu

menimbulkan bunyi bagaikan dua lonceng logam

berbenturan. Taaang...!

Bunyi itu menggema ke mana-mana, mengungguli

suara deru air terjun. Jika tanpa dialiri kekuatan

tenaga dalam baik tongkat maupun bumbung Suto,

tidak mungkin bisa menimbulkan suara berdentang

sedemikian hebatnya. Bahkan tongkat yang meluncur

datar tadi saat itu bisa melesat naik, tinggi dan lebih

cepat dari luncuran semula, sampai akhirnya tongkat

itu menancap pada batang pohon di bagian atas.

Jruub...!

"Ambil tongkatku!" sentak si Gila Tuak setelah

mengetahui tempat menancapnya tongkat cukup

tinggi. "Suto, lekas ambil tongkat itu dan kembalikan

padaku!"

"Salah Guru sendiri, mengapa membuang

tongkatnya?!" bantah Suto sambil menghabiskan

tawanya. Kemudian ia berdiri dengan sedikit limbung.

Matanya mulai tampak sayu akibat pengaruh tuak

yang tadi ditenggaknya untuk yang kesekian kalinya,

Si Gila Tuak bergegas menghampiri Suto dengan

langkah cepat. Suto berjalan mundur dengan limbung

dan sedikit membungkuk. la mengangkat kedua

tangannya dengan lemah. Satu tangan masih

memegangi bumbung tuak. la tahu gurunya akan

marah jika perintah itu tidak dikerjakan. Maka

dengan sikap orang mabuk yang menyerah, Suto

berkata diiringi sisa tawanya.

"Iya, iya...! Baik, akan saya kembalikan pada Kakek

Guru!"

"Kupelintir batang lehermu kalau tidak kau

kembalikan tongkatku. Dasar murid sinting!"

Suto segera melompat dan bersalto di udara satu

kali. Kakinya menjejak pohon tempat menancapnya

tongkat itu. Dengan satu sentakan keras dan

bertenaga dalam, pohon itu dijejak dan menimbulkan

bunyi bergemuruh. Daun-daunnya rontok sebagian.

Tongkat yang menancap di bagian atas itu jadi

melesat mundur dan jatuh di bawah pohon tempat si

Gila Tuak tadi berdiri mengawasi latihan sang murid.

Pluk...! Tongkat itu jatuh tergeletak di rerumputan.

Si Gila Tuak bergegas memungutnya. Namun, baru

saja ia membungkuk untuk mengambil tongkat, tiba-

tiba badannya bergerak mundur. Karena pada saat

itu Suto menghentakkan jari tengahnya ke depan

dengan satu hembusan napas kencang. Wuuus...!

Dan tiba-tiba tongkat itu bergerak-gerak, kemudian

segera berubah menjadi seekor ular sanca.

Si Gila Tuak melompat mundur karena kaget. Suto

kembali tertawa terpingkal-pingkal. Ular sanca itu

menatap si Gila Tuak, sejurus kemudian segera

melesat menyambar kepala si Gila Tuak. Namun

dengan cepat tangan si Gila Tuak menangkapnya.

Hup...! Kepala ular digenggam kuat, lalu tangan

kanan si Gila Tuak menarik ular itu dari leher ke ekor,

dan dengan satu tahanan napas, ternyata ular itu

sudah berubah menjadi tongkat seperti sediakala.

Suto masih tertawa. Kali ini ia duduk di

rerumputan, meletakkan bumbungnya di samping,

dan ia bertepuk tangan sambil berkata,

"Bagus, bagus, bagus...! Itu baru guruku namanya.

Hebat...!"

Cepat tubuh tua berbalik menghadap Suto.

Tongkatnya digenggam dengan tangan kanan, ujung

bawahnya menyentuh tanah.

"Rupanya kau telah menerima warisan ilmu sihir

dari bibi gurumu; Bidadari Jalang itu!"

"Tinggal sebagian ilmu yang belum saya miliki dari

Bibi Guru," kata Suto seraya menghentikan tawanya.

"Kapan dia berjanji akan menyelesaikan

penurunan ilmunya padamu?" tanya si Gila Tuak

sambil mendekati Suto.

"Bibi Guru tidak bilang pada saya, Kek. Bibi Guru

hanya berkata, bahwa ia akan memenuhi janjinya,

karena saya telah melakukan penyembuhan terhadap

penyakit racun birahinya."

"Apa kau percaya dengan omongan bibi gurumu

itu? Dia sudah terbiasa bertindak curang, Suto."

"Saya tahu kelemahan Bibi Guru, Kek. Akan saya

buat dia bertekuk lutut di hadapan saya jika sampai

dia membohong aku."

Si Gila Tuak menggumam lirih, "Murid gila! Bibi

gurunya akan dibuat bertekuk lutut. Kurasa..., itu bisa

saja terjadi, karena seluruh ilmuku telah kuturunkan

kepadanya. Tinggal satu ilmu yang belum, yaitu

'Candra Geni' yang dapat membakar lautan walau

hanya dengan cara memandang saja. Tapi, perlukah

ilmu itu kuturunkan kepada bocah sinting itu? Aku

harus pertimbangkan masak-masak," ucap si Gila

Tuak di dalam hatinya.

Memang tinggal satu ilmu yang belum diturunkan

oleh si Gila Tuak kepada murid tunggalnya, tapi

bukan berarti si Gila Tuak merasa sayang untuk

menurunkannya. Si Gila Tuak melihat Suto masih

belum membutuhkan ilmu 'Candra Geni'. Dengan

bekal ilmu lain yang diturunkannya kepada Suto,

pemuda tanpa pusar itu sudah cukup mampu

menghadapi bahaya apa pun. Apalagi sebagian ilmu

Bidadari Jalang sudah diturunkan kepada Suto,

pemuda tampan yang punya senyum memikat hati

setiap perempuan itu tentu sudah lebih tangguh

menghadapi musuh mana pun.

Si Gila Tuak yang menentukan perjanjian tersebut,

ketika Bidadari Jalang membutuhkan bantuan Suto

untuk menghilangkan racun birahi dari dalam dirinya.

Pada waktu itu si Gila Tuak berkata,

"Boleh saja kau meminta bantuan bocah tanpa

pusar itu, tapi kau harus memberinya upah kebijakan

kepadanya. Aku tak rela kalau penyembuhan yang

akan dilakukan oleh Suto terhadap dirimu nanti,

justru akan membuatmu semakin gila-gilaan di rimba

persilatan."

"Aku tahu maksudmu, Sabawana," kata Bidadari

Jalang dengan menyebut nama asli si Gila Tuak. "Aku

sendiri sudah menyadari, bahwa kekuatan ilmuku

yang kuanggap sangat ampuh ini ternyata masih bisa

dilumpuhkan oleh ilmu lain. Racun birahi ini semakin

membuatku kehilangan banyak tenaga dan ilmuku

kian hilang satu persatu."

"Jangan merasa lebih tinggi dari yang lain. Ada

yang lebih tinggi dari yang tertinggi. Ingat-ingatlah hal

itu, Nawang Tresni!"

"Ya. Aku ingat. Karenanya, setelah racun birahiku

ini hilang, aku bermaksud mengasingkan diri dari

rimba persilatan. Aku sudah terlalu lelah untuk

melanglang buana lagi. Aku tidak akan turun di rimba

persilatan jika tidak ada keperluan yang penting."

"Aku mendukung rencanamu, Nawang Tresni."

"Jika begitu, izinkan aku membawa bocah tanpa

pusar itu ke Lembah Badai. Akan kudidik ia untuk

pemusatan tenaga intinya, yang kelak bisa digunakan

untuk melawan racun birahiku."

"Kuizinkan kau membawa Suto, tapi tetap dalam

pengawasanku. Sebab, kita sama-sama tahu, bocah

itu semakin dewasa semakin kelihatan

ketampanannya. Aku takut kau jatuh hati kepadanya."

Bidadari Jalang tertawa mengikik. "Aku tak

keberatan kau mengawasinya, karena memang aku

sangat membutuhkan tenaga intinya."

Begitulah akhirnya, Suto juga dididik oleh Bidadari

Jalang, yang selama ini juga belum mempunyai murid,

kecuali orang-orang suruhan, pelayan, dan beberapa

anak buah yang dibekali jurus-jurus ringannya.

Beberapa waktu lamanya Bidadari Jalang

menggembleng bocah tanpa pusar itu dalam

pengawasan Ki Sabawana yang berjuluk si Gila Tuak.

Kadang-kadang mereka melatih Suto secara

berbarengan, sehingga mereka menemukan jurus-

jurus baru yang tercipta karena perpaduan dua jurus

mereka itu.

Bidadari Jalang kini telah terbebas dari racun

birahi. Suto telah menyalurkan hawa murninya ke

dalam diri Bidadari Jalang. Untuk melakukan

penyembuhan itu, si Gila Tuak sengaja membuat

mata Suto menjadi buta sementara dengan racun

tuak simpanannya. Hal itu dilakukan oleh si Gila Tuak,

supaya murid tunggalnya tidak tergoda pada saat

melakukan penyembuhan terhadap diri Bidadari

Jalang. Sebab, cara penyembuhan tersebut dilakukan

dalam keadaan Bidadari Jalang melepas semua

pakaiannya di dalam sebuah kamar.

"Letakkan telapak tanganmu dua-duanya di

punggungku, Suto," kata Bidadari Jalang waktu

penyembuhan dulu. Suto melakukannya dengan

sedikit gemetar, karena ia merasakan kelembutan

kulit punggung Bidadari Jalang.

"Jangan berpikiran yang bukan-bukan, Suto!

Pusatkan perhatianmu pada tenaga intimu.

Keluarkan hawa murnimu melalui kedua telapak

tanganmu itu," tuntun Bidadari Jalang.

Suto melakukan hal itu. Tubuh Bidadari Jalang

menjadi menggigil pada saat hawa murni Suto

disalurkan ke dalam tubuhnya. Di dalam hati Bidadari

Jalang berkata,

"Besar sekali hawa murni yang keluar darinya? Oh,

tubuhku begitu dingin, bagaikan disekap di dalam

gunung es. Kalau saja ia mempunyai pusar, tidak

akan sebesar ini kekuatan hawa murni dan tenaga

intinya. Oh, luar biasa kekuatan bocah sinting ini...?!"

Bidadari Jalang tetap duduk bersila memunggungi

Suto. Tubuhnya berjuang dengan keras menahan

hawa dingin yang membekukan darah. Tubuh tanpa

pakaian itu gemetar menggigil, namun tubuh Suto

yang kala itu sudah berusia lima belas tahun jadi

bermandikan keringat hingga mirip orang habis

kehujanan.

"Nah, sekarang lakukan di ulu hatiku. Tekan

tanganmu seperti tadi. Lakukanlah, Suto!" sambil

Bidadari Jalang berbaring. Suto meraba bagian ulu

hati Bidadari Jalang. Tiba-tiba perempuan itu

memekik keras.

"Hai, jangan yang itu yang kau pegang!"

"Oh, maaf. Maaf, Bibi... saya salah pegang!"

"Nakal kamu!"

Plakkk...! Wajah Suto ditampar. Tapi Suto tetap

tersenyum berkesan meringis, karena ia sadar bahwa

yang dipegangnya tadi adalah gundukan dada yang

sekal dan berujung kencang. Suto menahan geli, lalu

segera kembali bersungguh-sungguh setelah menarik

napas panjang-panjang.

Sekarang, usianya sudah lebih dari tujuh belas

tahun. Suto sudah menjadi pria tampan yang

menggiurkan hati setiap wanita, walaupun ia sering

bicara meracau karena pengaruh minuman tuaknya.

Menurut si Gila Tuak, sudah waktunya Suto muncul di

rimba persilatan sebagai pendekar pembela

kebenaran. Tetapi karena sering diajak minum tuak

oleh si Gila Tuak, maka Suto pun tumbuh sebagai

pemuda yang sering mabuk, dan ke mana-mana

selalu membawa tabung bambu yang disebut

bumbung. Benda itu berukuran satu depa

panjangnya. Besarnya sedikit lebih besar dari tongkat

milik gurunya. Dalam genggaman tangan Suto,

bumbung itu hanya sisa beberapa jari saja. Bumbung

itu mempunya tali yang biasa diselempangkan di

dada jika bumbung itu sedang dibawa di

punggungnya.

"Suto," kata si Gila Tuak setelah mereka selesai

latihan tadi, "Ikutlah aku ke dalam gua, akan

kutunjukkan di mana letak penyimpanan Pusaka

Tuak Setan yang harus kau ambil dan kau hancurkan

itu!"

Gila Tuak melesat dalam satu lompatan seperti

angin, menerobos curah air terjun, dan Suto

mengikutinya. Ternyata di balik curah air terjun itu

terdapat gua, sebagai tempat bermukimnya si Gila

Tuak selama ini.

*

* *