Episode 11
DERU suara air terjun memekakkan telinga.
Curahan airnya yang bening menghantam bebatuan,
pecah dan berubah menjadi gumpalan air yang
mengaliri sungai dangkal di Jurang Lindu itu. Sungai
yang penuh dengan batu-batu gurung berwarna hitam
kelam, menjadi tempat melejitnya tubuh kekar berikat
kepala kulit ular hijau pupus.
Kaki pemuda itu melompat dari satu batu ke batu
lainnya hanya menggunakan ujung jempol kakinya
saja pada waktu menapak di salah satu batu. Bekas
tapakan ujung jempol kaki itu menimbulkan asap
tipis, yang lama kelamaan membuat batu itu menjadi
hancur sebagian kecil. Sepertinya batu itu mengalami
kerapuhan dimakan usia beratus-ratus tahun.
Kekuatan tenaga dalam yang tersalur melalui ujung
jempol kakinya itulah yang membuat batu menjadi
rapuh dan hancur dalam bentuk serpihan lembut.
Lima buah pisau kecil melesat dari suatu tempat.
Suiiit..! Kelima pisau kecil itu melayang cepat
bagaikan kilat, menuju ke arah pemuda yang sedang
bersalto dari batu ke batu. Putaran saltonya tampak
lebih cepat lagi hingga tak terlihat gerakan jungkir
baliknya, sampai akhirnya pemuda itu berdiri tegak di
atas sebuah batu runcing dengan menggunakan satu
kaki.
la segera memeriksa tabung bambu berisi tuak
yang digendongnya di bagian punggung. Ternyata
kelima pisau terbang tadi berhasil ditangkisnya
dengan tabung bambu. Kelima pisau itu menancap
berjajar dari atas ke bawah di tabung tuak yang
disebutnya bumbung itu.
Pemuda, berkemeja komprang warna hijau muda
dengan celananya yang juga berwarna hijau muda itu,
tersenyum sambil mencabuti lima pisau yang
menancap di bumbungnya. la melirik ke arah daratan,
di bawah sebuah pohon, seorang kakek berjubah
kuning sedang tersenyum pula kepadanya. Kakek
itulah yang tadi melemparkan lima pisau
berkecepatan bagai kilat itu.
Pemuda yang mengenakan ikat pinggang dari kain
warna merah tua tak lain adalah Suto, si bocah tanpa
pusar yang diangkat murid oleh si Gila Tuak, (baca
serial Pendekar Mabuk dalam episode: "Bocah Tanpa
Pusar"). Kakek berjubah kuning yang berdiri di bawah
pohon besar itulah si Gila Tuak, yang selama ini telah
menurunkan ilmu-ilmunya kepada murid tunggalnya
tersebut. la merasa puas melihat kecepatan gerak
Suto dengan ketajaman mata dan otak yang cukup
tinggi, sehingga mampu melihat dan menangkis
gerakan lima pisau tadi.
"Suto, kemari!" perintah si Gila Tuak sambil
mengetukkan tongkatnya ke tanah satu kali.
"Baik, Kek...!" jawab Suto dengan tegas.
la hendak melompat dari batu itu, tetapi tiba-tiba
ia merasa seluruh urat tubuhnya menjadi kaku,
kecuali di bagian kepala. la ingin menurunkan satu
kakinya yang terangkat, namun tak bisa. Bahkan
untuk menggerakkan tangannya, juga tak mampu.
Semuanya menjadi kaku dan beku.
"Uh... uh... eh....'" Suto berusaha sekuat tenaga
menggerakkan anggota tubuhnya, tapi usahanya itu
sia-sia.
Si Gila Tuak terdengar terkekeh-kekeh dari
tempatnya. Suto segera memandang ke arah
gurunya. Maka, segeralah sadar bahwa dirinya
sedang ditotok dari jarak jauh oleh sang Guru.
"Sial! Dia menotokku dari sana lewat hentakan
tongkatnya tadi," kata Suto dalam hati dengan sedikit
dongkol. "Baik. Akan kutunjukkan kemampuanku
melepaskan totokan dari jarak jauh itu." Suto
memejamkan mata sebentar, menarik napas dalam-
dalam, dan seketika itu ia memekik panjang,
"Hiaaat...!"
Maka tubuh Suto pun berhasil melenting tinggi dan
jungkir balik di angkasa. Batu yang tadi dipijaknya
menjadi hancur seketika oleh sentakan kaki Suto
tadi.
Prakkk...! Batu itu menjadi bongkahan-bongkahan
yang segera berjatuhan masuk ke aliran arus sungai
berair bening.
Tubuh Suto yang telah bebas dari pengaruh
totokan gurunya segera melesat ke daratan, kedua
kakinya menapak di tanah tepian sungai. Jligg...!
Tubuhnya tepat berhadapan dengan si Gila Tuak yang
terkekeh-kekeh sambil sesekali menenggak tuak yang
tersimpan dari dalam tongkatnya.
"Hiaaah...!" Suto mengambil bumbung tuak dari
punggungnya. Lalu, bumbung itu dihentakkan ke
tanah. Jluug...! Tepat pada saat itu tubuh si Gila Tuak
tersentak naik ke atas di luar dugaan sang guru.
Tubuh tua tersebut bagai dilemparkan ke atas
dengan kuatnya akibat tenaga dalam Suto yang
disalurkan lewat bumbung dan melalui jalan tembus
tanah.
Karena cepat dan kuatnya sentakan tenaga dalam
Suto, akhirnya tubuh si Gila Tuak melayang cepat
membentur dahan pohon kepalanya. Plokkk...!
"Aaauh...!" Gila Tuak menyeringai kesakitan. la
segera berkelebat jungkir balik di angkasa dalam
keadaan mulutnya tersumpal bagian atas tongkat
yang tadi hendak ditenggak isinya.
Kaki si Gila Tuak mendatar di tanah dengan sigap
dan tegap. Ia segera menarik tongkatnya yang
menyumpal mulut, sementara Suto tertawa terkakak-
kakak melihat wajah gurunya merengut akibat
dipermainkan oleh sang murid.
"Hati-hati kau, Suto!" sentak si Gila Tuak sambil
mengusap-usap kepalanya yang sakit terkena
benturan dahan tadi.
Suto sendiri segera membuka tutup bumbungnya,
dan menenggak tuak yang tersimpan di dalam
bumbung itu. Glek... glek... glek...! Pada waktu wajah
Suto terdongak menenggak tuak itulah si Gila Tuak
segera meluncurkan pukulan jarak jauhnya ke tubuh
Suto. Wusss...!
Dengan sigap tangan kiri Suto yang tidak
memegang bumbung segera disentakkan ke depan.
Wuuggg...! Gelombang tenaga dalam dilancarkan pula
oleh Suto. Gelombang itu berbenturan dengan hawa
pukulan jarak jauh dari si Gila Tuak, dan akibatnya
menimbulkan suara bergedebuk seperti nangka jatuh
dari pohon.
Beeegh...!
Suto tersentak mundur satu langkah. Tetapi si Gila
Tuak tersentak mundur tiga langkah. Rupanya Suto
mengirim kekuatan tenaga dalamnya lebih besar dari
pukulan jarak jauhnya si Gila Tuak, membuat tubuh
kakek berjubah kuning itu lebih besar menerima
sentakan. Tubuh itu membentur pohon. Bukkk...!
"Kurang ajar kau!" geram si Gila Tuak karena
merasakan sakit pada bagian punggungnya yang
terkena tunas pohon berbentuk seperti tangan
menggenggam.
Suto tertawa keras sambil menuding-nuding
gurunya yang menyeringai kesakitan di bagian
punggung. Wajah sang Guru cemberut, dan membuat
Suto semakin geli. Sang Guru hanya menahan napas
beberapa saat, sementara Suto sudah memutar-
mutarkan bumbungnya yang berukuran sedikit lebih
besar dari tongkat sang Guru.
Ketika bumbung itu diputar dengan cara
memegangi talinya, timbullah suara berdengung yang
membisingkan telinga. Putaran bumbung itu pun
memancarkan angin kencang bergelombang-
gelombang. Rambut sang Guru tersingkap nyaris
copot dari kulit kepalanya. Jubahnya beterbangan
naik dan terkait pada salah satu patahan ranting.
"Hentikan, Suto! Itu jurus berbahaya!" sentak si
Gila Tuak.
Suto memang menghentikan gerakan bumbungnya
itu, namun ia masih tertawa terbahak-bahak
memandangi gurunya yang bersungut-sungut. Sang
Guru mau bergerak maju, namun gerakannya bagai
ada yang menahan dari belakang. Segera si Gila Tuak
pasang waspada, la melirik sedikit tegang ke
belakang sambil membatin,
"Siapa orang yang berani menahan gerakanku
ini?!"
Si Gila Tuak segera pasang kuda-kuda, bersiap
menyerang sesuatu yang menahan gerakan majunya.
Namun melihat Suto tertawa terkakak-kakak sambil
menuding-nuding ke arahnya, si Gila Tuak menjadi
ragu-ragu. Pelan-pelan ia palingkan kepalanya, dan ia
pun jadi menghempaskan napas kesal. Karena ia
tahu pada saat itu jubahnya tersangkut patahan
ranting, sehingga menahan gerakan majunya.
"Kucing Kurap!" makinya dengan dongkol, segera
menyentakkan jubah dan jubahnya segera lepas dari
patahan ranting.
Suto tertawa terpingkal-pingkal melihat gurunya
menahan kedongkolan. Tawanya sampai membuat
Suto jongkok sambil tetap memegangi bumbung
tuaknya.
"Diam, Suto! Diam....!" sentak si Gila Tuak.
Tetapi Suto masih terpingkal-pingkal, bahkan
semakin bertambah kegelian mendengar bentakan
gurunya. Secepatnya si Gila Tuak melemparkan
tongkatnya ke arah Suto. Tongkat hitam itu pun
meluncur cepat ke arah wajah Suto, dengan tujuan
mulut Suto.
Tetapi dengan cepat Suto berguling di rerumputan
sambil mengibaskan bumbungnya. Kibasan bumbung
tuak Suto begitu cepat dan kuat, sehingga pada
waktu menangkis tongkat yang meluncur cepat itu
menimbulkan bunyi bagaikan dua lonceng logam
berbenturan. Taaang...!
Bunyi itu menggema ke mana-mana, mengungguli
suara deru air terjun. Jika tanpa dialiri kekuatan
tenaga dalam baik tongkat maupun bumbung Suto,
tidak mungkin bisa menimbulkan suara berdentang
sedemikian hebatnya. Bahkan tongkat yang meluncur
datar tadi saat itu bisa melesat naik, tinggi dan lebih
cepat dari luncuran semula, sampai akhirnya tongkat
itu menancap pada batang pohon di bagian atas.
Jruub...!
"Ambil tongkatku!" sentak si Gila Tuak setelah
mengetahui tempat menancapnya tongkat cukup
tinggi. "Suto, lekas ambil tongkat itu dan kembalikan
padaku!"
"Salah Guru sendiri, mengapa membuang
tongkatnya?!" bantah Suto sambil menghabiskan
tawanya. Kemudian ia berdiri dengan sedikit limbung.
Matanya mulai tampak sayu akibat pengaruh tuak
yang tadi ditenggaknya untuk yang kesekian kalinya,
Si Gila Tuak bergegas menghampiri Suto dengan
langkah cepat. Suto berjalan mundur dengan limbung
dan sedikit membungkuk. la mengangkat kedua
tangannya dengan lemah. Satu tangan masih
memegangi bumbung tuak. la tahu gurunya akan
marah jika perintah itu tidak dikerjakan. Maka
dengan sikap orang mabuk yang menyerah, Suto
berkata diiringi sisa tawanya.
"Iya, iya...! Baik, akan saya kembalikan pada Kakek
Guru!"
"Kupelintir batang lehermu kalau tidak kau
kembalikan tongkatku. Dasar murid sinting!"
Suto segera melompat dan bersalto di udara satu
kali. Kakinya menjejak pohon tempat menancapnya
tongkat itu. Dengan satu sentakan keras dan
bertenaga dalam, pohon itu dijejak dan menimbulkan
bunyi bergemuruh. Daun-daunnya rontok sebagian.
Tongkat yang menancap di bagian atas itu jadi
melesat mundur dan jatuh di bawah pohon tempat si
Gila Tuak tadi berdiri mengawasi latihan sang murid.
Pluk...! Tongkat itu jatuh tergeletak di rerumputan.
Si Gila Tuak bergegas memungutnya. Namun, baru
saja ia membungkuk untuk mengambil tongkat, tiba-
tiba badannya bergerak mundur. Karena pada saat
itu Suto menghentakkan jari tengahnya ke depan
dengan satu hembusan napas kencang. Wuuus...!
Dan tiba-tiba tongkat itu bergerak-gerak, kemudian
segera berubah menjadi seekor ular sanca.
Si Gila Tuak melompat mundur karena kaget. Suto
kembali tertawa terpingkal-pingkal. Ular sanca itu
menatap si Gila Tuak, sejurus kemudian segera
melesat menyambar kepala si Gila Tuak. Namun
dengan cepat tangan si Gila Tuak menangkapnya.
Hup...! Kepala ular digenggam kuat, lalu tangan
kanan si Gila Tuak menarik ular itu dari leher ke ekor,
dan dengan satu tahanan napas, ternyata ular itu
sudah berubah menjadi tongkat seperti sediakala.
Suto masih tertawa. Kali ini ia duduk di
rerumputan, meletakkan bumbungnya di samping,
dan ia bertepuk tangan sambil berkata,
"Bagus, bagus, bagus...! Itu baru guruku namanya.
Hebat...!"
Cepat tubuh tua berbalik menghadap Suto.
Tongkatnya digenggam dengan tangan kanan, ujung
bawahnya menyentuh tanah.
"Rupanya kau telah menerima warisan ilmu sihir
dari bibi gurumu; Bidadari Jalang itu!"
"Tinggal sebagian ilmu yang belum saya miliki dari
Bibi Guru," kata Suto seraya menghentikan tawanya.
"Kapan dia berjanji akan menyelesaikan
penurunan ilmunya padamu?" tanya si Gila Tuak
sambil mendekati Suto.
"Bibi Guru tidak bilang pada saya, Kek. Bibi Guru
hanya berkata, bahwa ia akan memenuhi janjinya,
karena saya telah melakukan penyembuhan terhadap
penyakit racun birahinya."
"Apa kau percaya dengan omongan bibi gurumu
itu? Dia sudah terbiasa bertindak curang, Suto."
"Saya tahu kelemahan Bibi Guru, Kek. Akan saya
buat dia bertekuk lutut di hadapan saya jika sampai
dia membohong aku."
Si Gila Tuak menggumam lirih, "Murid gila! Bibi
gurunya akan dibuat bertekuk lutut. Kurasa..., itu bisa
saja terjadi, karena seluruh ilmuku telah kuturunkan
kepadanya. Tinggal satu ilmu yang belum, yaitu
'Candra Geni' yang dapat membakar lautan walau
hanya dengan cara memandang saja. Tapi, perlukah
ilmu itu kuturunkan kepada bocah sinting itu? Aku
harus pertimbangkan masak-masak," ucap si Gila
Tuak di dalam hatinya.
Memang tinggal satu ilmu yang belum diturunkan
oleh si Gila Tuak kepada murid tunggalnya, tapi
bukan berarti si Gila Tuak merasa sayang untuk
menurunkannya. Si Gila Tuak melihat Suto masih
belum membutuhkan ilmu 'Candra Geni'. Dengan
bekal ilmu lain yang diturunkannya kepada Suto,
pemuda tanpa pusar itu sudah cukup mampu
menghadapi bahaya apa pun. Apalagi sebagian ilmu
Bidadari Jalang sudah diturunkan kepada Suto,
pemuda tampan yang punya senyum memikat hati
setiap perempuan itu tentu sudah lebih tangguh
menghadapi musuh mana pun.
Si Gila Tuak yang menentukan perjanjian tersebut,
ketika Bidadari Jalang membutuhkan bantuan Suto
untuk menghilangkan racun birahi dari dalam dirinya.
Pada waktu itu si Gila Tuak berkata,
"Boleh saja kau meminta bantuan bocah tanpa
pusar itu, tapi kau harus memberinya upah kebijakan
kepadanya. Aku tak rela kalau penyembuhan yang
akan dilakukan oleh Suto terhadap dirimu nanti,
justru akan membuatmu semakin gila-gilaan di rimba
persilatan."
"Aku tahu maksudmu, Sabawana," kata Bidadari
Jalang dengan menyebut nama asli si Gila Tuak. "Aku
sendiri sudah menyadari, bahwa kekuatan ilmuku
yang kuanggap sangat ampuh ini ternyata masih bisa
dilumpuhkan oleh ilmu lain. Racun birahi ini semakin
membuatku kehilangan banyak tenaga dan ilmuku
kian hilang satu persatu."
"Jangan merasa lebih tinggi dari yang lain. Ada
yang lebih tinggi dari yang tertinggi. Ingat-ingatlah hal
itu, Nawang Tresni!"
"Ya. Aku ingat. Karenanya, setelah racun birahiku
ini hilang, aku bermaksud mengasingkan diri dari
rimba persilatan. Aku sudah terlalu lelah untuk
melanglang buana lagi. Aku tidak akan turun di rimba
persilatan jika tidak ada keperluan yang penting."
"Aku mendukung rencanamu, Nawang Tresni."
"Jika begitu, izinkan aku membawa bocah tanpa
pusar itu ke Lembah Badai. Akan kudidik ia untuk
pemusatan tenaga intinya, yang kelak bisa digunakan
untuk melawan racun birahiku."
"Kuizinkan kau membawa Suto, tapi tetap dalam
pengawasanku. Sebab, kita sama-sama tahu, bocah
itu semakin dewasa semakin kelihatan
ketampanannya. Aku takut kau jatuh hati kepadanya."
Bidadari Jalang tertawa mengikik. "Aku tak
keberatan kau mengawasinya, karena memang aku
sangat membutuhkan tenaga intinya."
Begitulah akhirnya, Suto juga dididik oleh Bidadari
Jalang, yang selama ini juga belum mempunyai murid,
kecuali orang-orang suruhan, pelayan, dan beberapa
anak buah yang dibekali jurus-jurus ringannya.
Beberapa waktu lamanya Bidadari Jalang
menggembleng bocah tanpa pusar itu dalam
pengawasan Ki Sabawana yang berjuluk si Gila Tuak.
Kadang-kadang mereka melatih Suto secara
berbarengan, sehingga mereka menemukan jurus-
jurus baru yang tercipta karena perpaduan dua jurus
mereka itu.
Bidadari Jalang kini telah terbebas dari racun
birahi. Suto telah menyalurkan hawa murninya ke
dalam diri Bidadari Jalang. Untuk melakukan
penyembuhan itu, si Gila Tuak sengaja membuat
mata Suto menjadi buta sementara dengan racun
tuak simpanannya. Hal itu dilakukan oleh si Gila Tuak,
supaya murid tunggalnya tidak tergoda pada saat
melakukan penyembuhan terhadap diri Bidadari
Jalang. Sebab, cara penyembuhan tersebut dilakukan
dalam keadaan Bidadari Jalang melepas semua
pakaiannya di dalam sebuah kamar.
"Letakkan telapak tanganmu dua-duanya di
punggungku, Suto," kata Bidadari Jalang waktu
penyembuhan dulu. Suto melakukannya dengan
sedikit gemetar, karena ia merasakan kelembutan
kulit punggung Bidadari Jalang.
"Jangan berpikiran yang bukan-bukan, Suto!
Pusatkan perhatianmu pada tenaga intimu.
Keluarkan hawa murnimu melalui kedua telapak
tanganmu itu," tuntun Bidadari Jalang.
Suto melakukan hal itu. Tubuh Bidadari Jalang
menjadi menggigil pada saat hawa murni Suto
disalurkan ke dalam tubuhnya. Di dalam hati Bidadari
Jalang berkata,
"Besar sekali hawa murni yang keluar darinya? Oh,
tubuhku begitu dingin, bagaikan disekap di dalam
gunung es. Kalau saja ia mempunyai pusar, tidak
akan sebesar ini kekuatan hawa murni dan tenaga
intinya. Oh, luar biasa kekuatan bocah sinting ini...?!"
Bidadari Jalang tetap duduk bersila memunggungi
Suto. Tubuhnya berjuang dengan keras menahan
hawa dingin yang membekukan darah. Tubuh tanpa
pakaian itu gemetar menggigil, namun tubuh Suto
yang kala itu sudah berusia lima belas tahun jadi
bermandikan keringat hingga mirip orang habis
kehujanan.
"Nah, sekarang lakukan di ulu hatiku. Tekan
tanganmu seperti tadi. Lakukanlah, Suto!" sambil
Bidadari Jalang berbaring. Suto meraba bagian ulu
hati Bidadari Jalang. Tiba-tiba perempuan itu
memekik keras.
"Hai, jangan yang itu yang kau pegang!"
"Oh, maaf. Maaf, Bibi... saya salah pegang!"
"Nakal kamu!"
Plakkk...! Wajah Suto ditampar. Tapi Suto tetap
tersenyum berkesan meringis, karena ia sadar bahwa
yang dipegangnya tadi adalah gundukan dada yang
sekal dan berujung kencang. Suto menahan geli, lalu
segera kembali bersungguh-sungguh setelah menarik
napas panjang-panjang.
Sekarang, usianya sudah lebih dari tujuh belas
tahun. Suto sudah menjadi pria tampan yang
menggiurkan hati setiap wanita, walaupun ia sering
bicara meracau karena pengaruh minuman tuaknya.
Menurut si Gila Tuak, sudah waktunya Suto muncul di
rimba persilatan sebagai pendekar pembela
kebenaran. Tetapi karena sering diajak minum tuak
oleh si Gila Tuak, maka Suto pun tumbuh sebagai
pemuda yang sering mabuk, dan ke mana-mana
selalu membawa tabung bambu yang disebut
bumbung. Benda itu berukuran satu depa
panjangnya. Besarnya sedikit lebih besar dari tongkat
milik gurunya. Dalam genggaman tangan Suto,
bumbung itu hanya sisa beberapa jari saja. Bumbung
itu mempunya tali yang biasa diselempangkan di
dada jika bumbung itu sedang dibawa di
punggungnya.
"Suto," kata si Gila Tuak setelah mereka selesai
latihan tadi, "Ikutlah aku ke dalam gua, akan
kutunjukkan di mana letak penyimpanan Pusaka
Tuak Setan yang harus kau ambil dan kau hancurkan
itu!"
Gila Tuak melesat dalam satu lompatan seperti
angin, menerobos curah air terjun, dan Suto
mengikutinya. Ternyata di balik curah air terjun itu
terdapat gua, sebagai tempat bermukimnya si Gila
Tuak selama ini.
*
* *