Chereads / Pendekar Mabuk / Chapter 9 - 001.Pendekar Mabuk - Bocah Tanpa Pusar Eps9

Chapter 9 - 001.Pendekar Mabuk - Bocah Tanpa Pusar Eps9

Episode 9

BOCAH berumur delapan tahun itu, masih tetap

menunggu serangan dari Bidadari Jalang. Pada saat itu,

Gila Tuak sengaja diam tak ikut menyerang Suto, sebab

ia ingin mengetahui gerakan jurus yang digunakan Suto

nanti. Ia pun yakin, kekuatan aneh yang membuat

kedua kakinya bagai tertancap kuat di tanah itu pasti

datang dari ulah orang yang sama. Dalam hati, Gila

Tuak menggerutu sendiri.

"Sial! Ternyata tidak mudah mendapatkan bocah

tanpa pusar itu. Ada-ada saja perintangnya! Bocah

sinting itu ternyata punya kekuatan keramat tersendiri.

Kalau dia berhasil mewarisi ilmu-ilmuku, sudah pasti

dia akan menguasai rimba persilatan. Dia akan menjadi

seorang pendekar tanpa tanding. Karena

keberadaannya yang tanpa pusar alias tidak punya udel

itu, telah mewarisi kekuatan keramat, di antaranya ia

tidak mudah lelah, napasnya panjang dan otot-ototnya

pun kuat. Sayang sekali kalau sampai ia jatuh di tangan

manusia sesat dan dikuasai oleh orang-orang dari

golongan hitam!"

Saat itu, bocah tanpa pusar mengusap-usap

dagunya yang tanpa selembar rambut pun, tapi

sepertinya ia merasa mempunyai jenggot yang sedikit

panjang. Gerakan matanya liar dan nakal bersama

senyum orang dewasa yang dibawakannya.

Pada waktu Bidadari Jalang melancarkan pukulan

jarak jauhnya yang tidak terlalu berat ukurannya, Suto

melenting ke atas dan bersalto satu kali, kemudian dari

posisinya yang sedang bergerak turun itu dia

menghentakkan kedua tangannya ke depan, ke arah

Bidadari Jalang.

Wooos...!

Semburan api meluncur dari kedua telapak tangan

Suto. Hampir saja semburan itu mengenai rambut

Bidadari Jalang. Untung saja perempuan itu segera

melompat ke belakang dalam gerakan salto juga.

Gila Tuak terperanjat. Hatinya seketika itu

berkata, "Edan! Itu jurus Tapak Bromo?!"

Segera mulut si Gila Tuak berseru pada Bidadari

Jalang dari tempatnya berdiri.

"Nawang! Mundurlah! Lekas! Berdiri di belakangku,

Nawang!"

Mendengar nada suara Gila Tuak yang tegang,

firasat Nawang Tresni alias Bidadari Jalang itu,

mengatakan bahwa dirinya dalam ancaman yang

membahayakan. Agaknya si Gila Tuak benar-benar

mempunyai keputusan yang harus dipatuhi. Maka

dengan gerakan melayang tinggi, kaki satu lurus

menendang ke samping ke arah kepala Suto, yang saat

itu juga kembali melayang untuk menyerang, Bidadari

Jalang berusaha tiba di dekat Gila Tuak. Tendangan

samping yang terbang itu meleset pada sasarannya,

karena tubuh Suto berhasil merunduk. Pada saat tubuh

Bidadari Jalang terbang di atas kepalanya, tangan kiri

Suto menghentak ke atas, dan tepat mengenai paha

Bidadari Jalang.

Plokk...!

"Uuh...!" Bidadari Jalang tidak merasakan sakit,

namun merasa kaget dan geli. Ia seperti mendapat

godaan dari tangan iseng seorang lelaki dewasa.

Hatinya jadi berdesir dan deg-degan.

"Dia kurang ajar padaku, Gila Tuak!"

"Dia bukan Suto. Aku mengenal jurus 'Tapak Bromo'

tadi."

"Dia mau memancing gairahku."

"Karena dia Malaikat Tanpa Nyawa."

"Hah...?!" Bidadari Jalang terkejut. "Bukankah

Malaikat Tanpa Nyawa itu sudah kau bunuh?"

"Ya. Tapi murid Malaikat Tanpa Nyawa itu masih

penasaran ingin membalas dendam atas kematian

gurunya padaku. Satu-satunya murid dari Malaikat

Tanpa Nyawa adalah Cadaspati. Ia menguasai ilmu

'Tapak Bromo' dan 'Inti Neraka'. Ilmu 'Inti Neraka' bisa

disusupkan ke tubuh seseorang dari jarak jauh, dan

orang itu jadi mewakili dirinya. Suto jadi sasaran untuk

melancarkan serangan dendamnya padaku. Jangan kau

ikut campur dulu, Nawang. Diamlah di belakangku. Dia

perlu kuhadapi sendiri, biar tak timbul korban lain."

Sambil bergerak ke belakang Gila Tuak, Bidadari

Jalang membenarkan kata-kata Gila Tuak itu di dalam

hatinya. Bahkan di dalam hati pula perempuan itu

berkata, "Pantas bocah itu mampu membuatku

terpental sebelum kupegang. Rupanya Cadaspati yang

mengendalikan Suto dari jauh. Tapi di mana ia

bersembunyi? Sejak tadi tak kulihat orang bersembunyi

di sekitar sini, Licik. Ia sengaja menggunakan raga

bocah tanpa pusar itu, karena ia tahu bahwa aku dan

Gila Tuak tidak berani melukai atau membunuh Suto.

Dalam keadaan seperti itu, maka Cadaspati merasa

punya perisai sendiri dalam melakukan penyerangannya

kepada Gila Tuak!"

Terbayang dalam benak si Bidadari Jalang pada

saat ia bertemu dengan Malaikat Tanpa Nyawa dan

Cadaspati di lereng Gunung Layon. Pertemuan para

tokoh terjadi di lereng gunung itu. Dari partai

pengemis, diwakili oleh si Bongkok Pencabut Uban, dari

partai pengembara diwakili oleh Pendekar Gusi

Berdarah, dari partai pertapa sakti diwakili oleh Resi

Dewa Tembang, dari partai pelacur sakti di wakili oleh

Nyai Ganjen Pemikat, dari partai banci keramat

diwakili oleh Mahesa Gincu, dan dari partai perampok

diwakili oleh Malaikat Tanpa Nyawa yang selalu

didampingi Cadaspati, serta tokoh-tokoh lainnya pun

hadir termasuk Bidadari Jalang dan si Gila Tuak.

Dalam pertemuan memilih tanding untuk melawan

Tiga Pendekar Tibet itulah, Bidadari Jalang bertemu

dengan Cadaspati. Bertubuh kurus kering, rambutnya

panjang acak-acakan, matanya cekung, jenggotnya

abu-abu, bersenjata cambuk tiga lidah. Gerakannya

begitu gesit, sehingga Bidadari Jalang merasa maklum

jika kali ini bocah tanpa pusar itu mampu bergerak

segesit belut putih. Tak heran juga jika Suto sebentar-

sebentar mengusap dagunya, karena yang hadir dalam

raganya adalah ilmu dan gerakan Cadaspati yang

senang mengusap-usap jenggot kelabunya.

Bahkan Bidadari Jalang tidak merasa heran lagi

melihat Suto kembali melancarkan pukulan jarak

jauhnya ke arah Gila Tuak. Dan pukulan tanpa bentuk,

tanpa wujud serta tanpa hawa itu berhasil ditangkis

oleh Gila Tuak dengan memutarkan tongkatnya di

bagian depan. Pukulan itu terbuang ke samping,

menghantam batang pohon kelapa, membuat pohon

kelapa itu kering seketika tanpa membuat buah-

buahnya jatuh, bahkan selembar daunnya pun tak ada

yang berguguran ke tanah. Benturan tenaga dalam yang

sempurna dengan batang kelapa itu hanya

menimbulkan bunyi seperti sarung dikibaskan di udara.

Wuuugh...!

Dengan tanpa menggerakkan kaki, Gila Tuak ganti

menghentakkan ujung tongkatnya ke arah gundukan

batu karang. Zuubb...! Dari ujung tongkat itu keluar

sinar merah membara, meluncur menghantam

gundukan batu karang, lalu memantul balik dalam

bentuk sinar putih perak dan menghantam tubuh Suto

dari belakang.

Wesss...!

"Uhhg...!" Suto tersentak ke depan. Mestinya jatuh

tersungkur, namun ia begitu lincah, hingga dapat

berguling di tanah dan dalam waktu dekat sudah

berhasil berdiri lagi dengan satu lentingan tubuh yang

tidak terlalu tinggi. Jleg...! Kedua kaki bocah itu

menapak mantap bagaikan kedua kaki orang dewasa

yang kekar.

"He he he he...," kali ini Suto tertawa. Dan suara

tawa yang mengekeh itu semakin membuat Gila Tuak

serta Bidadari Jalang semakin yakin, bahwa tawa itu

ada lah milik murid terkasih Malaikat Tanpa Nyawa.

"Pandai juga kau memukulku tanpa harus melukai,

Gila Tuak," katanya dengan suara besar sedikit serak.

Jelas bukan suara Suto.

"Kalau kau memang masih menyimpan dendam

padaku, hadapilah aku tanpa harus menggunakan raga

bocah itu."

"Ho ho ho... justru aku menggunakan raga bocah ini

supaya aku terlindung dan aku bisa membuatmu hancur

berkeping-keping. Bukankah kau hanya bisa mati di

tangan bocah tanpa pusar? Ho ho ho ho.... Sekarang

saatnya aku membalas dendam atas kematian guruku!''

Bidadari Jalang yakin, bahwa Cadaspati telah salah

duga. Ia sangka Gila Tuak bisa mati di tangan bocah

tanpa pusar, padahal sebelum ilmunya diturunkan pada

bocah tanpa pusar, Gila Tuak sulit dibunuh oleh senjata

apa pun dan oleh pendekar mana pun. Kesalahpahaman

itulah yang membuat Cadaspati begitu semangatnya

membalas dendam kepada Gila Tuak menggunakan raga

Suto.

Tiba-tiba tangan Suto bergerak memutar-mutar

keduanya. Gerakannya acak-acakan. Tubuhnya

berputar pula dengan putaran tak menentu arah. Ia

seperti bocah kesurupan. Suara geram yang timbul dari

mulutnya seperti suara seekor singa terjepit pohon.

Pada waktu itu, Gila Tuak menggenggam erat ujung

tongkatnya. Ujung tongkat bagian bawah menancap di

tanah, tepat di depannya. Kini kedua tangan Gila Tuak

berpegangan pada kepala tongkat yang merapat di ulu

hati. Posisi tongkat itu sedikit miring ke depan. Kepala

Gila Tuak agak tertunduk dan memejamkan mata.

Hawa dingin mulai terasa meresap sampai ke

tulang. Bidadari Jalang sadar, bahwa hawa dingin yang

hadir saat itu bukan hawa dingin dari laut, melainkan

dari gerakan tangan Suto yang memancarkan tenaga

dalam berhawa dingin. Maka, Bidadari Jalang pun

segera memusatkan konsentrasinya dengan merapatkan

tangan kanannya ke pertengahan dada dalam posisi

telapak tangan terbuka dan jempolnya terlipat. Ia pun

sedikit memejamkan matanya untuk mengeluarkan

hawa panas dari setiap pori-pori tubuhnya.

Angin berhembus kencang pada saat Suto berhenti

bergerak gila itu. Kini kedua tangannya terangkat ke

atas dengan telapak tangan tengadah. Kedua tangan

bocah itu bergetar, mulutnya bagai meraungkan

lolongan kecil. Semakin lama, semakin hadir mencekam

udara dingin itu. Angin kencang dan guntur

menggelegar di angkasa dengan sesekali kilatan cahaya

petirnya menyambar-nyambar. Anehnya, rembulan

tetap ada dan tetap menerangi bumi. Kilatan cahaya

petir bagai berjalan mengelilingi bagian atas si Gila

Tuak dan Bidadari Jalang. Sepertinya kilatan cahaya

petir itu ingin menyambar habis tubuh Gila Tuak,

namun ada sesuatu zat yang melindungi tubuh si tua

bangka tersebut.

Dan tiba-tiba kedua tangan Suto turun dengan

gemetar serta pelan-pelan. Tangan itu merapat di

depan ketiaknya. Lalu, sebelum tangan itu dihentakkan

keduanya ke depan, terdengar seruan dari Suto.

"'Guntur Colok Sukma'! Hiaaat...!"

Kedua telapak tangannya didorongkan ke depan,

dan dari telapak tangan itu memancarlah ribuan,

bahkan jutaan, jarum bernyala membara. Jarum-jarum

yang membara itu mengerombol dan meluncur ke arah

dada Gila Tuak. Dengan cepat si Gila Tuak itu membuka

telapak tangannya di depan dada. Dari telapak tangan

Gila Tuak menyemburlah dua cahaya hijau muda yang

memisah ke dua arah. Kedua bias cahaya hijau itu

membentur masing-masing gerombolan jarum-jarum

membara.

Akibatnya, jarum-jarum berwarna merah menyala

itu bagai tertahan di udara, tak bisa menembus maju.

Bahkan makin lama makin terdesak mundur. Bias

cahaya hijau itu begitu kuat menekan gumpalan cahaya

membara dari tangan Suto. Tubuh bocah itu tampak

bergetar menahan kekuatan yang maha dahsyat ingin

membalik ke dirinya.

Gila Tuak tetap tenang, walau tubuhnya mulai

berkeringat. Tangan kanannya yang memancarkan dua

bias cahaya hijau itu gemetar, dan matanya jadi

merah. Bidadari Jalang melihat hal itu dengan tegang.

Sesekali ia memandang ke langit di mana petir-petir

masih berusaha melesat ke arah Gila Tuak dan

memantul balik dengan suaranya yang menggelegar.

Ombak laut pun mulai mengamuk, bergulung-gulung di

tengah samudera menuju ke tepian.

Bidadari Jalang menjadi cemas melihat jutaan

jarum membara semakin dekat dengan telapak tangan

Suto. Itu pertanda jarum-jarum membara kian

terdesak.

"Jika sampai tenaga itu masuk kembali ke dalam

telapak tangan Suto," pikir Bidadari Jalang. "Maka

cahaya hijaunya Gila Tuak akan ikut masuk ke dalam

telapak tangan bocah itu. Dan ini suatu tindakan yang

berbahaya. Gila Tuak melancarkan Ilmu 'Pecah Raga',

yang tentunya akan membuat hancur tubuh Suto kalau

tidak segera cepat cepat ditarik kembali sinar itu.

Gawat...! Aku harus segera bertindak untuk

menyelamatkan raga Suto itu!"

Semakin tipis sisa cahaya merah membara dari

telapak tangan bocah tanpa baju itu. Semakin

mengucur peluh yang keluar dari tubuh Gila Tuak.

Maka, segera Bidadari Jalang melenting ke atas dan

bersalto beberapa kali melewati kepala Gila Tuak dan

Suto.

Wuugh... wuugh... wuugh...! Jleg...!

Bidadari Jalang menapakkan kakinya di belakang

Suto. Kemudian ia mengibaskan jubahnya ke depan dan

terpancarlah kabut dari jubah itu berwarna putih

keperakan, sepertinya kabut itu mengandung bintik-

bintik serpihan mutiara yang jumlahnya berjuta-juta.

Bintik-bintik mengkilat dan kabut itu segera

membungkus tubuh Suto tepat pada saat sinar merah

dari tangan Suto melesak ke dalam telapak tangan, dan

sinar hijau dari Gila Tuak terdesak masuk dalam satu

hentakan yang cukup kuat.

"Aaakh...!"

Bukan tubuh Suto yang terpental ke belakang,

melainkan tubuh Bidadari Jalang yang seolah-olah

menjadi sasaran hentakan sinar hijaunya Gila Tuak.

Tubuh perempuan itu berguling-guling, sesekali

terpental terbang bagaikan kapas terhembus angin.

Begitu jauh ia terpental, hingga suara teriakannya

menjadi kecil.

Kabut putih berbintik-bintik berkelip itu masih

menaungi bagian belakang Suto. Anak itu bagai

terperangkap jala. Ia tak bisa bergerak ke sana-sini.

Ruang geraknya sempit sekali. Bahkan semakin lama

kabut itu semakin mutlak membungkus tubuhnya,

hingga tubuh kecil itu seperti berada dalam tabung

yang amat transparan.

"Jahanam!" teriak bocah itu. Masih terdengar jelas

kemarahan suaranya. Ia ingin menghantamkan

kekuatannya kembali ke arah Gila Tuak, namun

sepertinya semua kekuatannya teredam oleh kabut

aneh tersebut.

"Bidadari Jalang! Kau ikut campur dalam urusanku,

hah? Kuhancurkan juga tubuh jalangmu itu, Biadab!"

Suto memaki-maki sendiri. Ia hanya bisa berbalik arah,

namun tak mampu melangkah keluar dari gumpalan

kabut transparan tersebut. Kerlip-kerlip yang mirip

serpihan mutiara itu membuat suasana di sekitar Suto

menjadi terang. Suto kelabakan mencari jalan keluar.

Kesempatan itu digunakan oleh Gila Tuak yang

belum bisa bergerak pula dari tempatnya untuk

bersemadi dalam keadaan berdiri. Tongkat dipegang di

tangan kiri, sementara tangan kanannya merapat tegak

di bagian dadanya. Makin lama kaki Gila Tuak semakin

jelas mengepulkan asap. Butiran pasir yang putih itu

menjadi merah sedikit demi sedikit. Merah membara

bak serpihan logam panas.

Kemudian, si Gila Tuak berteriak keras dari

panjang. "Hiaaah...!"

Broolll...!

Tubuh Gila Tuak berhasil jebol dari tanah.

Melompat ke atas dengan ringannya, bersalto ke

belakang satu kali, dan segera mendarat di tanah

dengan tegak dan kokoh kembali. Napas Gila Tuak

terhempas lega. Ia memandang bekas tempatnya

berdiri masih tampak merah membara, sebagian ada

yang berpasir hangus. Asap masih mengepul di bekas

tempatnya berdiri.

"Jahanam, Bidadari Jalang...! Lepaskan aku dari

penjaramu ini! Hoooi... Bidadari Jalang, lepaskan kabut

ini. Singkirkan! Atau kuhancurkan tubuhmu dari sini,

Setan!"

Gila Tuak tersenyum tipis. Memandang jauh ke

sana, di mana Bidadari Jalang tampak kecil dan sedang

berusaha untuk bangkit. Gila Tuak pun segera

mendekati Suto yang bernasib sial, yaitu menjadi wakil

kehadiran Cadaspati. Mata Suto memandang tajam

pada Gila Tuak, mulutnya menggeram penuh nafsu

untuk membunuh.

"Siapa pun tak bisa lepas dari Selubung Kematian

ini," kata Gila Tuak. "Selubung Kematian ini akan

membuat tubuhmu menjadi kering dan mati tanpa

tulang lagi. Ini jurus simpanan Bidadari Jalang yang

jarang-jarang digunakan kalau tidak dalam keadaan

terpepet."

"He he he...!" Cadaspati tertawa terkekeh-kekeh

menggunakan mulut Suto. "Kalian tidak mungkin

membiarkan raga bocah yang kupakai ini menjadi

kering dan mati tanpa tulang. Cepat atau lambat,

kalian pasti akan segera membebaskan aku."

Peluh menetes dari kening kakek tua itu. Namun

napasnya mulai reda. Ia tetap kelihatan tenang dan

berkata, "Aku sudah terbebas dari jurus 'Paku Jagat'-mu

tadi. Itu berarti kau tak punya kesempatan untuk

mengendalikan raga bocah itu lebih lama lama. Aku

akan menyimpan kekuatan 'Inti Neraka'-mu di dalam

tongkatku, dan akan kusatukan ke dalam hawa murni

bocah tanpa pusar ini, sehingga kekuatan ilmu itu akan

menjadi miliknya."

"Gggrrr...!" Cadaspati menggeram antara jengkel

dan ketakutan. Matanya membelalak tajam, ingin

melancarkan pukulan dahsyatnya, namun tidak kuasa

berbuat itu.

Dari jauh, tampak Bidadari Jalang berjalan dengan

oleng, seperti orang mabuk. Makin lama makin dekat,

makin jelas ada darah sedikit meleleh di sudut

bibirnya. Kalau saja bukan Bidadari Jalang yang

menahan pukulan sinar hijaunya Gila Tuak, sudah pasti

tubuh orang tersebut akan hancur seketika. Ia juga

mempunyai pukulan jenis 'Pecah Raga', yang bernama

'Lebur Jiwa', namun sekarang tak bisa digunakan karena

rongrongan Racun Birahi dalam tubuhnya itu.

"Bagaimana keadaanmu, Nawang?"

"Monyet kamu!" umpat Nawang Tresni dengan

dongkol. "Mengapa kau gunakan ilmu "Pecah Raga"?

Apakah kau tidak menyadari bahwa ilmu itu bisa

menghancur leburkan tubuh Suto?"

"Aku sadar. Dan aku pun tahu bahwa kau tidak akan

tinggal diam. Kau pasti tahu bahayanya ilmu itu, namun

kau mestinya juga tahu, bahwa aku tak punya pilihan

lain untuk menghadapi serangan berbahaya itu. Aku

yakin, kau akan segera bertindak menyelamatkan tubuh

bocah itu."

"Benar-benar tua rongsok kamu ini!" omel Bidadari

Jalang. ''Kau memancingku untuk menjadi umpan, ya?"

"Maafkan aku. Lupakan soal itu. Sekarang, bukalah

Selubung Kematianmu itu. Akan kucungkil ilmu 'Inti

Neraka' si murid Malaikat Tanpa Sunat itu dari raga

Suto. Aku sudah bebas bergerak."

"Biadab!" geram Suto. "Nama guruku Malaikat Tanpa

Nyawa, bukan Malaikat Tanpa Sunat!"

"He he he.... Rasa-rasanya julukan gurumu memang

harus sedikit dirubah begitu. Karena sebentar lagi kau

tidak akan mempunyai ilmu andalan dari gurumu itu!"

"Dan itu artinya ilmumu disunat," sambung Bidadari

Jalang dengan menahan geli. "Jadi, memang pantas kau

berjuluk murid terkasih Malaikat Tanpa Sunat. Hi hi

hi...," akhirnya Bidadari Jalang tertawa juga. Ia lupa

pada kedongkolannya.

Wajah Suto yang mewakili wajah murid Malaikat

Tanpa Nyawa itu kelihatan semakin gusar. Ada

perasaan cemas yang lebih kuat lagi, dan kian lama

membuatnya kian terengah-engah.

"Nawang, lekas buka Selubung Kematian itu

sebelum membahayakan raga Suto. Aku akan bersiap

mencungkil ilmu itu untuk Suto kelak!"

"Baiklah. Bersiaplah, Gila Tuak. Begitu kubuka

Selubung Kematian, cepat cungkil ilmu itu dari raga

Suto."

"Tunggu dulu," sergah Suto dengan suara mirip

Cadaspati. "Aku mempunyai suatu gagasan yang baik."

"Hmmm...!" Bidadari Jalang hanya mencibir sinis.

"Aku akan mengabdi kepada kalian selamanya, asal

kalian membebaskan aku dari Selubung Kematian ini.

Aku rela jadi abdi kalian, dan menurut dengan perintah

kalian."

"Hmm...," Gila Tuak juga mencibir. Lalu katanya

lagi. "Mana ada seekor kuda menuntut pakaian, mana

ada hati durjana mengenal perdamaian?! Tipu

muslihatmu sudah tak laku, Cadaspati. Sekali jahat, tak

mampu lagi orang terjerat. Janjimu itu ibarat asap

kemenyan, yang menyebarkan bau wewangian tanpa

sesajian. Aku dan adik seperguruanku ini tidak punya

pilihan lain."

"Aku bicara dengan sungguh-sungguh. Aku mengakui

keunggulan ilmu kalian," bujuk Cadaspati.

"Terima kasih atas pengakuanmu," kata Gila Tuak.

"Sayang pengakuan itu terlambat datangnya, karena

aku sudah punya keputusan yang tak bisa diganggu

gugat lagi."

Gila Tuak memandang Bidadari Jalang. Waktu itu,

Bidadari Jalang habis menyapu sisa darah yang meleleh

di sudut bibirnya. Gila Tuak pun berkata, "Lakukan,

Nawang...!"

"Tunggu... jangan dulu... jangan...!" Suto memekik

keras-keras. Itu pertanda Cadaspati sangat ketakutan.

Si Gila Tuak segera membuka penutup tongkatnya,

ia menenggak habis sisa tuak yang ada di dalam tongkat

itu. Ia tidak menelannya, namun menampungnya di

dalam mulut, hingga kedua pipinya melembung. Lalu,

ia memberi isyarat kepada Bidadari Jalang dengan

menganggukkan kepala. Maka, Bidadari Jalang pun

mengibaskan jubahnya ke depan, dan kabut berbintik-

bintik berkelip itu pun terhisap masuk ke dalam jubah

ungunya.

Bertepatan dengan itu, Gila Tuak menyemburkan

tuak yang ada di dalam mulutnya ke arah Suto.

Brusss...!

"Haaagh...!" kepala Suto terdongak, tubuh pun

tegak. Keras seluruh uratnya. Menyeringai wajah bocah

itu. Dari pertengahan kedua matanya, tepat di bawah

dahi, keluarlah cahaya berwarna kekuning-kuningan

agak putih. Cahaya itu melesat terbang, dan dengan

hentakkan kaki pelan, tubuh Gila Tuak pun melesat ke

atas. Bersalto di udara sambil menggerakkan tongkat

yang terbuka tutupnya itu.

Tiba-tiba cahaya kuning yang tiga kali lebih besar

dari kunang-kunang itu tersedot ke dalam tabung

tongkat. Cahaya itu mulanya ingin berusaha lolos pergi,

tetapi daya hisap dari mulut tabung tongkat begitu

kuat. Maka, cahaya kuning tipis itu tersedot masuk, dan

Gila Tuak segera menutupnya. Treep...!

Kekuatan ilmu 'Inti Neraka' yang sukar didapat itu

terperangkap masuk di dalam tabung tongkat. Kini

keadaan Suto kembali normal, menjadi dirinya, sebagai

bocah berusia delapan tahun yang tidak memiliki pusar.

Dulu, ketika ia lahir, ia memang mempunyai tali pusar.

Namun setelah tali pusar itu diputus, makin lama

lubang itu menciut. Makin besar makin tertutup kulit

dari daging tubuhnya. Hingga dalam usia delapan

tahun, perut bocah itu rata. Tidak mempunyai lubang

tali pusar.

"Apakah kau akan mencari tempat persembunyian

Cadaspati?" tanya Bidadari Jalang. Si Gila Tuak

menjawab, "Nanti saja. Yang penting kita harus

menyelamatkan anak ini dulu ke tempat yang aman."

Suto segera bertanya, "Bibi, apakah aku tadi habis

tertidur?" tanyanya kepada Bidadari Jalang. Perempuan

itu hanya mengangguk dengan senyum ceria.

"Ya, kau lelah dan tidur cukup lama."

Gila Tuak berkata kepada Suto, sambil tersenyum-

senyum dan mengusap-usap kepala Suto yang ditumbuhi

rambut hitam yang cukup lebat.

"Sekarang sudah waktunya kau mempersiapkan diri

untuk menjadi seorang pendekar tanpa tanding, Suto."

"Pendekar tanpa tanding?" Suto berkerut dahi.

"Jangan tanpa tanding, ah! Nanti aku tidak punya

lawan. Lantas, untuk apa aku jadi pendekar kalau tidak

punya tandingannya?"

Giia Tuak dan Bidadari Jalang terkekeh geli

mendengar kebodohan yang polos dari anak itu. Maka,

Bidadari Jalang pun berkata, "Bagaimana kalau kau

menjadi pendekar cinta saja?"

"Husy! Jangan bicara seperti itu pada anak kecil,

Nawang!" sentak Gila Tuak. Tetapi pada saat itu

ternyata Suto menyahut, "Aku mau. Aku mau jadi

pendekar cinta, Bi. Aku mau...!"

"Hei, kenapa kau mau?!" sentak Gila Tuak lagi.

"Biar kekasihku banyak, hi hi hi...!" Suto tertawa

cekikikan dengan malu. Bidadari Jalang pun tertawa

geli, sedangkan Gila Tuak bersungut-sungut dalam

gerutunya,

"Dasar bocah sinting!"

Gila Tuak dan Bidadari Jalang, dua tokoh sakti di

rimba persilatan yang namanya cukup menggetarkan

jiwa setiap orang itu kini siap mengembleng Suto.

Apakah yang akan terjadi kelak pada bocah itu?

SELESAI

Ikuti kisah petualangan Suto Sinting selanjutnya!!!!!

Serial Pendekar Mabuk

Dalam episode:

PUSAKA TUAK SETAN