"C-c-c-yra?" dengan ragu, Fenita memanggil Cyra yang masih diam membeku.
Cyra membuang wajah berusaha menghindari tatapan Fenita. Jujur, ia tak tau harus bilang apa sekarang. Ingin rasanya memeluk ibunya dan mengatakan kata-kata penyemangat. Tetapi, Cyra tak mudah mengekspresikan perasaannya kepada orang-orang baru. Itu, membuat Cyra cukup tersiksa batin.
"Kamu... benar Cyra? Cyra Grizelle?" Fenita tak percaya jika gadis di depannya adalah anak kandungnya. Tangannya sudah gemetar hendak menyentuh gadis itu, matanya tak kuasa menahan linangan air mata yang menggenang.
"Hm, Cyra Grizelle. Anak yang anda tinggalkan 11 tahun lalu." balas Cyra. Ia tak bermaksud menyakiti perasaan ibunya. Hanya saja, ia benar-benar butuh penjelasan. Bertahun-tahun Cyra mencari ibunya hingga ke pelosok negeri dan tak menemukan apapun terkait dirinya.Ternyata tanpa sepengetahuannya,Ibu kandungnya sedang sekarat menghadapi penyakit akut yang di deritanya.
"Cyra, ini maksudnya apa?" Raefal tak mengerti apapun yang dibicarakan keduanya. Ia tak maksud untung menguping, tapi namanya kepo tak bisa dibendung.
"Keluar. Ini bukan urusan kamu." pinta Cyra dengan penuh penekanan di setiap kata.
Karena laki-laki itu tak tahu dengan keadaan, ia memutuskan untuk menurut saja dan keluar dari sana.
"Cyra? Kamu tumbuh dengan baik. Apa kamu juga tumbuh sesuai nama kamu nak?" tanya Fenita dengan mata yang menyorot kerinduan.
"Maksudnya?" tanya Cyra tak mengerti. seumur hidup, ia tak pernah mencari tahu mengenai namanya. Yang ia tahu, kata Cyra dalam bahasa arab artinya adalah bulan.
"Saya memberi kamu nama itu dengan maksud yang baik. Cyra dalam bahasa Mesir adalah matahari dan dalam bahasa arab artinya bulan. Saya harap, kamu bisa menjadi cahaya untuk orang-orang disekitar kamu. Dan Grizelle memiliki karakter tidak suka dicampuri orang lain. Saya harap, kamu menjadi orang yang berpegang teguh pada prinsip." jelas Fenita.
Cyra baru tahu bahwa namanya memiliki arti yang sangat Indah. Gadis itu tersenyum kecil memperlihatkan lesung pipinya.
"Maafkan saya. Saya tau, saya tidak pantas disebut sebagai seorang ibu karena meninggalkan anaknya disaat kecil." lirih Fenita. Ia menggenggam tangan Cyra dengan erat. Sedangkan Cyra, dia tidak tau harus menjawab apa hingga akhirnya keheningan menerpa keduanya. Sebenarnya, banyak yang seharusnya dibahas saat ini. Tetapi, mengingat sifat keduanya sama-sama sulit mengungkapkan perasaan jadi mereka hanya berkutik dengan pikirkannya masing-masing.
"Anda tidak menepati janji anda 11 tahun yang lalu." kata Cyra memecah keheningan.
Fenita mendongak, menatap anak gadisnya sejenak sebelum menjawab."Maafkan saya."
***
Pesta pertunangan Bang Exa masih berjalan dengan cukup meriah. Chenand, Civia,Troy, dan Senia sedang duduk bercengkrama di dekat kolam renang. Waktu sudah menunjukkan pukul 20.39 malam tetapi Cyra maupun Raefal tidakyang yang menunjukkan batang hidungnya. Mereka sudah cukup lama meninggalkan pesta. Rasanya, sudah cukup kelewatan.
"Besan, sudah berhasil menghubungi Raefal atau Cyra?" tanya Troy kepada Chenand yang sedang sibuk dengan ponselnya.
"Terakhir tadi sore. Cyra mematikan hpnya lagi. Dan Raefal tidak bisa dihubungi." jawab Chenand.
Civia dan Senia sudah khawatir sedari tadi karena anaknya tak kunjung pulang. Tidak apa-apa bermain yang jauh dan lama asal jelas tujuannya dan dapat dihubungi. Tetapi, saat ini mereka benar-benar sudah kelewatan.
"Gak papa, mungkin mereka sedang makan malam." kata Senia mencoba menenangkan Civia yang terlihat sangat gelisah.
"Cyra gadis yang bertindak sebelum berfikir. Dia selalu memegang teguh prinsipnya tanpa mengkhawatirkan sekitar. Saya jadi takut ada sesuatu yang menimpanya." balas Civia sembari menatap bulan di atas sana.
Senia mengernyit heran."Maksudnya?"
"Pernah Cyra pulang sangat malam dengan kondisi babak belur karena menghajar preman yang mencuri tas seseorang. Prinsip hidupnya adalah, keadilan." jawab Civia.
"Cyra, gadis yang hangat. Tidak seperti di luar nya yang sangat dingin." gumam Senia dengan senyuman hangat.
Tiba-tiba hp Chenand berbunyi membuat pria paruh baya tersebut harap-harap cemas takut jika yang menelfon bukan dari Raefal ataupun Cyra. Tetapi, untungnya Allah menjawab doanya. Sesegera mungkin Chenand menjawab telfon tersebut.
"Dimana? kenapa belum pulang, Efal? Cyra baik-baik saja? Kamu sama dia kan?"
Efal yang langsung diserbu banyak pertanyaan bingung akan menjawab apa dan berusaha sebaik mungkin menjelaskan kondisi ini.
"Paman, saat ini kita sedang berada di rumah sakit karena-" belum sempat menyelesaikan kata-katanya, para bapak-bapak dan ibu-ibu rempong sudah heboh sendiri.
"Inalillahi wainnailaihi roji'un, ada musibah apa sampai kalian di rumah sakit? Terus kondisi kalian bagaimana? baik-baik saja kan? Cyra bagaimana?" Senia dan Civia panik sendiri. Mereka kalang kabut mencari tasnya dan langsung hendak menyusul.
"Kita baik-baik saja. Cyra minta antar kesini menemui Nyonya Fenita."Jawaban Raefal membuat suasana menjadi canggung dan hening seketika. Nama itu, sudah tidak pernah disebut lagi 11 tahun lamanya. Nama yang menimbulkan banyak keresahan dan keributan 11 tahun yang lalu. Yah, mereka berlima berteman baik dahulu sebelum Fenita mengacaukan segalanya.
"Fenita kenapa?" tanya Civia membuat semua fokus kepadanya. Mereka tau betul bahwa Civia lah yang paling tersakiti saat itu terjadi.
"Kurang tau. Tetapi, Cyra sampai menangis bukankah artinya mereka dekat Nyonya Fenita tidak baik-baik saja?" jawab Raefal.
"Kita ke sana sekarang. Kirim alamatnya yah Efal... oh iya, nitip Cyra, jangan sampai dia lepas dari pandangan kamu." peringat Civia.
Senia, Troy, bahkan Chenand masih diam enggan bereaksi. Mereka hanya bingung dengan kondisi yang terlalu mengejutkan ini. Meskipun Civia tersenyum hangat, tetapi mereka tahu bahwa senyuman itu tak berasal dari hatinya. Antara senyum asli dan palsu sangat berbeda. Bahkan, sebenarnya mereka enggan untuk ke rumah sakit menemui wanita itu. Tetapi, Civia memaksa dan meyakinkan mereka bahwa semuanya akan baik-baik saja.
***
Nama pasien, Fenita Adriana. Waktu kematian 2 Februari 2020 pukul 21.12 WIB.
Satu persatu liquid bening itu menetes semakin deras. Langit mendung mulai menangis, mewakili gadis 15 tahun ini. Cyra Grizelle, gadis kuat dan tangguh itu. Kalimat yang dokter ucapkan membuat hatinya sangat sakit. Tetapi, air matanya tak kunjung keluar. Tubuhnya gemetar menahan raga hang hancur. Matanya kosong tak menyiratkan emosi. Gadis itu menunduk di samping Raefal yang berusaha menopangnya.
"Gak papa?" tanya Raefal.
Cyra menggeleng sambil memaksa tersenyum. Pikirannya sudah tak menentu berkecamuk menimbulkan berbagai rasa yang asing baginya. Rasa rindu,marah,dan kecewa bercampur menjadi satu hingga tak bisa ia ekspresikan lagi.
Pintu ruangan terbuka, Daddy, Mommy, Om Troy dan Tante Senia masuk dengan sebuah isak tangis. Mommy Civia berlari menghampiri Cyra dan memeluknya. "Maaf, maafkan mommy... " katanya sembari terisak.
Cyra tak tahu apa yang sedang terjadi dan bagaimana ia harus menghadapi semuanya. Dunianya serasa berbeda. Surat yang ada di genggamannya kusut terlalu kuat tergenggam. Buku-buku jarinya memutih menahan air mata.
"Bukan salah Mommy...." jawabnya sebelum pergi meninggalkan ruangan.
Disinilah Cyra sekarang berada. Rooftop rumah sakit dengan langit mendung yang sedang menangis. Dibawah derasnya air hujan, ia menatap langit. Bertanya kepada semesta kenapa hidupnya dihancurkan? kenapa kebahagiaan nya hanya sesaat? ia merasa tak adil dengan semuanya. hanya itu.
"Menangis?" seseorang datang, berdiri di depannya dengan tatapan kasihan.
Sorot mata Cyra berubah menjadi tajam. "Aku tidak butuh belas kasihan mu,Raefal."
"Menangislah. kumohon." mohon Raefal. Sungguh, ia sangat ingin melihat gadis itu menangis. Hatinya tersayat setiap melihat Cyra berusaha baik-baik saja.
"Tidak bisakah kamu menangis? tidak bisakah kamu tidak udah berpura-pura kuat? Menangislah jika memang kamu menginginkannya!" teriak Raefal dengan menggebu-gebu.
Cyra masih diam. Sorot matanya tak berubah sedikitpun. "Apa menangis menyelesaikan semuanya? Apa dengan menangis ibuku bisa hidup kembali? Apa dengan menangis maka aku akan kuat? tidak. Jika aku menangis, aku hanya menyakiti orang-orang yang kusayang."
Raefal sudah kewalahan menghadapi Cyra yang sangat keras kepala. Prinsipnya sangat kuat maka, ia tak akan bisa membantahnya. Raefal memutuskan untuk menghampiri Cyra lebih dekat dengan gadis itu dan memeluknya. Meskipun mendapat perlawanan.
"Diam! menangislah disini. Tidak akan terlihat oleh siapapun, dan aku tidak akan menangis atau mengasihani mu. Maka, menangislah."