Aku berdiri di balkon apartemen Akira menatap kota atap atap kota dari ketinggian, membiarkan angin beku merayapi wajahku, Dae baru saja memesan makanan untuk kami,banyak yang mengusik pikiranku bahkan tak hanya satu, bak serabut kusut di dalam dan tak bisa ku uraikan satu persatu.
Penembakan itu membuatku mulai mengkhawatirkan hubungan kami
"Hazi chan apa kau tidak kedinginan"
"Tidak "
Jawabanku ternyata membuatnya tak nyaman,bahkan aku tak mengalihkan atensi ku padanya,dalam sekejap ia sudah berdiri di belakangku dengan aroma mint yang menguar, melingkarkan lengannya pada pinggangku,dan mendaratkan dagunya di pundak ku.
"Apa kau masih memikirkan obrolan kita tadi"
Aku mendengus lirih, sudah kuduga ia pasti akan menebaknya begitu
"Dae, kurasa hubungan kita membuat seseorang sangat kesal"
Ia terdiam, hanya deru nafasnya menggelitik telingaku
"Aku tak peduli"
Ia memutar tubuhku untuk menghadap padanya.
"Aku mengerti...jika dugaan ku tidak meleset lagi kau pasti sedang memikirkan siapa dalang di balik penembakan itu bukan? "
"Itu sangat menggangguku"
"Wakatta... Aku akan mencarinya agar kau tenang"
Ucapannya justru membuatku semakin cemas,
Ia mendekap ku erat,mengusir udara dingin yang sejak tadi ku nikmati.
"Kau pasti mencemaskan ku kan,?biar ku beritahu jika pelakunya adalah dari keluarga Tetsuya mereka takkan kubiarkan menyentuhmu"
"Lalu jika dari keluarga Chesna, apa yang akan kau lakukan"
"Aku akan melepaskan mu asalkan mereka tidak melukaimu"
Rasanya seperti di hujam ribuan belati,aku tak ingin banyak bicara namun rematan ku pada punggung bajunya cukup mengisyaratkan perasaanku
"Apa kau tak ingin? Ahh...soo desu, mana mungkin kau bisa hidup tanpaku, bukan begitu"
Dae terkekeh sambil menciumi pucuk kepalaku,dan aku semakin dalam menenggelamkan wajahku
"Hai... Hai... Kau bukan yumiko yang harus ku lepaskan"
Aku mendorong tubuhnya saat nama itu di sebut,
"Ahh gomene.. Hazi chan aku tak sengaja menyebutnya, ayolah kau masih ingin di peluk bukan"
Aku benar benar kesal pada diriku kenapa malah semakin tak terkendali perasaan cemburu itu pada yumiko aku menarik tubuhku kebelakang , menghindari dekapan Dae berikutnya tapi rupanya dia berencana lain
𝘊𝘶𝘶𝘱𝘱𝘱𝘱
Bibirnya menyentuh bibirku sekilas, kemudian ia menatapku intens, dengan jarak wajah sepersekian inci kami saling menatap dengan nafas kami yang beradu setelahnya kecupan itu berlanjut menjadi lebih dalam kami saling memagut dengan udara dingin yang terus berhembus membuat Dae semakin menekannya lebih lekat, tanganku sudah menggantung di pundaknya menyusuri lekukan lehernya dan mengusap belakang kepalanya dengan nyaman, ia terpejam khidmat sementara kedua lengannya bersilang di punggungku seperti penopang,tapi Kami tenggelam bersama perasaan nyaman dan hangat itu, perasaan perasaan yang semula teramat mengusik hatiku,perlahan reda dan sedikit teralihkan Dae melepas pagutannya perlahan ,lalu menciumi kedua pipiku singkat.
"Apa kau merasa lebih baik"
"Emmm..."
Aku mengangguk canggung dengan wajah memanas
"Yokatta... Sekarang masuklah dan makan, lupakan dugaan dugaan mu yang mengganggu, percayalah padaku, semua akan baik baik saja"
Ia menarik ku untuk mengikutinya ke dalam memandu ku untuk duduk di kursi pantry yang sedikit tinggi untukku,rupanya semua makanan sudah terhidang di meja pantry, ia memesan nasi kari dari kedai favorit ku, di sana juga ada secangkir latte yang masih menyemburkan asap,biasanya aku menikmatinya bersama Maeda, nasi kari itu membuatku merindukan Maeda
"Apa kau sudah mencari hadiah untuk pernikahan Maeda"
Dae seolah bisa membaca pikiranku, tapi memang pembicaraan kami sebelumnya cukup menguras pikiran, kurasa dia mencoba mengalihkannya
"Aku bahkan belum memikirkannya"
"Oohh... Bagaiman jika kita mencarinya bersama"
"Benarkah, kau tidak sibuk"
"emmm...sepertinya tidak, lagi pula Akira juga sedang tidak di kantor,sebelum kita pergi aku akan menghubunginya terlebih dulu"
Aku hanya mengangguk, kali ini pikiranku berpindah ke hadiah pernikahan,di jepang memberi hadiah pernikahan pun tidak sesederhana di indonesia, karena budaya dan peraturan adat istiadat menjadikan hadiah pernikahan yang di berikan tidak hanya memiliki manfaat tetapi juga harus memiliki makna yang baik untuk pengantin.
Tanpa sadar aku tersenyum mengingat bagaimana momen memilih hadiah adalah hal menyenangkan.
"Akhirnya kau tersenyum, teruslah begitu, agar kau juga dapat hadiah"
Ia berujar sambil memperhatikan lamunanku, kemudian menyesap air dari gelas di tangannya.
"Aku selalu menyukai saat saat memilih hadiah, bahkan baru mendengarnya saja aku sudah senang"
Dae tersenyum kemudian, perhatiannya tertuju padaku
"Hadiah apa yang kau inginkan"
"mmm.. mungkin tiket liburan"
"Kemana kita harus liburan"
"Kita.... heyyy aku bicara hadiah untuk Maeda"
Aku sedikit menggerutu mendengar pertanyaannya yang ternyata tidak sesuai dengan yang kupikirkan
"Tapi aku ingin memberimu hadiah juga"
"ehhhhh... aku... aku... belum memikirkannya"
"Baiklah... baiklah, itu tugasku untuk memikirkan hadiah untukmu"
Aku tak menimpali kata katanya aku menarik tanganku dari genggamannya, dan segera melanjutkan acara makan ku dengan cepat
ia tertawa dengan responku, aku tak pernah di beri hadiah oleh pria manapun, kecuali cokelat itupun hanya di hari valentine saja dan di berikan oleh beberapa teman pria yang sudah sangat mengenalku, bisa di bilang cokelat bukan sesuatu yang mengejutkan terutama di hari valentine, selebihnya aku tak pernah menerima hadiah dalam bentuk yang lain dari seorang pria, bagi mereka yang sudah beberapa kali memiliki kekasih pasti hal hal semacam ini bukan hal yang mengejutkan, tapi bagiku, ini bahkan lebih dari sekedar menyenangkan.
"Mungkin setelah membeli hadiah kita harus ke rumah sakit untuk menemui Akira"
pikiranku kembali teralihkan pada pria malang yang saat ini masih terbaring di sana.
"Apa operasinya berjalan dengan lancar?"
"Akira belum memberikan kabar apapun, itu sebabnya kita harus ke sana untuk menemuinya"
"Baiklah, lagipula aku juga mencemaskan kondisi pria malang itu,jika dia tak ada di sana saat itu, mungkin aku sedang menangisimu sekarang ini"
Dae tersenyum dengan tatapan hangatnya, terasa menembus hingga ke rongga dadaku, mata kecilnya menyimpan banyak ketulusan.
"Aku juga akan memikirkan mu di alam bawah sadar ku"
ucapannya terdengar meledek
"Apa seseorang yang tak sadarkan diri bisa memikirkan orang lain"
"Jika disisi nya ada gadis manis yang banyak bicara dan mudah menangis sepertimu,kurasa alam bawah sadarnya juga akan terganggu"
pukulan kecil mendarat di lengannya, ia meringis sembari mengusap bagian yang terkena pukulan ku, disusul tawanya karena puas menggodaku,Perasaanku yang semula penuh kekhawatiran menjadi jauh lebih tenang setelah banyak bicara dengannya, ia yang tampak tidak peka justru punya caranya sendiri untuk membuatku tersenyum, ia hanya terlihat tak terbebani agar aku tak semakin tersiksa oleh pikiranku, ia bahkan mengusir kekhawatiran ku dengan sikapnya yang seolah tak terjadi apapun, aku masih tak mengerti sekuat apa dia,hingga penyerangan kali ini tak membuatnya terlalu khawatir.