Chereads / Love In Roleplay World / Chapter 12 - Sifat Lain Si Model

Chapter 12 - Sifat Lain Si Model

MacBook sudah berada di atas pangkuan, menyala terang. Menampakan tampilan awal dimana beberapa angka harus dia ketik sebagai syarat akses masuk. Jemari panjang dan lentik menari dengan lincah di atas keyboard. Meski sudah cukup lama, nyaris dua bulan sejak terakhir kali benda ini dihidupkan, ingatannya cukup bagus untuk mengorek kembali sandi MacBook ini.

"Ayolah.. Ayolaah~" gumamnya tanpa melepas pandangan dari layar MacBook. Masih buffering di sana, yang mana berarti akan semakin banyak waktu terbuang. Dia telah membuat seseorang menunggu semakin lama.

Pintu depan terbuka diiringi suara 'Beep!' nyaring memantul pada tiap-tiap dinding raksasa. Menghapus keheningan dalam ruangan apartemen yang cukup besar -sangat besar ini.

Tetapi tak cukup untuk mengalihkan Spencer dari layar MacBook. Dia tersenyum lebar, menandakan usahanya menghubungi seseorang sukses besar.

"Astaga..." celetuk pemuda yang baru saja memasuki ruangan. Meletakan sekarung beras tepat di sebelah kakinya —ya ampun, dia bisa merasakan tulang-tulang punggungnya berbunyi nyaring— lalu menatap ke sosok pemuda yang tengah senyum-senyum sembari sibuk mengetik. "Ternyata ponsel rusak tidak bisa menghentikan sikap autisnya." Alan tak habis pikir lagi, dia sudah berusaha keras untuk mengobati kecanduan Spencer terhadap internet, tetapi percuma saja. "HEY—"

"Taruh saja di dapur~"

Alan berdecak, untuk kesekian kalinya dalam satu hari. Dia menyadari perannya lebih mirip seperti pembantu, daripada seorang Manajer yang agung. Dia sama sekali tak memiliki keagungan, tidak bisa mengatur Spencer lebih dari pekerjaan. Dengan dongkol, Alan kembali menggendong sekarung beras dalam pelukannya. Berjalan melewati sofa yang Spencer duduki untuk menuju dapur.

Tempat memasak itu tak lebih dari tempat penyimpanan alat-alat memasak yang sama sekali belum digunakan. Terlihat masih bersih tanpa ada noda sedikitpun tertinggal. Well, tak terlalu mengherankan karena Spencer hanya tinggal sendirian di sini. Dan seorang model ternama sepertinya tidak perlu repot-repot memasak hanya untuk memuaskan rasa laparnya. Dia bisa memakai jasa pengantar makanan, itu hanya terjadi ketika tidak ada jadwal kerja. Tetapi sebagian besar Spencer menghabiskan waktunya di luar. Makan makanan siap saji, meskipun jika dimakan dalam jangka waktu lama bisa memperburuk kesehatan.

"Hah...." Alan menghela nafas, antara iba dan kesal. Dapur ini teramat sepi meskipun peralatan disini kelewat mahal. Sangat disayangkan jika benda-benda ini tidak digunakan semaksimal mungkin. Namun hal yang paling menyedihkan adalah lemari pendingin yang sebagian besar terisi oleh camilan. Tanpa ada bahan makanan berat. "Andaikan dia bisa mencari pasangan sungguhan.." Alan menoleh ke luar, memandang lurus si model yang sedang tersenyum, lalu tertawa, dan berakhir menepuk-nepuk dadanya sendiri. "Dia sudah benar-benar gila."

Alan meraih pisau kecil yang tergeletak rapi —mungkin memang tak pernah dipakai— membuka karung beras mengikuti pola jahitan. Tidak terlalu lebar, tetapi cukup untuk memasukan ponsel ke dalam sana. Menenggelamkan dengan seluruh buliran beras mentah. Sebenarnya tidak perlu sampai membeli sepuluh kilo langsung, hanya dengan satu atau dua kilo saja sudah dapat menimbun ponsel secara keseluruhan. Terkadang Alan benar-benar tak mengerti cara berpikir Spencer. Padahal mereka bisa dibilang seumuran, namun si model itu lebih mirip seperti anaknya ketimbang bosnya.

Selesai mengurus karung beras, barulah Alan teringat kalau ponsel yang seharusnya mendiami karung masih ada di tangan Spencer. Membuatnya mau tak mau harus menyebrang ke ruangan lain, berbicara dengan pemuda menyebalkan yang mungkin hanya raganya saja tertinggal sementara pikirannya telah melayang entah kemana.

"Mana ponselnya?"

Tidak ada sahutan. Tentu saja. Spencer masih tersenyum tidak jelas sambil sesekali mengetik, sesekali bertepuk tangan sendiri.

'Gila, dia benar-benar sudah gila.'

"Mana ponselnya?" ulang Alan seraya memberikan tendangan manis pada kaki kanan Spencer. Hal itu cukup membuahkan respon, meskipun dalam artian negatif.

"APA-APAAN SIH KAU?!" Seruan itu menggema memenuhi seiri ruangan yang hanya diisi oleh mereka berdua.

Merasa dongkol, Alan tidak bisa menahan diri untuk tak menempeleng kepala Spencer. Tentunya sedikit lebih pelan. Dia tak ingin tindakannya ini mengakibatkan cidera parah apalagi sampai mempengaruhi karir si model. Alan mendengus sambil berkacak pinggang, lalu menyodorkan tangannya. "Ponsel. Mana ponselmu bodoh.."

"Tsk!" Spencer memasukan tangan kanan ke dalam saku celana bagian depan. Jemarinya menyentuh permukaan dingin dan keras, mengeluarkan benda persegi tipis untuk diserahkan kepada Alan. "Sana sana pergi! Jangan ganggu aku!" Mendorong si Manajer —ang merangkap sebagai pembantu— untuk menjauh.

"Dasar autis." Dengan perasaan dongkol, Alan berjalan menjauh, melakukan tugasnya kembali. Saat ini mengganggu dunia Spencer bukanlah ide bagus. Pria itu pasti akan mengamuk, bertingkah kekanakan, hilang kendali seperti simpanse rabies, dan membuatnya kerepotan.

Mengabaikan suara cekikikan di belakang sana, Alan tetap berjalan memasuki dapur. Karung beras menganga lebar tepat di sebelah lemari pendingin, butiran putih di dalamnya terasa lembut bahkan hanya sekali lihat. Tentu saja, Spencer sialan itu mengeluarkan lebih banyak uang untuk membeli beras kualitas paling bagus di Walmart hanya untuk mengubur IPhone nya yang mati.

Terlalu berlebihan. Tetapi Alan sudah pernah melihat yang lebih parah dari ini. Saat itu musim panas, dan dia memang sering menginap di tempat Spencer kalau tidak sedang ada kesibukan. Apalagi saat itu Spencer memintanya untuk menemani beberapa hari karena pemuda itu ingin menghabiskan waktu menonton film horor. Gonjiam Haunted Asylum. Film horor asal korea yang sedang marak diperbincangkan. Hampir seluruh kursi bioskop selalu penuh saat film itu diputar.

Pintu depan berbunyi, paket datang, dan saat itu Alan baru mengetahui bahwa Spencer telah memesan beberapa makanan yang tidak lazim. Seporsi mie dingin —Alan tidak bisa menyebutkan namanya karena selalu membelit lidah setiap kali dia ingin mengatakan, terlalu sulit— juga daging gurita yang masih meliuk-liuk meskipun sudah dipotong kecil-kecil.

Entah apa yang merasuki isi pikiran Spencer, hingga dia nekat memesan makanan sejenis itu. Masih sangat terbayang oleh Alan, bagaimana tentakel-tentakel itu bergerak dalam mulutnya, menggerayangi langit-langit mulut, menempel secara kuat pada lidahnya. Ini bahkan lebih buruk ketimbang memakan cacing tanah (bukan berarti dia pernah memakannya).

Dan berakhir dengan muntah-muntah.

Jangan salahkan gurita yang masih menggeliat di atas piring, atau bongkahan es yang mengisi kuah mie. Semuanya berasal dari ide gila Spencer. Padahal makanan tersebut tidak berkontribusi dalam film yang sedang mereka tonton. Hanya keisengan semata. Keisengan ini berujung pada petaka.

"Asik sekali," celetuk Alan tepat setelah mendudukan diri di sebelah Spencer, mengintip layar MacBook yang menampilkan sederet kalimat percakapan antara Spencer dan seseorang di luar sana. Alan tak bisa mengatakan jika itu gadis, siapa bisa menjadi siapa. "Eeeww~ menjijikan~"

"HEY!" Spencer langsung menggeser tubuh ke sisi lain, merapat pada siku sofa, menghadapkan Macbook ke arahnya agar menghalangi pandangan Alan. "Tidak sopan!"

"Aku penasaran saja, memangnya tidak boleh?"

"Tidak!"

"Ya ampun, kau sadar tidak sih kalau kau sudah persis seperti gadis saja?" Alan menyindir dengan kalimat sarkas andalan. Tetapi itu tak terlalu berlaku untuk Spencer karena dia sudah mendengar hal serupa selama bertahun-tahun. Telinganya sudah terbiasa.