PLAAAK!
"HEY!"
Satu teriakan lantang bersamaan dengan tamparan keras menghujam pipi kanan Spencer. Dua kali, itu cukup membuat tubuhnya bereaksi. Kelopak matanya terbuka, dia telah sadar dari momen pingsan beberapa saat lalu.
"Alan.. kau di sini?" Itu pertanyaan bodoh yang pertama kali keluar dari mulut Spencer. Kini dia ingat bahwa pada saat-saat terakhir telah menghubungi nomor si Manajer. Lalu meringis ketika mendapati rasa panas mulai menjalari pipinya. "OY! Apa yang telah kau lakukan pada pipiku sialan!" Spencer menyambar baju bagian depan Alan, dan mengguncangkan secara agresif.
"Hey.. hey.. tenang lah!" Alan berusaha melepaskan cengkraman Spencer. Ini cukup menyulitkannya karena perbedaan tubuh mereka bisa dibilang sangat kontras. Tubuhnya tidak terlalu kecil untuk ukuran pria sebenarnya, tetapi karena disandingkan dengan Spencer, Alan seolah menjelma menjadi kurcaci. Mereka tak sebanding, melawan tenaga si model tentu saja terkesan mustahil.
Kalau tak menggunakan cara curang. Alan balik mencengkram kedua lengan Spencer kemudian mendorongnya, menindih tubuh si model di atas rerumputan liar di bawah. Harusnya itu sudah berhasil, namun Spencer ternyata masih memiliki dendam karena wajahnya dipukuli oleh Alan. Membuat mereka masih bergumul, secara bergantian menindih satu sama lain.
Tak jarang orang-orang berjalan melewati mereka sembari berbisik. Keadaan taman yang tadinya sepi kini mulai ramai. Selain karena hari semakin siang, perkelahian antara pria dewasa di taman kota juga menjadi alasan bagi beberapa orang untuk melihat. Berpura-pura berjalan sembari menempelkan ponsel ke telinga, padahal sebenarnya mereka ingin menonton namun terlalu malu. Ada juga yang memang secara terang mengangkat ponsel mereka tinggi-tinggi untuk mengambil gambar.
Keduanya menyadari situasi, baik Spencer maupun Alan sama-sama berhenti bergumul dan saling menarik. Mereka melepaskan cengkraman kemudian serempak berbaring telentang menatap ke arah langit kelabu di atas sana. Berkelahi di tempat lalu berbaikan tanpa kata.
"Kau... kenapa tiba-tiba berada di.. sini.." Suara Spencer terdengar putus-putus saat dia berusa berbicara. Sesak napas setelah berlari pagi ditambah pergumulan dengan si Manajer membuat tubuhnya semakin lelah.
"...Kau sendiri.. yang.. menghubungiku brengsek!" Alan juga terengah-engah, namun masih sempat memberi penekanan pada umpatannya. Nafsu memaki lebih besar ketimbang rasa lelah.
"Aku tidak menghubungi....mu.." Kata terakhir terdengar lebih lirih. Sekelibat ingatan sebelum kesadarannya hilang muncul seperti serangan ombak di pesisir pantai saat pasang. Deburan itu menggetarkan hati, membuat Spencer tersadar tentang apa yang dia lakukan pada detik-detik terakhir. "..Maksudku secara sadar.."
"Ugh!" Alan mendudukan diri di atas rerumputan. Kerutan muncul di antara kedua alisnya ketika mendapati bagian belakang tubuhnya terasa lebih dingin, juga basah. Umpatan tipis terdengar setelahnya begitu mengetahui bahwa dia baru saja berguling ria di atas rerumputan yang basah akibat embun belum menguap. "..Setidaknya bicaralah dan jangan malah diam saja. Ku pikir kau sedang sekarat," tutur Alan.
"Kau mendoakan ku sekarat huh?"
Si Manajer hanya mengedikkan bahu acuh. "Apa yang ingin kau katakan?" Alan menoleh ke samping kiri, lalu meringis saat melihat wajah modelnya lebih pucat dari biasa. Ditambah tatapan mata Spencer terlihat kosong, benar-benar seperti mayat hidup.
Spencer tak langsung menjawab. Pandangannya mengarah lurus pada gumpalan awan kelabu yang kian menggelap, terlihat memberat di berbagai sisinya. Satu tarikan nafas panjang sebelum menghembuskan dengan lumayan keras. Agaknya ini lumayan membantu meredakan sesak nafas tiba-tiba dan juga perasaan mengganjal di hatinya.
"Aku lapar."
"Huh? Apa?" Alan mencondongkan tubuhnya lebih dekat ke arah Spencer. Barangkali dia salah dengar.
"Aku. Lapar." ulang Spencer dengan penekanan pada setiap kata.
Gejolak emosi yang tadi telah mereda, kini kembali mendidih. Urat-urat tampak menonjol di wajah Alan, seakan-akan itu dapat meletus kapan saja. Pupil matanya membesar dan rahangnya terlihat mengeras. Dia bisa melahap apapun dihadapannya sekarang juga, tak terkecuali si model tampan yang sialnya selalu bersikap seenaknya sendiri.
"Kau—" Nafas alan tercekat di udara. "Kau menghubungiku untuk mengatakan kalau kau lapar?!" Pertanyaan itu hampir mirip sebuah pernyataan.
"Aku belum makan apapun sejak bangun, dan— HACHIIEEM!" Spencer bersin dalam posisi berbaring, membuat wajahnya tersembur oleh ludahnya sendiri. Dia mengangkat lengan untuk menyeka wajahnya, tetapi kemudian tetesan air jatuh tepat di atas kelopak matanya. Bercak air tipis, pertanda gerimis mulai berjatuhan.
"Astaga.." gumam Alan sebelum berdiri. Dia menepuk-nepuk bagian pantat untuk membersihkan noda tanah yang menempel. "Ini pasti ada hubungannya dengan permainan peran bodohmu itu."
Spencer —yang masih berbaring— tidak menjawab apapun, hanya terdengar suara helaan nafas tipis.
"Kau ingin makan apa?"
"Subway."
Sebelah alis Alan terangkat, ini cukup mengejutkan. Karena setahunya, Spencer paling anti memakan sandwich. Pemuda itu selalu berada di balik embel-embel makanan tidak sehat. Padahal itu kan hanya roti dan sayur. "Kau yakin?"
"Aku ingin Subway, ukuran besar."
Okay, kini Alan tahu sesuatu yang tidak baik benar-benar terjadi pada Spencer. Namun bertanya saat ini hanya akan berakhir sia-sia, Spencer tak mungkin mau menjawabnya dengan benar. Setidaknya sebelum isi kepala model itu membaik.
.
.
.
.
Gerimis turun tepat setelah mereka masuk ke dalam Subway. Rintik hujan diluar sana terdengar seperti tuts-tuts kalimba yang dibunyikan secara acak. Tak tertebak tetapi masih nyaman untuk didengar. Aroma hujan pekat tersebar luas, bahkan segelintir berhasil masuk ke dalam ruang tertutup ini. langit bertambah gelap, seolah telah berganti secara cepat dari pagi ke malam hari. Jam digital yang terpasang di dinding menunjukan pukul delapan kurang lima menit, masih pagi hari.
Spencer duduk bersandar pada kursi busa berwarna jingga yang beberapa bagian telah memudar. Dia memandang ke luar —orang-orang berlalu lalang dengan cepat mencoba menghindari gerimis yang terlihat kian deras— kemudian beralih ke arah meja counter. Alan berdiri di dalam antrian sambil sibuk bermain ponsel.
Percakapan semalam masih membekas jelas dalam ingatan Spencer. Tidak ada kelanjutan dari obrolan mereka, dia tak menemukan pesan selamat pagi seperti biasa. Ini buruk, dan tentu saja mempengaruhi suasana hatinya. Dia merindukan kekasihnya, merindukan kalimat-kalimat konyol yang mampu membuatnya tersenyum tepat setelah membacanya.
Pagi ini terasa sangat hampa. Deru kendaraan di luar, derap langkah orang-orang, gerimis yang jatuh semakin deras —hujan, klakson kendaraan, benar-benar tidak membantu. Spencer menggerakan kepalanya ke kanan dan kiri, kini tengah terpaku menatap langit-langit Subway di atasnya. Beberapa sarang laba-laba berdiam di sana, terabaikan, seolah tidak pernah ada. Spencer meringis ketika menyadari keberadaannya juga pasti sedang dianggap tidak ada.
Kegelisahan mulai melingkupi isi kepalanya.
'Apakah hanya aku yang menganggap ini serius?'
"Ini pesananmu Tuan." Alan datang dengan satu Sanwich ukuran besar —untuk Spencer— dan satu lagi dengan ukuran lebih kecil. Dia membuka kertas pembungkus sandwich miliknya, terlihat lebih banyak daging ketimbang sayuran di dalam sana, warna merah mendominasi, satu gigitan hampir kena. "Oh ayolah...." Tetapi Alan malah meletakan kembali sandwich miliknya. "Jangan seperti ini lagi, kau membuat nafsu makanku seketika lenyap."