Langit tak terlalu bagus di luar sana. Pagi ini semendung perasaannya. Udara dingin semilir masuk melewati ventilasi yang terbuka. Mendinginkan seisi ruangan tanpa perlu menyalakan Air Conditioner. Benda itu total dimatikan memang, seperti hari-hari biasa tak peduli keadaan sepanas apa. Lisa Rojas —ibu Casie— selalu menggalakkan kampanye 'sayangi Bumi' misalnya seperti kurangi pemakaian AC. Padahal itu hanya akal-akalan agar sikap hematnya —pelit menurut Casie— tidak mendapat protes dari sang anak.
Casie telah selesai mengeringkan rambutnya saat dia menelengkan kepala mengintip ponselnya, masih tergeletak di atas meja tiolet tanpa ada tanda-tanda notifikasi pesan masuk. Keputusan semalam, apakah itu benar? Apa dia terlalu terburu-buru? Apa sebenarnya itu hanya ketakutan sesaat? Seseorang pasti akan melakukan hal yang sama dengan apa yang dilakukannya. Kenyataan semakin menajam ketika Casie mengingat jika ini benar-benar salahnya karena tak memberi kabar semalam. Maksudnya, setelah terakhir kali mereka berkirim pesan, satu-satunya yang harus menghubungi untuk menuntaskan kesalahpahaman adalah dirinya.
Dan Cassandra praktis tak melakukannya.
Dahan-dahan pohon bergoyang di luar sana, bisa dipastikan karena angin. Angin yang lumayan kencan.
Casie meringis saat melihat itu dari dalam kamar. Dia merasa alam pun ikut bermuram sama sepertinya. Ini pertanda tak baik. Jika pagi hari suasana hati sudah buruk, itu tentu saja akan memengaruhi sampai petang datang. Yang artinya satu hari penuh.
Terbesit ide dalam pikirannya. Sesuatu yang jarang —hampir tidak pernah— Casie lakukan. Apalagi jika alasannya hanya untuk menghindari sesuatu berdasarkan ketakutan tanpa dasar. Kali ini, barangkali itu yang terbaik daripada memaksakan diri dan mendapatkan hasil buruk.
Casie bersiap untuk melepaskan kembali dasi di leher, sebelum menanggalkan seluruh pakaiannya dan mengganti dengan pakaian santai, lalu meringkuk di bawah selimut tebal berwarna jingga. Hari buruk akan dia lewati dengan tenang tanpa harus mengambil keputusan apapun. Bad mood pasti akan memengaruhi apapun yang dia lakukan nanti. Setidaknya sebelum suara nyaring memanggilnya dari lantai bawah.
"Makanan sudah siap! Cepat turun anak nakal!"
Casie mendesis. Lihat, bahkan belum juga dia melangkah keluar untuk menghadapi pahitnya kehidupan di luar sana, suasana hatinya sudah menjadi buruk berkat teriakan ibunda tersayang.
Dengan langkah terpaksa, Casie keluar dari dalam kamar setelah sebelumnya berkutat di depan cermin. Melatih ekspresi lesu di wajahnya. Mata sayu harus dipertahankan agar memiliki kesan lebih meyakinkan. Harus ada pelajaran berharga yang dia petik dari bermain peran bukan? Berpura-pura adalah salah satu bakat yang mungkin harus Casie asah selanjutnya.
Selasar depan kamar terasa lebih tenang setelah teriakan ibunya. Lumayan aneh. Mengingat kebiasaan sang ibu yang sering mengecek sendiri ke lantai atas. Seperti tidak akan puas dengan hanya berteriak memanggil saja. Sedikit gedoran di pintu kamarnya memiliki peran yang selalu dapat menyenangkan hati wanita itu.
"Uhuk.." Batuk sekali, lalu Casie mengangguk setelahnya. Oke beres. Selanjutnya pasti akan berjalan mulus. "Ma~ Sepertinya aku tidak enak badan. Aku harus.. Uhuk! Ke Dokter ku rasa.." Casie mempertahankan raut lesu saat menuruni tangga. Ruang makan ada tepat di sebelah anak tangga paling dasar, yang mana berarti adalah garis start baginya untuk memulai peran.
"Kau sakit?"
Tunggu. Ini bukan suara ibunya, dan juga bukan suara sang ayah. Suara berat ini terdengar seperti remaja lelaki yang tengah mengalami masa puber. Tak menunggu setengah detik untuk Casie terkesiap begitu melihat siapa yang ada di salah satu kursi ruang makan.
Rambut ikal, sorot mata kekhawatiran, wajah yang menuntut jawaban. Dan, seragam rapi membalut tubuh tinggi atletisnya. Sangat berbeda dengan yang biasa orang itu pakai ketika di sekolah.
"Dennis?"
"Hay~" Dennis tersenyum kaku saat melambaikan tangan.
'Memangnya kau tak curiga dengan Dennis?'
Casie menggeleng kuat-kuat. Dia harus menghilangkan perkataan Carla yang muncul di waktu tak tepat.
"Akhirnya kau turun juga." Lisa muncul dari salah satu ruangan, berjalan melewati Casie yang masih diam memproses situasi. "Cepat makan dan berangkat, Dennis sudah menunggumu lama."
"Tante," panggil Dennis.
Lisa Rojas menoleh dan tersenyum lembut. "Ada apa nak? Makanannya kurang enak?"
Detik itu juga Casie berpikir jika dia hanyalah anak pungut. Bagaimana bisa perlakuan sang ibu padanya sangat berbeda. Ibunya sangat jarang tersenyum selembut itu. Terkecuali ketika sang ibu hendak menyuruhnya melakukan sesuatu, tetapi hanya bertahan beberapa saat sebelum kembali menunjukkan tanduk iblisnya. Casie merasa iri sekaligus terkhianati. Keberadaannya tak lebih tampak ketimbang hiasan magnet yang terpasang di pintu lemari pendingin.
"Sepertinya Cassandra sedang tidak enak badan." Dennis melirik ke arah Casie sebelum kembali menatap pada Lisa. "Mungkin aku harus mengantarnya ke klinik daripada ke sekolah."
Lisa tersenyum penuh arti. "Oh, tidak perlu dipikirkan~" Menoleh ke arah Casie, senyum itu semakin melebar dan bola matanya semakin menajam. "Anak itu hanya malas saja." Lisa memberi penekanan dalam setiap kata.
"Maaa~" Casie tak bisa menahan guratan kesal pada wajahnya. Termasuk rengekan yang biasa dia lontarkan setiap kali tak menyetujui ucapan ibunya. Dan dia menyesal saat menyadari di ruangan ini bukan hanya mereka berdua saja, tetapi ada satu lelaki yang tengah tersenyum geli ke arahnya. Dennis keparat.
"Apa? Jangan merajuk dan cepat ke sini," kata Lisa tanpa menatap anaknya.
Casie menyadari kekalahannya saat itu juga. Tidak ada yang bisa melawan keputusan ibunya. Itu mutlak, tanpa bisa ditawar lagi. Semisal pun bisa, Casie harus mengeluarkan usaha lebih seperti merajuk seharian atau mengarang alasan paling masuk akal —meski tak ubah hanya kebohongan belaka— dengan otak kelawan jenius miliknya. Casie lumayan percaya diri, sebelum hari ini.
Tatapan Dennis praktis mengikuti setiap langkah Casie kala gadis itu semakin mendekat ke arah meja makan, yang mana berarti mendekat ke arahnya. Senyum simpul masih terukir di wajah pemuda ikal itu saat tangan kanannya menarik kursi di sebelah untuk Casie. 'Silakan' bibirnya bergerak tanpa suara.
"Trims," bisik Casie. Terdengar seperti paksaan. Tentu saja karena dia paling malas berpura-pura ketika suasana hatinya tengah buruk.
"Makan yang banyak," kata Dennis seraya menyendokkan nasi merah ke atas piring putih, meletakan beberapa nugget dan sosis goreng sebelum menempatkan tepat di depan gadis berambut coklat yang masih memasang raut muram.
"Cepat makan! Awas saja kalau kau membuat Dennis telat," ancam Lisa sebelum berlalu dari dapur. Berjalan ke halaman belakang, melakukan rutinitas pagi, menyiram jejeran bunga sambil bergosip dengan tetangga sebelah.
Meninggalkan Casie dalam situasi canggung menyebalkan. Sayangnya, kondisi perutnya sekarang tak bisa diajak kerja sama. Rencana mogok makan untuk mendramatisir keadaan tidak bisa dilakukan karena dinding-dinding lambungnya mengeluarkan suara memalukan. Satu-satunya cara membungkam suara itu adalah dengan melahap makanan di hadapannya.
"Hey.." panggil Dennis. Casie hanya mengangkat bahu sekali sebagai respon bahwa dia mendengarkan. "Serius, kalau kau tak enak badan kita bisa ke klinik dan aku tak akan mengatakan pada Ibu mu jika kau bolos sekolah."