Chereads / Love In Roleplay World / Chapter 18 - Sedang Menggalau

Chapter 18 - Sedang Menggalau

"Aku benar-benar tidak bisa berpikir.." keluh Spencer, hanya menatapi sandwich tanpa berniat untuk membuka bungkusnya. Tergeletak begitu saja di atas nampan, padahal dia sendiri tadi yang meminta datang ke Subway.

"Kau kan tidak punya pikiran," cibir Alan dengan suara kecil. Meski lantang pun tidak akan terdengar oleh Spencer karena pria itu sedang dalam masa berkabung. "Ponsel mu masih belum baik?" Alan sengaja mengeraskan suara.

Spencer mengangguk dan mulai membuka bungkus Sandwich. Satu gigitan berhasil masuk ke dalam mulutnya, Alan tersenyum lega diam-diam. Tetapi tidak berlangsung lama karena Spencer meletakan kembali Sandwich di atas nampan cokelat. "Aku memang tidak punya pikiran~"

Oh, ucapan Alan ternyata cukup terdengar sampai telinga Spencer. Alan menelan Sandwich dalam mulutnya sebelum menyodorkan minuman ke arah model tampan dengan aura suram menguar di sekitarnya. Persis seperti asap-asap hitam pada adegan komik yang dibacanya setiap akan tidur, waktu tenang selepas tekanan pada hari kerja. "Cepat ceritakan masalahmu dan jangan merajuk seperti anak kecil."

Spencer mendongak, air mukanya seperti ingin menangis, mulutnya melengkung sempurna ke bawah. Berbeda 180 derajat dengan dirinya ketika berada di balik layar, disoroti banyak kamera juga menduduki kursi pers. Sekarang Spencer hanyalah pemuda yang dilema dengan permasalahan cinta.

"Dia tidak menghubungiku seharian." Spencer memulai ceritanya tepat seperti dugaan Alan.

"Huh? Tumben?" Alan menaikan alis, berakting seolah-olah dia tak terkejut, menganggap cerita Spencer merupakan hal tidak terduga yang tak pernah terpikirkan olehnya. Sebuah bentuk simpatik, dia pernah belajar itu saat masa perkuliahan. Mengenai respon paling baik ketika mendapati seorang teman tengah bercerita. "Apa kau melakukan suatu kesalahan?" Sesi selanjutnya adalah menanyai sebab-akibat yang pasti memancing narasumber untuk mengungkapkan kejadian sebenarnya dari sudut pandangnya.

"Jadi, semalam dia mengatakan kalau ada seorang teman yang mencoba mendekatkan dirinya dengan pria lain. Dia mencoba menolak, tetapi temannya bersikeras dengan alasan untuk kesehetan mental. Untuk memperbaiki pola pikirnya."

"Coba terangkan," balas Alan, menggeser kursinya maju seraya meneguk air minum. Roti Sandwich miliknya terasa memenuhi lubang kerongkongan, dia menyesal tidak memilih yang tipis dan tanpa memiliki kulit pada tepiannya.

"Temannya bilang jika dia harus mencoba berkencan dengan orang sungguhan, maka seorang pria dikenalkan padanya. Aku sungguhan takut jika dia berkencan dengan pria itu, tapi dia bilang sama sekali tak tertarik dengan pria yang dikenalkan oleh temannya."

Alan mengangguk, membuka tumpukan Sandwich, memisahkan setiap lapis dan hanya memakan bagian irisan daging dan sedikit sayuran tanpa menyentuh roti. Dia mulai paham dengan cerita Spencer. Bahkan bisa dibilang sangat setuju dengan tindakan si 'teman' itu. Mereka mempunyai pemikiran yang sama. Alan berani bertaruh jika dia dan si 'teman' itu pasti akan langsung nyambung meski baru pertama bertemu. "Itu yang membuatmu muram seperti ini?"

Spencer menggeleng lesu. Sandwich terabaikan dengan sempurna, sandwich yang malang. "Lalu, aku mengatakan hal yang selama ini ku pikirkan. Mengajaknya untuk bertemu."

"Itu bagus."

"Itu gila!" Teriakan Spencer sukses menarik seluruh pasang mata untuk melihat ke arah mereka. Alan langsung menundukkan wajah, mengangkat jaketnya sebatas muka untuk melindungi pandangan orang-orang. Spencer sialan! Batinnya. "Itu ide terburuk dan harusnya aku tidak mengatakannya, sama sekali."

"Setelah itu dia tidak menghubungimu lagi?"

Spencer mengangguk. Sorot matanya terlihat sangat putus asa seperti anak anjing yang dibuang oleh pemiliknya. Dia mengangkat tangan dan menutupi wajahnya dengan kedua telapak tangan. "Aku tidak tahu lagi harus bagaimana, dia pasti menganggapku orang aneh tak bermoral yang mengajak orang asing bertemu secara langsung." Suaranya teredam di balik telapak tangan besar.

Alan tersenyum kecut. Dia menyadari hal ini pasti terjadi, cepat atau lambat. Begitu banyak kalimat yang bisa dia lontarkan untuk mengklaim seberapa bodohnya tindakan Spencer yang murung. Penolakan itu hanya berimbas pada hubungan gaib Spencer, dan bukannya akhir dari segalanya. Dunia masih berjalan, kiamat belum terjadi, untuk apa menangisi hal tak masuk akal seperti ini.

"Kau baik-baik saja?"

Namun yang dilakukan Alan justru sebaliknya. Bukan karena dia berubah pikiran dan ingin hubungan Spencer dengan si orang tidak jelas itu berlanjut kembali. Hanya saja, dia tak sejahat itu untuk tertawa di atas penderitaan orang lain. Apalagi jika itu temannya sendiri.

"Aku, tidak baik-baik saja," sahut Spencer dengan suara lirih, hampir tidak terdengar jika jarak keduanya lebih jauh beberapa senti. "Aku tidak tahu harus melakukan apa, aku takut akan memperbesar masalah jika salah bicara lagi."

"Bisa saja dia menolak karena takut ketahuan. Maksudku, bagaimana jika sebenarnya orang di balik akun Audrey adalah pria misalnya. Dia tentu tak ingin kebenaran ini diketahui oleh orang lain, termasuk olehmu."

"Dia tak mungkin seperti itu.."

"Astaga.." Alan bisa dibilang sudah muak dengan tingkah Spencer. Dia ingin menyadarkan temannya jika mungkin ini adalah takdir untuk akhir hubungan tidak jelas mereka. Tetapi sekali lagi, Alan melakukan sebaliknya. "Kurasa kau bisa mencari tahu tempat tinggalnya, maksudku untuk mengecek barangkali orang itu benar-benar bukan orang baik."

Spencer meletakan kedua tangannya di atas meja, menatap wajah pria di depannya lekat-lekat, seolah tak mempercayai apa yang di dengarnya. "Mengakulah, kau Alien yang sedang menyamar jadi Alan kan?"

"What the heck! Bagaimana kau bisa mempunyai pikiran seaneh itu?"

"Karena Alan tak mungkin mengatakannya, malahan harusnya dia senang melihatku seperti ini."

Alan menggeleng tak percaya seraya memasukan potongan daging ke dalam mulut. "Terserah kau saja." Lalu memandang ke arah Spencer. "Tapi serius, kalau kau sangat penasaran kenapa tidak mendatanginya secara langsung."

"Bagaimana aku bisa mengetahui tempat tinggalnya jika dia saja tak memberitahukan padaku. Kau pikir aku peramal huh?"

"Ya ampun, ku kira kau lebih pintar dari dugaanku, ternyata sama saja." Alan menenggak habis minumannya sebelum melanjutkan perkataan. "Kau bisa membuka profilnya, pasti di sana ada informasi mengenai data diri. Mungkin dia kelewat polos sampai memasukan data diri asli, atau sebagian penting yang bisa menghubungkanmu dengannya secara langsung. Kalau lebih rajin, kau bisa mencari tahu lewat status yang dia tulis, barangkali di sana ada beberapa kalimat yang secara tak langsung menyertakan tempat-tempat di sekitarnya. Kalau kau mengenal daftar teman miliknya, kau bisa menanyai mereka. Asal perlu digaris bawahi, jangan terlalu mencolok dan kau akan langsung di anggap orang aneh."

Binar di kedua mata Spencer berkerlap-kerlip, lebih terang dari biasanya. Tatapan mengiba khas anak anjing terlantar berubah menjadi tatapan yatim-piatu saat diadopsi. Spencer beralih pada sandwich yang masih utuh —hanya hilang dalam potongan kecil— kali ini dia melahap lebih banyak, satu gigitan. Dan tentu saja memenuhi mulutnya, sampai kedua pipinya menggembung. Senyuman lebar tak bisa disembunyikan dari wajah Spencer.